Laman

Tonggak

Jumat, 23 Maret 2018

Burhanuddin Soebely: RITUS PUISI



Data buku kumpulan puisi

Judul : Ritus Puisi
Penulis : Burhanuddin Soebely
Cetakan : I, Oktober 2017
Penerbit : Pustaka Banua, Banjarmasin
Bekerjasama dengan Panitia Aruh Sastra Kalimantan Selatan XIV Kandangan 2017.
Tebal : xii + 66 halaman (40 puisi)
ISBN : 978-602-9864-69-4
Editor : Aliman Syahrani
Layout : Pustaka Banua
Desain sampul : Kayla Untara
Prolog : Aliman Syahrani

Ritus puisi terdiri dari 2 bagian, yaitu Ombak dan Pantai, Sajak-sajak 1982-1987 (20 puisi) dan Ritus Puisi, Sajak-sajak 1992-1999 (20 puisi).

Sepilihan puisi Burhanuddin Soebely dalam Ritus Puisi

Sanginduyung

Kenangan Diang Malintang

mengalirlah air, mengalirlah air mencapai muara
meredamkan desau angin ke batu-batu tepi
gigir bukit sepi. Ingin aku berbisik:
telah berkembang Turun Dayang di hutan mainan
menjuntai seperti rambut panjangmu
sehabis keramas di atas lanting

jelang musim petik – ingin  aku damping
tapi aku tak tahu siapa yang membujuk
hingga begitu cepat kau tinggalkan ujuk
padahal kemarin malam bersintuh tangan kita
sambil babangsai di lantai balai

mega pun merah senja – pembaringanmu
bertabur kembang tanjung
berwatas sanginduyung

pecah harap gigil batu
rumput cuaca membisu

1982
Turun Dayang = nama anggrek hutan Pegunungan Meratus
Lanting = rakit
Ujuk = kamar rumah adat Suku Bukit
Babangsai = tarian pergaulan Suku Bukit
Balai = rumah adat/rumah besar Suku Bukit
Sanginduyung = bilah-bilah bambu yang ditancapkan di sekeliling kubur, ujungnya runcing mengarah langit, dimaksudkan penangkal makhluk jahat yang ingin mengambil mayat



Ritus Puisi

pada bari-baris Puisi
kusaksikan berkas-berkas cahaya
berkumpul kembali ke Keindahan
dan semesta cuma sehembus nafas
yang membagi-bagi diri
menjadi cermin Keesaan

pada baris-baris Puisi
kutemukan arasy di dalam hatiku
kutemukan singgasana di akalku
kutemukan sidrat di bentuk tubuhku
kutemukan ruh di nafasku
hingga aku mengerti kedudukanku
yang Kau muliakan di sisi-Mu

duh, Yang Maha
limpahi pencerahan di puisiku
agar ketika orang-orang membaca
segera bertasbih memuji-Ku

1994


Di Pagelaran Topeng

gamelan memburu sukmamu memburu langkahku
langit darah mega mendung hilang wajah
dipanggang terik mimpi. Kian jauh jalan
dari garpa bunda kian suluh damar
kian sayup sindin Kekasih

memasuki wilayah gaib, sinar putih
cermin batu – kacakan  jajar topeng
wajah-wajah asing tarian kehidupan –
wahai, manakah wajah yang inti
mana wajah bentukan puncak sunyi?

di tengah ayakan miring
perlahan kulepas topeng kuhirup darah kehendak
dan matahari –runcing  panah Janaka—
menghempas karang-karang rahasia
timbunan makna

(duhai, mandikan aku, Kekasih
agar aku pulang sebagai Aku)

1982
Sindin = suluk, sinden
ayakan miring = salah satu irama gamelang/karawitan Kalsel


Opera Banjar

—Ma, kita ke sini membawa bahasa bunga
kenapa bulan menggugurkan duri duka?—

ah, jangan berkaca di kening purnama, nak
berkaca saja pada keruh air mata
barangkali esok garuda penunggu kota jadi iba
dan kita sempat mengais remah di sisi piringnya

kita adalah wajah berdaki yang luput menjemba
jukung nang dikayuh baimbai
keburu melaju memburu biru muara

kita adalah miang dermaga
penunggu dapur balu
yang dibungkus kain tambal seribu

—Ma, bandarmasih bandar tambat beribu jung
adakah tersisa satu saja untuk kita?
Nining Antih di bulan
Sudah kian bungkuk punggungnya—

ah, jangan berkaca pada kening purnama, nak
berkaca saja pada keruh air mata
kita percayakan ketukan abadi di pintu langit
pada zikir pertama Samudera

1985
jukung nang dikayuh urang baimbai = perahu yang dikayuh orang bersama, kayuh baimbai (kayuh bersama) adalah salah satu motto kebersamaan di Kalimantan Selatan
Samudera = pendiri kerajaan Islam pertama di Tanah Banjar


Aku Cuma Punya Kata

aku cuma punya kata
kuberi ia sayap
untuk terbang ke rumahmu
melihat tulisan-tulisan
dan rahasia perbendaharaan

ia selalu pulang
dengan sayap terbakar

aku cuma punya kata
kuserahkan pada seorang tua
minta dibuatkan sayap yang kukuh
dan diterbangkan ke rumahmu

ia selalu pulang
dengan sayap terbakar

aku akhirnya jera
setiap kata hendak terbang
kuikat dengan benang penyerahan

aneh, rahasia tulisan
dan perbendaharaan-Mu
terbuka sendiri

1993


Kasidah Cinta

dalam doa malamku, aku mencoba menafsirimu
dan berguru pada tetes hujan yang bersunyi
di rumah tiram sebelum menjelma mutiara

dalam doa subuhku, aku mencoba menafsirimu
dan berguru pada embun yang membisikkan
rahasianya di rajah daun

dalam doa siangku, aku mencoba menafsirimu
menangkapi isyarat-isyarat mercu
bahasa purbani kerdip matamu

sungguh, aku mencintaimu
itu sebabnya
aku tak pernah selesai menafsirimu

1997


Membaca

bacalah!
dan aku pun mengeja berulang kali, menapisi keterbentukan
dari aksara yang kautinggalkan. Tapi aku tak bisa membaca
karena setiap kueja aksara masih ada bersisa

bacalah!

dan aku pun mendaraskan nama-nama, menyuling keragaman
dari bayangan yang kauciptakan. Tapi aku tak bisa membaca
karena setiap kudaraskan nama masih bersisa

bacalah!

dan kau pun meletakkanku dalam cahaya, sehingga aku
jadi tahu: aksara akan membuta jika pembaca
                 dan yang dibaca masih ada antara

1996


Kasidah Diri

sudah pagi. Masih gurun yang itu juga, nasar
yang itu pula. Dan sebagai musyafir takdir
kusiapkan lagi perburuan. Barangkali untuk menjaring
matahari, barangkali untuk memanen khuldi
atau barangkali tidak untuk apa-apa lagi

kekasih, mengapa di kesucian pipi kaugerai
lagi rambut hitam itu? Padahal dini tadi
berulangkali kumaklumkan inna shalati wa nusuki
wa mahyaya wa mamaati lillahi rabbil’alamin

sudah pagi. Masih gurun yang itu juga, nasar
yang itu pula. Dan sebagai musyafir takdir
di atas lari kuda kulepaskan kendali. Bukankah aku
cuma petak tanah tempat kaubermain tali?

1999


Kasidah Walau

walau berabad sudah kita bertangkap lepas
takkan bisa aku mengenalimu
kalau kamu tak mengenalkan dirimu

walau berabad sudah kuasuh rindu
takkan bisa kita bertemu
kalau kamu tak menghampiriku

walau berabad sudah kubasuh hati
takkan bisa sampai ke inti diri
kalau kamu tak menyucikanku

1999


Tahajud

selaksa damba dalam susun jerigi
menyilak watas rahasia. kau-ku ketemu
dalam ruang muat berdua, menjalani wicara
di ketelanjangan dada, berlapis sutera

tak kutampak semi dan rindu di palung matamu
tapi aku ingin damping selalu, bertangkup dada
berpiuh rasa, sama menepis sangakala purba

selaksa damba dalam susun jerigi
berkayuh jiwa berlingkup cahaya. Wahai, janganlah
berujung kebersamaan kita, kendati nanti kaubalik dunia

1985


Pada Sebuah Pelayaran

pesona lautlah yang membujukmu melepas perahu
dari tiang tambat dan menorehkan nama ke dermaga
tanda pernah di sana. Selebihnya cuma janji
akan kembali bila terompet lokan berbunyi

sebagai anak ombak kau pun merasa mengerti bahasa laut
ganggang berayun, pasrah dalam zikir
camar berkepak, cemas dalam zikir
badai menghempas, gemuruh dalam zikir
karang menggunung, kukuh dalam zikir

tapi laut tak cuma memeram badai tak cuma menyimpan
karang. Seribu peri berjuntai di akar malam
nyanyinya begitu memabukkan dan membuatmu
membuang pengayuh, berlabuh ke teluk orang usiran

suatu senja orang tak berwaktu menikammu
di ujung nafas melintas dermaga lama
hitam dirajam batu-batu langit
dan ketika telingamu menangkap suara terompet lokan
kau tak lagi punya pilihan

1995


Dalam di Dalam

dalam di dalam diam, berapa banyak tersimpan
rahasia kata? Terbentang jalan terkuak sawang
bercakap kau-ku di keabadian kelindan

adakah kenikmatan lebih yang lebih
dari cakap diam dalam sungkam?

dalam di dalam sungkam, tak ada lagi
jarak kau-ku. Berangkap hati bertaut jari
simpul tali sisal ke tunggul jembatan

adakah kedalaman lebih yang lebih
dari nyusur jalan dalam damping?

dalam di dalam diam, dalam di dalam sungkam
sirna cuat duri salak. Di bening mata telaga
terkaca rumah janjian. Di dalamnya kita

kekasih,
sempurnakan lidahku mengejamu dalam luka
di saat pemburu itu mengkuku dada

1987


Hari-hari Larut

hari-hari larut
dalam jam kabut
dan kau pun bertanya
tentang Negeri Cinta
(barangkali karena malam bulan mati
Barangkali karena siang terik sekali)
selebihnya cuma doa
membilang Nama-Nama

hari-hari larut
dalam jam kabut
dank au pun beramsal
tentang Negeri Asal
(barangkali karena tapak tak berjejak
Barangkali karena rimba membelantara)
selebihnya sungai air mata
membisikkan rahasia luka purba

1996


Lagu Sangsai

(kunang-kunang di utara
mengisyaratkan malam hampir tiba)

sudah saatnya mengubur kapak
dan gendewa, membawa zirah Adam
ke Kutub Cinta. Tapi miang cuaca
menjadikanku tawanan keinginan
di atas kuda yang mengidam
rumput bulan
– kelaparanku, Tuhan
    tak pernah puas
    dengan piring di pintu-Mu –

(jika perpisahan kita jadi jalan ke dekat-Mu
harusnya sempurnalah kesukaan pada hampa)

begitu penuh jam-jam bimbang
pun embun menyembunyikan rahasianya
hilang-hilang di daun-daun

kujelajahi lagi kota-kota
dan terkesiap:
                  semakin lelah kepak sayap kupu-kupu
                  semakin rimbun bunga-bunga

1992


Tentang Burhanuddin Soebely
Burhanuddin Soebely lahir di Kandangan, Kab. Hulu Sungai Selatan, Kalsel, 2 Januari 1957.  Sempat kuliah di Fakultas Teknik Sipil UII Yogyakarta namun tidak selesai. Tamat Fisip Universitas Terbuka jurusan Administrasi Negara. Bekerja di dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Kumpulan puisinya Patilarahan (1987) dan Ritus Puisi (2000). Novelnya Reportase Rawa Dupa, Seloka Kunang-kunang dan Konser Kecemasan, merupakan pemenang II Sayembara Cerita Bersambung Majalah Femina tahun 1997, 1998, dan 2001. Menulis skenario sinetron di TVRI, menulis dan menyutradarai film Matahari Samudera (2006). Juga aktif menulis naskah teater dan menyutradarainya bersama komunitas teater, Posko La-Bastari. Menerima anugerah budaya dari Gubernur Kalimantan Selatan tahun 2010. Meninggal 28 Mei 2012 dan dimakamkan di desa Asam Cangkuk, Kandangan.


Catatan Lain
                  Aliman menulis pengantar yang dijudulinya Purama Pancalatun (hlm. v-vii). Di tulisan ini terungkap bahwa puisi-puisi ini sudah dalam bentuk naskah utuh berupa buku yang diprintout dan dijilid sendiri secara manual. Di balik cover ada tertulis Dewan Kesenian Hulu Sungai Selatan sebagai penerbit, dengan edisi cetak pertama adalah bulan Januari tahun 2000. Dus, tanpa ISBN tentu.  
                  Halaman persembahan bertulis: Buat Pejalan Rindu dan Penyujud Cinta. Dan pada bagian belakang buku ada Burhanuddin Soebely dalam Memoar Penyair Kalsel (hlm. 49-62), yang berisi sekitar 28 komentar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar