Laman

Tonggak

Selasa, 30 Januari 2024

Emi Suy: AYAT SUNYI

 

Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Ayat Sunyi
Penulis: Emi Suy
Penerbit: Basabasi, Bantul, Yogyakarta.
Cetakan: I, Mei 2018
Tebal: 88 halaman (61 puisi)
Penyunting: Tia Setiadi
Pemeriksa aksara: Reza Nufa
Tata sampul: Airawan Ratra
Tata isi: Kay
Pracetak: Kiki
ISBN: 978-602-5783-06-7
 
Ayat Sunyi terdiri dari 2 bagian, yaitu Ayat (34 puisi) dan Sepilihan Sunyi (27 puisi)
 
Sepilihan puisi Emi Suy dalam Ayat Sunyi
 
Ayat Sunyi, 1
 
kuncup kamboja mekar
di perempatan jalan
 
bulan sabit
terbit di langit kamarku
 
temani aku
menggenggam rindu
 
hujan bulan juni
riuh sekali
 
derit pintu menua
menahan duka
 
telaga biru
menggenang di mataku
 
perih kecapi
berdenting di dada sunyi
 
 
Perempuan Sunyi
 
Hanyut di sungai waktu
berkelok menuju laut
 
Perempuan sunyi
menyimpan arus deras di bulu mata
akulah…
 
 
Menyeduh Rindu
 
Aku ingin menyimpan secangkir kopi dalam ingatanku
ada bekas bibirmu di dalam rasa kopi itu
karena aku menyeduhnya dengan aroma rindu yang
          mengepul
kuaduk dengan penuh cita rasa
 
          Kau beri aku wajah teduhmu dengan senyum
          paling tamarin
setiap gurat-gurat dalam kerutan mulai meleleh
setiap tatapan mengaduk secangkir waktu menjadi hangat
Jangan pernah lepas dari ingatan
yang menggenang di senja paling telaga
 
Di tempat ini, kau dan aku, saling berbincang pada
permulaan senja
pada dinding sunyi yang bersebelahan dengan jendela
berhadapan dengan kaca yang memantulkan wajah kita
dalam tatapan yang hampir saja pecah
 
Aku meminangmu menjadi jingga, karena aku perempuan
          senja
Perempuan senja itu pemilik sunyi
Karib dengan detak jam dinding, melewati setapak, tebing
          yang curam
juga lautan waktu yang membawanya terdampar diempas
          ombak
yang menggulung kisah tanpa kesah yang dikeluhkan
Meski kerap kali kelu dan pilu tak mungkin tak datang
          bertandang
menerjemahkan waktu sesungguhnya ketika aku dan kau
          mengeja detak jarum jam dan degup jantungmu di
          saat yang sama
 
Biarkan seperti adanya saat alarm menjadi sunyi
embun dan dedaun hening dalam berdiam
Elegi senja temaram di antara jendela tanpa kaca, itulah
jeda semestinya
 
Maka, biarkan sunyi tenggelam dalam jeda malam yang
          temaram
Barangkali, sunyi dan senja kini tertelan sepi
mati terkubur serpihan waktu di balik jendela rumah tua
 
 
Ayat Sunyi, 18
 
di antara aku, kau, dan puisi
selalu ada sunyi
 
sepasang cangkir berisi cokelat
senja yang tersesat
 
 
Ayat Sunyi, 30
 
aku dan sunyi
masih sama seperti malam sebelum hujan
menciptakan lautan dalam pikiran
 
biduk doa
berlayar menujumu
 
aku masih dengan rindu yang sama
biru yang sama
malam kesekian kali
dengan kopi kesunyian
 
 
Dewi Sri
 
tandur berjalan mundur
mengitari luasnya rasa
menabur benih harapan di lahan garapan
 
doa-doanya subur
merindang di antara parit-parit
sambil menunggu panen tiba
 
 
Untukmu
 
malam merambat
anak-anak sajak menyungai di matamu
kecipak air basahlah wajah
kubenamkan seluruh rindu
pada dadamu yang laut
setelah kuhabiskan malam
dari balik kaca jendela
jarak yang terlipat
doa kulangitkan untukmu
 
 
Ayat Sunyi, 7
 
sunyi itu bening
sebagai embun
tak pernah melukai daun
atau mengotori jendela
 
sunyi itu hati
semadi di pipi puisi
 
 
Ayat Sunyi, 24
 
awan sepekat kopi hitam berarak di mataku
nyanyian sunyi didendangkan angin
tarian hujan senja kopi pucat pasi
mentari lembayung lebih awal
pulang ke peraduan menggelincirkan kelelahan
dan sunyi pulang ke pelukan tangan mungil
tangan lembut melelehkan lelah
menuju rumah yang sebenarnya
rumah di aman menanamkan rindu dan kehangatan
rumah di mana senyum beranak pinak
pundak-pundak yang siap saat membutuhkan
rumah tempat merebahkan raga
yang fana menuju pulang
ladang ibadah menaburkan benih budi pekerti
agar kelak menumbuhkan pohon rindang berbuah manis
setiap helai daun akan gugur dengan makna
pulang akan disambut ceria dan celoteh
yang menjadi energi kebahagiaan sederhana
saat aku menjadi kami
bersama secangkir kopi
 
 
Ayat Sunyi, 33
 
kaukah sunyi itu, kekasih?
hujan yang setia menunggu
gemericik yang ritmis selalu romantis?
kaukah itu mengajarkan tarian yang tabah?
 
langit tak pernah marah
meski bumi enggan memeluk
sebab hujan satu-satunya pelukan
maka biarkan aku menjadi kekasihmu, hujan
 
betapa jembatan adalah waktu penghubung
dari masa depan
dan harapan dibentangkan langit dan lautan.
begitulah kata menunggu kita dalam antrean panjang
 
betapa kita jatuh pada kata-kata
dan kota sebagai ingatan yang
menyungai pada waktunya
mencintai adalah menunda rasa sakit
pada saat kelak di antara kita tiba giliran
kukira sebagaimana gibran berkata:
cinta adalah ketakutan dan kekuatan!
 
 
Kau Remas Bayangan Bulan
 
Kau remas bayangan bulan jatuh mangambang
di atas kolam
percikan demi percikan, kecipak demi kecipak
wajah malam sedingin hujan yang jatuh dari dahan
 
Air mata jatuh tak bisa kau halau
segalanya bergulir mengalir di sungai waktu
sampai ke laut
hanyutlah sepi pada setangkai anyelir
dan bulan mendesah di mataku
 
 
Ayat Sunyi, 10
 
sunyi menanggalkan daun
memetik kecapi
dalam diri
 
 
Kecemasan
 
pagi pandai sembunyikan cemas
di balik pijar emas matahari
 
bahkan menitipkannya
pada elang yang terbang
 
 
Ayat Sunyi, 26
 
Tuhan
kini aku kembali
menjadi sunyi
 
 
Tentang Emi Suy
Emi Suy lahir di Magetan, 2 Februari. Puisinya tersebar di bebagai media massa dan antologi puisi bersama. Kumpulan Puisinya: Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018). Juga menyukai dunia foto. Kini tinggal di Jakarta dan berproses kreatif salah satunya di di Dapur Sastra Jakarta.
 
 
Catatan Lain
          Di halaman persembahan tercetak tulisan ini: salam, semangat pagi/kepada hujan bulan juni aku ingin begini:/kiranya ada yang lebih tabah selain sapardi.
            Penyair menulis pengantar yang dijuduli “Tersesat di Jalan Sunyi”, dibuka dengan mengutip sajak Chairil Anwar: Nasib adalah kesunyian masing-masing. Tulis penyair: “Bagi saya, sunyi itu inti, di mana kita berasal dan kembali. Dalam sunyi, saya merasa segalanya menjadi terbuka; jalan, pesan, dan tujuan.”
            Di paragraf lain ditulis begini: “Makna sunyi itu menjadi lebih mewah lagi bagi perempuan, khususnya di Indonesia. … Sebagian perempuan melalui sunyi bisa menziarahi labirin dirinya.”
            Di paragraf lain lagi: “Menulis puisi sunyi di tempat sunyi dalam situasi dan kondisi sunyi adalah hal terindah yang pernah saya lakukan. Selain mengobati diri saya sendiri, setidaknya kelak menjadi ‘jejak’: raga boleh tiada, usia boleh usai, namun puisi tak pernah mati.”
            Di paragraf akhir ditutup tulisan ini: “Akhirnya, saya pun sepakat dengan Seno Gumira Ajidarma, bahwa setiap kali ada orang Indonesia menulis puisi, kita harus bersyukur kalau toh ia tidak berhasil menyelamatkan jiwa orang lain, setidaknya ia telah menyelamatkan jiwanya sendiri.” Jakarta, 15 Januari 2018. Emi Suy. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar