Laman

Tonggak

Selasa, 27 Februari 2024

M. Faizi: JALAN KEEMPAT

 

 Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Jalan Keempat
Penulis: M. Faizi
Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta.
Cetakan: I, November 2019
Tebal: 68 halaman (40 puisi)
Pemeriksa Aksara: Edi AH Iyubeni
Tata Sampul: Alfin Rizal
Tata Isi: Aira
Pracetak: Antini, Dwi, Wardi
ISBN: 978-602-391-814-0
 
Sepilihan puisi M. Faizi dalam Jalan Keempat
 
Di Makam Johann Sebastian Bach
 
Tiga langkah masuk ke makammu
tiga nada pertama Toccata und Fugue
aku menghitung ketukan jantungku
 
Kupasang indera menangkap perirana
pada ubin dan langit-langit gereja
Tiba-tiba, kesedihan dan kesunyianmu
menjadi suara di dalam bahasa
 
Di bangku kayu aku berselingar
mengamati hal-hal kecil yang kutakjub
serakan bunga di atas epitaf
Namamu: partitur yang berdenyut
“Bagaimana cara mempercayai doa?”
 
Tiga langkah keluar dari makammu
tiga nada berulang Brandenburg Concerto
Tertahan sebentar, aku menoleh ke dalam
 
Aku lalu pergi dengan tanya tertinggal
Kata-kata dan simfoni
melakukan perjalanannya, sendiri-sendiri
 
26/06/2011
 
 
Kembang-Kembang Tebu di Tepi Bondoyudo
 
Kembang-kembang tebu
bergoyang diterpa angin
mencucuk langit, melukainya
 
Daun-daun berdesakan
seperti antrian rakyat di pintu pabrik
menunggu tiupan peluit;
pesta giling,
pasar malam
beli-beli, makan-makan
hasil setahun habis semalam
 
Di sepanjang bantaran sungai Bondoyudo
rel baja, lurus dan melintangi jalan
menunggu lori mengangkut nasib
menuju takdir penentu panen
 
Kembang-kembang tebu di tepi Bondoyudo
menitikkan air mata langit
menjadi kristal, menjadi gula
yang alangkah manis rasanya:
endapan getir sengsara berabad-abad lama
 
24/05/2011
 
 
Iman
 
Tak percaya pada surga
karena selalu melihat secara fana
pada yang yang baka
 
Tak percaya pada doa
karena selalu melihat secara nyata
pada yang maya
 
Tak percaya pada puisi
karena pandangan selalu hakiki
pada yang majasi
 
10/11/2009
 
 
Suatu Malam Melintasi Kuburan
 
Saat lewat di sebuah kuburan ranggas
tertegun aku melintas
melihat banyak guguran daun dan gelagah
sedikit pertanda tiada jejak peziarah
 
Tanpa senter, ujung kaki menerka jalan
bagai menimbang ruh dengan akal
Tak ada setitik pun cahaya
Bagaimana kuragukan gelap di dalam?
Takutku bukan pada danyang
tapi pada sepi abadi yang membayang
 
Kuburan ranggas, kulintasi, kutinggalkan
Dikepung zulmat, ia kembali sendiri
 
Suatu hari, akan datang sanak seberinda
membabat semak, menabur bunga, duduk berdoa
Setelah berfoto dan pulang,
kuburan kembali sepi, ranggas kembali
diam dalam lupa, sepi dalam daim
Di dalam sana, ada cemas berupa andai
sepi tanpa bersanding amal
tanpa nama disebut doa
tanpa jasa disebut kenang
 
Malam sepi, gelap juga
Saat lewat di sebuah kuburan ranggas
aku berjalan tergesa-gesa lalu menoleh ke belakang:
menjauh secara jarak, mendekat secara waktu
 
17/05/2015
 
 
Ode Guru
 
Aku ingin menghirup semua huruf
semua kata, semua yang engkau miliki
dari pori-pori kasar di punggung tanganmu, Guru
 
Mana, mana, tangan kanan itu
biar kusentuhkan pada hidungku
agar dapat kucium bau kapur dan tinta
yang bertahun-tahun menuliskan ilmu
tentang apa pun, dari balik jejaring rajah
di atas telapak tangan
 
Antara ilmu dan pangkat
antara derajat dan sertifikat
mendangkar pikiran ke semua arah
Hitung menghitung hari, waktu menunggu gaji
 
Di pintu kelas, bayang-bayang niat menghadang
Adakah keahlian bisa disandang
jika menjadi guru hanyalah kebetulan?
 
Minyak dan air tak menyatu secawan
Hasud dan iman tak menyatu sebadan
 
Selamat pagi, ustad, ini hari jumat
Selamat pagi, guru, ini hari minggu
bukan soal besok hari Senin atau Sabtu
Yang kucari hanyalah hari-hari penuh barakah
ia yang kadang ganjil dalam penjumlahan matematika
namun nyata tertera di dalam kalkulator ilahiah
 
31/07/2009
 
 
Setelah Lewat 40 Tahun
 
Setelah lewat 40 tahun
jantungku masih berdetak
tanpa sedetik pun henti sejenak
Tak ada kesan singkat dalam hidup
jika zikir berdenyut setiap degup
 
Setelah lewat 40 tahun
masa kenabian telah datang:
saat mata kian lamur namun melihat lebih awas
saat akal kian lemah namun berpikir lebih bijak
saat tubuh kian renta namun waktu lebih berkah
 
Setelah lewat 40 tahun
masih ada orang bertanya,
siapakah yang ingin hidup abadi di dunia?
 
Barangkali engkau ingin hidup 100 tahun
meskipun tak mungkin untuk hidup abadi
Kemuliaan adalah tekun berdoa dan rajin berbagi
Nasib malang adalah lahir, hidup, lalu mati
meninggalkan sampah plastik yang lebih kekal
meninggalkan alam yang rusak karena eksploitasi
tanpa amal apa pun selain nama
yang hanya butuh beberapa hari untuk dilupakan
setelah tubuh berkalang tanah, dikuburkan
 
Setelah lewat 40 tahun
suatu saat, hidup berakhir setelah jantung berhenti
Amal baiklah yang terus bergerak, dan begitu pula puisi
 
27/07/2015
 
 
Bintang-bintang Kertas
 
Dengan bintang-bintang kertas
kausambut aku dengan geriap
pendar cahaya di ruang gelap
 
Kertas-kertas perada
rangkaian materi yang terang
namun setelah cahaya lain dinyalakan
 
Cahayamu, bintang kertas,
adalah cahaya ambang padam
gambaran usaha untuk mimetik;
menyuluh api dengan dipantik
meniru cahaya dengan perada
 
Penciptaan untuk ciptaan
selalu melampaui batas-batas keinginan
 
28/5/2011
 
 
Surat Seorang Bujangan untuk Kesendiriannya 
 
“Kusematkan cincin ini di dompetmu
Bukan di jemari, demi memaknai rahasia di masa lalu”
 
Waktu memanjakan kenangan
menjadi fragmen, lebih banyak dibaca orang
 
Sakit!
Bagaimana cara mendebat orang
dengan cara pandang seperti kebanyakan,
bahwa mencintai adalah menguasai?
 
“Cincin boleh engkau jual
karena aku bukanlah penyembah memorabilia
sebagai sebuah bentuk kesetiaan”
 
Hari-hariku beranjak petang
sebentar lagi malam
Mimpi-mimpi akan mengikis nilai kesetiaan
dan kemurniannya akan dibagi
dengan kesendirian
 
Lalu, teman-temanmu akan menangis
untuk sesuatu yang tidak benar-benar mereka tahu
bahwa kesendirian adalah satuan waktu
di luar perjalanan angka 24 jam
 
18/07/2011
 
 
Koran Minggu Ini
 
Ampas tahun, sekerat harapan
di antara sisa letusan dan debu logam
pada cuaca berkarat di langit Nusantara
menawar musim penghujan
Perubahan iklim dan politik mengubah musim
 
Hari-hari melepuh
Pegawai-pegawai pergi berlibur di hari kerja
Sementara murid-murid menggotong harapannya
di bangku sekolah yang tak memberi apa pun,
selain ijazah
 
Di antara kebangkrutan sumber daya alam
spesies langka mulai punah
Orang jahat pegang jabatan
Orang suci tak jadi teladan
Tak ada lagi musuh bersama
Musuh dan kawan bersama-sama
 
Di teras depan, di kursi malas
di bawah langit bermandi oksidan
di atas tanah berlimpah sampah
kami membaca koran minggu
Dan seperti minggu-minggu yang telah lewat
tak satu pun puisi sentimental yang dimuat
 
12/2009
 
 
Parfum Kebudayaan
 
Seliweran parfum di pentas kebudayaan
memabukkan, mengaburkan, membagi diri
yang satu ke akal: saintifik
satunya ke indra penciuman: puitis
 
Orang dusun datang berduyung
menonton kota mementaskan dirinya
Parfum berseliwer memabukkan kenyataan
 
Parfum kebudayaan diendus para pemulung:
masyarakat urban yang tak punya nama
Parfum menyeruak, berhambur
Orang dusun dan para pemulung
memanggul sisa udara berlumur parfum
dihirup kuat hingga ke ubun-ubun
 
Kota bergeriap
menyalakan hidupnya sendiri
 
Orang dusun dan para pemulung
berduyun pulang lalu hilang di tikungan
Mereka membakar amis kenyataan
mengepul, membumbung
mengasapi bayang pohonan
di sepanjang jalan
 
10/03/2007
 
 
Tlesah
 
Angin laut mengangkut asin
meracik air sumur menjadi payau
menjentik pikiran saat imajinasiku bersenang-senang
atas keluasan dan tepian yang membatasinya:
titik kecil, sudut pandang
 
Angin di Tlesah
mengembalikanku ke dalam rasa garam
membumbung ke dalam angin bersiru
lempar ke perahu nelayan
larung di laut
Pada hujan musim tembakau: rindu kemarau
Pada musim tanam: rindu keabadian
saat petani dan nelayan duduk semeja
di kamar makan tanpa hidangan
 
24/05/2009
 
 
Tentang M. Faizi
M. Faizi lahir di Sumenep (Madura), 27 Juli 1975. Menulis puisi, esai, catatan perjalanan dan menerjamah. Buku puisinya: Delapanbelas Plus (2003), Sareyang (2005), Rumah Bersama (2007), Permaisuri Malamku (2011), Kopiana (2014), Jalan Keempat (2019). Tinggal di desa kelahirannya, Guluk-guluk, menekuni profesi sebagai guru madrasah dan guru mengaji.
 
 
Catatan Lain
            Buku ini dikasih oleh Sainul Hermawan, suatu malam, ketika saya berkunjung ke rumahnya. Kalau tak salah ingat, sekalian dia mengembalikan buku saya tentang psikiatri. Saya diberi opsi, memilih antara buku ini atau buku Rendra (Orang-orang Rangkasbitung).  Saya memilih buku Faizi, walaupun buku Rendra juga tak punya. Tapi seingat saya, buku Rendra sudah tampil di Kepadapuisi. Ini pengalaman pertama kali (dan mungkin satu-satunya) diberi buku dengan pilihan opsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar