Laman

Tonggak

Jumat, 08 Desember 2017

Putu Oka Sukanta: PERJALANAN PENYAIR


Data buku kumpulan puisi

Judul : Perjalanan Penyair, Sajak-sajak Kegelisahan Hidup
Penulis : Putu Oka Sukanta
Cetakan : I, Agustus 1999
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Bekerja sama dengan JENDELA BUDAYA
Tebal : xvi + 139 halaman (61 puisi)
ISBN : 979-9289-06-8
Desain Cover : Harry Wahyu (Si Ong)
Tata Letak : Dwi Agus M
Pengantar : Keith Foulcher

Beberapa pilihan puisi Putu Oka Sukanta dalam Perjalanan Penyair

KEMERDEKAAN

bila kemerdekaan ada di mana-mana
jangan kau tuntut pada diriku cuma
kemerdekaan adalah cinta yang mesra
dan menebar pada setiap mata pengemis
kemerdekaan serupa lampu di lorong-lorong
kemerdekaan adalah bunga-bunga yang mekar
dikerumuni kumbang segala macam
kemerdekaan serupa matamu adik
bening dan manis sekali

                                                Yogya, 1961



PERJALANAN PENYAIR

dari banjartegal ke jawa
cukup lama istirahat di salemba
orang mengira umurku hilang empat ribu hari
di bawah sepatu serdadu jantungku diam dalam semadi
menyambut matahari dan bulan merajut harkat manusia
penyair digoda puisi, menuliskannya di ruang hampa

jika aku ke menara tour eiffel, lewat australia bahkan
ke taipeh, hongkong, srilangka, banglades dan
istirahat di jerman
kupetik puisi aborijin melepaskan keterhimpitan
dan di berlin temboknya aku goyang bersama
pipis di kaki tour eiffel, maaf sahabatku
dendam anak petani yang melangkahi bayang
batas kemiskinan.

untuk itu, di kramat lima
strum dan sepatu serdadu mengulang dera
tikus lapar menggigit nyala.
(sarsa waktu itu engkau baru empat bulan
dan endah istriku belajar memahami kekejaman)

perjalananku, perjalanan penyair hangat di pelukan
            sahabat
kendati istriku menidurkan dalam kemanjaan
(sedangkan intel ulat bulu jatuh di tempat tidur)
dan perkara jatuh cinta
seperti tunas dirangsang alam dan daun kuning
yang harus jatuh

telah penat aku menyaksikan pembunuhan 32 tahun
tapi pasphotoku masih juga diganti kepala
            kambing hitam
penyair membakukannya dalam perjalanan
kata-kata, titik dan koma mewariskan kegelisahan
kembali menjadi manusia
pucuk bambu menari dalam topan.

perjalanan penyair melangkahi keterbatasan
geliat kegelisahan percik api kemanusiaan
sejenak aku beristirahat dalam pelukan kesejukan
                                   
Jkt, juni 99


NAMA SAYA ETE

selamat pagi
selamat siang
selamat malam

spada
kulonuwun
punteun
jero meduwe jero

karena tak ada jawaban
aku beranak bini numpang di emperan

suatu hari seorang penguasa memeriksa
“nama saya ete pak”
kusuguhkan katepe dan kartu keluarga
bukti sah yang kubawa-bawa

“oya, kelas dua.”

                                                1990


SAJAK PEGUNUNGAN

1. ketika datang

ketika datang matahari bersembunyi
di balik kabut dingin
dalam selimut tebal
seperti aku
ataukah kau
dari khalayak

jari jentik lembut hujan
membasuh tubuh-tubuh cemara
menyusup wajahnya
hijau ya hijau
hijau daun-daun
hijau lereng-lereng
hijau ya hijau
bunga kamboja rontok di rumput
dipungut lima kembang
ditebar di ujung bantal

2. pengembara baru

aku pengembara baru
yang berlabuh berulang kali dalam semalam
ketika hangat alami menyusup pori-pori
dan membangkitkan yang terpendam

ya istriku
aku di sini
luluh dalam pelukan dingin pegunungan

3. supper

segumpal daging tanah sawah
di atas roti tawar
dilumat
malam.
                       
1984


WAKTU

III

betapa tidak sabarnya aku menunggumu
waktu
halaman telah kuukur berulang kali
di pagi dan sore hari, jalan kaki
nafas telah kulatih panjang dan dalam
di lobang pintu selagi dikunci

betapa tidak sabarnya aku menunggu
waktu
sambil menghitung butir-butir
jagung dalam ompreng atau merimbang pasir di
            dalam nasi

aku telah menantimu siang malam
sambil diskusi, belajar tanpa buku
dan pensil, dari kepala ke kepala
aku menantimu
sambil mengenang manisnya
kekasih mempertaruhkan keselamatannya
untuk sebuah kiriman dan kunjungan di ruang
pertemuan

oi betapa tidak sabarnya
aku- kau jua yang mengajarkan
aku- dengan penuh
persiapan menyongsongmu

VII

waktu – engkau telah jadi lembaran-lembaran
kertas dan pena
yang merajut sejarah

dengan jeli mencatat keberangkatan
tanpa mata angin
tipudaya
telah menghalalkan semua cara
untuk mengejar dan membunuh
sekaligus – sebagai caru
– orang-orang itu –

catat juga jeritku
dari sebuah kawah
ketika langit lembayung bisu
menangkap rindu dan haru
ketika perjumpaan berlangsung
di bawah mata penguasa
gadisku yang sipit – itu—
bulat hati membayar janji


YATIM PIATU

belum jemu juga melagu sendu
lukanya hati pecahnya hati
kemarin pagi ayah pergi
tadi sore ibu lari

tetes darah tetes darah laut tak bertepi
sebulat lembutnya hati
dua dua pergi mati

dari mana ia datang
dari mana ia pulang

kemarin pagi ayah pergi
tadi sore ibu lari sejuknya cinta sejuknya cinta
dua dua pergi mati

dibakar hati dibakar hati
                                   
Singaraja 58


TANAH

Diraupnya segenggam tanah dari halaman tanah
airnya
Diraupnya dari bungkahan pematang sawah
ladangnya
Ditempelkannya di dada menyambut degup
jantungnya
Sambil melangkah menghapus lelehan air matanya

Begitu banyak orang kalah
Begitu sering orang menyerah

Dari puncak menara
Menatap bumi kecintaannya
merenungi oase-oase air mata
Yang tak kering dalam kerontang melata
Di bawah kerlap kerlip lampu beragam cahaya
Dalam tangis yang dipendam ia berteriak:
Merdeka.
                                   
Jk,07-95


GRONINGEN
KOTA UTARA BELANDA
Buat Thomas R.

Groningen kota di utara Belanda
Dipendam dingin dan senyap hati penuh tanda tanya
Aku tiba
Usai dari pelukan Berlin
Kecamuk permainan dadu
Dikawal serdadu

Groningen kota di utara Belanda
Tercatat di notes agenda
Sibrandaheerd rumah Natalia
Anak tangga pertama menjenguk ke jendela dunia
Bebek-bebek hitam berlayar di kanal hampir beku
Apa tidak kedinginan?

Hati riang bergoyang diterpa angin winter
Aku kini tahu apa artinya dingin
Mengiris-iris daun telinga.

                                    Groningen 14.01.90


DI SUATU MALAM DI HAMBURG
Buat dj & k.

Di sebuah gang di Hamburg dalam gerimis
Kiri kanan aquarium
Dehumanisasi senyum
Silet jaman mengiris iris daging jantungku

Pilihanmukah ini dalam perangkap
Atau erang sekarat ketidakberdayaan?

Di ujung gang doris dan karen menabrakkan tanya
Kerongkongan tersekat aku terdiam
“Aku sakit
Aku menjadi sakit”

Tercecer irisan-irisan daging jantungku
Di tepi tebing Hamburg
Malam dingin winter tiba-tiba gelisah resah.

                                    Hamburg 18.01.90


HONGKONG

Aku cuma ke Hongkong
Terentang kawat berduri pembatas daratan
Ibu, apakah ada intel nongkrong
Belajar akupunktur dituduh gerilyawan.

                                                1981


SEMADI DI BERLIN

I
aku datang compang-camping sarat kegelisahan
dan rindu harkat manusia yang hilang
langkah melayang-layang
tersengal nafas busuknya nafsu pengucilan

aku datang mencari cerobong
seperti asap
atau selokan seperti mata air merayap riap
atau pangkuan seperti kasih sayang
atau kawah tempat roh telentang
atau ruang langit kosong bisu menerawang

sehingga aku jadi sendiri
masuk dalam sukma
imajinasi tanpa bui
di tengah kebisingan kunyah mengunyah
aku menyepi
bahagia dalam sendiri
jiwa bersama sunyi menghentak-hentakkan gelisah
sesaat untuk memulihkan jelajah

II
menjauh, mencari kelengangan
membuat batas dan jarak antar perjalanan
mencintaimu di dalam perpisahan
engkau: alunan
kecamuk, kebangkitan
butir nasi
desah nafas

bungkah jiwa
tulang belulang
arus darah
dunia
engkau: cinta

menguning rontok daun musim gugur
langkah terkesiap di depan Brandenbur Tor

III
(siapa orang tertindas itu?)
aku terperangah tapi mulut terkatup
mata tertuju pada bintang di dahi
berkedip-kedip bisu
kupejamkan mata: berlari-lari dari jauh serigala
menabrak gundukan yang tertindas itu
dan dikunyahnya, kerakusan telah menelannya.

(mana sisa orang tertindas itu?)

aku pun ikut menguap

bulu-bulu salju
kepergok matahari

bocah-bocah membola salju
dilemparkannya ke kepala serdadu
wayang golek bermain di atas tembok berlin
dalangnya mabuk heroin

khusuk semadiku
hidup imajinasiku

IV
aku bersemadi dalam semadiku puisi
aku bercakap daalam cakapku gelombang demonstrasi
aku menangis dalam tangisku lapar ethiopia
dan geliatku geliat bangkit saudara hitam di afrika selatan


KETIKA AKU BERTANYA

ketika aku bertanya
langit memendam kegelisahannya
buruh-buruh kerjabakti memperkaya majikan
di bawah naungan undang-undang sejak dianyam
di dalam rahim sudah mengisap darahnya

ketika aku bertanya
matahari bergulir ingin dikendalikan penguasa
atas nafsunya, cahaya suram bagai rembulan
di balik gerimis, kepongahan
pulang dari ladang menghitung hutang
pertambahan

ketika aku bertanya, matamu melotot
dan kujawab dengan geram:
ini perintah!
siapa yang memerintah
dari kebuasan tak berwajah
tapi bersenjata lengkap, bertopeng
baju baja di atas kursi mas
apa katanya
tidak ada suara, hanya tangannya
memegang pulpen, bergerak menuliskan
ET di belakang nomer katepeku
(ia sedang menulis petunjuk jalan ke kuburannya).

                                                1990


WOLOFEO O WOLOFEO

I
Wolofeo O Wolofeo
bukit kemiri menari-nari
ke pangkuanmu o Wolofeo
pepohonan meniupkan desir sejuk setiap hari
air membasuh kaki tebing menyanyi tiada henti
bagai aliran enerjivital di dalam meridian
menyambut kasihMU

Wolofeo O Wolofeo
bukit kemiri menari-nari
gendang ditabuh angin
berdesau di puncak bukit kemiri
O Wolofeo
seruling satwa menandai pergantian musim
bergayut di dahan-dahan bukit kemiri, O Wolofeo

Jangan sebut angin, tubuhku berputar-putar
nyeri pada hati, O Wolofeo
keringat dingin meleleh diusap matari
O bukit kemiri, jangan kirimkan angin
batang ubijalar tercerabut dari bundanya
dan kami merayap berlindung di kaki kasih-Mu
Tuhanku, jangan lagi Engkau semburkan angin

II
Jika kau tanya di mana Wolofeo
di dalam peta ia tak tampak, tidak ada titik
Wolofeo
Jika kau tanya di mana rakyat tertimbun
kemiskinan, o Wolofeo
jengkal tanah kelompok nafas tidak tergapai
tangan, o Wolofeo
Orang bilang itu Wolofeo, tersembul di peta
kemiskinan,

O Wolofeo

III
Wolofeo, O wolofeo
seperti semut kami meniti bibir bukit
dari puncak ke lembah membasuh kaki telapak
kepanasan

punggung telah bungkuk memikul biji kemiri
sepanjang hari
sampai bersua nasi atau ubi

Orang dataran rendah seperti Paga
bilang kami orang gunung, O Wolofeo bukit kemiri
pelayan yang tidak layak tulis baca
tetap dikurung di bawah tempurung
biar kami orang Wolofeo tetap seperti kerbau

IV
Di lembah Wolofeo
di pangkuan bukit kemiri
koor gereja menghidupkan pagi
meniupkan nafas ke sanubari
api unggun desir hangat
mempertemukan anak gembala dalam kerabat
Wolofeo O Wolofeo
bukit kemiri menari-nari

                                                Flores 1996


SEPOTONG KUEH DUNIA, BALI

Sepotong kueh dunia, Bali
langit kehilangan rembulan
Denpasar dan pantai kuta dijilati
lidah lidah nyala lilin berayun ayun
pengantar perenungan korban Aids dikebumikan

sepotong kueh dunia, Bali
berjingrak jingrak merangsang lalat bertaburan
mengantarkan pembiakan kuman kuman
disambut gambelan dan tari, produk industri harga pasti
tapi buat siapa ini, burung burung terbang berhamburan
meninggalkan sawah diaduk bulldozer dan tongkat
pengamanan

sepotong kueh dunia, dihias dijajakan
langit kehilangan rembulan
sisa sisa jejak di pasir putih tenggelam
disapu buih dan busa luapan miras

siapakah yang sekarang menjadi leak?
mencintaimu, Bali
sepotong kueh dunia dihias bunga dan wangi dupa
diadon dari keringat dan ketulusan petani di desa desa
dikunyah di hotel hotel mewah
racunnya mengalir di pembuluh darah
terbatuk batuk selalu bertepuk tangan meriah

mencintai Bali, perih berlinang-linang
hangat dalam desah dan alunan gambelan
ketika langit meniadakan batas sanubari
aku menutup mata basah kegelisahan
menyaksikan mulut mulut raksasa mengunyahmu
sambil onani
Baliku, kueh dunia yang selalu laris
berapa lama lagikah keping terakhir di telapak
tanganmu
kau sembunyikan di pura menemani dewa dewi
mempertahankan pagar pagar jiwa dari amuk
polusi dunia

sepotong kueh dunia, Bali
bagaikan sesajen para bhuta
nyamikan para raksasa
airmatamu diteguknya bagaikan cocacola
percikan air suci betara betari
petani menghirupnya di telapak tangan
kembang jepun doa doa
ke khyangan menumpang dharma asap dupa

di suatu malam terperangkap aku dalam henyak
pantai Kuta kehilangan purnama
di langit gerhana
laut meneggelamkan asmara
kueh dunia dikunyah kalarau manca dunia

perempuan sudah tidak lagi nguncang ketungan
mengusirnya
sebab terserap oleh impian di depan telenovela
aku berteriak di dalam kebisuan: Dimana bulan
Denpasar?
beeeh tidak tampak
mungkin sedang menjalani tes HIV.

                                                                Bali, 1996


TEMBANG

kekawin jayaprana layonsari terdengar gemanya di
dalam sel
padahal sudah kukuat-kuatkan mata memejam
hendak tidur
langkah-langkah patah sepatu bergigi telah lewat
di teras
jam duapuluh empat hansip dan piket merobek
senyap

siapakah menembang menyaingi sepi
tak asing lagi suara nyaring lantang We Sari
tetangga perawan tua suka bercanda

jayaprana layonsari
kisah bali masa bercinta
kisah cinta dalam cita-cita

gema tembang siapa lagikah itu
tak salah lagi jerit hati penuai padi
mengusir lelah dipanggang matahari

ahoi, ahoi, bibi bibi yang bergegas di pagi buta
sapamu manis di jalan setapak menuju ke kali
mengapa mesti kudengar kembali di malam ini?

oi, masih hidupkah mereka
kenangan masa kanak tak pernah mati

jauhnya bali dari salemba!

baliku manis, baliku manis
tak pernah punah di dalam kehilangan.

                                                1976


MARSINAH

Marsinah bukanlah sebuah salam
Disambut burung gagak pembawa berita kematiannya
Marsinah bukanlah sederet huruf
yang ditulis pegawai kelurahan di kartu penduduknya,
seperti yang ia fotocopy untuk melamar pekerjaan
sebagai buruh di pabrik arloji,

Marsinah, marilah kita ulang namanya,
Sekalipun hanya dalam bisikan karena takut,
Ketika gerimis atau terik matahari
Mengiringi buruh yang meminta perbaikan nasibnya.
Marsinah.

Kenapa malam kehilangan jejak,
Karena malam tidak bisa baca tulis atau memotret
wajah pembunuh yang merengkuhmu.

Kenapa angin tidur, ketika engkau berteriak
kesakitan menahan dera di lubang sucimu,

Kenapa langit tidak runtuh membantumu dalam ronta,
Dan orang-orang itu telah membekukan jasadmu,
Darahmu tidak mengalir lagi dan desahmu padam
bersamaan jantungmu lunglai.

Marsinah bukanlah hanya nama sekujur jenasah,
Orang mencari dalam dirimu dan orang tidak
mendapatkanmu.
Orang meminta seperti pengemis bahagian nilaimu
Dan engkau tidak memberinya, sebab bukan
hanya milikmu.

Tanah tegalan yang mengisap kucur darahmu,
Mengeringkannya dari genangannya,
Menyimpan getarmu,
Getar yang tidak berkesudahan.
Dan cerita tentang menegakkan hakmu,
Telah mengukirkan sebuah makna pada dinding
kemanusiaan kita.

Dalam tidurmu di pangkuan tanah airmu
Orang menyebut namamu
Orang mencari pembunuhmu

Marsinah bukanlah sebuah salam
Disambut burung gagak pembawa berita kematiannya

Marsinah
Bukan hanya sekujur jenasah gelisah di dalam tidurmu
Jika engkau bertanya: dimanakah sekarang Marsinah?
Ia ada di dadamu, jika engkau merasa kehilangan
sebagian jatahmu atau engkau akan melihatnya
di mana-mana
pada sorot mata orang-orang tergusur dari
sejengkal tempat bernafasnya

Pada orang-orang yang selalu bangkit dan tersuruk
Karena tulang punggungmu memar
Tapi langit setia mengulurkan tangannya,
Mengangkat kembali,
Berulangkali
Dan awan-awan,
Burung-burung yang kehilangan hutannya
Membagi bulu-bulu sayapnya
Agar mereka berjalan kembali dan bangkit
Gerimis menyiram tubuhnya dari daki polusi
Dan matahari menafasi harapannya

“Lihatlah aku di pagi hari
Sebelum engkau melangkah kaki.”

Marsinah bukan lagi hanya namamu
Yang sudah kaku, bahkan membusuk di perut pertiwi
Marsinah telah menghidupkan dirinya
Dalam sejuta jiwa

Pembantu rumah tangga yang disiksa
Sesudah kehilangan haknya bicara
Petani atau buruh tani yang harus terbang bagai
sekawanan bangau karena lahannya dibuldozer
Orang-orang desa yang memupuk harapannya di kota
Tapi kota telah memburunya,
Pelayan restoran, penghibur malam yang menuai
keringat tubuhnya, dalam kepiluan dipulas senyum,
Korban perkosaan yang berulang-ulang jadi korban

Dan engkau,
Berkata kepada dirimu
Jika ada yang hilang dalam dirimu
Jika ada yang tak tampak dalam dirimu
Jika ada yang engkau sembunyikan atas ancaman
dalam dirimu
Jika itu, engkau
Bisikkan ke telinga dunia: “Aku telah melihat Marsinah,
Aku telah disapa Marsinah.”

                                                Jkt, 93


Tentang Putu Oka Sukanta
Putu Oka Sukanta lahir di Singaraja, 29 Juli 1939. Mulai menulis sejak umur 16 tahun. Menulis puisi, cerpen, novel dan cerita drama. Tahun 1958 pernah sebagai deklamator terbaik Bali. Buku puisinya: Selat Bali (1982), Salam (1986), Tembang Jalak Bali (1996), Die Sonne Die Mauer Berlin, Die Tasche, Er Gab Mir (cerpen dan puisi). Kumpulan cerpennya: Luh Galuh; Keringat Mutiara; Kelakar Air, Air Berkelakar. Novelnya Merajut Harkat. Aktif dalam praktik akupunktur.


Catatan Lain
Halaman v, bertuliskan prasasti macam ini:

Puisi telah menjadi
dirinya sendiri
meninggalkan penyair
mendatangi anda, di tempat kerja,
halte bus, ruang penyiksaan,
perpustakaan bahkan waktu
eksekusi atas dirinya sendiri.


Halaman belakang buku, ada coretan kata dari Kamala Candrakirana, Rosalia Sciortino dan I Nyoman Darma Putra. Penulis sendiri menulis pengantar sepanjang dua halaman (hlm vii-viii). Dan setelahnya ada tulisan Keith Foulcher sepanjang 3 halaman.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar