Laman

Tonggak

Kamis, 28 Juli 2011

M. Nahdiansyah Abdi: Parodi tentang Orang yang Ingin Bunuh Diri dengan Pistol Air


Data buku kumpulan puisi

Judul  : Parodi tentang Orang yang Ingin Bunuh Diri dengan Pistol Air
Penulis  : M. Nahdiansyah Abdi
Cetakan : I, 2008
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin
Tebal : 134 halaman (83 judul puisi)
ISBN : 979-1756-22-8
Model sampul : Edi Sutardi
Desain sampul : Hery S


Beberapa pilihan puisi M. Nahdiansyah Abdi dalam Parodi tentang Orang yang Ingin Bunuh Diri dengan Pistol Air


Di Bawah Rindang Baliho

Di bawah rindang baliho
Pernah kami ucapkan
janji setia
Tepat di antara
kata-kata penuh bujukan
yang jatuh sehelai-sehelai
kala tertiup angin

Ternyata, kami tidak benar-benar jatuh cinta
Kami memelihara pengkhianatan: buah
yang terlampau hitam

Lugu sekali, satu sosok tegak
mengaduk-aduk bayangan sembari terisak

Di sana, di bawah baliho yang memucat!



Sedimentasi Hujan

Kusaksikan
sedimentasi hujan
rasa kangen muncul pada tiap lapisan
Kau berteriak-teriak:
di mana lucunya? di mana lucunya?

Hei kamu yang iseng di sana. Seperti apa jadinya
langit yang terkepung kemurunganmu
dan berangsur-angsur deja vu

Kau berteriak-teriak:
di mana lucunya? di mana lucunya?

Aku pun kebingungan
Kupikir kau seekor unggas
yang terluka. Pikirkanlah,
hujan tak pernah memanahnya

Kutantang kau:
apa yang belum kita tangisi?


Malam Begini Ini

Malam begini ini
Kekasih selalu datang
dari perjalanan yang lusuh
Ia menyanyikan kegelapan yang merdu
Atom yang berdenting
Sedang tanganku tumbuh menjadi sayap yang lebar
Tubuhku hanya siluet yang bergetar:
solilokui yang abadi


Tamban

Di tanah di mana air pasang dan surut
Pengantin mengikrarkan janji-janji kehilangan
Pohon-pohon menggetarkan jiwa
Udara bagai beludru
mendekap sungai dan anak-anaknya

Sawah-sawah yang berbau wangi
menggandeng tangan petani
semesra impian

Burung-burung bersenandung
di dalam igauan manusia

Mungkin di suatu malam
ada isak tertahan
Mungkin, ada hal-hal
yang gagal terlupakan
Dan sekarang menggerogoti tubuh yang lapuk

Membiarkan waktu bersarang dan beranak pinak
sungguh menentramkan


Tertawa Saja

Tertawa untuk hal-hal yang lucu dan menyegarkan
Tertawa untuk semua yang bukan lelucon,
bukan kesintingan, bukan harapan

Tertawa dengan atau tanpa gema
Tertawa melampaui kehidupan dan kematian

Tertawalah
Tertawalah

Hanya ingin kau tertawa
Betapa pun susah keadaannya

Celaka dua belas
Barang siapa tertawa
Seluruh kosmos akan tertular

Tertawalah!
Tertawalah!

Engkau sungguh relijius


Lumpur No. 7

Bernafas dalam lumpur
Melarutkan bayi-bayi di lumpur
Mengukir relief pada lumpur

Dikejar-kejar nafsu keduniaan
Ia pukulkan tongkatnya ke lumpur

Labiran maha luas
tergelar

Menyeoki abad-abad yang memar
Ada firaun menemu ajal di pusaran Lumpur


Pertanyaan

Kapan terakhir kali
kau pelankan langkahmu?
Tidak berkata apa-apa, selain
mendengar percakapan dalam jiwa
Benda-benda angkasa masuk ke tubuhmu sebagai
butiran pasir
dan rasa kehilanganmu seperti
cahaya yang mencair
Kamu luluh lantak, kamu masih bersendawa
Begitulah, di tahta kosong itu kau mulai menatah nama

Alangkah genitnya!


Ikan Menggelepar

Kamu merasakan
energi
yang hidup
menjaringmu
Kamu ikan menggelepar
dalam jaring-Nya

Setengah mampus kamu
ingin melarikan diri

Sepertinya kamu berhasil
keluar
sebagai pecundang!


Aqsa

Ini tentang neraka yang diciptakan
tentang tanah, kehormatan, dan luka yang panjang
Anak-anak bermain di garis depan
bermain dengan kehilangan-kehilangan

Pertempurannya berlangsung di banyak titik
dalam jiwa manusia
Satu bumi terlibat, satu bumi mengulur tangan
bagi darah yang terserap cepat oleh sejarah

Inilah zona di mana ditanam ranjau
Para darwis menari berputar, keledai pergi
mengokang senjata
Ada mawar jatuh, ada bangkai yang telentang
menatap ruh yang mengawang-awang:  keramas
di seribu senja


Sajak Terakhir Untukmu

Ini sajak terakhirku untukmu
Kalau pun di kemudian hari aku mengingkarinya
itu lebih disebabkan harmoni
yang tak menolong apa-apa
Juga karena pikiran yang buntu
merayakan rasa bersalah yang masih tinggal
Hanya ribut-ribut sepanjang perjalanan
Musim menyerap kita dengan tamak
memilihkan sebuah kejutan tak populer
: kematian

Kulewati masa pubertas yang menyala-nyala
Tubuh yang tergilas itu telah benar-benar jadi berhala
di pekarangan mimpi yang asing
di jurang sempit nada-nada hidup
Seperti isapan jempol yang keji
yang mengandung kata-kata maksiat
: Sebuah bisul yang dipecah sebelum waktunya

& untuk pertama kalinya aku merasa sepi
aroma mawar meletus dari bangkai seekor anjing


Singkat Saja

Wajah-wajah kosong dan sibuk
yang sangat rentan dan menyimpan trauma
yang begitu teguh dalam larutan lupa
menggapai-gapai Sepi tanpa cela
Ia yang sangat kasmaran menyulut luka
Bertanya ia, bagaikan maut yang nelangsa:
“Kekasih dalam diri, sejatinya tak lama menanti”

Wow, apa artinya ini
Tubuh yang lembek, rumah yang rapuh
Perjalanan di luar nalar

Bandara Adi Sucipto


Batas Perempuan*

Sekian lama memejam, di depannya kini pohon terlarang
Antara murung dan girang, ia sikat habis semua cemilan

Jari lentik dan jakun yang menantang
Hari baik dan menopause pikiran

Nyeri itu telah ia pisahkan
Lantaran bebal dan kutuk ranjang
Ia yang memeram rintik hujan
Sejauh ini, gagal menjinakkan kehilangan

II

Ada lelaki mengadu untung di kota
Ada niat baik terhalau saat gerhana
Rumput di sekitar rumah telah meninggi
Di dapur tidak tercium bau masakan
Berani disumpah pocong, aku sangat kemaruk
Jejak tubuhmu kian menggantang

*judul puisi ini terinspirasi dari judul buku kumpulan puisi Eko Suryadi WS, “Batas Laut”.


Menyusui Kota
Didedikasikan untuk Ahmad Tohari

Sawah, ladang, dan budaya
Keselarasan dan hantu-hantu lugu:
Ditinggalkan sudah
Kaki-kaki yang melangkah
dan dibeli
Senyum mengambang yang memapah getir

Tetua-tetua duduk di depan pintu
Memandang jauh ke halaman kosong yang terbuka

Malam yang agung
Kewarasan yang paripurna
Televisi mendongeng sepanjang usia

Desa, tempat kita tak bisa pulang!


Satwa yang Dilindungi

Ada satu satwa
Sangat dilindungi “Undang-Undang”
Satwanya sendiri sangat jenaka
penghibur keluarga

Dari hutan tak bertepi
Kini berkandang dalam manusia: korupsi


Tinggal Bersama Maniak

Tinggal bersama maniak
Kamu merasa utuh-utuh saja

Kamu pergi bekerja dengan tenang
Kamu duduk manis di sekolah

Sekali latah
Ramai-ramai menghujat koruptor
Ramai-ramai menghujat pembalak

Suatu waktu rumahmu gelap
Petir sambar menyambar, hujan turun dengan deras
Air.  Airmata itu mengepungmu
Kamu hanyut sambil mengigau-igau
memanggili berhala-berhala kecilmu

Ya, kamu memang ditakdirkan menjadi pengungsi
Seumur hidupmu
Sepanjang sejarah kemanusiaanmu


Tongkang Emas Hitam

Seribu tongkang merasuki sungai membangkitkan hasrat
Arus yang dahsyat berputar-putar di dalam
Kelipan lampu kibaran angin telah benar-benar pekat
Emas hitam berayun-ayun di retakan ombak

Di anjungan kapal ia hirup bumi yang purba, dengan santai
menawarkan kopi pada roh-roh yang terbelenggu
Tidak terlihat serius, roh-roh tahu
di laut lepas telah digali kuburan-kuburan
tidur bersama nafsu kosong, kotololan-ketololan

Maka nyanyian-nyanyian yang mungkin,
syair-syair kuno, jeritan-jeritan
hidup beribu tahun dalam koral dan kerang
Dan lebatnya hutan dapat dihayati pada laut yang menangkup
Pun humus, siklus, dan labirin peradaban
terperangkap di riak samudera saat maut menyeludup


Hikayat Pelupa

Zaman berganti, penjilat lahir dan mati
Pelancong berkipas-kipas, kita merogoh saku lebih dalam

Ada pesta kembang api, ada panggung untuk bernyanyi
Ada malam yang terus dikuliti

Cepat atau lambat, kekonyolan ini akan
menjadi sentilan kecil, menjadi jeweran kecil

Dan orang-orang yang kelabakan itu ingin
ramai-ramai menyidangkan Tuhan


Tak Habis Ibu

Tak habis ibu
meregang kesakitan dan mengalirkan susu
Not-not yang tak sempurna
bermain pada tubuh yang lelah
yang ingin bersandar
sejenak pada detik yang tercurah
Tangis si anak bagai kupu-kupu mungil
bagai kupu-kupu mungil

Tak habis ibu
merayakan kasih pilu
Doa-doa terlambung
di malam-malam yang limbung
Airmata tak tertafsirkan
sungguh tak tertafsirkan
Dekaplah si anak sepenuh lelahmu
Tanganmu yang lembut mendamaikan

Adindaku, ketahuilah
Anak-anak yang tak henti mengalir
dari rahimmu
adalah sejarah yang bergelora
adalah kemenangan fana cinta: sebagaimana
hidup yang singkat, drama yang penuh retak
tertidur pulas dalam rahim-Nya


Linglung

Mengerti kalau hidup cuma sekali
Mengerti kalau sesudah tikungan itu
mungkin garis akhir duduk menanti
Kita pura-pura tak kenal
berpikir mungkin ada yang tertinggal
dan berancang-ancang mengambilnya kembali
Katakanlah, unggunan api yang telah mati
atau perjalanan itu sendiri
atau CO2 yang pucat pasi

Terlambat. Musiknya sudah dimainkan
Riang, cepat, satir.


Dikutuk Selalu Rindu

Menghiasi hidup dengan isak tangis dan tawa renyah
Seperti air yang lincah
yang menyembunyikan desir angin ke dasar kali
Langit berlutut, membasuh waktuku yang gemuruh
Sesungguhnya rumahku pada luka
dalam perih abadi
Bersenang-senang di tubir bayangan
Merasuki tubuh asing
dengan maut yang mengekor, dengan daun-daun bambu yang saling bergesek
Aku belum melupakan, saat kautumpahkan
cintamu ke kemejaku
Aku sudah memaafkan & aku dikutuk selalu rindu


Tentang M. Nahdiansyah Abdi
Lahir di Barabai (Kalsel), 29 Juni 1979. Bekerja di bagian Psikologi Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum, Gambut. Bergiat di “Kilang Sastra Batu Karaha” Banjarbaru bersama penyair Eza Thabry Husano, Hamamy Adaby, dll. Buku puisinya Jejak-Jejak Angin  (Olongia, Yogyakarta, 2007) bersama Hajriansyah, Parodi tentang Orang yang Ingin Bunuh Diri dengan Pistol Air (Tahura Media, Banjarmasin, 2008) dan Pewaris Tunggal Istana Pasir (Tahura Media, Banjarmasin, 2009) dan Buku Harian Pejalan Tidur (Tahura Media, Banjarmasin, 2011) . Saat ini tinggal di kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar