Laman

Tonggak

Selasa, 12 September 2023

Nezar Patria: DI KEDAI TEH AH MEI



Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Di Kedai Teh Ah Mei
Penulis: Nezar Patria
Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta.
Cetakan: I, Juli 2018
Tebal: 68 halaman (30 puisi)
Penyunting: Tia Setiadi
Tata Sampul: Agus Teriyana
Tata Isi: Venus
Pracetak: Antini, Dwi, Wardi
Sumber gambar cover: https://tumbusama.com
ISBN: 978-623-293-077-3 (PDF)
Prolog: Joko Pinurbo (Langit Puisi Nezar Patria)
 
Sepilihan puisi Nezar Patria dalam Di Kedai Teh Ah Mei
 
DI KEDAI TEH AH MEI
 
Bahkan sumpit ini gagal menjumput hatinya
sepiring mi kering memendam jarak
dan sepi menancap di kaki-kaki meja
 
Seceret teh menyeduh apa saja yang pahit:
bebunga krisan dan pucuk lotus
Aku meneguknya, menebus semua rindu
dan dosa yang tak terhitung sempoa
 
Kutangkap senyum Ah Mei di lukisan itu
Ia dimsum hangat yang berdiam di bibirku
 
2016
 
 
CINTA DALAM SETENGAH BLUES
 
Cinta, katamu, adalah tangga nada
dan kau pun mulai menyusun not buta
 
Kudengar piano itu berdenting, garing.
Ada suara saksofon, monoton.
 
Mungkin kau tak mengerti
Cinta bukan partitur biasa
 
Tak bisa dimainkan dari la
Lalu berhenti sebelum si
 
2012
 
 
DI BIOSKOP BERSAMA PALASIK *
 
Dalam gelap itu kau masih terpekur
di ubun-ubun para penganggur
di leher para pencuri
 
Lalu di dada setengah matang para peri
 
“Apakah ada dara pahit berhati manis?”
 
Tiba-tiba kau mengingat bulan merah jambu
kadang ia mirip gulali di belanga
dalam mimpi bahagia para pekerja
 
Betapa sakitnya rindu yang permai
Seperti bibir meraba denyut nadi
di leher seekor punai
 
Geligi haus darah begitu geram
menanti di antrean pendek
Gigitan sendu yang dalam
dan tak bertakik
 
Betapa kau ingin kembali menjadi palasik
di kota yang lampunya tak pernah padam
dan orang-orang yang lupa jalan pulang.
 
2016
*) Makhluk mitos pengisap darah dalam cerita rakyat di pandai barat Sumatera
 
 
CATATAN DI DINDING PENJARA
 
Di sel ini hanya ada sedikit cahaya dan seribu tiga belas garis
di dinding murka setiap senja. Aku akan menambahkan
sembilan ratus sembilan garis lagi setelah berhenti melukis
wajah ibu, ayah, kakek, paman dan orang-orang kampungku.
Mereka petani sedangkan aku pencuri.
 
Sebelum fajar tiba akan aku gores garis baru mirip wajahmu.
 
 
BIOKIMIA RINDU
 
/1/
 
Berapa lama kita harus memohon
kepada karbon agar pohon-pohon
menghidupkan kembali kenangan
yang terbakar musim tak tepat waktu
 
/2/
 
Daun-daun menggigil sehabis hujan
bulir hidrogen berteduh di gelas labu
ada ledakan-ledakan kecil
tersisa dari wangi rambutmu
 
/3/
 
Aku kini menjelma logam
tak terkikis oleh karat
dari rindu kapal yang karam
adakah kau tahu ia betapa berat?
 
/4/
 
Rindu adalah cahaya yang tertegun
cinta semalam dari sebuah lubang hitam
“Kun”, katamu
“Fayakun”, kataku
 
/5/
 
Jejakmu tak lagi ada di peta genetika
tak juga di rantai DNA
setelah makan malam itu
kau dan aku sebisu batu
 
2016
 
 
MENGHADIRI PENGAJIAN RUMI
 
Alif.
Pada Alif aku belajar segala awal menuju Ya. Dia muncul
suka-suka dari balik kitab, lalu mengabarkan sebelum
ada cahaya, semesta adalah setangkup gelap. Ia tak takjub
melihat bumi hanya sebutir debu, karena di kerjap mata
kakinya terayun bima sakti. Begitulah kau ada dan tiada
seperti Alif berjalan menuju Ya. Aku tak paham. Ia mungkin
dongeng dari mereka yang kurang tidur siang. Rumi selalu
mengantuk sewaktu aku bertanya soal rahasia-rahasia.
 
Ba.
Ada lelaki tambun berbaring di pematang. Ia Ba, perut
bulatnya tak berhenti berguncang karena tertawa. Wajahnya
selebar teratai di kolam air mata. Dia mengatakan aku tak
sampai ke nirwana jika tergoda sebundel arsip bagaimana
cara bergembira. Ia mengambil segulung kertas, lalu menulis:
“Samsara adalah sumur daya cipta bagi segala termasuk
menimba kata bahagia”.
 
Ta.
Aku duduk bermuka-muka bersama Ta, dan segera ia
membuatku jadi skizofrenia. Segala yang melintas pada Ta
akan terbelah dua: langit-bumi, air-tanah, bahagia-derita.
Aku tak bisa membaca mana lebih baik, ke kanan atau kiri.
Di kanan bersarang para pesolek pemuja diri. Aku lebih
suka ke kiri karena begitulah Rumi mengajariku mengaji.
Ia tak menghujah jika aku hilang arah. Ia hanya berbisik
di antara benar dan salah ada sebuah sabana, dan dia akan
menemuiku di sana.
 
2015-2016
 
 
RITUS EMPAT DUA
 
Namun tak selalu senja tiba,
dan langit jadi muram
Kembang bakau sehitam arang.
 
Atau angin menjadi labil.
 
Langit oranye.
Perahu-perahu melaju
Tanpa peta.
 
Namun tak selalu kertap sisik ikan,
tilas kersik karang
Tercatat di tiang pelabuhan.
 
Ini ritus empat dua
Kau kembali berbisik, “Turunkan layar, sebelum senja”.
 
Namun tak selalu camar pulang,
setelah matahari terbenam.
 
2012
 
 
DI SEBUAH BILIK
-- untuk wiji thukul
 
Di bilik ini waktu tak berlari
pagi datang tanpa cahaya
dan jemari lupa pada angka
Berapa lama harus pergi?
 
Yang setia hanya kata-kata
yang mendesis-desis di celah pintu:
seperti napas para pemburu
yang busuk di kepala penguasa
 
Adakah yang lebih kedap
dari gema tetes air kran
Atau cerita-cerita yang tersekap
dalam harap yang tertahan
 
Tak terdengar lenguh para buruh
suara kereta dan tapak kaki kuda
atau derit mesin jahit tua
atau wajah perempuan berpeluh
 
Ada suara kaleng terbanting
mirip denting tulang belulang
lalu kata-kata kembali terjengkang
Kapan waktunya pulang?
 
Di bilik ini kata-kata berdengung
oleh nyanyian para bocah
 
“Tong-potong roti
roti campur mentega
Belanda sudah pergi
sekarang siapa gantinya”
 
2013
 
 
ZIARAH KAWAH
 
Lubang besar itu adalah cincin
yang terlepas dari jemariku dan kamu.
 
Masih terasa getar bibir kawah itu.
 
Mengeja legam bongkahan rindu,
hujan yang memahat kerak debu.
 
Adakah ia sekadar gejala geologi
atau gerowong retak hati,
yang mendesak ingin pergi?
 
Siapa pun mengintip ke liang itu,
akan melihat magma cinta,
membara diam pada batu-batu purba.
 
2013
 
 
DI BENTANGAN GURUN
 
Yang rebah di bentangan gurun
sebutir debu pongah
Yang tersuruk di selokan keraguan
tubuh yang menyerah
 
Kucari Kau
di ratap kaum hina
di gelak tawa para pendusta
 
Apakah yang masih berharga
dari tubuh berbedak hitam?
Kusebut namaMu dalam ancaman
hujan asam dan angkara
 
MemanggilMu dalam sujud sedih
wahai nama-nama menggetarkan
Doa-doaku mungkin kesiangan
catatlah ia dalam rindu mendidih
 
Kuhadang Kau separuh bimbang
bukan perkara neraka penuh arang
bukan soal surga berlimpah susu
 
Ya Rabb, jangan tinggalkan aku
sendiri di gurun sunyi
terbenam di laut berkalang lumut
terapung abadi di tepi galaksi
 
2017
 
 
MALIN KUNDANG
 
Bahkan saat dikutuk menjadi kepompong batu, engkau
kalahkan suntuk panjang itu dengan menggambar kembali
dirimu. Titik demi titik, lalu garis, dan sebuah bentuk. “Ini
bukan metamorfosis yang sulit,” katamu. Mereka tak tahu.
Sebelum menjadi batu, jiwamu adalah kupu-kupu.
 
2012
 
 
Tentang Nezar Patria
Nezar Patria lahir di Sigli, 5 Oktober 1970. Lulus dari fakultas Filsafat UGM 1997. Bekerja di Majalah Berita Mingguan Tempo (1999-2008), redaktur pelaksana VIVA.co.id (2008-2014), wakil pimred CNN Indonesia (2014-2015), Editor di The Jakarta Post.
 
 
Catatan Lain
            Penyair menulis 2 halaman pengantar dan Joko Pinurbo menulis 10 halaman prolog. Begini kata Jokpin di halaman 12: “Begitulah, Nezar Patria telah menjadikan langit sebagai citraan penting dalam sajak-sajaknya. Langit telah dilepaskan dari sisi romantisnya. Bukan lagi langit yang memancarkan keindahan semesta dan keagungan surga, melainkan langit yang memperlihatkan luka dan derita manusia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar