Laman

Tonggak

Kamis, 09 Maret 2017

Astrajingga Asmasubrata : RITUS KHAYALI


Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Ritus Khayali
Penulis : Astrajingga Asmasubrata
Cetakan : I, 2016
Penerbit : Ganding Pustaka, Yogyakarta
Tebal : 140 hal, 13,5×20 cm (92 puisi)
ISBN : 978-602-74578-6-7
Penyunting dan Perwajahan: Raedu Basha
Penyelaras Akhir : Sabila Anjangsana
Sketsa : Suri Septyani
Epilog : Rendy Jean Satria
Laman : http://aaedoyastrajingga.blogspot.co.id/

Beberapa pilihan puisi Astrajingga Asmasubrata dalam Ritus Khayali

Pantai Kejawanan

Pulang adalah hamparan pasir dan batu-batu
di pesisir utara laut jawa yang gemuruh
berkelindan keluh nelayan menenteng jaring
minus ikan dan rajungan. Derak ladang garam
mengungsikan bau amis ke pusat perbelanjaan
napas pembangunan zona strategis memberangus
berhektar-hektar hutan bakau. Sedang pada jaring
yang bolong dan lambung perahu yang bocor
itulah sesungguhnya mukim hatimu yang rantau.

(Maja, 2016)


Ritus Khayali

meskipun sederhana, mungkin
dari sekian banyak dusta semua kelak
kau adalah definisi hari ini
yang kusyukuri dengan khidmat
selebihnya hanya fantasi, kecuali
ketika kau menuba percaya melihat
mimpi sebisu candi di sini:
sejarah acak segala kehendak

tapi demi dendam, dengki juga benci
kukemasi serakan curiga dalam benak
untuk mengakrabi harap yang naif
betapa pula itu tak kuanggap cacat
masih selalu kunanti, wangi
senyap tubuhmu yang sedikit mencuat
sebagai ziarah ritus sunyi khayali
yang makin digandrungi tukang sajak

di luar sentimentalia ini, berkali
kita sekadar arca di sini

(Maja, 2015)



Sajak-sajakku

Sajak-sajakku bukan suaka pengembaraan
Dari padang datar ke jurang jungkal
Meski seluruh itibar telah hutan
Yang untuk melaluinya begitu terjal

Sajak-sajakku bukan buah ranum pohon
Yang terjatuh dipetik tangan muson
Manis itu sesungguhnya madu lebah
Darinya menguar ludah sepucuk lidah

Sajak-sajakku bukan merdu murai batu
Bukan pula elok kupu-kupu di kembang sepatu
Di mana kicaunya memataharikan pagi
Dan kepak sayapnya memagikan matahari

Sajak-sajakku hanya pelataran mezbah
Segala buhulan kisah sejumlah percuma:
Yang lebih rahasia dari sejarah
Yang lebih suwung dari cuaca

Sajak yang tanak bukan yang telah tunak
Kelak yang tunak pasti tanak di selembar sajak

(Maja, 2015)


Mimesis

Harum mawar keluar dari gerumbul kata-katanya,
seperti sinar matahari yang menerobos lubang
ventilasi. Aku terkapar 30 menit dari harum mawar
itu. Kata-katanya bikin aku ingin bangkit, berjalan
ke kamar mandi mencarinya dalam cermin. "Rindu",
kesunyian antara titik dan koma setelah puisi menjadi
bingkai pada yang sempat lahir lantas mati. Aku
kembali terkapar, kini jaraknya 5 menit dari harum
mawar itu. Semua seolah tapi tak seolah mengalir,
semua yang berdarah oleh duri-duri mawar. Kupu-kupu
yang mendulang madu, suara sumbang seorang
pengamen jalanan, ciuman kekasih yang malu-malu
di bangku taman. Harum itu menjulur lebih panjang
dari puisi yang sempat lahir lantas mati, gerumbul
kata-katanya menggugurkan kesunyiannya sendiri.

Sendiri.

(Pondok Bambu, 2016)


Siluet

**"dengan sengaja, aku benturkan kepalaku
di jidat matahari dan malamnya, aku menarik-narik
ekor rembulan"  -Rendy Jean Satria-

dipejam Matalahir, bayangan perempuan
melenggang di lengang kenang; aku seorang
musafir yang sedang mengaji hakikat tiada
merasa tak berdaya dipeluk cahaya rembulan
persis pingsannya musa di puncak tursina:
masih murnikah rindu bila sekadar bayangan

ketika Matabatin terjaga, alam semesta hanyalah
tanda di hati seorang musafir; tak ada tempat
sembunyi bagi kesunyian mewaktu-membayang
dalam hati yang bukan seorang penyintas jalan
sebab tak selamanya cahaya menelan kegelapan
dan jauh di depan semata riwayat duga sederhana

(Pondok Bambu, 2016)
Keterangan:
**Penggalan puisi Membangun Kembali Kesunyian karya Rendy Jean Satria


Partitur

Seperti ada sebutir kata yang nyemplung
di palung kesunyian dalam jantungku
dengan gema memantul sampai ke atap cuaca
menjelma partitur yang menyahut mualim subuh
iramanya mengiringi tarian masa silam
yang sedang berebut tempat dalam ingatan
di antara keinginan minggat dari rutin
sebab hati mudah condong kepada haru
dan aku selalu gagal menerka jerit suara
yang terpelanting di lubuk diam namun
masih kukenali bisik malam mengalun
dari gerowong dadaku peninggalan cinta
monyet dulu dan barangkali sebutir kata itu
sejumlah kemungkinan yang setengah mati
aku yakini: Puisi.

(Maja, 2015)


Maka

tak usah usik kisah masa lalumu
biar ia sendiri terasing di hatiku

geletar sepohon pisang yang rindang
dalam basah april yang menggigil

sebentang gerbang masa depan
menautkan usia pada maut

setangkai mawar putih kupetik
sebagai hadiah untuk hati yang tahir

di kamar yang minus cahaya, mataku
laksana dua ekor kunang-kunang

dari petang sampai tengah malam
memburu gelap demi gelap dan kamu

desau daun terkadang terdengar
bagai suara genderang perang

ialah gendereng perang mahaduka
sebab pagi melulu mimpi yang basi

sebentang gerbang masa depan
menautkan usia pada maut

kelimun embun membalut sasmita
ngarai curam tubuhmu yang taksa

di persimpangan jumpa pertama itu
belukar rindu terbakar api cemburu

maka tinggalkan kisah masa lalumu
untukku, biar ia sendiri terasing di hatiku

(Maja, 2016)


Taksa

Kau menuntunku pada jurang kemungkinan
Dan kemungkinan menyeretku dalam sunyi
Puisi. Di situ kurasakan cekau-cakar kuku
Waktu sebagai nyeri yang halus, sebagai
Lembut sentuhan maut yang melangut

Langkahku adalah kegamangan kompas dan
Peta. Kau menuntunku ke inti gelap setelah
Ajal cahaya tiba. Di luar kata-kata, kupasrahkan
Kacau-balau pancaindera pada sunyi puisi
Sebagai kemungkinan yang menemu tafsirnya

(Pondok Bambu, 2016)


Mengenang Kriapur

Langit begitu lengang dalam pandangan. Genang
Hujan di badan jalan memantulkan pendar bulan
Sepi berjatuhan saat aku mulai sadar bahwa malam
Bukan melulu gelap, ada yang tak mungkin lenyap
Saat aku mengenang Kriapur di tepian musim hujan

Sajak melolong di antara raung klakson, deru maut
Dalam sorot lampu kendaraan. Entah mengapa aku
Seperti dikepung oleh kemuraman yang datang dari
Kata-kata. Waktu berlalu meninggalkan jejak gelisah
Mengelupas saat aku menafsir kedukaan yang kalis

(Pondok Bambu, 2016)


Simile

Sebuah tidur
Dirangkum oleh selimut
Pucuk dari kantuk yang pelik
Menancap di kehangatan
Hening ranjang

Labirin mimpi
Yang menjalar tanpa tepi
Menjadi taman bunga
Wangi dalam mekar
Bening dalam embun
Mewaktu
Bagai belai ibu

Sebuah pagi
Yang dilesatkan timur
Menyandar di pangkal azan
Dari jendela terhidu
Kilau manik surga

Keriap sunyi
Yang kecamuk tanpa bentuk
Menjelma kudus luka
Kenang dalam bayang
Lengang dalam gegap
Meruang
Bagai arsitektur puisi

(Pondok Bambu, 2016)


Adab Makan yang Benar

Yang aku tahu cuma cara makan yang benar. Mulanya
makanlah sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang.
Pastikan makanan tersebut halal. Duduklah dan sebutlah
nama Tuhan dalam doa sebelum makan. Gunakan jari
jemari tangan sebelah kanan. Habiskan dan tidak mencela
makanan. Tidak mengobrol. Tidak terburu-buru. Kalau sudah
selesai ucapkan syukur kepada Tuhan dalam doa sesudah
makan. Makanlah, pura-pura bahagia juga butuh tenaga!

(Pondok Bambu, 2016)


Aforisme

mata belum kopi
kesunyian melingkar di layar monitor

puisi termenung. kata-kata mengamputasi
makna dalam kamus sekian menit
dari meja yang mengunyah
lapar lolongan anjing liar

malam ranggas. kabut susut. melelehkan
cahaya rembulan di kaca jendela
yang bening oleh hujan
dan sayup suara azan

"selamat sunyi, penyair!"

puisi merontokkan metafora-metafora
di tumpukan buku filsafat. rintihan
nietzche menahan jejaruman jam
yang congkak. seorang penyair
tersedu di hadapan kamus

ada kenangan lambaikan tangan
bayangan perempuan silam yang muncul
dari gerumbul kata-kata. pagi datang
membawa sejumlah percuma
di balik rutin yang kian mungkin:

nyalang mata seorang penyair
menemukan Tuhan yang lain

(Pondok Bambu, 2016)


Hong Bolong

--episode 1

Hong...

Aku tak pernah bisa menerjemahkan
makna limakali seruanMu dalam sehari.
Aku tak bisa menerjemahkan yang pasti
langkah kaki menuju rumahMu.
Jika dunia tak lain kesibukan yang senggang
dan Engkau adalah jauh paling dekat:
Apakah mereka pernah bertanya
bahwa Engkau pernah tak ada.

--episode 2

Hong...

Laron bergerumbul di lampu neon
dari arah malam menggelegar sayup hujan.
Aku menjelma seketika:
Sebagai sunyi yang menemukan Tuannya.
Dan Engkau masih sembunyi di balik kelambu.
Rintih demi rintihMu lirih kudengar
berhamburan bersama sayap-sayap laron
di bawah pintu. Malam kian jauh, dan aku
menyaru sajak yang bolong oleh hujan.

(Maja, 2016)


Dalam Perjamuan

Semangkuk soto tengadah di atas meja
Dari rongga mulutku memancar cahaya,
Lidahku perahu meluncur ke samudera:
Saat kusesap kuah rempah itu
Matahari menepi ke tebing batu.
Bihun terendam seperti rambut ibu
Yang basah oleh gerimis masa kecilku.
Telur: oval macam granat
Di tangan prajurit di medan perang
Beberapa dari mereka terlempar terlontar
Dan meledak di perutku bersama sambal.
Kenyang merangsek keluar tenggorokan
Menjelma sendawa tiada henti berganti
Asap tembakau menguar di udara
Percakapan demi percakapan: ingatan
Terbuka bagi retorika perjumpaan tak terduga.
Aku gunakan sendok sebagai sampan
Sebab cahaya makin terang di mulutku
Dan kepuasan adalah hak istimewa
Seperti puisi yang dibaca berkali-kali.

(Maja, 2015)


Hasil Rontgen Dada Penyair

Di gua gelap tak bernama. Sunyi mengibaskan debu. Pepohonan terbatuk,
Cahaya lincir. Peziarah keluar-masuk, via tangga yang tersusun agak
Longgar. Stalagmit menghimpit dinding. Udara menguliti lumut-lumut.
Jauh dari ngarai, peristiwa lain memuai. Cahaya berdiri nyaris tegak.
Nisan hanyalah pintu terasing.

Aku menanti tidak sendiri. Beragam rencana buram adalah kawan. Maka
Kata-kata kulepehkan ke cakrawala. Hidup meluncur jauh ke dasar gua.
Seseorang mengulurkan tangga. Tanganku menolak. Gelap menganga
Kata-kata meregang nyawa -- tirai terbuka -- peziarah. Mata terbelalak
Menggigit bibir. Sunyi tergeletak.

Pepohonan menggugurkan daun, saat aku meraba arah nasib saat pertama
Yang gaib tidak tentu seperti semburan peluru meriam dari bungker tua.
Nasib atau nasib seperti halnya cinta yang selalu memuja dirinya sendiri
Tidak aku apalagi kau, sekali pernah tuntas berhasil menafsirkan nyali.
Kisah -- tirai tertutup -- sempurna.

Bayangan putih merayap dari mulut gua. Kemudian kusaksikan aubade
Mengalun di pucuk-pucuk rumput memulai perayaan. Rencana merembes.
Sunyi mengibaskan misteri. Cahaya semakin tegak, semakin tampak.
Peziarah berbaris ingatannya percikan blitz -- bukan foto: selfie -- di gua
Padahal di situ tidak ada yang

                                     Benar-benar mati, tidak ada yang
Mati benar-benar sedari tadi.

(Maja, 2016)


Kepada Puisi

engkau, cahaya yang memancar dari kata
seberkas sinar tata bahasa
yang berpadu-padan dalam rima
dan aku, penafsir terlunta meraba frasa
pada labirin gelap mahzab
itibar pencarian seluruh sebab

engkau, cuaca yang menyirat riwayat duga
tak terjamah nyalang semata
terhidu sebagai deru angin di utara
dan aku, musafir yang terjebak arah peta
mengira ini jalan menuju negeri sunyi
tempat sembunyi dari diri sendiri

engkau, kuntum yang menyimpan harum
dengan sejumlah duri menjelma hari
sebagai satu-satunya harapan akan nanti
dan aku, bersetia menunggu kedatanganmu
yang kuyakini pasti mekar dan kepadaku
kaukirimkan keharuman sebuah puisi

(Pondok Bambu, 2015)


Romantic Agony: Jengki

aku melihat "ia" terkapar
di pintu sebuah bar
tak muntah tak berdarah
rembulan mengusap wajahnya
dengan selembar sajak
tak berjudul tak bertitimangsa
kala mulutnya terbuka
semua permisalan yang kupunya
lindap ke dalam batin bahasa

aku ingin memapah "ia"
namun tanganku hampa
sebab tak satu pun sajak
tercipta darinya
apa mukjizat seorang Penyair
selain hasrat dan riwayat?
katakatakata
menemu kebuntuan jawab
sunyi memberat di punggung

mataku tak berkesip pada sebotol rum
berdiri tegak bagai jarum akupuntur
yang mengobati kudus luka
romantic agony: Jengki
tiba-tiba darahku berdesir
sajak mengalir di ujung jari jemari
menyaru lunturan mimpi
"Ia" bangkit lalu menari...berlari
aku beringsut ngejar bayang sendiri

(Pondok Bambu, 2016)


Makam, 1

Engkau mencelupkan aku
ke sempit sepi ini. Agar makin
paham makna pelukan ular
belit-himpit kasihMu.
Padahal bumi adalah hutan
gairahku pada percuma; lautan
dustaku melarung dalih dalil
agama; puisi mencuci diriMu.
Aku tak paham kenapa wajah
mesti menghadap Kubus Hitam.
Kunanti pasti misteri lumatan itu
cahaya yang memelukMu
mengurapi pembaringan abadi;
surga dan neraka sebatas niscaya.

(Maja, 2016)


Makam, 2

setelah sekian tahun
usia perlahan menirus
lalu ruh pun hapus
pada hari itu tak ada
yang diharapkan
kecuali keikhlasan
seucap doa
dan selengkung senyum

matahari di balik bukit
menakzimi langkah pelayat
menanggalkan kenang
bayangan mereka gemetar
sepi membusuk; firman menimbun
duka segunduk-segunduk
dari tanah kembali ke tanah

Tuhan
tumbuhkanlah bungaMu
agar kupu-kupu berkitaran
di rumah baruku

(Maja, 2016)


Malam Margonda

: untuk Rara Iswahyudi

Menyusuri jalan Margonda
kuingat selarik sajak Italia
Namun tak ada bangunan tua
juga perahu
meluncur membelah sungai     
              di resah kota ini    

Menyusuri jalan Margonda
kudengar deram kereta membaur
dengan bunyi klakson
berdengingan di sunyi kupingku
seperti suara tangismu
yang terendam kuah sup singkong
khas Makassar di kedai itu
seperti lirih rima sebuah sajak
yang ditulis terburu di kertas tisu:
sajak seorang penyair muda     
                melulu rindunya     
                selalu     
                untuk kekasihnya
dalam irama sendu lagu sunda

Aku seakan tahu
lalu lalang angkutan umum
saling mengucap salam:
selamat tinggal dan selamat datang
atau basa basi sebelum berpisah
atau kenangan yang menggenang
sepanjang trotoar jalan

Kupercepat langkah kakiku     
                menembus kelam
hawa malam semakin dingin
Tiba-tiba tercium aroma
rempah sup dari arah seberang
yang lengang juga remang
mengudar di udara dan merasuk
bersama napas yang lengas
Tak bisa kujelaskan
fatamorgana atau nyata
yang retak di mataku

Menyusuri jalan Margonda
kubaca selarik sajak Italia
berulang-ulang sembari
melambai pada bayanganmu

(Depok, 2016)


Bersitegang dengan Nun

Masih kembang tatapku pada bebayangmu
saat angin tengah hari mengibaskan embun.
Masih sembilu yang mungkin di dalam aku,
sehingga kau menyisih di luar aku: menjauh.
Masih terengah napasku melafalkan namamu
terlalu gugup dadaku pada degup dan huruf.
Tapi lagu dari sebuah radio tua di ruang tamu
liriknya berkata lain tentang sunyi jantungku.
Terlalu payah kurencah bilur-bilur masa lalu
di sekujur waktu yang menyimpan luka rindu.
Pada kepalamu bahuku meminta kesedihanmu;
pada lengang lengan yang paham makna peluk,
serta lempang langkah gamang di ujung haru.
Kupejamkan kelopak mataku yang membisu
semoga setiap cahaya lindap bersama denyut
dan ingatan berhenti bersitegang dengan nun.

(Pondok Bambu, 2016)


Ziarah

Puisi adalah suar sunyi
Yang kuledakkan dari kamus
Ke jantung bahasa. Ada darah kata
Alir duka yang anyir dan basi
Di tiap larik juga bait
Denyutnya hanyutkan sentimentalia

Namun keharuan menyembul dari ragu
Dan rabuk nubuat. Jejaruman jam mandek
Ritus khayali penuh mengapa dan karena
Yang kuterima tumpah terbentur maklum
Lantas aku mengangankan Tuhan
Menggenang di atas sajadah

Puisi adalah sejumlah rutin
Yang sengaja nyaris biasa saja
Antara kini dan nanti. Tak ada kau
Hanya kisah yang resah dan basah
Tiap kali membuka mata
Sebelum dibelenggu kerjakerjakerja

Namun fragmennya terekam amat jahanam
Di dalam kalbu yang muak akan batu-batu
Yang dirajam oleh sebatalion kangen
Menjelma gergasi dari mimpi buruk
Di luar kita dan patahan-patahan doa
Tertata sebagai sujud menemu arasyNya

(Pondok Bambu, 2016)


Siklus

Tak ada yang istimewa dari malam
selain bulan sabit menampak di kejauhan
seperti selengkung senyum yang gagal ditafsirkan

Tak ada yang menarik dari pagi
bulan sabit sisa semalam terlihat pasi
seperti sendu wajah setelah air mata membasahi

Tak ada yang samar dari siang
selain bayangan pohon jambu mete di tepi jalan
seperti lambaian tangan dari bangku peron stasiun tua

Tak ada yang temaram dari sore
cuma ruyup teja di balik pohon jambu mete
dan deram kereta yang terdengar seperti requiem

(Pondok Bambu, 2015)


Tentang Astrajingga Asmasubrata
Astrajingga Asmasubrata lahir di Cirebon tahun 1990. Bekerja sebagai tukang cat melamik-duko-politur di Jakarta Timur. Penggerak Malam Puisi Jakarta. Ritus Khayali adalah kumpulan puisinya yang pertama.


Catatan Lain
“Khayalan yang telah menjadi suatu ritus bagi Astrajingga, juga bagi para penyair di muka bumi ini, telah naik taraf menjadi suatu ibadah; maka ia adalah suatu tindakan penilikan (ziarah), ia juga suatu doa yang ingin dipinang langsung oleh Tuhannya. O, siapa makhluk kecil mampu lebih intim dengan Tuhannya melebihi para penyair? Agar Tuhan meminang laranya hidup (kemanusiaan) sehari-hari -- dan para penyair tak meminta lebih banyak; supaya menjadi puisi dan sajak-sajak. Maka demikianlah sajak dan puisi dalam buku RITUS KHAYALI ini menjadi semacam pengabulan doa dari Tuhan pada hambaNya yang bersetia pada laku ibadah puitik,” demikian ujaran Sabiq Carebesth.
Dalam blog mata puisi, Hasan Aspahani, ada ditulis begini: penyair kita ini punya kesadaran akan bentuk sajak yang kaya. Ia menulis dalam bentuk sajak dengan bait-bait dua baris (kuplet) yang tertib, stanza tiga baris (terzet), bait-bait dengan empat baris (kwatrin), lima baris (kuintet), dan enam baris (sestet), bahkan soneta. Dan, tentu juga sajak bebas.
Ia juga menulis: “Dari 92 sajak di buku ini 37 sajak ditulis di Maja, 1 sajak di Bandung, 1 sajak di Depok, 1 sajak tak bertanda tempat, selebihnya (52 sajak) di Pondokbambu. Tempat yang dengan sadar ia catat di mana ia sedang berada ketika menulis sajak-sajaknya tampaknya menjadi sesuatu yang penting bagi penyair kita ini. Ini saya lihat berkaitan dengan fakta pertama yang saya sebutkan di catatan ini, yaitu dominasi kehadiran penyair sebagai “aku”. Cantuman soal tempat itu seakan-akan berada di luar sajak, yang oleh pembaca tidak perlu diikutsertakan dalam proses memaknai sajak. Saya mencoba mencari jangan-jangan ada pola-pola tema yang membedakan sajak-sajak Pondokbambu dan Maja, tapi rasanya saya tak menemukan apa-apa. Karena itu bagi saya, seandainya keterangan tempat (dan tahun penulisan) itu dihapus (atau disimpan saja hanya sebagai catatan pembukuan bagi si penyair) maka sajak-sajaknya akan sedikit “terlepas” dari satu beban kecil. Puisi itu adalah ikhtiar untuk mengabadikan yang fana, kefaaan itu – karenanya ia boleh dilepaskan saja – bisa berupa keterikatannya pada tempat dan waktu.” Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar