Laman

Tonggak

Rabu, 05 April 2017

Zulkarnain Siregar : PULANG KE HULU


Data buku kumpulan puisi

Judul : Pulang ke Hulu
Penulis : Zulkarnain Siregar
Cetakan : I, Januari 2015
Penerbit : Yayasan al-Hayat, Medan, Sumtera Utara.
Tebal : xxii + 250 halaman (196 puisi)
ISBN : 978-602-71638-1-2
Penyunting : Sartika Sari, SS. dan Mukhlis Win Ariyoga, SS.
Desain Sampul dan Tata Letak : A. Hafiz Harahap, M.I.Kom
Prolog : Dr. Asmita Surbakti
Epilog : Irwansyah Harahap, MA

Pulang ke Hulu terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu Sang Pengail (20 puisi), Balonku Ada Lima (21 puisi), Sajak Alif (32 puisi), Pesan Ateh (31 puisi), Inang (38 puisi), Selamat Pagi Puisi (54 puisi).

Beberapa pilihan puisi Zulkarnain Siregar dalam Pulang ke Hulu

rindu melayu awal merayu

susur sungai riau ke hulu
mencari asal bandar awal
kampung rebah itu dahulu
jejak istana sultan tinggal
dari penyengat lalu ke bintan
dengan biduk labuh ditambat
titian isyarat melayu kuantan
pepatah disusun di balai adat
sejak dahulu malaka ternama
puan dan tuan masih teringat
walau melayu pemula bahasa
marwah negara dijaga hormat
sultan riau melancong ke johor
mencari permata intan baiduri
beribu pantun negeri kesohor
perawi gurindam raja ali haji
hulu riau hunian pulau beribu
rumah berdiam puak-puak hulu
tepak dan sirih pemula melayu
adab dan santun perisai maju
tanam bakau di selat panjang
benih dibelikan para saudagar
ingat melayu di tanjungpinang
purna perangai adab berakar

pada masa-masa bersiar di tanjung pinang, 2011



sang pengail

ada tekun yang ditabur
dalam setiap umpan dan
sepotong asa nantikan
tiba melongok riak muka
air dan gemericik kailkali
pada pinggiran rumpun aur
di sepanjang hulu wampu
yang sejuk dan menghijau
tenang dalam wajah kali ini
lalu cahaya mentari mengintip
petang dan menebar sabar
bagai menyulam mewarna
pesona pada sutra lembut
tak berserat di setiap denyut
waktu hadiri utuh diri
pada setiap episode
renung yang panjang
detil kail yang coba kau
pahami hingga lalu lalang
kanak-kanak jurung depan
umpan yang menarinari
oleh liku beningnya air
telah memecah seluruh
gundah kalbu yang dalam
melubuk tak berhingga

oh... kau ajari aku hidup
dari semesta sabar yang
tak terbilang lalu padukan
seluruh waktu pada bingkai
yang bijak: "waktu adalah
air yang mengalir di kali
dan riangnya kanak jurung
menikmati aroma bening
tak terlalu keruh oleh hijaunya
lumut di bebatuan setiap
rasa"
hmm... aku lalu menyurut
dalam seluruh saku kailmu

kepulauan riau, 24 oktober 2010


siapa melayuku?

lalu aku mencari tahu
dari rumpun-rumpun bambu
yang rimbun di gunung-gunung batu
tempat aksara ditulis pada pelepah kayu
dan tangkai daun-daun di belahan waktu

benarkah itu ibuku?

lalu aku mencari tahu
pada semua tarikan garis yang
pernah ada di bingkai ornamen kayu
yang menghitam pekat dilapisi waktu
sebelum prasasti diukir pada batu-batu

benarkah itu ibuku?

lalu siapa melayuku yang kunjung tahu
berabad-abad lalu datang menegur sipu
dari rahim seorang ibu menurunkan aku

lalu siapa melayuku yang bersenandung merdu
membujuk rayu dari masa-masa yang tiada ragu
persuntingkan ibu bagi melayu anak-anakku

siapa melayuku?

ibu yang menurunkan aku
ibu yang menurunkan anak-anakku

4 agustus 2010


bukan cermin hendak retak

andai kata hendak disangka
mengapa aksara sepi disapa.
lalu sudikah makna hendak diduga
bilamana kata tak turut menyerta
kadang cerita tinggal di pustaka-pustaka
jarang dicerna jadi kelakuan yang nyata
padahal moyang ajarkan luhur sediakala
bukan masa yang pergi tinggal sisa usia
biar masa membentuk jiwa perkasa
tapi bukan bimbang puncak berjaya
kalau kelak ingin jadi bangsa berjaya
mengapa warga tak luput diperdaya
terkesan cerita tentang saijah dan adinda
oleh kisah max havelaar seorang belanda
membetulkan harkat rakyat manusia semata
walau susah sengsara menghadap wilhelmina

26 september 2012


dari jendela apartemen tua

siang ini
langit melukis
garisgaris kristal tiris

seperti hujan

ia lalu menemukan
tubuhnya tertampung
helai daun

menetas tetes
dari selokan talang
serambi depan

awal gerimis itu

ia bersimbah garis
tiraitirai tipis
nan awan berbarisbaris

gerimis menipis
hujan melukis hari
dalam rindu tak berbagi
dari jendela apartemen tua
ada desah nafas yang menghela

seperti hujan
ia memecah awan
dari kesendirian di langit siang
membasahi jalan
menyepuh dedaunan
ranting dan dahan

siang ini
langit melukis
garis garis kristal tiris

seperti hujan

siang,21 mei 2013


menulis langit
buat : kawan zul (zulham), loper koran di kampus usu
32 tahun bergulat loper bersama sepeda botot

berkalikali tuan ini negeri berganti
mengulang janji untuk yang ini:
esok hidup lebih pasti
dari harihari yang dilalui
tapi ia tak pernah menanti
dan tak ingin mengerti
sebab hidup bukan mimpi
sebab setiap mulut ingin diisi

dari kursi yang tinggi
berita-berita dikemas setiap pagi
pembangunan berhasil di sanasini
gedunggedung menjulang tinggi
bukti kemiskinan teratasi
tapi, ia harus mencari sesuap nasi
di tengah hurahura korupsi
kadang huruhara demonstrasi
membawa berita setiap pagi
buat dibaca kaum akademisi

ia lelaki kota ini
berkacamata tebal selalu bertopi
tak bergeming dengan janjijanji
beritaberita yang ia bawa setiap pagi
kabar sukses negeri ini
mahasiswa ikon komoditi
hingga kampus jadi pusat industri
ia terus mencari sesuap nasi
sebab anak bini telah menanti
koran terjual perut terisi
ia bukan lelaki sekolah tinggi
tahu isi kepala pemimpin negeri
dengan segala taktik dan strategi
duduk di kursi tinggi bergengsi
mau dibawa ke mana ini negeri

ia sadar sepenuh hati
setiap pagi korankoran telah menanti
untuk diantar sebelum sarapan pagi
mengayuh sepeda melawan matahari

ia memang bukan lelaki terbuat dari besi
hidup meloper satu generasi
negeri sukses tak pernah ia cecapi
sebab keringat dan daki
setiap hari untuk penuhi janji
kulit hitam terbakar matahari
tak pernah membuatnya harus menagih bukti
dan tak ingin mengerti apa isi
beritaberita yang ia bawa setiap pagi
walau janji mainan ilusi tak ubah nasib ini

juni 2013
sebuah penghargaan buat kesetiaan pada hidup
janji seorang lelaki loper


pun

pun malam telentang
sepanjang jalan

langit merah
tak pernah lekang

cahaya rembulan
temaram di balik gaun awan

lelaki tak berparas
keras menyabit sangkur di trotoar

menikam pada langit
yang diam di atas tiangtiang keangkuhan

pun malam semakin berang
jalanjalan lengang

bintang kemerlap
seperti ingin pulang

perempuan dengan dahi birat
menghunus pedang

merobekrobek mulut malam
yang mengumbar kemiskinan tanpa kesungguhan

hanyut ke laut tanpa turut
dibawa ombak yang berpasangsurut

pun apa yang ingin dipuisikan
bila katakata telah hilang dari makna jeda

23 april 2013


perkusi malam

sekejap perjumpaan
dalam rintikrintik hujan
basahi pucuk dedaun
dari sela ranting pohon
dan pekatpekat debu
yang bertengger di tusam
malam ini lahirkan hujan
memainkan perkusi alam
pun denting dawai di aras
bertalutalu di atap rumbia
malam tak hendak berbulan
dan dinding kemarau selatan
bau debu menyeruak jalan
yang terbakar terik siang
menjala angin menahan dingin
uap jalanan merasuk tubuh
lalu sepi tanpa suara malam
hujan mengalir ke selokan
walau pekat debu jalanan
kata pun seakan harapan
walau sekejap perjumpaan

16 maret 2011


dan pulangkan aku pada laut

angin lelah lalu cakar aku
dari celah mangrove puih piuh
merumbai di pesisir kampung
istana lama hulu riau,
jejak kaki menghentak titi kayu
jalan setapak dan bau rumput
yang menggoda lantunkan
rampak melayu tua di bekas
reruntuhan istana lama sultan
di hulu sungai kampung rebah
guratkan jejak di ujung rawa
lalu aku meracau bercumbu bakau
cemburu pada elang sambar
anak belanak dalam cengkeram
kaki telanjang lalu terbang riang
tinggalkan rampak laut di pusar air
lalu riaknya berkerutkerut di susur
sungai laluan sampan nelayan
menunggu jingga mewarna senja
mabuk aku pada laut yang membentang
juta khayali ditangkup rayu pulaupulau
kata yang menyecahkan lidah makna pada
jilatan air jadikan api sukma membara membakar
jentera yang mengepul di atas singapura
lalu aku siuman
sebelum jingga memupus senja
di ufuk cahaya barat sana
jadikan laut sebagai tinta
menuliskan kisah melayu lama
yang tak habishabis digerus usia
dalam gurindam sejuta rupa
dan pulangkan aku pada laut
yang selalu mengasuh keluh
jadikan teguh

18 november 2010


derrida

kalau kutuliskan rindu hati
dengan katakata, aku mulai
berbohong pada dunia

kalau kutuliskan pikiran
dengan ungkapan kalimatkalimat
lalu aku mulai merintis jalan absurd
bagi siapasiapa

kalau kucetuskan kehendak diri
dengan wacanawacana
janganjangan aku sedang
memanipulasi apa adanya
menjadi ada apaapanya

sebab kata tak selalu ada dalam rasa
sebab kalimat bukan pikiranpikiran yang sesungguhnya
sebab wacana adalah perselingkuhan pikiran dan bahasa

lalu kutulis dengan apabila kata kehilangan rasa?
lalu kutulis dengan apabila kalimat hilang di persimpangan
makna?
lalu kutulis dengan apabila wacana jadi tak lagi dipercaya?

bukan kata yang tinggal jadi kerangka
bukan kalimat yang jadi tak terang nyata
bukan wacana yang mendedah pikiran dalam bahasa
sebab derrida membongkar tameng bahasa

12 agustus 2012


bila bersepeda sudah di hati

kutunggu minggu di ujung pagi
kawan seusia terus menanti
mengayun pedal mengurut nadi
jelajah kampung pinggiran kali

jalan tuntungan mulus sekali
berkelokkelok ke pajak melati
siapa pula tak meminang hati
bersepeda jadi tali silaturahmi

jauh bersepeda tanjakan didaki
peluh terpecah mengaliri sendi
dapat silaturahmi juga sehat diri
apalagi buat lelaki penjaga pagi

laju sepeda di hutan kanan kiri
hirup udara embun tanpa polusi
rute ditempuh dapat inspirasi
modal bangun pagi bahagia hati

semangat pagi rute lancung dicari
mengubah arah biar ganti berganti
kalau bersepeda jadi damai di hati
setiap pagi hidup jadi terus berarti

7 februari 2012


merantau

datang dari rahim
berayun di tangan ibu
tetas kasih titisan air susu
dari hari ke hari menyulam waktu
menimang jantung belaian rindu

usia meninggi lincah cecahkan kaki
awali diri dengan berlari, lalu pergi
ke dunia luar mencaricari
memulai perjalanan kaki
tinggalkan janji

18 maret 2011


merantau 2

pergi
pergilah belia
tinggalkan pusar
tanah asal kelahiran
ke jalanjalan menikung
dakian tak beraspal, lumpur
cadas bebatuan dalam pelukan
bukitbukit yang hilang meranggas
luruh dedaunan diguyur angin siang
bawa jejak kakikaki lelaki terarak awan
menyulam angan dan harapan di depan
temui badan bertuah nasib penuh pencarian
tiada lupa kampung semasa alam kian terkembang
pergi, pergilah siapa
lupakan pematang yang sebentar lagi dipenuhi ilalang
kemelut raut ladangladang kering kerontang jelang petang
walau resah terus menghadang, lalu bimbang datang
meradang
bawalah siang dalam pelukan , malammalam menyulam
harapan

25 menit sebelum 23032011


Merantau 4

mencari pecahan matahari di celahcelah
belantara gedung yang dingin dan beku
serpihan debu dan asap knalpot memoles
pagi yang sedang berbenah dari peraduan
kadang nafas dan bau keringat rantau
lekat di haltehalte, penuhi pedestrian
tanpa jejak kaki rembulan yang mengintip
dari gordin jendela rumah kontrakan tua
lalu masa menyulam makna dari setiap
tetes hujan yang datang menemani alam
begitu riuh rendah suara di sekitar tubuh
namun tak satu pun merias raut, menyapa
kota yang hilir mudik dijejali ambisiambisi
tapi dengan laku kerja tekateki buat pundi
kembara kata menyelinap ke dalam benak
bertanya : "siapa aku dalam jagat tatawaktu?"
apa yang kau cari pada siang hingga tubuhmu
berdebu, penuh luka dan dekil ke ujung jalan?
harihari pun telah jatuh ke tangantangan
tak bertubuh manusia gen adam dan hawa
para pendusta mulai meracun pikiranpikiran
para petapa dan katakata merias pesona
kasta pada seolah kitabkitab yang dijanjikan.
seolaholah ada kitabkitab yang membahagiakan
jejak waktu yang mengejar entah mengapa
terus mengembara dalam duka dan nestapa
mencari kata dan merawat angkaangka jadi
kasta dalam rumahrumah tak berjendela
dan berpenghuni sesungguhsungguh manusia
mengapa kuasa begitu bermakna. butakan
hakikat yang ada. merantau membuka sukma

31 maret 2011


hikayat pejalan

ia tetas dari tetes hujan
yang memecah awan
langit yang berselendang
tiga warna

membasahi bumi
tumbuhkan pepohon
dan berpinak hewan
dalam garis lurus, lengkung
membentang ruang

dari bukit-bukit tua
kawah letusan gunung toba
ia bercerita tentang suara-suara
sepi yang membentuk kata
sepi yang mengalirkan makna
sepi yang meruwat pora-pora
sepi pula yang menumbuhkan hariara

ia tetas dari tetes hujan
yang dibawa angin dari tenggara
langit cuma tiga warna
ketika awan memecah membasah rura

dari batu-batu tua
ia menulis cerita tentang toba
dalam lak-lak beraksara
doa-doa, kerja dan ajaran setia
yakin pada waktu, dosa dan usia

dari ornamen di rumah bersama
ia melukis makna tanda-tanda hewan
dan warna-warna pilihan tiga warna
alam yang meriwayatkan asal usul kata

dari bahtera yang melarung danau
ia menghitung waktu dengan memutar
sepi yang melahirkan huta
sepi yang melahirkan marga
sepi yang menabuhkan suara-suara
dalam gondang, hasapi, sulim dan legenda

17 maret 2013


lelaki peniup sulim

ia datang dari langit yang teduh
ia datang dari riwayat oda yang tumbuh
di batas rumpun-rumpun aur sepanjang huta
meniup sulim memainkan bunyi-bunyi umpasa
di tanah batak sebagai somba debata

lelaki yang sederhana
lelaki yang ada dari orang biasa-biasa
menyalin pesan-pesan dari jejak bukit toba
melukis asa pada jendela dari setiap tanda-tanda suara
yang setengah terdengar dihalau tebing hariara
dari sisa cemara yang menghalau rindu tanah ibunda
sepanjang danau membentang selatan ke utara

irama sulim membahana dalam sukma
mengusung rindu anak rantau dari legenda raja-raja di kota
haru biru tebing-tebing curam penyangga sepanjang tapian toba
bersenandung "andung-andung" ketika senar hasapi dipetik begitu saja
bukan karena matahari tak lagi memantul cahaya kebeningan toba

lelaki yang bersahaja
lelaki yang acap kali merawat bunyi yang telah sunyi
dan menyulamnya dari ranting-ranting yang jatuh di tepi-tepi
terdengar lenting berdenting di daun-daun rerumputan kering
bukit-bukit pangururan, rurasilindung dan hamparan porsea

ia anggun menyapa telinga sesiapa
memaknai kantata dalam syair-syair oda
dari tanah yang meriwayatkan si singamangaraja
dari desau angin yang bercerita tentang bakara
ia lelaki peniup sulim yang terus menjaga suara
untuk hikayat dan legenda hatani debata

ia penyulim yang masih setia
pada bumi dan mata air yang masih bersuara
walau air mata pora-pora yang tinggal di kolong-kolong keramba
kering ketika senja tiba, menanti malam-malam diam tanpa suara
ia merajut bunyi di tengah suara-suara yang serak dan luka

15 hb doea @doeariboutigabelas


inang
:buat inang, istri pejuang di medan perang

masih kuingat inang...
ceritamu itu terngiang di telinga
ketika seorang lelaki gagah
datang dari kampung seberang
ingin meminang walau cuma
mahar kain panjang
yang diselempang
pada pinggang
dia datang dalam seribu bayang
rasa di angan memutik lalu taburkan asa
semerbak merona pada holong ni roha
di tangan merekah hati bagai mawar mekar
menghias jambangan di taman halaman
yang kautanam aneka kembang
dekat rumah berkolong lapang
di sudut jalan bersimpang
batangkuis, deli serdang
lalu mawar mekar di bawa pulang
ke kampung seberang, tanah lelaki
peminang, luat tapian nauli
bagas ni oppung, sisi kiri mesjid
belum sampai titi pinangsori
dia datang dari seberang
seorang lelaki serdadu perang
berwajah garang
pergi ke medan juang
tak berkabar pulang
hingga terdengar hilang
tinggalkan inang
membanting tulang
demi semata wayang
masih kuingat inang...
manetek ilu mi
saat cerita itu terkenang
pada lelaki peminang yang
terngiang hilang di medan juang
tak berkabar pulang
hingga petang menjelang
jangan kau hapus air mata itu
biar dia mengalir menyejuk
mawar yang dulu mekar
selalu menghias jambangan
di taman halaman yang sempat
kautanam aneka kembang

4 desember 2010
holong ni roha: kasih di hati
bagas ni oppung: rumah kakek
manetek ilu mi: menitik air matamu


pantun kota

terbang rendah si burung puyuh
hinggap di dangau ke hilirhilir
datang sudah musim tengkujuh
jalan berpulau digenang banjir

2014


pulang ke hulu

dari dahanmu
yang rendah daun kupetik

kugulung seperti tabung
mirip kerucut
kupincuk pakek tusuk
lidi runcing menusuk
mengikat rusuk

kutampung pecahan air
pada pelepahpelepah pisang muda
sisa hujan kemarin petang
pula
sebelum senja mengantar malam yang hendak
bersemuka

air kusimpan dalam ruas
bambubambu
kugantung di bahu
dengan tali pengijuk sapu
siapa tahu?
dahaga tiba sebelum ke hulu

2014


pulang ke hulu 2

dengan berakitrakit aku kembali ke ibu yang
melayu
ke batubatu dan bambu
yang turuntemurun menjaga malu
...
perempuan jelata
yang bersahaja bukan dari tangga istana

2014


pulang ke hulu 3

berenangrenang aku ke tapian nauli
susuri jejak bapak yang batak
...
darah lelaki serdadu yang hidup keras
mati karena pilihan tegas

2014


pesan ateh

adat pantun bersandi bunyi
sampiran dirangkai bertauttaut
petuah disusun rangkai padi
alam berhimpun di jamu laut

hendak ke laut bulan purnama
usah dilepas biduk tertambat
pepatah apa nak diberi nama
buat negeri yang tak dihormat

takzim syair bermuka muka
setali makna tersusun tanda
mantra dibaca arah samudera
kuasa manusia tiada berguna

pilihan kata mengapa disengaja
biar sodap kata tu kugak dirasa
andai niat hati ondak berkuasa
usah durhaka pada suarasuara

riuh gelocak melandai pantai
anak laut memungut kepah
banyak sudah bidal teruntai
adab di kata beda ditingkah

bila hendak menulis kata
datanglah awak ke puakpuak
biar gurindam warna india
tetap melayu pembuka tepak

tanah melayu pusaka lama
dari madagaskar ke andalusia
hilang malu, syahwat berkuasa
jadi pemimpin cuma cobacoba

11 agustus 2013


Tentang Zulkarnain Siregar
Zulkarnain Siregar lahir di Medan, 1 Januari 1961. Kuliah di IKIP Medan, FS USU, dan Psikologi UMA. Mengajar di beberapa beberapa perguruan tinggi. Menulis di rubrik  budaya harian Waspada sejak 1961. Kumpulan esainya: Coretan-coretan Kebudayaan Noktah (1986). Kumpulan puisinya: Selendang Berenda Jingga (2011) dan Pulang ke Hulu (2015). Juga menulis di beberapa antologi puisi bersama. Kadang memakai nama pena Lela Jingga (Lentera Langit Jingga).


Catatan Lain
Irwansyah Harahap menulis Sepeda: Perjalanan Mata, Telinga dan Kata dalam epilog buku ini. Ia memberi kesaksian:“Dengan sepeda ia mendengar apa yang dilaluinya. Dengan sepeda ia melihat apa yang dijalaninya. Dengan sepeda pula ia menuliskan bait demi bait puisinya. Di beberapa puisi ia menceritakan satire tentang kehidupan kota dan manusianya. Di puisi-puisi lain ia bercerita tentang prilaku hedonisme dan hipokrasi bangsanya. Ia juga menorehkan ingatannya pada tokoh dan filsuf masa lalu yang mungkin telah menginspirasi hidupnya. Puisi-puisinya juga tak lepas dari cerita tentang alam, bahasa dan manusianya. Ia mengembalikan sebuah tafsir dan perenungan tentang “ibu” sebagai sebuah kata yang melampaui ujaran keseharian.”

            Dan ini yang berbeda, penyair bisanya memajang foto yang cenderung seragam satu sama lain (saya kira). Barangkali ini yang pertama bagi saya, melihat di sampul belakang buku, penyair bergaya dengan sepeda gunungnya, lengkap dengan helm dan perlengkapan pelindung bersepeda. Sedang tersenyum lebar. Horas!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar