Laman

Tonggak

Rabu, 02 Agustus 2017

Afrizal Malna: KALUNG DARI TEMAN


Data Buku Kumpulan Puisi

Judul: Kalung dari Teman
Penulis: Afrizal Malna
Penerbit: PT Grasindo, Jakarta
Cetakan: I, 1999
Tebal: x + 158 halaman (85 puisi)
ISBN: 979-669-547-2
Kata penutup: Dami N. Toda
Penyunting penyelia: Pamusuk Eneste
Penyunting naskah: Djony Herfan & Tri Marganingsih
Desain Sampul: A. Kunta Rahardjo
Perwajahan isi: Suwarto

Beberapa pilihan puisi Afrizal Malna dalam Kalung dari Teman

Tanaman Tahun

Satu dua orang datang satu dua orang pergi
Pohon tumbuh sendiri, sapi berjalan sendiri
Kemarin aku berjanji menjengukmu
Nonton bersama
Satu dua orang datang satu dua orang pergi
Tak ada halaman lain pada tubuhmu
Waktu telah jadi bentangan kain
Potongan-potongan baju, ke Selatan ke Utara
Jam 10 malam, toko-toko telah tutup
Satu dua orang datang satu dua orang pergi
Siapa yang mau menunggu di sini
Orang-orang berlalu
Halaman rumah belum disapu
Semua orang datang semua orang pergi
Besok aku berjanji menjengukmu
Tanpa dirimu lagi
Di situ

1983



Karikatur 15 Menit

Karikatur 15 menit membawaku berpose, seperti raja-
raja telanjang dalam baskom. Lalu gadis-gadis 15 menit
berlengketan dalam kaleng-kaleng minum. Aku bunting
dalam percintaan ini, seperti kuda beranak dalam lemari
es. Lalu aku potret diriku jadi karikatur 15 menit. Studio
foto meledak, studio foto meledak, wanita-wanita cantik
lahir setiap 15 menit. Tak ada lagi kecantikan untuk
dipotret, karena setiap 15 menit layar diganti. Tak ada lagi
peristiwa untuk dipotret, karena setiap 15 menit orang
jadi karikatur.

Karikatur 15 menit mengubah diriku jadi menu
makanan, merek sabun mandi. Lalu dunia datang
padaku seperti kerbau goyang. Sebelum berangkat
menguap jadi gas atau busa sabun: 15 menit aku merdeka
sampai mati.

1987


Arsitektur Hotel

Hotel sepi. Hotel mati. Seekor burung dari kamar ke
kamar, menyileti cermin. Dan batu-batu membuat
bangku, dan batu-batu membuat pintu, dan batu-batu
membuat tamu. Dada. Telur-telur mati mengisi hotel. Beri
aku orang.

Hotel mengubah orang-orang datang jadi orang-orang
pergi, menyetir mobil sendiri, menyetel radio sendiri,
memanggil burung-burung terbang, menghias sunyi di
setiap telur. Maka, dada, kupu-kupu bersarang jadi
pohon mati, burung-burung terbang jadi bukit mati. Ia
bangun manusia pecah.

Ini jam hotel. Dada. Waktu sedang membuat sarang,
membuat telur. Setelah semua janji dianggap tidak suci,
angin itu jadi hotel, semangka itu jadi hotel, sapi itu jadi
hotel. Maka jendela-jendela hotel, Dada, menunggu
semua yang pergi, menunggu semua yang lari,
menunggu semua yang tak setuju.

Biarkan tamu-tamu datang. Dada. Memecahkan telur
dari kamar ke kamar. Memecahkan telur dari kamar ke
kamar.

1984


Dada

Sehari. Waktu sama sekali tak ada, Dada. Bumi
terbaring dalam tangan yang tidur. Ingin jadi manusia
terbakar dalam mimpi sendiri. Sehari. Semua terbaring
dalam waktu tak ada. Membaca, Dada. Membaca kenapa
harus membaca, bagaimana harus dibaca. Orang-orang
terbaring dalam tubuhnya sendiri, orang-orang terbaring
dalam pikirannya sendiri. Mengaji, Dada. Mengaji.
Keinginan jadi manusia, menulis dan membaca di tangan
sendiri.

Sehari. Waktu tidak menanam apa-apa, Dada. Hanya
hidup, hanya hidup membaca dirinya sendiri; seperti
anak-anak membaca, seperti anak-anak bertanya.
Menulis, Dada. Menulis kenapa harus menulis,
bagaimana harus ditulis. Orang-orang menjauh dari
setiap yang bergerak, Dada; seperti menakuti setiap yang
dibaca dan ditulisnya sendiri. Membaca jadi mengapa
membaca, menulis jadi mengapa menulis.

Sehari. Aku bermimpi aku jadi manusia, Dada. Sehari.
Dada. Sehari.

1983


Orang-orang Jam 7 Pagi

Lemari makan dan atap rumah, ribut sekali semalam.
Sisa-sisa mie goreng seperti serakan orang bunuh diri.
Tikus mengundang teman-temannya di situ, membuka
lemari es, membayangi selokan got pada irisan mentega.
Tak pernah kutahu kebahagiaan dan kesedihan mereka:
Aduh! Ribut sekali kalimat seperti ini. Lalu sikat gigi,
suara air kamar mandi, mulai membuka pintu dan
jendela-jendela pagi.

Selimut masih membayangi sebuah kota, bersama
bubur ayam, mentega dalam roti, dan air mendidih di
atas kompor. Sepatu mereka mulai berbunyi, menjauh
dari teras rumah, bau sabun dan shampo pada rambut
basah. Suara ribut di meja makan mulai berubah jadi asap
knalpot. Aku adalah 3 km yang lalu dalam bis penuh
sesak, menelusuri koridor-koridor yang menyimpan
betismu. Lalu menghilang di balik lift. Aih! Tak ada lagi
masyarakat, pada telepon yang kau angkat.

Jam 7 pagi aku antar tubuhku dalam kristal-kristal
vitamin C, lembar-lembar fotocopi: tolong cumi kering
setengah kilo; minyak goreng satu botol; bawang putih:
siapa yang telah menyusun pagi jadi seperti ini?
Suaranya, seperti siaran berita yang menggebrak meja.

1995


Usaha Menjadi Ibu Rumah Tangga

Aku pulang malam sekali. Istriku terbangun,
membukakan pintu. Ia tersenyum. “Tak apa, kalau tak
ada siang di sini,” katanya. Aku segera meletakkan tas.
Aku lihat matanya, sebuah pemandangan baru saja
mendapatkan sinar. “Bisakah besok kamu jadi ibu rumah
tangga,” katanya.

Pagi sekali aku bangun. Membereskan seprai.
Memasak air. Memandikan anak. Menyapu. Menyusun
pot-pot tanaman. Dan banyak urusan lagi untuk menjadi
seorang ibu. “Telepon aku jam 12 siang.” Masakan apa?
Semuanya aku kerjakan, seperti berjalan dari satu kota ke
kota lainnya. Nonton film. Memetik jambu. Ada ikan dan
kelinci di dapur, pemandangan putih ketika membuat
susu. Hingga aku hamil, melahirkan diriku sendiri,
membesarkannya. Dan mengerti, kenapa ia memanggil
“ibu” kepadaku.

Aku pulang malam sekali. Istriku terbangun,
membukakan pintu. Ia tersenyum. “Kenapa kamu
menjadi seorang ibu seperti itu,” katanya. Aku peluk
bahunya, seperti sebuah kamar, dengan jendela
menghadap ke bukit.

1997


Pelajaran Bahasa Inggris tentang Berat Badan

Maaf, berapa berat badanmu? Sebentar saja, kepalaku
satu kubik pasir. Tanganku 60 cm. Permisi, berapa jam
berat badanmu? Bibirku tebal. Tentu, kakiku coklat,
seperti bangunan pemerintah. Berat badanmu
bagaimana, please. Namaku Ahmad, tolol! No, kepalaku
satu kubik pasir. Ada saluran got. Irisan daging di
wastafel. Tunggu. Kenapa tanganmu keras? Seperti
kekuasaan. Kamu punya kebudayaan, ya? Wajahmu
merah. Anda suka juice tomat? Maaf. Berat badanmu
siapa? Kakiku ada di situ, tolol! Please ... please. Temani
badanku. Jangan begitu. Satu karung pasir untuk apa?
Sorry ... di mana berat badanmu? Maaf, jangan pegang
hidungku. Kekasihmu mana? Wortel dan buncis sudah
direbus. Permisi, sudah mendidihkan air itu? Bulu kucing
di matamu lucu, ya. Beautiful. Pakai saja baju batik itu.
Nanti pacarku curiga. Jangan lupa, namaku Ahmad!
Idiiiih, masa tidak pakai sabun? Aaaaaaa, kok kupingnya
seperti itu? Maaf, pernah melihat berat badanku?  Mau
membuat esei, ya? Tentang kebudayaan? Analisa politik
dan ekonomi, ya. Sakit, dong, tanganmu.

1995


Fotokopi Orang Ramai

Tak ada lagi yang merasa perlu meniru jadi hujan,
kalau tak siapa pun perlu berbeda. Semua yang dilihat
telah mengenakan mantel, payung, dan sepatu
berlumpur. Segala yang besar telah tumbuh, meniadakan
arti pada hujan yang turun.

Selalu seperti itu peristiwa berlalu melampaui saya,
seperti menanam batu di depan pintu. Saya antar diri
sendiri ke situ, di antara orang-orang ramai bergerak,
mengisi dekor-dekor kota yang bukan miliknya. Melihat
hari seperti etalase menyimpan lenganmu.

Setiap saat saya harus meyakini kembali di situ, setiap
benda yang bergerak di sekitar saya: Meraba dinding,
memukuli tiang listrik, dan mendengar dentang jam
hanya untuk tahu: Di situ orang datang menuju dirinya
sendiri, seperti menuju ke sebuah daerah yang telah
lampau.

Saya orang ramai yang ditulis oleh peristiwa di situ,
telah jadi bahasa yang menafsirkan dirinya kembali,
ketika jalan raya menjemputnya pergi.

1987


Jam Kerja Telepon

Ini bicara dengan Merlin. Saya Merlin. Tetapi Merlin
tak ada di mana-mana. Merlin sedang jadi bintang.
Merlin sedang jadi bintang. Saya ciptakan orang-orang
dari obat tidur. Tetapi suaramu parau, Merlin. Saya
menelanjangi diri sendiri, seperti menelanjangi dunia
yang minta saya jadi Merlin.

Tetapi Merlin tak ada di mana-mana, seperti dunia tak
ada di mana-mana, seperti orang tak ada di mana-mana.
Merlin telah jadi pamflet dari keinginan jadi manusia.
Tolong sambungkan saya dengan dunia mana pun,
Merlin. Saya Merlin. Tetapi Merlin tak ada di mana-mana.
Merlin sedang jadi bintang, mengubah dunia jadi obat
tidur. Kau menangis, Merlin. Saya menyaksikan orang-
orang lahir dari telepon. Mereka memaksa saya jadi
Merlin. Mereka memaksa saya jadi Merlin. Dan saya
meneguknya dalam putaran: Pil!

Saya mencium bau busuk dari telepon. Saya
kehilangan kontak. Saya tercekik. Saya bukan Merlin.
Merlin telah jadi ibu, Merlin telah jadi ibu, dalam TV-TV
merah kuning hijau biru dan sepi.

1986


Dalam Gereja Munster

Pintu tebal gereja Munster, melepaskan tubuhnya di
tepi Sungai Rhein, di Basel. Tiang-tiang meninggi,
membuat malamnya sendiri. Kursi-kursi dingin,
membuat ruangnya sendiri juga. Bukankah telah aku
tinggalkan rasa dingin itu, di Schilthorn, bentangan salju
di puncak-puncak air terjun, menurunkan sebuah kota
dari gumpalan-gumpalan es. Langit putih kelabu telah
disalibkan dalam gereja tua itu, lenganku terguncang.
Aku tersedu, bertamu padamu.

Masih ada donat di tangannya, jari letih ungu, dan
peta lipat  menjatuhkan batu-batu. Temanku hilang
dalam kesedihan: Selamatkanlah mereka yang bercinta,
katanya. Lalu aku sentuh, bahunya jadi tembok sunyi 
bertuliskan: “Amis raus! – Pergi orang-orang Amerika!”
dengan huruf-huruf gemetar, di gereja St Marien. Aku
tunggu lagi dia, di stasiun bawah tanah. Tubuhnya hotel
yang sepi, poster, dan orang-orang bergegas ...

Kereta telah disalibkan dalam gereja tua itu, berderak
lagi. Membawa remaja-remaja bercumbu, dan hari esok
putih menggumpal. Aku tersedu. Lonceng-lonceng gereja
berdentangan lagi memanggilmu.

Sejak paskah itu, aku tahu, kita tak perlu bertemu lagi ...
Kursi telah malam. Piring telah malam juga.

1993


Makan Malam Bersama Ama dan Ami

Ama dan Ami memesan rendang. Saya memesan gulai
tunjang, satu gelas teh manis. Di luar, gerimis memotret
kota Padang. Seperti kereta batubara berjalan sendiri,
membuat lembah dari rel-rel besi dan gerobak sapi. Tak
ada partai sosialis dan Masyumi di sini, juga seorang
kemenakan yang hilang di kaki lima. Edy sedang
mencukur bulu hidung waktu itu. Noni memasak telur
dadar. Tiba-tiba dua gadis kembar berusia 5 tahun,
mengucapkan dialog-dialog peri dari negeri Hamlet. Ada
es krim warna-warni pada tawa lucu Ama dan Ami,
seperti tanah air yang lain. Mereka memang pernah jadi
peri dalam pertunjukan itu, meramal tragedi Hamlet, dari
kekuasaan paman dan ibu. Lalu mereka berlari-lari kembali
ke masa kanak-kanakku, yang menunggu di depan pintu.

Waktu itu saya berusia 5 tahun, Ama dan Ami sedang
minum susu di pasar Bukittinggi, mengumpulkan
bangkai-bangkai rumah dari Kota Gadang: “Para
perantau itu,” kata ibuku, “seperti rumah-rumah Minang
yang menusuk telapak kakimu.” Lalu seekor anjing
berlari dari ujung jalan, seperti negeri berada dalam
bahaya perang PRRI. Tahu, politik tidak ikut campur
mengatur kamar mandi saya.

Tetapi tutup pintu itu!

Angin dingin di Padangpanjang, kabut dalam sorotan
lampu senter, membuat Ama dan Ami gaduh dalam masa
kanak-kanakku. Mereka memakai sepatu ayah, memakai
topi ayah, memerankan Hamlet yang terusir. Kamar
hotel, yang berdiri di depan kantormu, Edy, gemetar,
memotret negeri ibu sendiri lewat siaran radio.

1994


Jamal Menari

Jamal menari. Tangannya gemulai, seperti bunga
dirangkai seorang gadis. Tetapi matanya penuh pecahan
telur: “Inlander dilarang masoek,” katanya. Ada yang
bergerombol di luar sana. Konservatif. Tubuhnya cairan
otak dalam botol, dan semacam minyak tanah bercampur
air. Kemudian orang-orang asing datang, mengajar
menari. Memasang pengeras suara di gedung-gedung
pemerintah. Tetapi ketika aku mulai menari, menabrak-
nabrakkan tubuh pada tembok, aku lihat pengeras suara
pecah di atas kepalamu: Aku putus asa untuk jadi orang
asing, juga putus asa untuk jadi inlander.

Jamal, temanku dari Madura itu, kemudian berdoa
dengan baju tebal yang gemetar, seperti Abu Nawas
menghadap raja: “Yang mulia, aku terlalu lemah untuk
jadi orang asing, tetapi juga terlalu lemah untuk jadi
inlander.”

Di tengah pesta, dari orang-orang yang merasa dirinya
pemberontak, aku kena diare. Tarianku jadi kacau, seperti
pengeras suara yang pecah di atas kepalamu itu:

“Inlander dilarang masoek”. Aku bersumpah: Dunia
konservatif sedang memakan jantungmu.

1995


Saya Menyetrika Pakaian

Dia adalah deru kereta .... Seorang wanita Indonesia di
Bern, membuat bahasa aneh, dari jaket kulit dan
pembebasan visa: “Suami saya seorang Itali. Tetapi saya
dari Gunung Kidul.” Di Sungai Melezza, batu-batu
berkaca menghanyutkan kembali lukisan-lukisan Bacon,
jadi bangkai-bangkai rumah Abad 20. Rasialisme telah
tertanam dalam warna kulitku. Dia adalah sapi dan sepeda,
di antara gereja, kafe, dan batang-batang rel kereta.

Perkenalkan, namaku Muhamad Amin, dari Irak. Tapi
sebuah negeri telah membuatku hidup hanya dari wortel,
body lotion, dan paspor yang menyimpan keresahan para
imigran. Dia adalah seorang Jerman, yang belajar
tersenyum dari tomat-tomat yang tumbuh di balkon.
Danke. Revolusi Iran telah mengusirku hanya karena
teater. Lalu para seniman menolak setrikaan di Monte
Verito. Dia adalah ... tiba-tiba ingin jadi makhluk danau
di Ascona. Mengirim bukit-bukit berhimpitan, tanpa
Hitler, Madonna, atau si jenggot dari Trier: Ini tembok
untukmu, Berlin, jangan sedih.

Tetapi bank-bank telah menanam Suisse, di antara
kantor-kantor pemerintah, seperti bunga di kamar mandi:
Siapa yang mau bunuh diri dengan keindahan. Wi, wi ...
mari. Dia telah membuat sebuah negeri dari perahu
penyeberangan, di sepanjang Sungai Rhein. Tetapi di
sebuah pesta ulang tahun, dia adalah sejumlah pelukan
bernyanyi ... oh, my papa ... “Namaku Lili dari
Madagaskar,” dalam bahasa Perancis yang tercekik.

1993


Kalung dari Teman

Hari ini saya sedang bahagia. Saya duduk di sebuah
restoran dengan seorang teman lama. Kami berusaha
saling membagi cerita. Tapi kemudian saling tahu, kami
tetap berada dalam kereta berbeda. Dari jendela kami
hanya saling melongok. Kenapa tidak bisa saling berbagi
halaman? Ada nomor teleponnya dalam kantong baju
saya, sebuah sungai di bawah bantal. Tiba-tiba waktu
seperti binatang buas. Taring-taring bahasa mengintai
kami dari balik jendela.

Makanan yang kami pesan telah datang. Ada kuburan
waktu di sana, jam 12 malam dalam tubuh saya. Siapa
yang telah mati dengan cara begini? Pelayan restoran
meletakkan lembaran nota di meja makan kami, tak
peduli dengan kuburan itu. Di luar saya lihat sebuah
bangunan baru telah berdiri lagi. Saya menggapai-gapai
dirimu, seperti bahasa yang mengubahmu terus-
menerus.

Saya genggam tangannya, teman saya seperti gerimis
di luar jendela. Membasahi daun-daun di halaman,
membuat pot untuk waktu. Di luar, kereta telah berlalu,
meninggalkan kami di peron yang sama. Tetapi matanya
seperti ingin memanggil seluruh orang, ingin
membenarkan dirinya tumbuh bersama waktu. Ingin
melihat air mata kata-kata. Ingin membuat puisi dari
genggaman lengan bayi. Melihat taring-taring bahasa
membuat untaian kalung permata di leher kami.

Lalu saya lihat asap putih keluar dari mulut saya.
Menjadi api. Membakar apa saja di sekitar saya. Api itu
ikut membakar kami berdua. Saya dan teman saya
menjadi kalung api. Lalu pergi meninggalkan restoran
itu. Restoran yang telah kami bakar. Api bahasa terus
berkobar-kobar, seperti tanaman api, yang sepanjang
masa ingin kau padamkan

1997


Kucing Berwarna Biru

Sudah tiga malam ini seekor kucing sakit, selalu tidur
di depan pintu rumah saya. Ia mengeluh dan mengerang.
Suaranya seperti keluar dari rumpun gelap di halaman
rumah. Kadang seperti makhlus halus yang sedang
membuat perjanjian dengan pohon nangka di halaman
rumah saya. Orang bilang kucing itu kena teluh. Saya
mencoba mengusirnya. Tetapi kucing itu menatap saya
seperti mata ibu saya. Katanya, dirinya adalah roh saya
sendiri yang sedang sakit. Ia mohon agar bisa tidur
dalam kamar saya. Saya tak tega mengusir kucing itu.
Bulu-bulunya seperti kenangan saya pada kasih sayang.

Malam berikutnya saya mulai terganggu. Keluhnya
berbau darah. Ia mulai menginap dalam pikiran saya.
Setiap malam, seperti ada rumpun gelap dalam diri saya,
menyerupai kucing yang sakit itu. Suara gaib di depan
pintu. Setiap malam, seperti ada pohon nangka yang
berjalan-jalan dalam tubuh saya, menyerupai kucing
yang mengaku sebagai roh saya yang sedang sakit itu.
Akhirnya saya membunuh kucingitu. Menjerat lehernya
dengan tali plastik. Matanya seperti kematian yang
mengetuk kaca jendela.

Besok pagi saya temukan mulut, telinga dan lubang
hidung kucing itu telah mengeluarkan tanah, berwarna
merah. Rumput-rumput tumbuh di atasnya. Saya lihat
ikan-ikan juga telah berenang dalam perut dan tengkorak
kepalanya. Dan seperti seluruh surat kabar, matahari
tidak terbit pagi itu.

1997


2 X 2 Meter

            Di sini ada pohon keramat, memancarkan air. Satu-
            satunya sumber air bersih di kampung ini. Anak-anak
            menangkap ikan . . . dalam lumpur.

Besok, jam 8 malam, kami akan membuat pertunjukan.
Tentang kota dan kampung yang padat. Inem, Yana dan
Kunah, bekerja sebagai buruh jahit. Cacuk menjual
bakmi. Jangan lupa selametan nanti malam. Edy baru
lulus sarjana. Dedy tidak tinggal lagi bersama orang tua.
Kuro tidak lagi mencari perempuan dari desa. Besok, jam
8 malam, kami akan membuat pertunjukan. Tentang
puskesmas di antara kubangan lumpur. Sumbangan mesjid
dan setoran keamanan toko-toko. Ke manakah Wardah
mereka bawa? Mulut kami seperti massa di loteng-loteng
berhimpit. Langit dari seng dan plastik bekas. Iwan dan
Firman sakit perut. Ada golok tumpul di bawah bantal.

Besok, jam 8 malam, kami akan membuat pertunjukan.
Tentang hati kami yang tak bisa dibakar. Ketakutan telah
berhimpitan di setiap tikungan gang. Orang-orang dari
desa terus datang ke rumah kami. Tangga kecil dari kayu,
tempat memasuki kota. Besok, jam 8 malam, kami akan
membuat pertunjukan. Tentang keputusan lurah. Di
kamar mandi masih ada sisa banjir, dan iuran sampah.
Sepatu dan sandal berserak di pintu. Bersama ibu-
ibu menggendong anak, sambil mencuci baju-baju kotor,
sambil memasak sayur, sambil memikirkan nasib suami,
sambil ke pasar membeli ikan asin.

Besok, jam 8 malam, kami akan membuat pertunjukan.
Tentang hati kami yang tak bisa digusur. Bau telur
digoreng dan bunyi kipas angin. Kota terus melangkah,
ingin merebut kamar kami dan sisa udara pengap. Nama-
nama kampung telah berubah dari Tanah Sereal, Roxi,
Jelambar, dengan taksi ke Bintaro, Pondok Indah dan
kondominium. Kisah kami tinggal 2 X 2 meter.

Jangan lupa, Sumi, Cacuk. Besok kami akan membuat
pertunjukan, jam 8 malam. Tentang Tini yang hatinya
terbuat dari 2 X 2 meter. Menunggu pohon keramat.
Menunggu sumber air bersih. Kota telah berjalan. Jauh.
Tak pernah puas. Tak pernah memberi pemandangan lagi
untuk hatinya. Besok, jam 8 malam, kami akan membuat
pertunjukan. Jangan lupa.

1997


Tentang Penulis
Afrizal Malna lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Pendidikan terakhir: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (tidak selesai). Sejak 1983 hingga 1993, ia banyak menulis teks pertunjukan TeaterSae. Tahun 1995 membuat pertunjukan seni instalasi (Hormat dan Sampah) bersama Beeri Berhard Batschelet dan Joseph Praba di Solo. Tahun 1996 koloborasi pertunjukan seni instalasi Kesibukan Mengamati Batu-batu, dengan berbagai seniman dari berbagai disiplin di TIM Jakarta.
Ia pernah mengunjungi beberapa kota di Swiss dan Hamburg, memberikan diskusi teater dan sastra di beberapa universitas dalam rangka pertunjukan Teater Sae (Mei-Juni 1993) yang mementaskan naskahnya. Baca dan workshop puisi di Den Haag dalam forum penyair Indonesia-Belanda (1995), memberikan diskusi dan baca puisi di beberapa universitas di Kln, Bonn dan Hamburg (1995), dan mengikuti Poetry International Rotterdam (1996). Karyanya: Abad Yang Berlari (1984; mendapat penghargaan Hadiah Buku Sastra Dewan Kesenian Jakarta, 1984), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995; mendapat penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996), dan Biography of Reading (1995).
Karyanya yang lain dimuat dalam antologi Perdebatan Sastra Kontekstual (editor Ariel Heryanto, 1986), Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern 4 (editor Linus Suryadi, 1987), Cerpen-Cerpen Nusantara Mutakhir (editor Suratman Markasan, Kuala Lumpur, 1991), Dinamika Budaya dan Politik (Fauzie Ridjal, 1991), Traum der Freiheit Indonesien 50 Jahre nach der Unabhangigkeit (Hendra Pasuhuk & Edith Koesoemawiria, Kln, 1995), Ketika Warna Ketika Kata (Taufiq Ismail, ed.all, 1995), Pistol Perdamaian: Cerpen Pilihan Kompas 1996 (1996), Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan: Cerpen Pilihan Kompas 1997 (1997), Frontiers of World Literature (Iwanami Shoten, Publishers, Tokyo, 1997; dalam bahasa Jepang), Poets, Friends Around the World (Mitoh-Sha, Tokyo, 1997), dan Menagerie 3 (John H. McGlynn, 1997).
Penghargaan lain yang pernah diperolehnya: Kincir Perunggu untuk naskah monolog dari radio Nederland Wereldomroep (1981), Republika Award untuk esei dalam Senimania Republika harian Republika (1994), dan esei untuk 30 tahun majalah sastra Horison (1997).


Catatan Lain
Buku ini saya beli dari Bang T. Sandi Situmorang, penulis Sumut yang tulisannya sering nangkring di koran Analisa, dengan kondisi bekas perpustakaan. Sebelumnya saya memang sempat penasaran dengan buku puisi Afrizal. Saya mencari di beberapa online shop, namun selalu saja stoknya habis. Dan suatu waktu ketika bermain fb, tanpa sengaja saya melihat di beranda Bang Sandi mengunggah foto-foto buku bekas jualannya, salah satunya buku Kalung Dari Teman ini. Maka tanpa pikir panjang langsung saja saya beli, barengan buku Ups! karya Rieke Diah Pitaloka dan Baju Bulan karya Joko Pinurbo.
Dalam kata penutup, Dami N. Toda ada menulis begini: “Gambar-gambar lepas terbangun di dalam komponen sebagai mosaik-mosaik. Tampil dalam sosok sendiri-sendiri saling berhubungan atau tidak berhubungan langsung dengan yang lain, seperti potongan dialog sosok-sosok (makhluk-makhluk) ramai berlalu-lalang di sekitar Anda memikul tubuhnya sendiri, sehingga terkadang kehadiran judul penting untuk mengenali “nama” atau setting (sosial atau alam) tempat gambar-gambar itu berada.”
Dalam catatan proses kreatif yang ditulis oleh Afrizal sendiri setebal 30 halaman, ia ada berkata: “Saya harus memiliki semacam rasionalisasi. Sebab saya tidak mau terombang-ambing dalam wilayah yang cenderung tak bertuan itu. Solusi konkret itu justru tidak datang dari saya, melainkan dari seorang teman saya, Marianne Knig. Suatu hari ia bertanya pada saya, apakah saya selama ini berpikir dengan gambar dalam menulis puisi? Pertanyaan ini menurut saya justru adalah sebuah jawaban yang selama ini saya cari. Saya seperti mendapatkan cahaya terang yang membukakan pintu intelektual untuk kerja saya menulis puisi.
Berpikir dengan gambar tidak sama dengan memotret. Puisi-puisi saya bukan hasil sebuah pemotretan. Bagi saya puisi merupakan representasi dari kawasan teks yang kaya. Kawasan teks yang bergerak antara pengalaman empiris serta lingkungan teks dalam pergaulan literer seorang penyair. Keduanya diangkat lewat berbagai elemen dalam puisi: ide, latar puisi, metafor, pesan, bunyi. Pada mulanya elemen-elemen ini statusnya sama. Pada penggarapan selanjutnya, mulai terjadi pergeseran. Elemen yang satu bisa menjadi fokus, sementara elemen yang lain hanyalah pendukung. Tapi bisa jadi semua elemen hingga penggarapan puisi dianggap rampung tetap berada dalam status yang sejajar, yang mengingatkan saya pada lukisan-lukisan Bali yang berkesan non-proyektif dan non-fokus. Semuanya datar, rata, monoton. Kedalaman atau dimensi tidak terdapat pada proyeksi, tetapi pada detail.”


(Kontributor: Ahmad Fauzi)

1 komentar:

  1. Puisi yang sungguh indah dan bermakna begitu dalam
    (Wisnu Murti, http://tulisandenpasar.blogspot.com)

    BalasHapus