Laman

Tonggak

Jumat, 08 Desember 2017

Irawan Massie: KIDUNG ATHMARA

  
Data buku kumpulan puisi

Judul : Kidung Athmara
Penulis : Irawan Massie
Cetakan : I, Januari 2017
Penerbit : Kosa Kata Kita, Jakarta.
Tebal : 207 halaman (99 puisi)
ISBN : 978-602-8966-96-2
Perancang sampul : Irawan Massie
Penata Letak : Cyprianus Napiun
Supervisi penerbitan : Kurniawan Junaedhie
Pengantar : Taufiq Ismail

Kidung Athmara terdiri atas dua bagian, yaitu Kidung Athmara (55 puisi) dan Renungan Senja (44 puisi).

Beberapa pilihan puisi Irawan Massie dalam buku Kidung Athmara

ATHMARA

Ada semacam keheningan
Berteduh di hati 
Tak pernah menjauh dariku 
Memberi kedamaian jiwaku

Ia adalah athmara
Yang tak memerlukan alasan
Untuk bersuara
Dalam kesederhanaan takdirku

Tembang melati di musim semi
Tersunting di senja hari
Bersanding selaras angin
Menyilaukan purnama malam
Yang kelak menjemputku
Pulang ke asal

KIDUNG ATHMARA
Jakarta Selatan, Juni 2015
(Happy birthday to you, my honeydew)



SURAT CINTA

1
tiada beda
bagi insan beriman
kasih sayang Nya

2
dalam tahajud
menuntun sujud
senandung rindu malam

3
memandu arah
ayat-ayat cahaya
lonceng angin Mu

4
mentari fajar
merias musim bunga
memupus duka

5
debu prahara
tanpa izin dari Mu
tiada daya

6
menatap asa
simfoni malam hari
hati berseri

7
pintu senja Mu
kuketuk pelan
memohon kemurahan

8
sayap pelangi
ruhani dan nurani
hijau dan biru

9
asma’ul husna
kemilau nur Ilahi
sorga di hati

10
duduk bersimpuh
hati tersiram tentram
ingat pada Mu

11
surat cintaku
teratur kukirimkan
kepada Tuhan

RENUNGAN SENJA
Melbourne, 14 Juli 2016


IKRAR DI MASJID KECIL

jauh dalam hutan
yang bergantung pada penghujan
batang-batang kayu dari pepohonan tinggi
mengantar air jernih mengalir tenang
ke lautan jauh

di musim-musim rembulan penuh
ketika matahari mulai terbit
saatnya air ingin pulang ke daratan
melewati tirai hambatan
dan berwarna-warni harapan
antara bebatuan dan rerumputan
mencari tempat persinggahan

bagaikan setiap kembara panjang
kurindu mengganti waktu yang hilang
kenangan sepanjang jalanan pulang
mengatur napas melangkah ke rumah
menyusuri arah mata angin
ke sebuah kota yang bersih dan hening

di sudut jalangan lengang
sebuah masjid kecil
nyaman pada kesejukan tegaknya di sana
seberkas sumpah telah melanda langit
dalam sujudku kepada Ilahi
sunyi bertahan melayang-layang

doa telah gaib terangkat
nyaris sempurna
dan keteguhan sepasang tiang ikrar
dari keteduhan selasar hati
semoga ditebari berkah wewangi
bunga-bunga putih melati

KIDUNG ATHMARA
Masjid Al-‘Ittihad, Januari 2014


AYAT KATRESNAN

Mendung semakin jelaga
Ketika kuterawang sebuah kota
Yang tak pernah tertera di atas peta
Sejak dari dahulu kala

Aku melayang sebentar ke sana
Mengarungi rerumpunan pita cahaya
Menyerap kilau lentera dewata
Bertamu pada penghuninya

Berbincang tentang tenun nestapa
Tak sanggup kusandang terlalu lama
Menjelang tiba ke akhir waktuku
Mengepak jejak kembaraku

Namun
Kau inderakan kepadaku di sana:
Ujung harapan bukan hanya lamunan
Bagi yang bisa tabah menerima
Teguh berusaha mengatasinya
Ikhlas dan syukur itu tak sia-sia

Keyakinanku pun tak layak sia-sia
Ayat katresnan sudah diwahyukan
Tertegun pada kesempurnaan aksara
Sesungguhnya teramat dekat
Anugrah pertolongan-NYA

RENUNGAN SENJA
Subuh di Serenia Hills, 26 Juli 201
(Insp. QS Al-Baqarah: 214 mengiringi doa sehat & tentram di hati)


KIDUNG TANPA AKHIR

Pelataran dingin musim gugur
Batang-batang kayu berdiri teratur
Daunan kering di reranting
Beberapa helai masih bertahan

Seekor burung tersesat di dahan
Ribuan mil mengepak sayap
Berpisah dari pasangannya
Tergiring angin jauh menyebrang
Ingin kembali ke sarang

Senja masih belum mendera
Ketika bianglala samar bersuara
:
Sahabat jiwa
Sumilir gending keheningan
Bagai kidung tanpa akhir
Tanpa mesti berjumpa dimana
Sudah bersama dimana-mana

Asal ruh dari suatu tempat
Ketika hati sepasang burung
Menerima seruling takdir
Akan terukir sendiri nanti arahnya
Berakhir bersama nanti di sana

KIDUNG ATHMARA
Jakarta Selatan, April 2016
(Insp. Jalaluddin Rumi)


TENNESSEE:
Muhasabah dan Nostalgi

Puluhan gedung tua tertanam kokoh
Beberapa tupai berlarian di taman
Pohon-pohon berjajar kering dan lengang
Tebaran daun maple kuning merah dan emas
Berserakan di atas sisa rerumputan

Siutan suara berasal dari utara
Mendenting lonceng anginku sejak dini hari
Mengantar angin sejuk musim gugur
Ke persimpangan jalan menurun
Yang setiap pagi kulalui setelah sarapan
Menyentuh detak-detak nadiku
Menyisiri pelataran rinduku

September memanjat bulan kenangan
Datangku dari negeri jauh menjinjing buku
Santapan rutin di setiap meja librari sepi
Lewat jendela-jendela kaca
Tak jarang kupetik sinar matahari
Menanam lentera terang di hati
Semenjak tersentak tekad pengembaraan diri
Menerjang kabut penghadang
Masa depanku

Namun sudah berpuluh tahun itu berlalu
Kulitku tak lagi halus dan kencang
Rambutku kian menipis dan kelabu
Pandang mataku tak lagi setajam dulu
Sejatiku nyaris membeku
Menghitung satu-satu tapi tak kan bisa terhitung
: Semua anugerah kasih dan cinta dari-Mu

Pecahan gerimis tergelincir di wajah
Gemuruh muhasabah dan kesenduan nostalgi
Keduanya selalu saling menguatkan
Membersihkan setiap helai daun di hati
Menanti-Mu di kesunyian subuh ini

RENUNGAN SENJA
September 2013
(36 tahun sudah berlalu dari kampus
University of Tennessee, Knoxville, US)


HUJAN DALAM KENANGAN

Aku suka hujan
Ia mengantar kehidupan
Bagi mereka yang bisa mensyukuri
Meski sesekali menyisipkan
Kepedihan di hati

Aku suka menanti hujan
Yang rajin mengirim kenangan
Tentang senangnya kebersamaan
Dengan anak-anak kita
Kala mereka kecil di masa silam

Senja ini aku diderai hujan
Berlari-lari kecil ke terminal kereta
Bersama denganmu di bawah payung
Usai menata sebuah panggung
Bagi anakku untuk berjuang
Membangun masa depan

Masa depan anakku
Berada di lintas dimensi waktu
Yang tak kan pernah bisa kusaksikan
Selain dengan melarungkan doaku
Ke dalam genangan rinduku
Akan gerimis rahmat MU

RENUNGAN SENJA
University of Melbourne, Juli 2016


KAFE DI MALAM HARI

ia tak pernah mengerti dari mana asalnya
tetesan hujan di pucuk perdu 
 
warnanya sebening kristal putih
tersirat senja
mulai berpendar entah meluruh kemana
menjelang langkahnya pergi bekerja
ke kedai kopi
sebuah kafe di malam hari
menghibur para tamu datang bersantap
berkelana nikmati kehadiran malam

jarak ke kafe tak terlalu jauh
tapi melewati jalanan lengang berkabut
menembus halaman panjang masa silam
dimana bunga dan senyuman bermunculan
dari celah-celah kesenyapan
semak perdu kerinduan

sebuah piano tua merapat ke sudut
deretan tuts bertahan hanya putih dan hitam
menanti disentuh olehnya lembut dan pelan
mengiringi musim yang menyurut
lalu tenggelam
dalam denting rangkaian tembang kenangan
yang tulus bercerita tentang kepedihan
di putaran warna-warni
episode kehidupan:

melodi asmara
sonata sinar rembulan
rendezvous musim gugur
dirimu destiniku
musim panas ‘42
jalan panjang ke rumah
kemarin di kala aku muda
memori
kutinggal hatiku di sebuah kota
senandung tanpa akhir

setiap kali sebuah lagu selesai dimainkan
serasa dirinya tersesat ke dalam bayangan
tersangkut antara lirik dan nada-nada dingin
tergores ngilu di reranting perburuan
menyunting kembali luka-luka lama
darah kembali mengalir ke relung hati
warnanya sebening kristal putih

ia tak letih memahami hari-hari
di bawah reruntuhan belantara sunyi
yang begitu sabar dilarungi sampai kini
sampai tiba saat pergantian perangai cuaca
di suatu musim semi
yang amat lengang nanti

di mana debu bintang bertaburan mendekati
benangsari kembang melayang diayun angin
dedaunan hijau muda mulai menampakkan diri
sampai tertidur ia dalam mimpi yang kekal

tak lagi mesti mengetuk pintu kafe di senja hari
tak lagi mesti tertatih di malam beku seperti ini
tak lagi mesti mengusut surat takdirnya sendiri
telah sempurna ia mengantar dukanya
berangkat abadi

KIDUNG ATHMARA
(balada seorang pianist di kafe malam)
Jakarta Selatan, Oktober 2014


NYANYIAN SERUNI

Tak perlu menyamarkan muaramu
Meski dengan cara teramat bersahaja
Selayaknya kita semua sudah menyadari 
Pertemuan bagai aliran sebuah sungai
Akan berakhir di ujung elegi

Tapi mestikah kuingkari perasaanku sendiri
Saat kucium harum kabutmu dulu di senja hari
Menuang embun madu ke debar dimensi hati
Menggetar denting harpa lewat nada tertinggi
Menggubah nyanyian bunga-bunga seruni
Langitmu merdu sepanjang musim semi

Ketulusanmu menjelma ketentraman
Ketentraman itu sendiri kebahagiaan hakiki
Yang kucari kemana-mana lalu kujaga setia
Tersembunyi pada hakekat dirimu selamanya
Di celah peradaban yang hening dan sunyi

Mimpi itu seperti tak pernah henti berlari
Belasan tahun mengembara tanpa setitik janji
Tak berubah dalam cuaca sejuk atau hangat
Kau tuliskan larik athmara hati-hati sekali
Hanya dirimu yang bisa memberi arti

KIDUNG ATHMARA
Serenia Hills, 30 April 2016


SENANDUNG ILALANG
DI UJUNG PEMATANG

Waktu memaksa lekas berjalan
Terkadang dengan mata terpejam
Menyesak lamunan setiap malam
Berguguran di sisi kanopi kehidupan
Kepedihan demi kepedihan

Tercekat kakiku tanpa sengaja
Ketika tersentuh rumpun ilalang
Yang merunduk di ujung pematang
Bersenandung rasa syukur
Walau sehari-hari wajib menari
Didera angin kencang sekali

Langkah perjalanan ilalang
Warnanya lebih suram dari jejakku
Begitu nyata meski di kegelapan
Bergelimang lumpur nestapa
Sudah habis sisa air mata
Namun tak pernah pupus berpendar
Dalam lingkaran puji dan doa
Menjerat keharuan dan semangat
Dibiarkannya teduh merapat

Rautku terpaku di depan kaca
Sesekali mengetuk pintu hati
Mengusap ingatan sebagai manusia
Bukan ilalang di ujung pematang
Yang hilang dalam kisah petualang
Tanpa menyembunyikan senyuman
Atas kekaguman pada harapan
Di setiap celah keyakinan

RENUNGAN SENJA
Jakarta Selatan, 24 Februari 2016


SERULING KAYU
(My Wooden Flute)

Sejak dulu hari-hari berjalan laras
Seperti bulu burung yang lepas
Terangkat pergi sekehendak angin
Tak membayangkan diriku kemana
Sesudah selesai di kehidupan ini
Mungkinkah tersirap takdir
Atau hanya melayang-layang

Seruling kayuku akan kukenang
Suka kutiup di malam-malam hening
Ke langit tinggi swaranya melengking
Menyenangkan mereka yang kucinta
Memupus sisa lelehan air mata
Merawat luka tersangkut di hati
Kuajak saling silaturahmi
Saling menguatkan diri

Tapi masih jauhkah perjalanan ini
Atau cuma tinggal sebentar lagi
Mendadak teringat buluh perinduku
Biar kutimang sejauh musim berlalu
Sebelum habis semua waktuku

RENUNGAN SENJA
Jakarta Selatan, 02 desember 2014


HUJAN DI MUSIM GUGUR
(Autumn Rain)

Aku masih duduk di teras musim gugur
Berteman bayanganku sendiri
Mengamati kepedihan lirik puisi
Yang tergelincir dari patahan hati 
Tak henti-henti sedari pagi

Ratusan bintang di langit sunyi
Menyeberangi padang rumput kering
Mengejar hujan yang berlarian ke barat
Memetik gerimis-gerimis kecil
Menyiram rasa manis lewat jendela
Ke atas luka-luka lamaku
Di antara pecahan duka

Halaman dan jalanan di depan rumah
Masih basah berkaca-kaca 
Mereka tak pernah dikutuk atau dilarang
Untuk selamanya mengabdi
Kepada satu-satunya kenangan ini

KIDUNG ATHMARA
Jakarta Selatan, 14 agustus 2015


PERJALANAN DAUN-DAUN
(The Journey of Leaves)

Aku suka berdiri di rerumputan pagi
Digelar dalam keramahan mentari
Yang merebak sejak fajar tadi.

Kupandangi kuncup daun-daun kecil
Berwarna bening hijau muda
Bertunas pelan, patuh pada takdirnya
Mengikuti tuntunan langkah musim
Yang tak diizinkan berhenti berlari.

Kusaksikan
Lembar daun itu semakin melebar
Warnanya berangkat menjadi tua
Menyediakan bayang keteduhan
Bagi siapa pun yang bersedia lewat
Di bawah dahan-dahan kenangan.

Cuaca sunyi sepanjang musim lain
Amat sejuk siut anginnya
Aku termangu di bangku kesenduan
Sendiri menatap suara langit
Yang tak letih memetik tembang kelabu
Membuat mentari sering tertegun
Di celah-celah kabut yang anggun.

Kadang kuikuti debar hatiku
Yang berharap diperkenankan
Singgah di sana sejenak saja
Di antara batang-batang pepohonan
Dan wajah dedaunan musim gugur
Berwarna pelangi bunga-bunga layu
Hijau, kuning, merah dan lembayung
Tak kuasa kuayunkan melodita atsmara
Untuk melukis asrinya pelataran ini.

Semua anugerah kehidupan itu
Semata bagi penghuni ladang duniawi
Yang sudah dititah tak kekal abadi.

Sebentar lagi hari-hari semakin dingin
Akhirnya akan membeku
Warna setiap daun bakal berubah coklat
Berguguran lalu mengering di tanah
Sebelum segalanya sempurna memutih.

Sungguh mengagumkan rasa kehilangan itu
Rasa kehilangan akan kehidupan itu
Bagai kisah perjalanan daun-daun
Yang akhirnya dirindukan oleh tanah
Di suatu masa teramat indah
Kusadari akan tiba juga waktunya untukku
Pada suatu hari nanti.

Namun di bawah selasar angin beku
Mimpi salju dan seluruh kesunyian jiwaku
Masih ada yang belum kutemui
Dalam pencarian panjangku selama ini:
Aku masih belum menemukan diriku sendiri!

Seperti ada yang bergegas mengaliri wajahku
Tiba-tiba pada pagi tadi
Tetesan embun entah dari mana asalnya
Mengingatkanku untuk berbuat sesuatu dulu
Di ujung subuh sesunyi itu.

RENUNGAN SENJA
Jakarta Selatan, 30 Mei 2015


RUMAH KECIL DI LERENG BUKIT
(Little house on the hill)

Dari dermaga pesisir senja sesunyi itu
Sebuah rumah kecil tampak di lereng bukit 
Dengan jendela kaca terbingkai luas 
Di dalamnya lentera berkelip terang 
Warna sinarnya putih kehijauan 
Dari pelita yang sanggup menembus kabut 
Peredam setiap perasaan rindu.

Perjalanan ke seberang lembah itu
Melewati lorong waktu ke arah timur
Menuju dimensi masa silam
Yang kekal terbangun
Di atas keluhuran amanah sonata malam
Diayun secara teratur
Oleh keajaiban orkestra angin
Terkandung dalam setiap denting nada
Bunga musim semi teramat diberkahi.

Seorang lelaki tua
Telah menemukan arah jalannya kesana
Ia sedang melangkah sendirian
Menundukkan kepala
Seperti sedang mencari selembar halaman
Dari sebuah buku harian
Yang pernah terjatuh entah di mana.

Ia hanya ingin memastikan
Apakah dirinya dulu cukup menyediakan
Kenangan-kenangan masa kecil bahagia
Bagi semua anaknya
Karena menurutnya itu
Hadiah terbaik yang dimiliki setiap orang tua
Untuk diberikan kepada anak-anaknya.

RENUNGAN SENJA
Jakarta Selatan, 03 Juli 2015
(Lanjutan dari puisiku berjudul
”Menjadi Seekor Kupu-kupu”)


LIEBESTRAUM
(a song without end)

Di hari-hari terakhir ini aku sudah berniat tak mau
mengingat-ingat lagi siapakah dirimu yang dulu sering
mengetuk pintuku sejak musim gugur tiba dan mulai
menyusupkan angin dingin dari utara ke lantai dua
teras apartemenku di lereng dataran tinggi di sana

Ketika itu tak pernah kuhiraukan rintik gerimis jatuh
membasahi trotoar dimana kaki-kakiku melangkah dengan
teratur bersamamu setiap pagi dan petang melewati
jalanan lengang di depan halaman rumahmu, berteman
langit yang selalu redup kehilangan mentari sepanjang
dua musim dalam setahun dan deretan pohon maple
yang nyaris kehabisan daunnya berdiri tegak di tepi
keheningan

Akhirnya pada suatu siang di balik mantel tebal yang
kukenakan untuk mengarungi tarian cuaca, seperti
kudengar serumpun pertanyaan sunyi yang dengan
ragu bersuara lirih lewat hati kecilku sendiri:
“Sanggupkah kiranya aku menjenguk dirimu sekali lagi
di pinggir danau sejuk untuk bertutur tentang rasa
duka atas kepulanganku ke tempat yang sungguh jauh
jaraknya, tapi kau pinta agar diriku bersedia mengerti
bahwa sebenarnya jarak itu sudah teramat dekat
dengan hatimu.”

(Namun itu sudah teramat lama sekali berlalu, saat ini
yang masih tersisa dalam nostalgiku adalah sederetan
bunga-bunga iris yang rajin mekar di sisi kamar tidurmu
setiap musim semi dan liebestraum, serenade yang tak
pernah bisa selesai kau dentingkan di atas piano di kala
teduhmu dulu itu).

Ketika kini kudengarkan melodita lagu itu sesekali,
selalu ada lirik-lirik puisi yang ingin bergegas meluruh
di atas kertas putih kehidupanku untuk kusulut dan
membiarkan serpihan abunya menebar di keluasan
padang rumput agar terbawa angin musim kemarau
dari negeriku melayang ringan jauh sekali kemudian
singgah entah di sela-sela kerinduan siapa yang pernah
mengenal jejak langkahku dan merdunya gita tembangmu
pada sebuah masa silam itu

KIDUNG ATHMARA
Jakarta Selatan, Februari 2015


PUISI HIDUPKU
(Poetry of my life)

Sudah kucinta seni sejak diriku lahir
Tak pernah terpikir menjadi penyair
Tak kuasa menolak jalan hidupku
Bersamamu hari-hari menjadi puisi

Saat mata terpejam di gelap malam
Tetap saja bermimpi puisi
Tak terputus sampai subuh nanti

Ketika angin mengantar embunmu
Menetes madu di sela wajahku
Kubiarkan puisiku terasa sejuk
Sunyi tenggelam ke dasar jiwamu

Sesaat di permukaan aku berlari lagi
Menulis banyak halaman matahari

KIDUNG ATHMARA
Jakarta Selatan, Mei 2014


Tentang Irawan Massie
Irawan Massie lahir di Jogya, 24 Oktober. Meraih BSc (Managemen & Accounting) dari Woodbury University, Los Angeles dan MBA (Finance) dari University of Tennessee, Knoxville, USA. Publikasi karya sejak tahun 1970-an, di antaranya Majalah Horison. Buku puisinya: Musim Semi yang Panjang (1992), Rumah Kecil di Bawah Matahari (1995), Selembar Catatan Lawas (2012), Keroncong Hujan Malam Hari (2014) dan Kidung Athmara (2016).


Catatan Lain
Antara puisi yang diposting di facebook dan yang ada di buku ini, meski di bawah judul yang sama, ternyata mengalami banyak revisi. Saya tak tahu mana yang disukai penyair. Yang jelas, puisi yang diposting di blog ini mengikuti yang ada di buku. Berikut contoh puisinya:
 
ATHMARA (versi fesbuk)
(fragmen kidung athmara # 00)

ada semacam keheningan
berteduh di hati 
tak pernah menjauh dariku 
menyantuni kedamaian jiwaku

ia adalah athmara
yang tak memerlukan alasan
untuk bersuara
dalam kebersahajaan takdirku

(senandung melati musim semi
tersunting di senja hari)

bersanding selaras angin
menyilaukan purnama malam
sampai kelak menjemputku
pulang ke asal

jakarta selatan, 24 june 2015
(hbdty honeydew 
https://www.facebook.com/images/emoji.php/v9/f33/1.5/16/2665.png wyatb)
IRAWAN MASSIE


ATHMARA (versi buku)

Ada semacam keheningan
Berteduh di hati 
Tak pernah menjauh dariku 
Memberi kedamaian jiwaku

Ia adalah athmara
Yang tak memerlukan alasan
Untuk bersuara
Dalam kesederhanaan takdirku

Tembang melati di musim semi
Tersunting di senja hari
Bersanding selaras angin
Menyilaukan purnama malam
Yang kelak menjemputku
Pulang ke asal

KIDUNG ATHMARA
Jakarta Selatan, Juni 2015
(Happy birthday to you, my honeydew)
Irawan Massie


Ya, beginilah sebenarnya, di akhir setiap puisi, minimal ada 3 penanda, yaitu sub judul (KIDUNG ATHMARA atau RENUNGAN SENJA), penanda tempat dan waktu penulisan puisi, dan nama penyair. Kata penyair dalam pengantar (hlm. 11), kumpulan puisi ini dibelah menjadi dua segmen berdasarkan karakter atau tema puisinya, yaitu Kidung Athmara, yang merupakan kumpulan 55 puisi romantika, terinspirasi dari nuansa keseharian dalam wilayah pribadi pada masa kini dan masa silam dan Reungan Senja, kumulan 44 puisi nilai-nilai kehidupan (living values) yang diangkat dari renungan atau muhasabah di atas dermaga keluarga, terutama tentang anak-anak ditambah beberapa peristiwa dan kisah-kisah perjalanan.
Namun jika kita membaca daftar isi, ternyata bukan hanya 99 puisi, tapi ada 112 puisi. Usut punya usut, ternyata ada diselipkan puisi terjemahan dalam bahasa inggris, yaitu Autumn Rain (Hujan di Musim Gugur), A Sheet of Sacred Page (Selembar Halaman Sakral), Love (Athmara), Let the Memory Be (Biarkan Kenangan Itu), Solitude (Keheningan), The Butterflies Hovering Low (Kupu-kupu Melayang Rendah), To Become A Butterfly (Menjadi Kupu-kupu), My Wooden Flute (Seruling Kayu) dan A Spiritual Journey (Mi’raj Ruhani).
Contoh puisi berbahasa inggrisnya:

LOVE
(Athmara)

There is a kind of silence
Taking shelter in my heart
Never could it be away from me
Giving peace to my soul

It is athmara
That doesn’t need a reason to speak
In the modesty of my destiny

Jasmine melody of the spring
Geminating in twilight
Side by side with the northern wind
Dazzling full moon in midnight
It will pick me up someday
Back to where I came

SERENADE of LOVE
Jakarta Selatan, June 22, 2015
(Happy birthday to you, my honeydew)
Irawan Massie


Tidak ada komentar:

Posting Komentar