Laman

Tonggak

Jumat, 27 April 2018

Riki Dhamparan Putra: MENCARI KUBUR BARIDIN



Data buku kumpulan puisi

Judul : Mencari Kubur Baridin
Penulis : Riki Dhamparan Putra
Cetakan : I, September 2014
Penerbit : Akar Indonesia, Yogyakarta.
Tebal : x + 137 halaman (55 puisi)
ISBN : 978-602-71421-0-7
Penyunting : Raudal Tanjung Banua
Desain isi : Frame-art
Desain cover : Nur Wahida Idris
Gambar cover : M Yusuf Siregar. Ironi II, 2007, 117 x 97 cm

Sepilihan puisi Riki Dhamparan Putra dalam Mencari Kubur Baridin

Cerita Sungai

Di dalam hidup yang singkat
Selalu ada sebatang sungai panjang
Dihuni oleh seekor naga raksasa
Penyu keramat
Dan katak pelangi yang abadi

Airnya tak tercemar
Delta-delta tidak rusak
Padahal abad-abad yang melaluinya
telah pada binasa

Begitulah hingga nanti ketika kiamat datang
Sungai ini mengambil tempat
di dalam harapan manusia
kepada surga yang dijanjikan untuk para budak
dan orang-orang saleh

April 2008


Cerita-cerita dari Padang Gembala

belimbing,

bocah gembala itu
susah payah ia memanjat pohon belimbing
dari batang menggapai dahan
menjangkau buah di ujung ranting

di mana rembulan padang
di mana kampung seberang
di tikar pandan mengukur diri
mengikat ruh dengan janji

lihatlah keningnya sampai hitam
ceruk matanya tersuruk
bagai pusaran tersembunyi di bawah
lubuk dalam
namun ia sendiri merasa semakin dangkal
sepanjang hari berzikir
bayang tidak menemu badan

tak seorang menyapa
ketika ia turun dengan tangan hampa
tak seorang menuntun
ketika ia kembali naik
ke pohon yang sama

ada terdengar dedaun gugur
temanten anyar
terkulai lemas di tempat tidur


kerbau,

ke sungai jernih
tanpa isi kepala
si buyung memandikan kerbau yang tak mau mandi
karena tak tahan berdingin
kerbau itu mati

tergugu-gugu si buyung pulang
airmata tak terkubur
air sungai yang jernih ia sesali
sepanjang umur

hingga matanya buta

katak,

seseorang sedang membuhul
masa lampau
untuk menjadi katak katanya
untuk mengikat kata

maka jadilah orang itu
manusia pertama di bulan

burung pungguk,

seekor burung pungguk
telah tenggelam di laut tak berair
tapi tak binasa
hatinya yang gelap bahkan
terus menyigi lazuardi

seorang nelayan menemukannya
tapi nelayan itu tak pernah lagi kembali
ke rumah

jalan lurus,

pada titian serambut dibelah tujuh
kamu lah sehelainya
menatih tapi juga ditatih
mengejar dengan tangan dan kaki terikat
di tiang hakikat

jangan memaksa diri
kamu tak akan menemu siapa siapa
di seberang
sebab kamu lah yang ditemukan
pada saat itu
lupakan pintu rumah
demi Sang Tuan

sebutlah Ia Paduka
kata terindah yang pernah dicapai leluhur
serulah Ia dengan suara ayunan cangkul
di tanah keras tanah lumpur tanah kapur tanah subur
di akar dari segala jejak yang lurus
menuju aras

Ia ada di sana
saat engkau baru saja ingin naik ke bukit bukit
atau pun saat
tersesat di lembah lembah curam
tanpa tangga
bahkan bila engkau tak sanggup lagi berdiri
Ia akan memberimu sepasang kaki

lebih kuat dari darah dan tulang belulang
mengangkatmu serupa parasut
tiada pautan

tak ada misal yang sempurna
buat menerangkan hati kepadaNya
sebab Ia bukan misal
dari apapun di alam raya

Mei 2009


Jalan ke Tilong

Pada jejak yang pulang
Aku tinggalkan untukmu jalan ke Tilong yang sunyi
Pohon tuak seratus tahun dan wangi gula air
Bocah-bocah berbahu kayu
tertatih-tatih memikul derigen air

Aku tinggalkan juga sepotong senja purba
Bukit-bukit hantu
Dan jurang-jurang yang dalam
Di tempat mana Pah Nitu bangkit
serupa larung yang memanggil-manggil
di ambang malam

Ia begitu dekat
Dan mungkin ingin mengambilmu
Namun ia tak memiliki jalan
Ibu Tua di langit telah mengikatnya
di tempat-tempat pemujaan

Maka datanglah kepada angin kepada debu
datanglah kepada yang memiliki isi kebun
dan bendungan
kepada Pah Tuaf yang mengirim
badai dan penyakit
kepada Ibu Tua dan Ama Tua
yang berdiam
di langit paling tinggi

Apa kamu masih menanam padi dan jagung
Apa kamu masih menyadap nira
Atau mungkin kamu marah
kepada hidup yang tidak adil
Adukanlah semuanya
Peluklah pohon
Menyanyilah di pucuknya

Kasih bumi tak berhenti
Pada jejak yang pulang ia menemanimu
bersama roh
orang mati

Kupang, April-Mei 2008

Catatan Kaki
- bendungan Tilong terdapat di desa Oelnasi, 10 km dari kota Kupang. Diresmikan tahun 2002 oleh Presiden Megawati.
- Pah Nitu (roh atau dunia orang mati) dalam kepercayaan Suku Dawan, Kupang daratan, NTT.
- Uis Pah bersama Pah Nitu diyakini meraja di dunia dan tinggal di hutan, batu-batu karang, mata air, pohon-pohon besar dan gunung-gunung. Mereka juga mengirim penyakit dan badai dan merupakan penghubung kepada kekuatan tertinggi Uis Neno.
- Ama Tua dan Ibu Tua, diyakini sebagai representasi dari Uis Neno dan Ena Neno atau Tuhan Langit. Dalam mantra pertanian suku Dawan, Uis Neno ini kadang disebut dengan kata Ama Neno (Ayah Tua) dan Ena Neno (Ibu Tua).


Memasak Daging Kurban

Hari yang gemilang. Biarlah hari ini tetap diingat
sebagai hari yang gemilang
Hari daging dan belanga
Aroma pandan dan jeruk nipis membasuh amis
bau udara

Hari ini aku membaringkan sajak-sajakku
di antara hewan kurban
Sajak-sajak manis dan sedih
Sajak-sajak yang pilih kasih.
Aku menjagalnya. Dengan ridha Tuhan
aku mengembalikan darahnya
kepada rumput dan sari tumbuhan
kepada tanah dan air
kepada cahaya

kepadaMu yang memiliki semuanya
Berilah sajakku jalan
Biarlah ia mengepul serupa sup hangat di meja makan
Ia ingin menjadi bagian dari keluarga
Menjadi nenek, menjadi burung kakak tua.
Sajakku ingin tertawa
ia ingin bahagia dengan gigi palsu
yang telah lama menggigitnya

O, berilah kesempatan.
Kukuslah anganku dengan uap daun di dalam dandang
biar ia wangi
biar ia padu menjelma getah dan tepung pisang
berilah pula lidah
berilah pula sepasang tangan indah
biar ia peka mencecap
biar ia menghidang
buat seluruh penghuni rumah

Bila ada tetangga datang
Bila datang penagih utang
Biarlah sajakku melunasinya dengan sebait janji lagi
: sajakku tak akan lari!
Ia akan berdiri di pintu depan
Menunggumu dengan sepotong penganan ringan
sebilah pisau
dan mata bulan

Sajakku akan bersulang
Ia akan semerbak bagai mawar yang menghilang
dari jambangan
Mawar yang telanjang

Bila suatu hari sajakku pergi jauh meninggalkan kampung
Bila suatu hari sajakku letih mendaki gunung-gunung
Biarlah aku pasrah padanya
Biarlah aku dikembalikan
serupa sungai-sungai mengembalikan bayi-bayi
kepada Ibunya
bayi-bayi cinta
bayi-bayi yang sempurna karena derita

Atau aku akan turun ke sumur dalam di tengah hutan
yang di dasarnya seorang bocah nyaris beku
menunggu pertolongan

Dan bila musafir itu tiba
Sajakku tinggal rangka
Nyawanya telah diambil untuk menebus impian
para pendeta

KepadaMu yang mengunci dan membuka seluruh rahasia
Sajakku telah kukorbankan
Darah dan dagingnya telah kubasuh dengan penyesalan
Seperti Nabi Yunus
Bernafas dengan insang ikan-ikan

Kini ia memohon ampunan
Terimalah usianya yang tua

Ribuan tahun sebelum Babylon dan Mesopotamia
Jutaan tahun sebelum Kaisar Cyrus menegakkan
tiang-tiang istananya
Sajakku telah menjadi kubur yang terjaga
Ia mematahkan sayap burung gagak
Menebus kematian dengan mahkota di jambul si burung merak
Seorang pemburu tak bisa mendekatinya
Karena seorang pemburu adalah pencuri
Sebelum sampai
Ia akan diterjang oleh panah-panah api yang dibawanya sendiri

Dan di malam kelam
Sajakku kadang datang seperti angin di tingkap
Mengetuk pintu dan kaca lampu
Menghembuskan harap yang telah padam
Kadang aku mencarinya di jaritan benang pada tikar
pada bayang-bayang bunga di sarung bantal
Namun aku tak pernah dapat menemukannya
Aku hanya bisa mendengar suara hatiku sendiri
            yang masih belia
Tidakkah sajakku yang meronta seperti Ismail kecil
di tengah gurun pasir
Ketika di antara Sava dan Marwa
Budak hitam yang mulia itu berlari-lari
mencari sumber air?
Sajak telah memberinya telaga
Dari kasih yang kudus
Rahmat yang tiada putus
Sajakku, wahai Engkau
Terimalah di tempat yang terbaik
Buatlah ia putih seperti kain kapan penutup badan
Ketika di hari yang penuh berkat
cinta disempurnakan dengan bakti dan pengorbanan

Kalau di sini suara hujan masih tersedu
Kalau di sini bumi masih merintih untuk melahirkan
seorang yatim piatu
Biarlah sajakku menjadi Ayah Ibu.

Maka biarlah terus kuingat,
biarlah terus kucatat.
Di hari yang gemilang ini aku
merindukan semua yang pernah diberikan sajak kepadaku;
sekilo daging di belanga,
santan garam,
aroma serai dan daun kunyit
menimbang amis hidup kita

Semoga menjadi nikmat, semoga menjadi berkat.

Denpasar, 2007


Misal Kau Dirah
: sebuah prolog

Di Daha, suatu malam
            Sesudah lewat bulan mati
Yang susut padamu akan sumringah
kembali

Datanglah kepada Dirah
Bawakan untuknya seorang lelaki
Dari Rinduku
sehelai rumput yang bersujud
setelah lelah menanggungKu. Ia tak suci
Tapi di tangisnya Aku turut tersedu
Dan dibisikbisunya segala suara
Adalah nyanyian kepadaKu

Di dalam ranselnya bekalmu Kuisi
Dipejam matanya jalan-jalanmu akan Kusuluh
Kuterangi

Bawalah ini
Kamu diutus!

Kirab,
Kutinggalkan diriku
Kumasuki sebuah pintu sempit
di sisi sayap yang akan membawaku
; sebuah mesin terbang darurat
tapi tidak menggunakan avtur dan tombol
penekan udara
ada hanya sebuah koordinat
yang dipandu oleh sepasang tangan hampa. Aku terangkat

Tidak! Akuk hanya melihat diriku luluh
ke dalam sebuah talang cahaya
Ruang mengirab
Aku tak tahu lagi siapakah yang ada di dalam
siapakah yang tengah menunggu di luar sana

Kutub ini dingin dan mati
Tapi aku mendengar degup di mana-mana
bunyi nafas, gelembung darah, air tulang,
berpadu dalam suara koor senyap
yang tak terukur
kata-kata
Tak terukur waktu
Tapi mengikatku dalam suatu garis lurus
di jantung perjalananku

Aku letih sekali ketika mendapatkan diriku kembali
; sebentang samudera
burung-burung menunda buih di batasnya

Tak ada matahari
Ada hanya sebatang geretan kayu
yang juga letih
menunda sisa api
Dan siur angin melemah
Di kedap itu juga
segala amsal tentang asal
menjelma layar
yang segera
akan musnah

Tinggal nir saja. Sebuah kuil tiram
Di mana diri hanya jejak
yang hapus
terkukus
air garam

Sementara itu di Dirah,
Tanah terlanjur busuk
Tamu-tamu tak dikenal menyelusup
ke gubug-gubug penduduk

Mereka tak seperti serdadu
Tapi di ransel mereka ada seragam
Dan di gulungan kertas yang mereka bawa
sejumlah nama dicoret lalu ditambahkan
setiap malam

Setiap malam
Tuhan! Tahun apa ini?
Sepertinya orang-orang tak akan berhenti
Setiap orang seakan baru saja
menerima diri mereka terhubung
pada sehelai tali pusar
terbungkus oleh rasa takut dan lapar
yang asal
Setiap orang kini
memasang bandul besi di seluruh pintu
dan jendela
dari tempat mana mereka mendengar
suara kulit tebu dikelupas
seperti bunyi sembilu
yang baru saja ditarik
dari daging di leher kelian, sepupu,
anak, pendeta, suami
dan orang-orang yang menyayangi mereka

Setiap malam pula sejak ini
Setiap orang harus membuang seikat kayu api
ke dalam hatinya
menyulutnya dinihari
membiarkan puntungnya tetap menyala
hingga pagi tiba
hingga siang dan senja kembali datang
sepahit biji kopi yang masih dijemur
walau tak pernah ada cahaya

Ini adalah musim
Di mana setiap orang harus pasrah memendam
mata padi
yang terluka di batangnya
Di sebuah tahun yang patah
Jejak-jejak menggembung
serupa kubangan lumpur
Semak-semak menitik darah
Koak gagak dan pekik murai melarung
di kisi-kisi daun gugur

Amis sekali
Periksalah! Sumur-sumur itu ditutup
karena berisi orang mati
Setengahnya mungkin masih hidup
saat dibenamkan
Cobalah gali! Gali yang dalam! Siapa tahu
di bawahnya ada sebuah lorong
sebuah jalan keluar

Tapi tanah terlanjur busuk
Di lorong yang mereka temui orang-orang
tak pernah ingin mendapat petunjuk
Mereka bahkan tak pernah keluar

Dihadang Para Pengawal,
Aku terangkan padamu si guyang
Kami kira dia menari
Bukan! Dia begitu karena dia tidak
mempunyai pijakan
Padahal ia sangat berat
Dan baju yang ia kenakan tidak mempunyai
badan untuk melekat

Kamu kira dia apa?
Dia hanya seekor jaran rongsokan
Kulit kering yang dipacu
di atas nafsu dan lamunan
Ia kira ia ke utara
Padahal ia ke selatan
Ia kira ia memberi cinta
Padahal yang dibawanya itu penyakit
dan kematian

Begitu pula si elang laut, si gayung tua, si rambut jarum,
si palasik, si tinggam api, si sirampeh, si biso-biso
mereka ini mambang
bayangan kosong dari seutas benang
yang sangat panjang
benang gaib penciptaan

Tapi kamu telah mengasuh mereka
Membuat mereka ada dalam ketiadaan mereka
Seolah kamu ini Tuhan
dari segala yang bernyawa
Tidak, Rangda!
Kamu ini hanya segumpal darah yang marah
Di relung kasihmu seorang lelaki terkunci
Hanya karena dia pernah berbuat salah

Janganlah begitu
eluarlah! Sebuah maaf telah menantimu
seperti sepasang matahari
di balik awan basah

Tak diceritakan ada perang
Aku Meminang,
Akan begitulah Dirah itu, Rangdaku
Terimalah
Airmata tak pernah cukup
Kematian bukan satu-satunya jalan
untuk sampai ke akar hidup
Sudahi semadimu
Kita sudah malam
Tak perlu lagi membuat sesaji dari sekam
Tak perlu lagi api

Maka beginilah, Hadijahku
Aku meminangmu

Aku buatkan lagi untukmu seorang Ibu
dari nafasku
sawah ladang yang luas
hutan-hutan dari beburung
yang terbang lepas

Bila kelak bayi kita lahir
yatim tanpa diriku
Atau piatu tanpa dirimu
Sebuah kitab akan menjaganya
Seorang Ayah! Seorang Ibu
dari kasih kita!

Diselesaikan di Denpasar, Maret 2006


Lara Jongrang

/1/
menjelang subuh
akan kau lihat keajaiban lelaki

Sekeping candi tertunda
Sisanya luluh dicela Dara
Yang tak berdosa
Tapi tergesa memohon fajar tiba

(dini hari
ilau dendang dan tangkup lesung
gaduh memukul biji padi
seisi desa bergegas
kukuk ayam melepas cemas
ke tapal batas

waktu tertipu
999 mukjizat sirna bagai debu
terhapus bagai jejak yang musnah
di pucuk kering batu-batu

tak ada yang keseribu
ada hanya setitik api kandil yang ganjil
yang menggigil
tersihir desir
tanpa siasat!
dan kutub-kutub penuh lampu
tersesat di bubun abad penuh cacat

seperti kutu
menyesap di darahku
bersembunyi di balik kutuk
yang membeku di lempeng bisu
masa lalu
masa penuh prahara
di mana sajak-sajak adalah nasib
yang dikacip
tanpa perlu menulis nama)

Tapi lelaki
adalah sepotong jimat yang keramat
Tak pernah terlambat

Walau nestapa
Ia tak perlu kawah-kawah untuk memendam
dendam duka
Tidak juga sebuah armada perang
yang akan menyerbu
di subuh buta

Ia hanya perlu sebilah pahat tajam
sekeping gerinda
dan jantung timah yang tidak rontok
terpukul
palu godam

Sisanya ampelas,
sebatang paku tembok dan mata padas
terbungkus di selembar kain bersisip
benang emas

Ia mencipta!
Lempung mati candi-candi berdegup kini
Tak tertunda

/2/
Aku membuka upeti: sepucuk surat!
…Seorang kacung telah menyobek
selembar babad
Mukanya berseri
Dikhayalnya para gundik berdandan
Menantinya dalam tirai bulan
bersulam dingin awan

Semua jadi putih
Bayang-bayang jagat yang kosong
kini terisi kisah-kasih

Ia menulis asmara
: sebuah kekuatan!
kavaleri dan infanteri menyerbu
di garis depan
yang melawan itu musuh
yang lemah itu tak punya pilihan
kecuali mundur atau terbunuh

Inilah asmara
: gadis-gadis ditawan
pajak-pajak dipungut di sepanjang
negeri taklukan
Tapi inilah juga khayal yang lara
Babad antik khatulistiwa
: pulau-pulau bungkam
gunung-gunung tidak memberi batas
pada kesedihan

Huru-hara di mana-mana!

/3/
Mayapada
Dari siapakah mayapada
Dari siapakah para leluhur
mendapat wangsit untuk lenyap
bersama abu
turunannya?

Dinding langit tak tertembus
Oase demi oase terkubur
di gurun-gurun tempur
yang tandus

Para prajurit tak kembali
Tidak juga berkirim pesan
Tetapi istri-istri yang tak lagi mereka sentuh
terus mengidam harta rampasan

Anak-anak gadis bunting
Terak-ternak yang juga hamil
berkubang di bekas-bekas sumur
yang telah mengering

Hingga penuh bilangan bulan
Mereka bersalin
sendirian
menjerit-jerit serupa bayi yang dikunci
di peti-peti kayu
yang akan dihanyutkan

Sungai-sungai tercipta
Payau-payau bakau mengenang hijau
di kening angkasa
Tebing-tebing cemas
Makhluk-makhluk air tergamang di kedalaman
tak berbatas

/4/
Bukan aku menulisnya
Bukan juga aku yang mendadak haus
ketika segalanya pupus
dan hidup terlantar seperti dongeng pasir
yang meletus
di puncak-puncak kudus

udara mengeram
tambang-tambang sulfur mengeras
menjadi kerak-kerak logam
Bukan aku menisiknya
Bukan juga aku yang menebar rusuh
ketika para penambang itu mulai berbunuhan
berebut mendirikan kemah di atas benteng-benteng
yang telah ditinggalkan

Bukan juga seorang dara
Tapi kabut hitam!
Gelombang panas yang menyusup
bersama candu
melekat di urat
malam demam

O, ia menggirik nyawa
Padahal ia bukan kumbang
Dan sayapnya fana mengepik terik alang-alang

Desember, 2005


Limang

Selamat datang
kepada saat yang belum datang
Limang emas yang mekar dan tujuh lapis
lipak sutera
Akar mayang yang gatal
berlimpah getah dan minyak bunga

Sehari itu tak ada kumbang dan kupu-kupu
Juga wangi madu
Angin tak lagi liar dan di laut letih
Camar-camar menjelma buih
yang tergetar
saat aku melemparkan tali jangkar
: engkau kuterima. Bismillah

Tidakkah akan demikian kelak
Kapan aku menemukanmu
pada pucuk-pucuk layar
yang terisak
melamunkan akhir ombak?

Sehari ini kita diarak
bagaikan cermin yang gemilang
Jalan-jalan berhias
Bawakaraeng dan Lompubatang mengulur pinta
ke bawah Aras

Dayang-dayang mengembang payung
Riang salawat dan kelong dendang
menghapus luka
orang sekampung
Tak dapat kulukiskan selengkapnya
Tamu-tamu datang dan pulang
Aroma beras dan gula kelapa bercampur harum
kue serikaya

Bau kemenyan dari tengah ruang
Datuk-datuk yang keramat sedang bicara
lewat sedah kapur dan sirih pinang

“Ini semua untuk mempelai yang bahagia.
Malin Kundang yang gagah
Putri Nakhoda yang jelita…”

Sehari itu, sayangku
Langit membuka rahasianya yang paling dalam
Di bantal kapas yang lembut
Sepasang jiwa berpelukan menidurkan
letih impian

Kekallah di sisiku
Aku telah mengancing giwang baju
mencukur rambut
menyarungkan badik di sebilah gading
membiarkannya  dingin dan terikat
pada bayang-bayang tiang
yang menunduk
ke bawah hening

Di situ juga aku membungkus jantung rembulan
Lalu menggantungnya tinggi-tinggi
Seumpama jatuh atau tumbuh
Tak guna disesal lagi

Maafkanlah aku
Jika di ranjang kita tak ada erangan kuda-kuda liar
Jika gegar musik dan gemerlap lampu-lampumu
telah kutukar dengan sebuah
lentera damar
Jika pada laron-laron yang mengerebutinya ruhku
ikut hangus
terbakar

Aku menginginkan sedikit
rasa hangat saja malam ini. Dari sisa candu
yang mengisapku serupa asap dupa
di persajian kecil
Sebab begitulah aku
ingin memilikimu sebagai api
sebagai kunang-kunang dan kerlip bintang

Sekarang ini di sini
baru ada sebuntal pakaian kusut
Di paku dinding yang buram
sehelai baju terbang
tergantung ringan bagai parasut

Belum ada awangnya
Belum ada udara dan tempat labuh
Pun air
Masih terkurung pada palung-palung gemuruh

Namun aku telah menggaraminya dengan hati yakin
Membuatkannya selat dan kanal-kanal
Melepasnya bersama ribuan burung laut
yang riang
menuntun arah kapal

Juni 2007
*Limang = Pelaminan, dalam bahasa Makassar. Puisi ini diilhami cerita Malin Kundang saat ia menikahi Putri Nakhoda yang berasal dari Makassar.


Di Kaki Merapi

sebelum ke surga
singgahlah dulu di kaki Merapi…

Di Desa Kinahrejo yang sentosa
Aku hanya seorang tamu biasa
Datang ke pondok engku Marijan
Seorang hamba sahaya
Kaki tangan kesunyian

Aku serupa kertas saja di depannya
Lusuh dan buram
Badanku amis
Ingatanku kumuh oleh debu
kota Jogyakarta
Dan isi dadaku
Hanyalah gugusan sungai-sungai coklat
yang menyusut
di sepanjang tanah Jawa

Betapa aku limbah
Betapa aku sampah
Betapa pula semua itu harus tertegun
di depan sepasang mata tua yang amat indah
mutiara yang bersahaja
tiram air kathulistiwa

Kadang kulihat ia
bagai sepucuk keris murni
besi kecil yang bersujud ke tapak bumi

warangkanya batu pualam
gagangnya Khalik semesta alam

jika menusuk terlalu lembut
jika membelah sehelai rambut

lekuknya langit yang tujuh
tegaknya alif di batang tubuh

Tidak sembarang akan bersua
Tidak sembarang akan utuh menggenggamnya
Kulo tidak
Ingsunpun tidak
Apatah pula kodok yang banyak
Maka maaflah kata yang lancang
Mengusik jati di  rimba orang

Sebab kadang rasa kudengar ia memanggil
Serupa angin serupa kabut
Aku berdesir

2007


Tetap Kecil di Batur

Balai STA, Toya Bungkah
Apa dayaku
Batur begitu murung
Tebaran mega Takdir
menjelma larung
di pucuk gunung

Tasik yang tenang ditinggalkan
Zaman gemilang tiada kunjung didapatkan
Apa dayaku

Di Yeh Mampeh, doa
Aku masih ingin berkata-kata, Tuanku
Jadilah lidah
Ludahkan padaku luka bebatu yang menggumpal beku
di lapis pasir dan pinggang bukit-
bukit patah
tambang-tambang liar
lambung gurun yang gemetar
menahan muntahan lahar

Agar kulihat rupa diri
Agar tersingkap selubung kabut yang makin tebal
menutup hati
Aku ingin menimangmu di sini
di tempat seperti ini
bukan di tempat lain
sebab di sinilah batas
di sini diri hanyalah wahyu kertas
yang tak utuh bernafas

wahyu yang tak benar ada
tetapi aku telah menerimanya
seperti seorang mantan sopir menerima jarak
antara kemudi
dan genggaman tangannya
antara wajah istri yang masih tidur
saat ditinggalkan
dan kerling mata perempuan penghibur
di bilik-bilik penginapan

Maka jadilah pegangan
Tunjukkan padaku
sebuah cara untuk berdiri dengan tubuh kayu
membuat akar dari kesiur angin
dan reruntuhan debu
debu yang pulang
angin yang pulang
bersama mereka aku
ingin menjadi nyala lampu
merebut petang
di ladang-ladang bawang

Bila pagi tiba
Aku pun ingin kau ikut berlarian
Menjadi alas kaki di telapak kaki kanak-kanak
yang terluka
oleh kerikil di jalan-jalan

Menapaklah
Padang-padang belum terlalu payah
Seekor dua anjing gunung
masih melolong
di hati penyair yang patah

Kintamani, Juni 2006


Lamahala

Jika penyair mati
Laut ini akan dilupa bersamanya
Misal pun punah
Isyarat tak terbaca
Sedang pulau pulau yang terik
akan tampak seperti kuburan matahari
yang terapung di tengah
gelombang buta

Tak ada kemah peziarah
Tak ada yang mengambil bunga
dari batas pasir
membuat jembatan dari gelembung
di pucuk air

Jika penyair mati
O, jangan sampai penyair mati
Sebab dadanya adalah kuil kandil
tempat bersuluh ikan ikan kecil

Atau dapatkah kamu mengikat selat
dengan warna bianglala
menjaganya di dalam mata bocah
yang lasak menggaru seisi desa?

Di tanah mandul berbatu
Ia buat anganmu bunting
Ia teguhkan akarmu
dengan fosil batu yang hening
memagut tebing tebing

Ia kirimkan juga untukmu undangan pesta
Lengkap dengan foto mempelai
yang bergenggam tangan
menaiki tangga bahtera
Semua itu agar kau senang
bersenang-senang
selamanya

Tak hanya di Lamahala
Di mana pun jika kau pulang
Jika masih kau merinduku
serupa musim yang tak sabar
terbalut asap
daging panggang

2008-2009


Cerita Petang

Tau tau sudah petang di Jakarta
Apa mau dikata
Walau sedih baiklah diterima saja

Toh, apa yang patut telah dilakoni sepenuh hati
Usia telah ditebus dengan kerja
Kerja dengan cinta
Cinta dengan cerita
Bila alurnya kusut dan endingnya patah
Janganlah terlalu merasa bersalah
Mungkin cerita sedang mencari benangnya sendiri
Dan kalau buhulnya kasar
Dan kalau isinya hambar
Baiklah dimaafkan
Lantaran kisah ini bukan lagi tentang manusia
Tapi tentang alamat
Tertulis pada sampul kertas yang sudah tua dan cacat
Ada gambar roda di situ
Ada rumah sakit
Ada pasien yang membuat kota dari lembaran-lembaran kulit

Jakarta, 05-09-2013


Di Bawah Patung Ina Boi1

Tataplah dengan mata yang tertutup
Semenit lalu di Kupang
Seorang gadis telah menjadi patung
demi sebait puisi
Ruhnya melintasi karang dan pulau
Hening mengendus bau samudera
Menghalau riak ke lambung kapal yang diam diam
memasuki teluk
untuk mengambil kain dan bulu kuskus
Tak luput kayu cendana
Lengkap dengan gading dan nekara Alor

Orang kata kapal – kapal itu
bertolak dengan hampa
Sebab ombak mendadak ganas
dan angin bertiup kencang
Di daratan matahari
Bilah gading dan cendana
tinggal lamur
dikenang-kenang

Nona tinggal nona
Aku tak bisa meminangnya
Sebab baru semenit lalu di sini
kutemukan ia
telah menjadi patung

Ruhnya menjelma air garam
memberi hidup pada gugusan terumbu
dan ikan-ikan

Tataplah dengan mata yang tertutup
Di gurun luas yang panas akar-akar
menembus kepingan batu
Tangan-tangan lontar
menenun peluh di tubuh ibu

Wangi gula di mana-mana
Setiap hati musti telanjang
untuk dapat merasakannya

Mei-Juni 2008
1Ina Boi, sebuah patung di wilayah Kupang


Batas Rantau

Ingin kudengar darimu akhir cerita

Hingga sikilang aie bangih ombak mengombak
serupa ombak juga
Hingga durian ditekuk raja buah durian berduri juga
Di manakah ada buaya hitam dagu
Di manakah sirangkak nan tidak berdangkang?

Ingin kudengar darimu ketika pulang

2004


Mencari Kubur Baridin dan Suratminah

/1/
kau masuki relungku
kau daki gigir bukit di punggungku
seperti memikul isi bumi dan isi langit
kau buat kasih
menjadi beban dalam pilu nasibku


Tapi aku tak akan jadi Baridin, kasihku
Karena engkau juga bukan Ratminah
Walau telah menyakitiku

Engkau hanya dirimu
: sebait mantra teluh
cahaya kilat yang menjejak
dalam kelam penuh gemuruh
meniupku
menipuku
mengikat nama di atas nama
yang terlarang di lidahku

Sebab bila aku paksa mengucapnya
sedih kembali tiba
kenangan akan gelombang pasang
makin menyintak isi dada

Aku memang terluka
Tapi hari ini kupaksa diriku
untuk tak ikut melepas mantra
Puasa sakit hatiku kututup sudah
Kuda-kuda kaca yang menunggangku
telah kuhalau
ke kawah-kawah darah

Aku tak meninggalkanmu di situ
Karena bukan aku yang membawamu
Aku tidak juga sedang berpamitan
untuk kembali menjemput janji-janji
pun tidak untuk surat-surat
yang ingin kutulis bagi diriku sendiri
Kita tak pernah bertemu!
Itulah yang terjadi

Dan aku tak mendengarmu pergi
Seperti pula engkau
tak mendengarku berjuang
memaafkan diriku sendiri
Atau saat susah payah aku ampuni
arca-arca batu yang membisu
di jalan-jalan asmaraku
yang tak suci

Hati tak seperti matahari
Tapi cukup terang untuk menuntunku
di lorong panjang kematian ini

/2/
Kuburku kelak
adalah tanah yang sejati
karena berani mengubur kisah-kisah api
Para penari disucikan
Kubah-kubah dibangun di sepanjang petilasan

Aroma kemenyan menebar harum
Lawang-lawang memberi salam bagi mereka
yang datang memohon ampun

Tinta penyair menuju pulang
meniti huruf di sumsum tulang

Jiwa akan terus bernyanyi
Untuk mereka kelak yang tak sekali
akan menjengukku di sini

Sunyaragi, Februari 2006
*) Baridin dan Suratminah adalah cerita rakyat popular di Cirebon yang dibawakan dalam pertunjukan Tarling. Karena Baridin hanya seorang pemuda miskin, orang tua Suratminah menolak pinangannya. Baridin memlih jalan pintas untuk mendapatkan Suratminah. Ia menggunakan mantra Jaran Guyang dan melakukan puasa empat puluh hari agar niatnya untuk menggaet Suratminah terkabul. Di akhir cerita, keduanya gila. Masyarakat percaya, kubur Baridin dan Suratminah ada di Gegesik, Cirebon.


Kanji Asyura

/1/
Nasi telah menjadi bubur
Itulah sebabnya kita menangis
Maka tabuhlah si gendang tasa
Buanglah pedang
Kirimkan salam
kepada mawar yang terkubur
bersama lumpur
di lalaga

Mawar yang sentosa
Darah Husain yang semerbak di dalam wangi
seluruh bunga

Hari ini Asyura
Hari ini kita bergembira mengarak tabut
ke jalan raya
Menghoyaknya di pasir
Mengembalikannya pada kesucian air

Kalau badanmu luka karena terlecut
duri pandan
Kalau nafasmu sesak terbungkus sengak
bau kemenyan
Itulah saat yang baik memejam mata
Lirih pinta biar terdengar
Pucat wajah biar bersinar
karena menahan
haus dan lapar

Jangan takut
Janganlah gentar
Rasa perih bagaikan nikmat yang tersamar

Maka tabuhlah si gendang tasa
Buanglah pedang
Senduklah bubur yang mengepul hangat
di ujung petang

/2/
Bubur yang gurih
Pulut merah dan pulut putih
Gula kelapa telah dituang
Sebatang pisang
mengulur tunas di tanah lapang
Aku bertanya tentang warna bendera
Darimanakah kapas
Darimanakah benangnya?

Ketika itu Perlak dan Pasai
masih sesunyi kuil-kuil
Sekawanan burung enggang datang
Orang-orang di gerbang Samudera
menyongsongnya
dengan sebuah tarian kandil

Dulang pun ditatah
Sedah sirih berlapis gambir
Mengikat lidah dengan lidah
“Kepada sayap yang letih
dan tubuh garam yang lusuh
Gerangan apakah yang membawa tuan-tuan
datang dari negeri yang sangat jauh?

Kami tiada mempunyai emas di sini
Tidak pula sesuatu yang berharga
Terumbu telah punah
Minyak damar dan kapur barus
sudah lama tidak ada”
berkata Ninik yang bijak sambil
mengetuk gagang tongkatnya

Bubunnya mendadak ringan
Tempat duduknya yang tinggi mendadak lenyap
dari pandangan  

Tapi kawanan burung enggang itu
Lebih mengerti jalan cahaya
mereka memasuki tiang
dan mendapatkan Ninik bersembunyi
di dalamnya

“Salamum alaikum
Mengapa sejauh itu, wahai tuan
Kembalilah ke tempat semula
Di sini ruh dan tubuh begitu indah
bermadah
Di dalam sujud tidak terjatuh
Di dalam hati harus merendah

Mengapa membuang madah
Mengapa menghapus rupa
Antara hamba dengan Khalik
ada batas yang nyata
Di situlah Muhammad
menyimpan Nur Ilahinya
Di situ pula rahmat
Tercurah buat seluruh
alam semesta

Maaflah jika kami tersasar kemari
Kami tak membawa pedang
dan sebilah pun senjata tajam
Tidak pula kami bermaksud mengambil emas
memeras damar
di tambang tuan

Namun jika dibuka palang pintu
Inginlah kami berehat barang sejenak
di tikar pandan
tubuh yang payah biar berbaring
haus yang panjang sudah rindu bertemu air”

Itulah mula cerita
Sekawanan enggang datang dari seberang
Bilik yang sempit mendadak lapang

Lapang selapang-lapangnya hati
Luas selajang kuda berlari

Maka duduklah bersama-sama
Kenangkan Ninik
Kenangkan kandil dan kupu-kupu
yang mengurung diri di senyap bilik

Selembar tingkap telah dibuka
Esa hilang
Dua dibilang sesudahnya  

/3/
Selat Melaka yang megah
Bandar-bandar dipenuhi kapal yang singgah
untuk mencari rempah-rempah
Meriam dipapah
Dayung-dayung dikayuh
dengan tangan lemah
orang-orang terjajah

Sebagian armada mungkin ke timur
untuk mengambil pala
Sebagiannya ke barat
untuk mengambil emas dan kapur barus  

Sebagiannya tertinggal
di lembah dan ngalau ngalau
Menjarit sedih dari sobekan-sobekan kitab
yang tercecer di pinggiran
pulau pulau

Orang-orang itu
Entah bagaimana mereka bisa
menemukan ibu kita
di antara kuil-kuil runtuh
di pulau perca
Entah bagaimana mereka bisa
berhelat dan menikah
Selagi penghulu dan ninik mamak
dipenjara di loji-loji bangsa Eropa  

Entah bagaimana pula kelak keturunanmu, penyairku
Di pelamin kita tak ada pohon sawo yang rindang
tak ada kandis dan gelugur
tak ada asam si riang-riang

Bila aku memelukmu dalam tidurku
Bila aku membelaimu dari helai rambutku
Yang kubelai selalu hanyalah kesunyianku sendiri
Ketika antara aku dan bantal menyatu
bagaikan mayat di peti mati

/4/
Mungkin poyangku rata semua semata
di dalam sukma yang tak mengenal darah
Mungkin di dalam ruh sajak-sajakku
ada pohon pinang yang tumbuh
tanpa mengenal
warna tanah

Tetapi angin mana yang tega menyemainya
hingga ia tumbuh begitu sengsara
Tangan siapa yang tega mengupas kulitnya
di panas terik

di lereng-lereng tandus Bukit Barisan
sajakku mengelunsang merindukan riak air tasik

/5/
Nasi telah menjadi bubur
Itulah sebabnya aku menangis

Maret 2008

Kosa kata :
- gendang tasa adalah gendang yang dipergunakan saat ritual menghoyak Tabut. Jumlahnya dua belas.
- Lalaga, peti kayu dalam tabut yang melambangkan kubur Imam Husain
- Pulut merah dan pulut putih, beras ketan yang warnanya merah dan putih.
- Perlak, Pasai, dan Samudera kerajaan Islam pertama di Aceh
- Enggang, burung enggang. Tapi dalam hikayat dan tambo alam Aceh dan Minangkabau merupakan perlambang dari ninik yang datang ke pulau Perca dari seberang.
- poyangku rata semua semata, diambil dari baris sajak Amir Hamzah berjudul Doa Poyangku.

Asyura adalah hari ke sepuluh bulan Muharam. Pada hari ini masyarakat Islam tradisi di beberapa tempat di Nusantara seperti di Aceh, pinggiran Sumatra Barat dan beberapa tempat di Jawa memperingatinya dengan berbagai macam ritual. Tradisi ini pada mulanya untuk memperingati kematian Imam Husain di Karbala. Di antaranya membuat Kanji merah-putih atau yang lebih dikenal dengan Kanji Asyura. Di Pariaman dan di Bengkulu peringatan Asyura dilakukan upacara menghoyak Tabut. Di Ternate dengan Badabus dan beberapa tradisi lain.


Tentang Riki Dhamparan Putra
Riki Dhamparan Putra lahir di Kaji Talamau, Sumatra Barat, pada 1 Juli 1975. Memulai proses kreatif di Kenagarian Lumpo, IV Jurai, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar, dengan mendirikan Sanggar Welidtra. Tahun 1994 hijrah ke Denpasar untuk bergabung dengan Sanggar Minum Kopi. Sejak 2007 rajin melakukan perjalanan budaya ke Indonesia bagian Timur. Sejak 2009 mukim di Jakarta. Puisinya tersebar di banyak media massa dan jurnal sastra. Juga menulis esai dan features budaya. Pernah bekerja sebagai redaktur. Kumpulan puisinya yang pertama: Percakapan Lilin (2004).


Catatan Lain
            Penyair membuka buku ini dengan tulisan sepanjang 2 halaman, yang dijudulinya Matur Suksma. Setelah itu ada halaman persembahan yang berbunyi begini: Cenderamata/untuk anakku Ufuk Sidratul/dan guruku Umbu Landu Paranggi.
Sampul belakang buku memuat kutipan sajak “Memasak Daging Kurban”:

kepadaMu yang memiliki semuanya
Berilah sajakku jalan
Biarlah ia mengepul serupa sup hangat di meja makan
Ia ingin menjadi bagian dari keluarga
Menjadi nenek, menjadi burung kakak tua.
Sajakku ingin tertawa
ia ingin bahagia dengan gigi palsu
yang telah lama menggigitnya

1 komentar: