Laman

Tonggak

Kamis, 09 Maret 2017

Sabiq Carebesth : MEMOAR KEHILANGAN


Data buku kumpulan puisi

Judul : Memoar Kehilangan
Penulis : Sabiq Carebesth
Cetakan : I, Januari 2012
Penerbit : Koekoesan, Depok
Tebal : xxiv + 89 halaman (67 puisi)
ISBN : 978-979-1442-52-7
Penyelaras akhir : Damhuri Muhammad
Perancang sampul : Munawar
Tata letak : Hari Ambari
Prolog : Afrizal Malna

Beberapa pilihan puisi Sabiq Carebesth dalam Memoar Kehilangan

Memoar Kehilangan

Memar yang melanda memoar adalah sekuntum bunga
kenangan, yang tertanam di tanah paling dalam dari ingatan;
kehilangan-kehilangan adalah bukan luka yang menyakitiku,
tapi ingatan akan terampasnya waktu. Kini kupegangi seutas
tali paling halus; untuk menggambar nyata; melukis keabadian;
bahwa engkau mulia dalam apa yang engkau kehendaki,
engkau mulia dalam apa yang kau kerjakan.

Jakarta, 08 mei 2010


Nihil

Hanya deretan tanggal dan hari
Kota-kota dan waktu yang sunyi
Pada segelas kopiku kelam
asap rokok mengepulkan sia-sia
sepotong puisi seperti benda mati

Lautan hanya kekosongan
Senja seperti lelucon
Malam habis seperti kilatan dendam
Hidup tak lebih lengang dari dongengan.

Ombak yang menderu
Patah oleh karang yang kaku
Memecahkannya menjadi buih, hilang di tepi

Yang luka hati di malam tak bertuan,
Hatinya bimbang terkenang,
Apa selalu demikian?

Mei, 2011



Panggilan dari kesunyian

Kemana lagi mesti berlari
Kemana lagi mau sembunyikan hati?

Kita yang berlari keluar rumah
Dan merasa bahagia

Kita mabuk di jalan-jalan ini
Kita merasai getaran sedalam ini
Kita bertanya-tanya:
                        “Apa hanya rindu?”

Kemana lagi sembunyikan hati
Orang-orang sedang lelap dan bermimpi

Malam ini telah berlalu
Hanya hati kita yang terjaga; merindu

“Hanya rindu?”

Panggilan dari kesunyian
Seperti meminta kita kembali

Kita tang berlari keluar rumah
Dan merasa bahagia

Di bawah bintang, rembulan, dan hujan
Senja yang gemilang; tiada berbeda
Sebab hati kita terus menunggu
Sebelum senja terbenam kelabu
dalam sepi masa lalu.

Jakarta, 14 Januari 2011


Atau Senja yang Tak Lagi Sama?

Menarilah, atau nyanyikanlah lagu
Kerlingkan matamu yang tulus hanya padaku
Sunggingkan senyum dalam kelam yang kadang melanda
Tataplah padaku kabarkan rindu dan isyarat

Usaplah wajahku
Biarkan tangan lembutmu sejenak memeluk kalbuku
Yang kedinginan
Dekaplah aku bersama masa yang menjauh
Atau selimuti aku dengan kerudungmu
Agar kurasakan kehangatan dalam tenang jiwa
Sebab kau kekasihku
Yang padamu ingin kupugar kesunyian masa silam
Kupahat sebuah gambar
Kapal kecil yang akan berlabuh
Untuk membawa kau menjauh
Layari samudera tanpa tepi
Menuju senja terakhir di mana kita akan duduk bersandar
Pada pundak kenangan
Atau senja yang tak lagi sama?

Jakarta, 20 Maret 2010


Sublim

Apa rasanya kehilangan? Bisakah kau membagi padaku sebuah
kisah; di mana kau melihatku tengah duduk menggandeng
lenganmu, dan kurasakan napas dalam dadaku yang menyesak,
sedang dingin yang menggigilkan setiap bagian dari sisi jiwamu
berdesir ingin menyusuri jalan-jalan; melewati batas-batas dari
sepi ke sunyi; hanya untuk dudukdi tepi sungai keheningan.

Di sana kau tak lagi melihat jalan pulang, semua jembatan
talah roboh menyati dengan kabut, di atasmu kebekuan, dan
di hadapanmu hanya kejauhan: dapatkah kau mengatakan
bagaimana kau mencintainya?

Sebuah pohon yang baru kau lihat berlumut biru dan pada
tangkai daun-daunnya tampak canggung. sebuah batu tampak
lemah dan tua, hening dan begitu kedinginan di tepi kali yang
mengalirkan air dari tangisan yang seperti tangisanmu sendiri.

O, tak ada lautan tampak dari kejauhanmu. Senja yang biasa
seperti lupa; ia mungkin tak lagi mengenalimu, ataukah senja
yang ketika itu kini ada dalam keheningan hatimu? Seperti
setiap sunyi dan kesepian yang mengajarimu berlari lebih jauh;
ke dalam dirimu sendiri.

30/01/2011


Cermin Retak
untuk gadis kecil yang tengah bersolek di tepi subuh

Tuhan yang maha paham
Di manakah aku sekarang
Dalam dunia yang terasa pengap
Ada kehampaan menyeruak
Dari gugusan bintang selatan
Yang merimba kegelapan
O, Tuhan
Ampunkanlah segala bimbang tanpa alasan
Kesempatan yang terabaikan
Dunia yang mestinya aku berdiri
Di jalan para penolong
Maafkan…
           
Apakah untuk jadi air
            Aku harus mengalir?
            Kemana pun air menembus bebatuan?

Kenapa ada kemarahan di dada rapuhku
Dan aku marah sendirian
Melihat kehidupanku yang makin sangsi
Waktu hidup menjadikan
Bocah kecil jadi pencuri
Orang berpangkat korupsi
Dan kebohongan jadi seni
Sedang ketakutan diurus sendiri-sendiri

Kemana perginya gadis desa
Kemana larinya ibu dan adik-adik
Mereka tidak ada di sekolah
Tidak juga di sawah
Pergi dari rumah
Jadi perempuan perkotaan
Ya, jadi buruh

Tidur dikontrakan kumuh
Harus menipu diri sendiri
Setiap hari
Sebab gaji rendah
Tak cukup bila tak menipu nurani

Hidup dipenuhi bayang-bayang
Tidak lebih mudah dari pulang
Ke rumah tanpa sepetak pun sawah
Sebab sawah sudah dijual dulu buat sekolah
Sisanya buat adik atau kakak menikah
Sekolah tetap rendah

Hidup makin payah!
Walau sehari kerja tanpa  istirah
Hidup seperti takkan berubah
Sebab korupsi mewabah
Pencuri bertambah
Sekolah makin rendah
Gaji makin murah
Setiap hari bertambah gelisah

Tuhan.
Engkau yang maha paham
Wajah-wajah yang lelah
Di balik senyum yang rekah
Lihatlah…

Tuhan yang maha mendengar
Jeritan setiap detik
Gadis kecil yang tengah bersolek di cermin retak
Menunggu janji libur
Di ujung hari tanpa ingatan
Rindu benar dalam hatinya
Melihat rumah di desa nun jauh
Dengarkanlah, Tuhan….

Ya pada-Mu lah memang
Kami berkisah dan menyembah…

Jakarta, Juli 2010


Venesia

Hanya sepotong tatapan lembut tertinggal di laut, sudah jadi
buih! Hanya seulas senyuman waktu itu; sudah jadi mega
keemasan! Hanya setetes air mata: sudah jadi tarian malam!
Hanya kelembutan tangannya; sudah menjadi kabut, mendung
dan hujan kali ini! O, betapa ia lembut seperti sutra, ia bening
seperti waktu, ia sunyi seperti mimpi; ia begitu jelita seperti
kemolekan hujan waktu kau dan ia bertatapan pertama kali,
bagaimana kau mau mencarinya?

Januari, 2011


Kepada Kesepian

Kesepian!!
Kau pernah menyelimutiku; tak hanya hati dan jiwaku, tapi
hidupku!! Kini haruskah aku bersenandung atas namamu?
Berpuisi karenanya? Mengarang tentangmu? Apa aku juga
harus bekerja disebabkan engkau?—Tidak!!
Kesepian!!

Bicaralah padaku, ceritakan isyaratmu, kau ingin aku belajar
darimu tentang apa? Tanda-tanda, cinta, hal istimewa,
kegilaan, kata-kata, duka lara, kengerian tanpa bentuk,
paradoks, iblis, mimpi buruk, malaikat, Tuhan?
Kesepian!!

Kau ingin aku bagaimana? Berlutut, kalah, menghamba
padamu?
Kesepian!!

Sudah kucicipi darimu kengerian, kebencian, kemarahan,
kecemasan yang bertalu-talu, seperti kidung asmara, ketragisan
dan pesimisme!!

O, Kesepian!!
Haruskah kujadikan engkau pengantinku, yang di altar mimpi
kita menari, dengan gaun kegetiran, bersama bunga imaji,
ataukah ilusi.
Kesepian!!

Maaf aku tidak dapat teruskan ini,
Aku kesepian….

Januari 2010


Lolongan Kesepian

Di kesenyapan malam ia menimang angan
Di tepian malam ketika jiwa menangisi dosa-dosa
Sedang hujan dalam hatinya membekukan rindu yang selalu
“Ia sedang jatuh cinta.”

Memang ia ingin menangis;
Di hadapan hidup yang tragis.

Memang ia ingin meringkik;
Seperti kuda yang tertusuk rembulan
Dan ia kehilangan.

Memang ia ingin melolong

Seperti lolongan serigala di kesunyian:
Ia ingin mengabarkan kegelisahan
Kehilangan-kehilangan…
“Kesepian itu ada dalam hatinya!”

Suara jeritan menggema di pepohonan
Menabrak ruang hampa
Dan jarak membatas waktu:
Jalan lengang nun sunyi dari lorong gelap masa lalu
Begitu purba, di mana?

Ia ingin yang hilang mendengar
Ia menunggu yang jadi sunyi kembali
Kepada ombak membadai
Malam kelam dan senja menua:
Ia dendangkan lagu pilu
Agar tersiar rindunya:
Namun hanya suara-suara;
Melecut hatinya dalam jelaga:

26/01/2011


Jarak

Sudah kutangisi kenangan
Dengan ribuan hasrat perjumpaan
Yang urung menjelma kenyataan
Atau perpisahan adalah kembang keindahan
Yang urung ditahbiskan sebagai kebahagiaan.

Lihat kepada langit malam ini
Ada musik mengalun indahnya
Maukah kau berdansa denganku?
Merasai cinta; merebahkan rindu
Bergetarlah rasa
Dalam meredakan rindu
Yang tak pernah akan bertemu

2 Mei 2010


Ziarah Malam

Apa kami akan kalah malamini?
Sedang langit benderang dengan panji-panji kemenangan

Obor menyala-nyala mengagumkan hati
Kami tak berdaya melihat bayangan cahaya
Mestikah kami dikalahkan mala mini
Pada keyakinan kami akan kemenangan jiwa

Jika kami terlambat
adakah kami harus menebus dengan ribuan waktu?
Sedang bagimu betapa tak berguanya mengitung waktu:
Waktu berlalu
Waktu bergerak maju
Mengitari kekinian mencari kemarin
Untuk ditempakan di sini
Hendak digambar sesuka jiwa ini

Apakah engkau sudi berjanji memberitahu?
Sebab ia tertidur dan tak sempat mendengar;
Betapa kami membutuhkan sejumput waktu
yang tak menyebabkan jarak rentang

Secuil nyata yang tak tersunggingkan kenangan
Seutas tali yang tak menali hanya untuk patah
Keyakinan ini menjadi bunyi
Tanpa kata-kata yang disusun menjadi puisi

Keyakinan ini waktu,
Keyakinan ini cahaya,
Jarak dan cinta
Tanpa tali jeda mengada
hanya keyakinan bahwa kami membutuhkan engkau

Maka pada malam gemilang
Kami mengenakan pakaian
Menziarahi waktu di mana engkau menyatu;
tanpa jarak antara malam dan siang;
sunyi dan ramai di gemintang gelap nun bunyi.

28 Juni 2011


Aku Mencintaimu Dengan Cinta yang Tak Bernama

Bersemanyam di sini di antara lagu dan nama. Aduhai, apa
aku harus tertidur di antara lelapmu? Yang ribuan tahun dalam
kesunyian?
Di mana engkau di antara air mata yang tertahan? Ia
menunggumu datang agar mendengar sebutir suara di antara
detak-detak bisu di luasnya hidup yang dihamparkan oleh
kebekuan yang menyadari gejolak diam-diam.

Cinta telah bekerja dengan aneh dalam diri dan aku tidak
tahu apa-apa. Hanya pada tarian hidup di sudut kerlingan
matamu detak-detak bergetar menggetarkan sayat menyanyat
dalam jeda, cinta; yang membuat pandanganmu pada tatapku
berjarak sedetak getar senyum yang menunda tawa sebelum
hatimu dibebaskan untuk menari di tengah langit sewaktu
matahari bergerak semau sendiri betah di antara padang
rindumu.

Tak ada kata, kata, kata, tak ada. Apa hendak kau sebut, saat
rindu kehidupan seketika kehilangan nama-nama; hanya detak,
getar bunyi bertalu-talu dalam pesta pora kau dilumat
asmara.

Aku mencintaimu dengan cinta yang tak bernama.

3 Juli 2011


Puisi untuk Puisi

Di mana puisi yang itu
Yang dulu kau tulis di senja hari
Saat sepi
Dengan harapan yang meninggi
Usai menggambar jendela
Dalam tembok pengap nan hampa

Puisi yang melihat kemungkinan
Tentang kehidupan yang bermahkota kebebasan
Seolah surga pertama di hadapan
Dan kenyataan bertampik
Tidak lebih dalam dari puisi yang itu
Yang dulu bermahkota kematian
Namun menunjukkan jalan panjang
Yang kau bebas menyusur
Walau sepanjang jalan dalam kegelapan

Puisi tidak punya mata
Untuk memilih kata-kata

Puisi tidak punya telinga
Untuk mendengar bisikan kelana

Puisi tidak punya kekuatan
Untuk menerjemahkan sabda langit

Puisi tidak punya kuas dan kanvas
Untuk melukis keindahan

Puisi adalah kekosongan
Dalam beratnya kefanaan
Gambar dari luka peradaban
Yang urung menghilang
Tanpa sebaris pun kenangan

Puisi adalah musim waktu
Memoria agar hidup tak jadi gila
Sebab bertaruh masa depan
Dalam kekosongan tanpa ingatan

Puisi adalah taman
Puisi adalah ingatan
Museum bagi jiwa yang kehilangan
Waktu yang menjelma kenangan
Agar tak musnah dalam kegilaan
Dari zaman yang gemar lupa

Puisi adalah senandung
Dari kidung keheningan
Paling sunyi dan rahasia

Puisi adalah tarian
Dari kelelahan
Usai rindu dan kehilangan

Puisi adalah persembunyian
Dari kebermaknaan yang terancam
Oleh omong kosong dan rayuan
Dari pemuja kesombongan
Dan kedangkalan

Puisi adalah doa
Yang urung terlafazkan
Oleh ketidakberdayaan

Puisi adalah kebohongan
Dari kemerdekaan yang terpasung
Oleh kebodohan dan ketakutan

Puisi adalah suara-suara
Yang teredam
Oleh bising kota
Dalam riuhnya lagu disko
Dalam gemuruhnya seruan
Dan kebohongan

Puisi adalah jendela kecil
Dalam kehampaam tembok
Yang memenjaramu dalam kebimbangan
Dari rasa hampa yang menimpa
Oleh puisimu sendiri
Yang begitu sunyi

Pusi adalah puisi
Kawan bagi kematian
Yang begitu sunyi

Esok hari masihkan kau menulis puisi?
Atau senja nanti ingkar janji
Sembunyi dalam puisi-puisi…

Jakarta, 08 Mei 2010


Sajakku

Sajakku sajak
Aku bersajak bukan untuk membeli tuak
Dari candu jiwa hingga mabuk tergeletak
Sajakku bukan sajak
Aku mabuk untuk merengkuh utuh isyarat
Candu jiwamu kutenggak hingga tergeletak
Sajakku sajak mabuk
Sajakku bukan sajak
Sajakku sajak
Bukan aku, juga bukan kau
Sajakku hanya sajak
Sajak…Sajak…

Ciawi, Juli 2011


Anak Lelaki dan Ibunya

Tiba-tiba matanya berkaca, seperti ia terluka
Tiba-tiba dadanya tersentak, dan hatinya menjadi lambat
Ia tak ingin perasaan itu cepat berlalu
Ia membuka pintu jendela kamarnya
Seolah tak ada siang dan malam
Ia ingin perasaannya lepas dan menjadi kanak-kanak lagi
Agar tangan itu membelainya
Disertai tawa yang pecah di sudut telinganya
Menembus dalam hati seperti setiap yang lalu adalah baru

Di luar sebuah lonceng berdentang
Pada angin yang bergurau dengan dedaunan basah
Dan ketika setitik lira jatuh dari kelopak matanya
Ia merasa ibunya tengah membelai rambutnya
Dari kejauhan

“Semua akan baik-baik, Nak, teruslah pada jalan hidupmu
Setiap angin yang menepis bagiku adalah kepulanganmu
Yang kau selalu lemah seperti bocah
Merangkak di depan pintu rumah
Lemah, betapa aku ingin selalu membopongmu

Tapi terus, teruslah pada hidupmu
Dengan rindu yang menjadi purba menua
Belum bagimu bersekutu dengan cinta
Setiap angin yang menepis bagiku adalah kepulanganmu”

Jakarta 2011


Kepada Segelas Kopiku

Dijumput dari kedalaman gelap
Ia menyemaikan kehidupan
Memabukkan jiwa gelimpungan
di tengah nyeri hidup sehari-hari

Engkau saksi bagi tumpahnya air mata
Mereka yang meracau tentang cinta
Kehidupan dan iman sepekat misteri kelammu

Engkau hidupkan kegilaan dalam pekatmu
Dan kau pelihara orang-orang gila bersama kepekatan yang
manis

Dikandung hidup antara rindu
Engkau berganti menjadi candu
Bagi hidup yang ngilu

Ada tari-tarian yang digelar dalam pesta pora malam
Ada puisi yang kehilangan kehendak
Lalu menarik-narik nyawaku
ke batas nyata dan gua di dasar gelisah

Seorang gila yang menggerutu
Kehilangan kekasihnya
Ditelan kegelapanmu

Ia turut menari kini
Dalam pencarian
Sampai penghabisan
Dan diukirnya sebuah nama dan cinta
Dengan tinda hitam dari samuderanya

Ia menatap padaku:
Seorang gila dalam segelas kopiku

Ia, serupa aku.

27 Juni 2011


Tentang Sabiq Carebesth
Sabiq Carebesth lahir 10 Agustus 1985. Mencintai teater, menyukai seni menggambar, berkeliaran di jalan, sesekali ngamen, kadang berdemonstrasi, pernah jadai ketua dari gerakan mahasiswa KMPD (Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi), dan menjadi bagian dari Dewan Redaksi penerbitan Pers Mahasiswa ARENA. Barangkali, Memoar Kehilangan adalah kumpulan puisinya yang pertama.


Catatan Lain

Afrizal Malna menulis Suatu Tempat dan Suatu Waktu di Daerah Bahasa. Menghabiskan 11 halaman, dari hal v-xv. Dua paragraf dari tulisan itu muncul lagi di halaman belakang, mendampingi foto dan sepenggal riwayat penyair. Dan saya hanya akan mengutip sekalimat saja dari Afrizal: “Karena kenangan tidak sama dengan rapuhnya bahasa yang ikut berubah bersama dengan perubahan sosial-politik.” (hlm. xi). Hehe. Sekian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar