Laman

Tonggak

Selasa, 30 Januari 2024

Ibe S. Palogai : MENJALA KUNANG-KUNANG

 

Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Menjala Kunang-kunang
Penulis: Ibe S. Palogai
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Cetakan: I, 2019
Tebal: 24 halaman (48 bait puisi)
Penyunting: Siska Yuanita, Namira Daufina
Ilustrasi sampul dan isi: Septha Perwana
ISBN: 978-602-96-4613-8 (digital)
 
Sepilihan puisi Ibe S. Palogai dalam Menjala Kunang-kunang
 
aku hanya api yang belajar membakar diri sendiri
hingga akhirnya sadar, yang terbaik dari hidupku adalah abu
          tanpa nama akhir
 
hadiah terbaik yang bisa aku berikan kepada diri sendiri
hanya kesendirian yang tak diintimidasi waktu
          oleh kau yang meminta setiap detiknya.
 
kau pernah melipat peta yang dijatuhi sepenggal fajar
salah satu di antara kita menangisi tapal kota
tapi prasangka telah merampungkan pertanyaannya.
 
aku ingin kegelapan menyembunyikan diriku
di dalam bara pelukannya, seperti kesendirian
          yang suka membayangkan tabiatnya adalah aku.
 
(halaman 19)
-------------
 
 
kau menjala kunang-kunang yang terbang melingkungi
lembah awanama, cahayanya mengepung segala ruas
melanang gelap yang tercerai dari indung malam
 
0 kunang-kunang, mengapa kepandiran cahayamu menebang
bayangan pohon ketapang yang dicumbu benalu api?
membaringkan seluruh tegak-gempita dari persona malam.
 
aku kembali memberikan diriku jatuh dalam tangkapan jalamu
tetapi hanya kasta kunang-kunang yang kaulerai
lalu mengibarkannya setelah cahaya derasnya berkelip.
 
kautegakkan kembali bayangan ketapang yang tertebang
adakah kau tahu, kelip cahaya kunang-kunang itu,
denyut yang menjaga lukaku tetap bernama cinta.
 
(halaman 8)
------------
 
 
aku mencintaimu seperti api yang mencurigai asap
sebagai mula nyala sebatang kayu yang tak mengenali
hutan tempat segala lebat menciptakan rahasia.
 
                               aku mencintaimu seperti mata pancing yang keliru
mengait ikan pendendam dari sungai dan kini liar di akuarium
                               sebagai pandang keruh kesepian jiwa kita.
 
          aku kehilanganmu seperti semua perumpamaan itu,
sebatang kayu dengan bekas luka, ikan pendendam
          yang mahir menghindari mata kita.
 
aku masih mencintaimu setelah pasrah air mengalir
di tubuh apimu – hasrat yang memadam
kupertaruhkan lagi kepadamu sebagai diriku.
 
(halaman 13)
-------------
 
 
kekasih dari kesendirian adalah kunang-kunang yang terusir
ke dalam hutan oleh jala waktu yang dibentangkan
di antara kepak sayap dan malam yang enggan punah.
 
aku tebang pohon-pohon remaja dan menjadikan batangnya
seikat sampan, kulayarkan diriku pada jeram, tetapi semakin
jauh pula cinta mendayungmu pada tapal dayaku.
 
sungai yang membelah hutan ini menyembunyikan kunang-kunang
di antara rumpun cempaka dan sulur-sulur pada batang kenari
angin alobar mendesir dan cahaya kuning menyisirku ke arahmu.
 
tetapi hutan tak butuh bertemu dengan kata-kata dan hanya cahaya
kunang-kunang yang sanggup menerangkan kepada kenangan
o apa yang tak terucap ‘kan tetap tak terucap.
 
(halaman 24)
---------------- 
 
 
tanganku bertepuk dengan angin yang pulang menggerai rambutmu
terbawa pula olehnya salinan wangi yang pernah kuhirup
terasa tubuhku bertapa di sisimu walau sekejap embus.
 
pada malam yang segera pudar di ingatan kita
pernah aku peluk gerimis yang menjaring tubuhmu
lalu kita hanya menyapa basah yang tersorot cahaya.
 
adakah angin ini mampu melintasi tilas desirnya
ke sela pundakmu yang jauh, membawa lenguh embusku
sebab kau tak tertempuh lagi oleh doa.
 
hanya wangimu yang aku tepuk
tak ada lagi angin gelap yang menyusup dalam tubuh malam
waktu telah abadi bagi kita walau tak selamanya.
 
(halaman 16)
-------------
 
 
Tentang Ibe S. Palogai
Halaman tentang penyair ditulis seperti ini: Ibe S. Palogai tetas ke bumi pada tanggal 7 Juli 1993. Ia bermukim di dalam dirinya sendiri. Pernah diundang ke beberapa perayaan sastra seperti Makassar International Writers Festival dan Ubud Writers dan Readers Festival. Tahun 2018, ia mengikuti program residensi penulis oleh Komite Buku Nasional di Belanda. Buku terbarunya dalah Cuaca Buruk Sebuah Buku Puisi (GPU, 2018).
 
 
Catatan Lain
          Buku puisi ini tidak memiliki daftar isi. Puisi menyatu dengan perwajahan halaman dan permainan topografi. Bait-bait puisi sesekali naik atau turun beberapa derajat. Jadi, karena tak ada judul di halaman-halaman itu, kita bisa curiga kalau ini adalah 1 puisi panjang, namun jika mau dibaca lepas per halaman sepertinya juga bisa. Tak ada penjelasan dari si penyair, ataupun pengantar-pengantaran.
          Di sampul belakang buku ada tulisan bercetak vertikal yang bisa dibaca dengan memiringkan kepada 90 derajat ke kanan atau memutar buku menjadi landscape (kayaknya ini lebih mudah): “Cogito ergo selfie(sh).” – Descarteks – dalam postmortem.
          Di halaman persembahan ada folksong: O My Darling, Clementine. Dengan segala kekurangan pengetahuan, saya datengin mbah Youtube. Ini pertama kalinya saya dengar lagu itu. Lagu ini diadaptasi ke dalam lagu anak-anak Indonesia menjadi “Makan Apa”. “Makan apa, makan apa, makan apa sekarang? Sekarang makan nasi, makan nasi sekarang./Nasi apa, nasi apa, nasi apa sekarang? dst”. Ini lirik yang kukutip dalam buku itu:
 
O my darling, o my darling
O, my darling, Clementine
You are lost and gone forever,
Dreadful sorry, Clementine
 
How I missed her, how I missed her,
How I missed my Clementine!
Til’ I kissed her little sister,
And forgot my Clementine. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar