Laman

Tonggak

Minggu, 05 November 2017

Wayan Jengki Sunarta: MONTASE


Data buku kumpulan puisi

Judul : Montase
Penulis : Wayan Jengki Sunarta
Cetakan : I, Agustus 2016
Penerbit : Pustaka Ekspresi, Tabanan, Bali.
Tebal : ii + 74 halaman (55 puisi)
ISBN : 978-602-7610-73-6
Tata letak : Gede Phalayasa Sukmakarsa
Lukisan sampul : Herry Yahya
Foto profil : Dandy Saputra
Format buku: pdf

Beberapa pilihan puisi Wayan Jengki Sunarta dalam Montase

Imajinasi, Kau, dan Danau Sentani

dengan perahu kayu
kau seberangi danau Sentani
agak ragu kau raba ricik airnya

“air di sini warna hijau,” ujarmu

berkawan langit biru dan kaum hitam
kau terus berkayuh ke tengah danau
perlahan pulau Kensio membuka diri
serupa bunga rekah di hari dini

kau jejakkan kaki
di pulau terpencil itu
seperti Columbus kau merasa
menemukan sesuatu
mungkin kepercayaan diri
atau keraguan yang samar

“kau tahu, pulau ini hanya
dihuni 40 kepala keluarga Papua
betapa terasing dan sederhananya mereka.”

ah, calon antropolog, juru warta peradaban
berapa pulau lagi mesti kau jelajahi
berapa suku lagi ingin kau telisik?
untuk meyakinkan diri
betapa sejak awal mula
manusia telah terasing
dengan dirinya sendiri

(2013)


Lereng Merbabu

hutan cemara, hutan cemara…
ke arah mana halimun sirna

jalan setapak, tanah basah
peladang tembakau pulang senja

gamelan jawa mengalun
dari dusun-dusun pedalaman

aku tiba dari jauh
membawa cinta sepenuh jiwa

halimun, halimun…
ke mana perginya hutan cemara

(2014)



Ubud, Hanya Keluh dan Riuh

malam makin mabuk
seorang turis separuh baya
berceloteh tentang Rsi Markandeya
dan masa silam yang hanyut
di sungai Campuhan

aku menenggak arak sembari membayangkan
cahaya kunang-kunang di pematang sawah
turis itu terus berkicau tentang Bali
dan cukong-cukong pariwisata

di Ubud yang sisa
hanya keluh
dan riuh

Lempad dan Tjokot telah lama mati
gemuruh tarian kecak perlahan sirna
ditelan bingar musik kafe
dan cukong-cukong pariwisata
beramai-ramai memberaki Bali

celoteh turis makin berdengung
seperti kerumunan tawon
aku pergi menjauh
duduk di bawah pohon jepun
berteman arak dan sepi
bercengkerama dengan diri

di pelataran pura,
seorang kakek tua menari sendiri
tongkat di tangannya
menunjuk-nunjuk ke arahku

malam makin kelam
langit mencurahkan gerimis
seperti tirta suci
memerciki ubun-ubunku..

(2014)


Tafsir Clair de Lune — Debussy

ingin kuraih cahaya bulan
yang berpendaran
di bening matamu
namun, malam yang manis
mendadak senyum sinis

aku berjalan lunglai
rumah terlalu jauh
aku tak mampu pulang
di bawah remang merkuri
mataku nanar

perlahan aku menyadari
hanya pemabuk cahaya
tak bisa membedakan
bulan dan bola lampu

seperti laron patah sayap
aku melata di jalanan kota
meraih yang tak teraih
sepi menikamku
tepat di ulu hati

lalu, tanpa kuduga
bulan bercahaya
dalam jiwaku
aku merekah
seluas semesta

(2016)


Taman Fatahilah

suara adzan bersahutan
menggema di dinding bangunan Belanda
menyusupi relung-relung jiwa Jakarta
bergetar di senar-senar gitar bocah pengamen

di tugu alun-alun kota tua
sejarah bermula
ditulis dengan darah
di lembaran kisah pedih masa silam

Fatahilah, Sunda Kelapa, rempah-rempah,
serdadu Portugis, tentara Belanda,
laskar Demak, prajurit Cirebon,
candu, mesiu, bau bangkai, amis darah,
budak, kuli, raja, penguasa
berkelindan di kedalaman jiwaku

di pusat kota ini
aku bercengkerama
dengan bebayangku sendiri

sebatang pohon tua
meranggaskan kenangan
di bawahnya seorang veteran
menyayat senar biola dengan ngilu
lagu lawas Batavia melantun

namun, di mana kau, kekasih?
jejak langkahmu merambahi
udara senja yang kuhirup
suaramu mengalun dari pelepah palma
yang disepuh warna kencana

di mana kau, kekasih?
di alas tikar plastik aku bersila
memusatkan rasa dan jiwa
seorang ibu paruh baya
menyeduhkan kopi untukku
bocah-bocah pengamen
menghiburku dengan suara serak
pengemis-pengemis memelas
menjulurkan kaleng bekas

siapakah aku di taman ini
sehampar pemukiman masa silam
yang kini berganti rupa

aku bukan Portugis, bukan Belanda, bukan Tionghoa,
bukan Demak, bukan Cirebon, bukan Bugis, bukan Sunda,
bukan Betawi, bukan Bali, bukan Melayu, bukan Jawa
aku semesta kecil
yang terkurung dalam diriku

taman ini telah berjanji
menggenapi rindu
ketika senja tak lagi kehilangan arah
ketika jiwa tak lagi berjarak
melebur seluas semesta

(2013)


Gua

aku memandang ke dalam jurang
menatap kedalaman matamu
yang kulihat adalah
musim dingin tak terperikan

aku menyalakan diriku
sebagai api unggun
namun malam menggigil
musim jadi pucat pasi

daun-daun layu
seperti sabda tanpa tuah
jiwaku mengabu
dalam unggunan

aku kembali ke dalam gua
pengasingan tak peduli perangai cuaca
lumut dan tetes air
memberiku kehangatan
melebihi cahaya matamu

(2016)


Tengah Malam

anggur vacqueyras dan beringer
muncul dari kolong dingin
ada yang hilang dari kehidupan,
ada yang hangatkan jiwa

siapakah kau yang coba memahamiku
apa kau patung dewa maut
atau hanya sekedar bunga perdu?
tak ada tanda untuk dendam atau rindu

musim hujan meringkus jiwamu
tak ada kata atau suara
hanya celoteh pemabuk
di tikung jalan:

Hypocrite lecteur, — mon semblable, — mon frére! *

aku tak pernah mampu
mengenalmu

(2016)
* dari ”Au Lecteur” oleh Charles Baudelaire


Aku Menemukanmu

aku menemukanmu
o, saudara masa lalu
yang lahir kembali
di kebun-kebun kopi

siapa menujum ruhmu
jadi bongkah-bongkah batu
tumbuh di ladang-ladang kaum tani

jangan tanya dari mana
aku hanya pasasir
yang mampir
setelah beratus tahun terlunta
dalam rimba rahasia

kini, aku menemukanmu
meski yang menyapaku
hanya tumpukan batu
memeram masa lalumu

(2010)


Ibu Pasar Kumbasari

subuh belum luruh
kau telah menanak peluh
di jalan-jalan becek pasar kota
bergelut dengan bayang-bayang pagi
yang setengah buta

kebaya rombeng dan kain lusuh
sayur mayur, ikan asin, bumbu dapur, palawija
dalam keranjang anyaman bambu di kepalamu
berkisah tentang letih subuh dan penat tubuh

aku tahu, ibu, kaulah pengempu kehidupan kota ini
dari jalanan desa kau melata
tersihir cahaya lampu-lampu merkuri
tak ada yang mampu menahanmu
untuk tak putus-putus mencurahkan kasihmu

ibu, tarianku tak ‘kan pernah sampai
di jalan-jalan yang kau pijak dengan kaki telanjang
aku menghormatimu melebihi hormatku pada para dewa
yang selalu kau puja dengan sesajen dan upacara-upacara
hingga tanganmu terasa mati rasa di pucuk-pucuk janur,
serbuk-serbuk dupa dan kelopak-kelopak bunga

ibu, jika saat itu tiba
ijinkan aku merasakan peluhmu
membasuh sanubariku
agar aku makin memahami
rahasia semesta
yang menyala di ubun-ubunmu

(2011)


Agustus Belum Pupus
– untuk: penyair Wayan Arthawa –

agustus belum pupus
ketika kau bergegas
meninggalkan kata-kata getas
di pintu pagi yang cemas

tak ada tanda
di pelepah pohon lontar
di mana dulu para leluhur
menakik namamu
mengutuk takdirmu
jadi sang kawi

betapa fana tatap mata
gadis-gadis jelita taman Tirtagangga
betapa jelata ibu-ibu peladang salak
ketika kau terharu menyadap sajak
hingga duri jadi rindu
hingga rindu jadi rinai
di setapak jalan Telaga Tista

tak ada tanda mengurai airmata
cuaca tiba-tiba buta
kata demi kata yang kau tempa
menyerpih di keranjang sayur
ibu pasar Amlapura

agustus belum pupus
aroma tuak mengaliri nadiku
subuh makin rapuh
dalam mabuk
kubaca isyarat itu

hanya kita
dan kata
yang paham
makna kehilangan

(2012)


Di Somba Opu

agak ragu
kugurat namaku
di pilar kayu
Somba Opu

baruga tua itu
telah kehilangan tuan
tanah rata, berdebu,
rumput enggan hijau

hanya pepohon mahoni
berbagi teduh
di setapak jalan

kudengar tabuh rebana
berpadu lagu kerajaan Gowa
didendangkan pengembara

kau buka jendela baruga
senyummu diluruhkan nada

kau lihat?
pecinta yang tersesat
diseret langkah lelah
di hari berkeringat

di Somba Opu,
apa yang pilu
selain langkah
makin ragu
menjauh
dari barugamu

(2012)


Pralaya Matra
– untuk: perupa Nyoman Erawan –

kususuri puing dan arang
di reruntuhan warna
yang garang kau tabur

kutemukan kanvas usang,
lelehan cat, kayu terbakar, patahan kuas
anyir darah, bau bangkai hangus,
airmata, dan tangis bayi kelaparan

Erawan, beribu-ribu sesaji dihaturkan di tanah Bali
tapi para penghuninya makin kehilangan jati diri
benang tridatu tak lagi bertuah, trisula tumpul,
kain poleng jadi taplak meja, tapakdara sirna makna

hamparan kanvasmu seperti padang kurusetra
tapi kau terus melukis dengan darah dan airmata
tengah malam, lolongan anjing-anjing kuburan
berloncatan dari warna-warna yang kau toreh

apa lagi yang kau cari, Erawan?
nujumanmu tak dipahami anak-cucu
kekuasaan dan keserakahan makin bertriwikrama
tanah Bali habis dijarah bromocorah dan durjana

kau bergumam:
“pralaya keindahan maha sempurna
kehancuran mula kehidupan baru.”

aku paham,
dengan kuasa aksara dan warna
kau hanya ingin bersuara
meski lidah dan jiwamu
nyaris hangus
diberangus pralaya

(2013)


Derita Jelata

kuraih kau dari bayangan senja
ketika wajah dan kisah raib begitu saja
ke mana kau ungsikan derita kaum jelata
ketika tanah telah kehilangan gairah tani

sejarah kelam merekah kembali
langit memerah saat kau tiba
siapa yang mampu
meretaskan harapan negeri ini

derita kaum jelata tak habis-habis
seperti bunga perdu rontok di jalanan
matahari kehilangan kemilau
airmata mengaliri sungai-sungai kepiluan

(2015)


Tarian Lena

tarianmu seperti gerimis
menyapa pepohonan
di taman-taman kota

gemulai jemarimu
memberkati sebatang pohon
ketika senja terlena
kehilangan cara
untuk sirna

tarianmu tak usai
liuk tubuh risau
merengkuh pohon
yang tumbuh
dari taman lampau

tarianmu berpadu
daun-daun luruh
mengubur tubuh
di akhir waktu

(2016)


Teluk Benoa
– kepada investor serakah –

jika suatu saat aku mati
aku tak perlu kuburan
bakar mayatku dan tebar abuku
di laut tempat aku bisa bercanda
dengan ikan-ikan cahaya,
kepiting, ganggang, ubur-ubur,
dan segala penghuni niskala

namun, jika kau paksa mengubur laut
daerah istirahku nanti
jika kau paksa bikin pulau buatan
bersiaplah aku akan terus gentayangan
di saku kemejamu, di meja kasinomu,
di apartemen, di hotel, di restaurant,
di kolam renang, di villa,
di segala tetek bengek yang kau puja

puahhh…aku akan terus meniupkan mantra
dari jiwa-jiwa nelayan dan pelaut teraniaya
dari jiwa-jiwa kaum jelata yang kau tipu
dari jiwa-jiwa pasrah ibu bumi
aku akan menghisap ubun-ubunmu
dari semestaku

maka, dengan mudah pula bagiku
menenggelamkan daratan buatanmu
sekali hisap hancur pesta poramu
musnah serakahmu

hutan-hutan bakau
berkerumun dalam jiwaku
dan kau hanya sepercik debu
yang sekejap sirna
disapu waktu

(2015)


Mengenang Murni
– untuk pelukis I Gusti Ayu Kadek Murniasih –

“saya hamil saat itu”
tulismu
di balik lukisan kecil
yang kusimpan
demi mengenangmu

lukisan itu bercerita
sosok perempuan hamil muda
mengulum benih bunga
dalam sangkar hijau toska

Murni, kau tak perlu hamil
anak-anak rohanimu
telah mengembara sejauh cahaya

“aku inginkan anak dari rahimku,”
ujarmu pilu

pucuk-pucuk ilalang
mengering
di halaman rumahmu

Murni, rahim batinmu
telah memberimu banyak anak
melebihi yang kau duga

kau bagikan saripati jiwa
pada anak-anak berkursi roda
kau beri mereka kuas, kanvas, warna
dan segala dera derita
tumpah jadi lukisan tak terduga

Murni, kini, di alam damai itu
mungkin kau melukis malaikat
yang tersedu kehilangan rahim
atau menggambar wajah Tuhan
dengan warna-warni derita manusia

(2010)


Tentang Wayan Sunarta
Wayan Jengki Sunarta lahir di Denpasar, 22 Juni 1975. Lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah kuliah Seni Lukis di ISI Denpasar. Mencipta puisi sejak awal 1990-an, kemudian merambah ke penulisan prosa liris, cerpen, fitur, esai/artikel seni budaya, kritik/ulasan seni rupa, dan novel. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa dan terangkum dalam sejumlah buku bersama. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Pada Lingkar Putingmu (bukupop, 2005), Impian Usai (Kubu Sastra, 2007), Malam Cinta (bukupop, 2007), Pekarangan Tubuhku (Bejana, Ban­dung, 2010). Buku kumpulan cerpennya: Cakra Punarbhawa (Gramedia, 2005), Purnama di Atas Pura (Grasindo, 2005), Perempuan yang Mengawini Keris (Jalasutra, 2011). Buku novelnya: Magening (Kakilangit Kencana, Jakarta, 2015). Beberapa karya sastranya meraih penghargaan, an­tara lain Krakatau Award 2002 dari Dewan Kesenian Lampung, Cerpen Pilihan Kompas 2004, Cerpen Terbaik Kompas 2004 versi Sastrawan Yogyakarta, Nominator Lomba Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi se-Indonesia 2004, Nominator Anugerah Sastra Majalah Horison 2004, Penghargaan Widya Pataka dari Gubernur Bali (2007). Hingga kini dia terus menulis untuk berbagai media, menjadi aktivis kesenian, dan bergiat di Jatijagat Kampung Puisi (JKP), sebuah komunitas berkesenian di Denpasar.


Catatan Lain
Halaman persembahan buku ini bertuliskan:

Untuk Mahaguru:
Umbu Landu Paranggi & Frans Nadjira

Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan
Karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan…
(Umbu Landu Paranggi)

Hanya orang-orang tak waras yang berani menyeberangi batas angan milik penyair…
(Frans Nadjira)

Dan disampul belakang buku muncul kutipan sajak “Mengenang Kupang”, yang dipersembahakan untuk Dewa Putu Sahadewa. Begini kutipannya:

kuceritakan pada kau perihal puisi
yang diperam pohon-pohon tuak
yang tumbuh di tanah-tanah tandus
ketika laut bergaun biru menoleh padaku
dengan wajah tersipu malu

                                             (Mengenang Kupang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar