Data Kumpulan Puisi
Judul buku: Membaca Lambang
Penulis: Acep Zamzam Noor
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Cetakan: I, Oktober 2018
Tebal: 96 halaman (48 puisi)
Ilustrasi sampul dan isi:
sukutangan
ISBN: 978-602-06-1800-5 (Digital)
Membaca Lambang terdiri atas Mencari Perigi (42 puisi) dan Membaca Lambang (26 puisi)
Sepilihan puisi Acep Zamzam Noor dalam Membaca Lambang
MEMBACA LAMBANG
Di muara kudengar langkah waktu sayap-sayup sampai
Rumpun bakau menjelma ruang yang memantulkan gema
Ketika angin kemarau berkejaran dengan gulungan ombak
Di pantai. Aku tertinggal jauh di luar batas kesementaraan
Sekalipun yang tampak di hadapan tinggal kabut semata
Tentu ada yang masih bisa diteroka. Aku membaca lambang
Merenungi bagaimana langit merendah dan bumi meninggi
Namun bukan sedang mengulurkan benang basah ke udara
Pengembaraan adalah detik-detik yang mengalir dari gunung
Diteruskan sungai ke muara. Sedang penghayatan ibarat pasir
Yang butir-butir halusnya mengembara ke tengah samudra
Pelan-pelan aku menyaksikan senja berubah menjadi panggung
Sebuah resital cahaya mulai dipentaskan cakrawala. Di kejauhan
Gugusan pulau menggelepar-gelepar bagaikan para penari latar
2017
BEDUGUL
Pura yang diam
Menyerap inti waktu
Dari lubuk air. Pusat sunyi
Pusaran tanpa akhir
Kedalaman yang biru
Menyempurnakan rindu
Pada yang satu. Wangi sesaji
Mencintai dan memberi
2014
PELABUHAN PAOTERE
Semburat fajar
Mewarnai langit tenggara
Udara yang terbakar
Tercium dari puing-puing
Pelabuhan. Cahaya susut
Garam-garam kabut
Dan sebuah gema
Yang ditembakkan ke laut
Kisahmu tinggal jejak-jejak kaki
Para pemburu udang. Waktu
Hanya asap
Yang mengepul
Dari tungku
Perahu-perahu di kejauhan
Tak lagi bergerak
Ke arahmu. Hanya sisa ombak
Gelombang lunak
Dan bintang-bintang mati
Yang berjatuhan
Kemudian sebuah tanda
Di balik rambutmu
Menunjukkan isyarat
Yang tak pernah terbaca:
Ada gambar badik di pundakmu
Kisahmu tinggal kerumunan jam
Di pergelangan. Angka-angka
Yang berloncatan
Huruf-huruf yang tumbang
Ke haribaan
Pulau-pulau yang pergi
Tak akan kembali
Menemui pagi. Hanya sisa lampu
Kelap-kelip tak menentu
Semacam ajal
Yang kehilangan sinyal
Kemudian tubuhmu
Gelap tubuhmu
Mengisyaratkan jejak
Yang tak pernah tercatat:
Sebuah peta terukir dekat pusarmu
Kematian yang seksi
Menyelinap
Ke balik sunyi. Seperti burung
Dengan sayap-sayap besi
Seperti kawat
Yang mengalirkan berahi
Kisahmu tinggal percikan air
Pada pasir. Usia
Hanya balon udara
Yang pecah
Menjadi rahasia
2017
SUNGAI WALENNAE
Sepi meneteskan tinta
Pada permukaan sungai
Dari balik gemuruh air
Mengalir kata-kata
Sebuah puisi
Bermula dari lubuk hati
Kata-kata menyala
Di ujung jemari
Pada puncak kata-kata
Bergolak rindu
Sepi menembus bukit
Menerobos waktu
Di gerbang segara
Kata-kata lindap
Dan sepi mengendap
Menjadi puisi
2006
MINGGU PAGI DI PINELENG
Pelupukku masih setengah tertutup saat fajar tiba
Serta membukakan celah kecil untuk sinar matahari
Harum kembang cengkih dan buah pala sayup tercium
Dari kebun belakang. Aku berdiri dan mendekati jendela
Pohon-pohon kelapa menghampar pada lereng dan lembah
Mungkin awal musim hujan, atau masih penghujung kemarau
Atap-atap seng tampak basah, menara gereja digenangi embun
Lampu-lampu natal mulai bergelantungan di sekitar kampung
Kulihat makam-makam dengan ukiran indah pada nisannya
Jalan setapak ke gunung seperti bubur tinutuan yang likat
Paduan antara pasir, butiran kerikil serta pecahan padas
Dalam adonan yang pas. Aku menghirup napas panjang
Betapa rasa lapang ini tercipta dari kemurnian udara
Serta angin yang sebenarnya berembus rutin saja
Betapa rasa tenteram ini terlahir dari kata-kata
Yang tidak pernah diniatkan menjadi senjata
2015
SILUMADAHA
Langkah samar kabut bergerak ke arah pulau karang
Di antara bunyi ombak yang mengempas perlahan-lahan
Selasar pantai tampak meliuk-liuk hingga ke ujung teluk
Membentuk lekukan biru yang menjilat-jilat buih putih
Laksana tanjung dengan ceruk-ceruk tebingnya yang curam
Satu lukisan tak akan habis ditafsir sepanjang putaran waktu
Dan setiap tafsir akan melahirkan sejumlah pemaknaan lain
Tak tahu siapa di antara kita yag memperlebar jarak rindu
Kita akan belajar pada laut yang menyimpan isyarat lembut
Di balik keganasan ombaknya. Kita akan berguru pada gunung
Yang terbuka bagi kedatangan dan kepergian burung-burung
Kekasihku, biarlah keyakinan kita menemui ufuknya sendiri
Sebagaimana setiap perahu melayari takdirnya masing-masing
Kita akan bertemu pada saat bulan dan matahari bersentuhan
2016
LAHUNDAPE
Ketika rembang mulai merumbaikan tirai sutranya
Cahaya matamu masih menerangi setiap langkahku
Tampak buih-buih putih merayapi pantai dan tebing
Mendorong pasir ke bukit. Membangun menara sunyi
Ketika petang menutup jendela di semua penjuru angin
Dan ufuk kehilangan garis batasnya pada permukaan air
Kulihat titik-titik cahaya masih bertetesan dari matamu
Seperti dawat yang bergerak sendiri menuliskan hikayat
Sejenak aku menghirup udara malam yang likat dan sepi
Daun-daun bakau yang menampung gemuruh angin barat
Menciptakan tembang yang hanya terdengar di telingaku
Sejenak aku membayangkan pelayaran-pelayaran panjang
Di mana kerinduan menjadi hamparan samudra tanpa tepi
Sedang titik-titik cahaya mengecil ditelan raksasa kegelapan
2017
MENYEBERANG KE BOKORI
Di pulau tanpa penghuni kudengar musik lamat-lamat
Hamparan pasir menjadi partitur yang mengalirkan waktu
Ketika buiih-buih perak berkejaran dengan gelombang lunak
Yang kehijauan. Aku menyeberang ke batas teritorial rindu
Meski yang menaungiku hanya nyiur dan cemara angin
Aku rasakan betapa indahnya pagi. Ikan-ikan menyanyi
Camar-camar menari dan awan-awan membentuk komposisi
Di mana aku membayangkan semuanya sebagai orkestra sunyi
Jarak yang terbentang antara kita tinggal sejengkal selat
Yang dihuni bunga-bunga karang. Lama aku berkaca pada air
Menyelami kedalamannya seakan memasuki lubuk hatimu
Kekasihku, empasan-empasan ombak pada pinggangku
Sentuhan-sentuhan terumbu pada tumitku menjadi ungkapan
Yang hanya bisa kumaknai saat kita saling berjauhan
2017
NYEPI
Malam adalah ujung lipatan waktu
Pagi adalah awal berlangsungnya rindu
2014
TANJUNGPINANG
Jika pulau-pulau membisu padamu
Akulah lumut pada permukaan tebing batu
Jika pantai-pantai menampung deru
Akulah ombak yang masih berselimut biru
Jika selat-selat memperlebar jarak kita
Akulah sampan rindu yang menempuh segara
Jika rembang petang menebarkan seloka
Akulah bayang-bayang sepi di anjung cahaya
2015
SENGGARANG
Garis lurus yang membelah sunyi
Memisahkan kita dari langit dan bumi
Warna-warna memadat pada petang
Fajar masuk di antara gelap dan remang
Gelap adalah selimut kabut malamku
Remang adalah permadani embun pagimu
Di antara kabut malam dan embun pagi
Tercium wangi dupa dan harum kopi
Garis lurus yang membelah bumi
Menyatukan kita pada hidup dan mati
2015
DOA PETANI BUNGA
Wahai malam yang memperpendek jarak
Dengan misa pagi. Beri kami orkestra yang ramai
Hingga pentas sunyi usai dan kuntum-kuntum peoni
Tercium semerbaknya di awal pergantian musim
Wahai musim yang mengurapi lapisan tanah
Dengan sakramen hujan. Beri kami alegro rasa syukur
Kegembiraan yang mengalirkan nada pada lembar partitur
Hingga putik-putik melur rekah sebelum paskah tiba
Wahai paskah yang memberkati daun-daun gugur
Dengan tembang mazmur. Beri kami rekuiem yang panjang
Hingga segala duka mengendap dan akar-akar magnolia
Kembali mengalirkan cahayanya pada paras bunga
2015
ZIARAH KE LONDA
Menapaki tangga berliku
Tiba di paras tebing yang curam
Menatah sebaris puisi
Pada pohon eboni. Ada yang lindap
Seperti kata-kata bijak
Ketika kutebar harum tuak
Dengan ketajaman aromanya
Nama-nama terselip di sela batu
Mayat-mayat mengering
Pada ketiak waktu. Bunga-bunga logam
Kerbau-kerbau hitam
Tulang-belulang:
Salib di semua pintu
Menebar harum tuak
Pada senja-senja berikutnya
Seperti menegakkan tangga ke langit
Kulihat hujan manik-manik
Dengan anyamannya yang meriah
Arak-arakan mega
Rombongan babi hutan
Di udara. Asap daging bakar
Menyeruak dari balik upacara
Seakan ribuan tombak api
Yang mengantarkan ribuan jiwa
Ke singgasana. Gerbang kecil
Senjata-senjata ganjil
Patung-patung kayu
Biji-biji kopi
Kuikuti detik dan menit
Yang menjengkal jarak sunyi
Pada arloji. Malam telah lengkap
Dari punggung bukit muncul bulan
Lalu bintang-bintang bertebaran
Seluruh langit memerah
Oleh darah. Kematian adalah pesta
Kepergian adalah tarian
Sedang kehilangan
Adalah tembang. Doa-doa diam
Mantra-mantra bisu:
Di tengah keheningan semesta
Fajar menyerupai sisi lain dari surga
2007
MENCARI PERIGI
Kau bergegas menembus semak ilalang
Melewati lembah krisan dan lereng peoni
Bergegas menyusuri jalan setapak ke hutan
Mencari seseorang yang kaukenal lewat mimpi
Kau bergegas menerobos keremangan senja
Dengan gaun cheongsam merah muda
Bergegas mencari sumber cahaya
Untuk menaklukkan sunyi di rongga dada
Di tengah hutan kau menemukan perigi
Yang airnya jernih serta batu-batunya bersih
Kau membenamkan seluruh tubuh dan rambutmu
Sambil menyelam kau khusyuk menguraikan diri
Ketika menyembul kembali dari balik air
Tubuhmu sudah bersayap dan rambutmu bercahaya
2014
Tentang Acep Zamzam Noor
Acep Zamzam Noor, penyair dan pelukis kelahiran Tasikmalaya.
Kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Mendapatkan fellowship di Universitas Italiana per Stranieri, Perugia, Italia.
Kumpulan puisinya: Di Luar Kata
(1996), Di Atas Umbria (1999), Dongeng dari Negeri Sembako (2001), Jalan Menuju Rumahmu (2004), Menjadi Penyair Lagi (2007), Tulisan pada Tembok (2011), Bagian dari Kegembiraan (2013), Berguru Kepada Rindu (2017). Antologi
puisi berbahasa sunda: Dayeuh Matapoe
(1993), Paguneman (2011), Kiblat Kuring (proses). Kumpulan
esainya: Puisi dan Bulu Kuduk (2011),
Menjadi Sisifus (2018) dan Sunda Santai Islam Santai (proses).
Sampul belakang buku
memuat petikan puisi “Membaca Lambang”.
Halaman persembahan (halaman 11) berisi tiga kata: “Buat/Euis Nurhayati” Tak
ada kata pengantar penyair atau komentar siapapun. Begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar