Laman

Tonggak

Senin, 01 Agustus 2011

SERIBU MESJID SATU JUMLAHNYA: TAHAJJUD CINTA SEORANG HAMBA



Data buku kumpulan puisi

Judul : Seribu Mesjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Cetakan : IV, Mei 1993 (I, September 1990)
Penerbit : Penerbit Mizan, Bandung.
Tebal : 164 halaman (50 judul puisi)


Beberapa pilihan puisi Emha Ainun Nadjib dalam Seribu Mesjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba


Syair Candu
1

kalau kamu bilang agama itu candu
dengarkan allah-lah candu hidupku
tuak cinta maha membeningkan pikiran
melempangkan yang sebenar-benarnya jalan

jika sukmaku meminumnya
badan tegak dan jiwa perkasa
menyingkir rasa takut dan kesedihan
sehingga takkan kubatalkan pemberontakan

para peminum kesejatian
sanggup keluar dari setiap barisan
yang menghardik utuhnya kemanusiaan
meski ditemani oleh hanya sunyi dan kelaparan

kamu takkan tahu bau napasnya begitu merangsang
menyisihkan segala yang tampak menggiurkan
menjelaskan betapa remehnya godaan
serta apa pun saja yang seolah dan seakan-akan

kalau kamu bilang agama itu candu
kuperdengarkan allah dan tak ada yang selain itu
firmannya merasuki darah bagai arak suci
kusandang untuk menyibak zaman ini

1985



Syair Candu
5

paduka kenyataan hamba
paduka juga impian hamba
luka parah hamba memburunya

semesta rahasia
tak terhingga jumlah pintunya
sehingga realitas terus bekerja

kenyataan tak bisa distop langkahnya
sebab terangkai oleh kemungkinan
yang tak tertangkap oleh kata benda

paduka aduk mitos kenyataan
padaka tertawakan kenyataan mitos
ketika orang membeku di salah satunya

maka terimalah hamba
ikut berdenyut  di jantung paduka
mengembarai hakikat yang betapa anehnya

1985


Hijrah

mimpiku pawai burung
tanpa sayap terbang ke surga
mimpiku mata rabun
nyangkut di langit hampa

insyaallah angan-angan ini
disetujui oleh para nabi
tapi jarang kuteliti
teori mereka mengolah bumi

kemudian tiba ke khomeiny
marx, fraire, dan ali syari’ati
madrasah frankfurt, ngo pinggir kali
berperang brubuh di rumah sini

di wajah beberapa kawan
nama-nama itu menjelma siluman
ketika tangan mereka acungkan
terciptalah mesin percetakan

aku jatuh terjengkang
tolol di pojok jalan
hanya sanggup berpamitan
hijrah ke semesta pengembaraan

1985

Ambil Si Penari Untukku Tariannya

            Dzu Walayah membawaku mengembara.
            Telah berulangkali kukunjungi tempat-tempat itu, namun bersamanya menjadi berubah cara berjalanku serta menjelma baru mata-pandangku.
            Kuajukan kepadanya beribu-ribu pertanyaan seperti Ibrahim menggalah beribu-ribu bintang, kureguk jawaban-jawabannya yang mesra bagai anak kambing menyusu puting induknya.
            Namun, tentang satu hal, Dzu Walayah selalu menghindar, ialah tentang wihdatul wujud, Allah dengan hambaNya manunggal.
            Tatkala kami duduk-duduk istirah di tepian pantai, ia meminta – “Ambil seciduk dua ciduk air samudera untukmu, sisakan ombaknya berikan kepadaku.”
            Ketika di malam hari aku merasa kedinginan oleh hembusan angin yang amat kencang, ia lepaskan kain sarungnya dan berkata – “Pakailah ini untuk selimutmu, tapi helai-helai benangnya biarlah untukku.”
            Dan ketika di lapangan pojok dusun itu bersama-sama kami menyaksikan acara tayuban yang riuh rendah oleh musik, teriakan dan birahi, Dzu Walayah menggamit pundakku – “Pergilah ambil penari itu untukmu, tapi terlebih dahulu berikan kepadaku tariannya.”

1987


Tahajjud Cintaku

mahaanggun tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan

apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya tak diterima

kecuali kesucian tidaklah tuhan berikan kepada kita
kekotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara

katakan padaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan diri

ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang

mahaanggun tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan

tuhan kekasihku tak mengajari apapun kecuali cinta
kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya

1988


Tuhan Sudah Sangat Populer
Satu

Tuhan sudah sangat populer
Nama-Nya dihapal luar kepala
Sehingga amat jarang ada
Orang yang sungguh-sungguh mengingat-Nya

Tuhan sudah sangat populer
Seperti matahari tak pernah tak bercahaya
Sehingga hanya kadang-kadang saja
Orang menyadari ada dan peran-Nya

Tuhan sudah sangat populer
Baik di kota maupun di desa
Kalau terasa tak ada, orang menanyakan-Nya
Ketika jelas, ada orang melupakan-Nya

1987

Seribu Mesjid Satu Jumlahnya

Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati

Tak boleh hilang salah satunya
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu

Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati

Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada

Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkan nama Allah Ta’ala
Kita diajari mengenali-Nya

Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna

Tubuh kita bertakbir
Ruh mengagumi-Nya tanpa suara
Ruh bersembahyang tanpa gerak
Menjerit dengan mulut sunyi

Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan

Masjid badan gampang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa bumi ambruk dindingnya

Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya

Lima
Masjid ruh kita bawa ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya

Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab masjid ruh adalah semesta raya

Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita

Enam
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan

Adapun justru masjid ruh yang mengangkut kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya

Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala

Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan

Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat

Delapan
Bahkan seribu masjid, sejuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu Ukhuwwah Islamiyyah

Sesekali kita pertengkarkan soal bid’ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali

Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah

Sembilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan

Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Satu orang membangun seribu masjid ruh
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh

Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan

Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin kita selalu mengumandangkan
                                                               Hayya ‘Alal Falah!

1987


Tentang Emha Ainun Nadjib
Di buku tersebut tak ada biodata Emha, hanya ada pengantar singkat yang menyampaikan bahwa di samping kumpulan puisi “Lautan Jilbab” yang terbit tahun 1989, ia sedang menyelesaikan “Syair Asma Al-Husna” yang tak juga selesai-selesai dikerjakan sejak tahun 1984. “Sangat berat menuliskannya,” demikian ujaran Emha.

Catatan Lain
Seribu Masjid Satu Jumlahnya, kalau tak salah ingat adalah buku puisi yang pertama saya beli. Mungkin belinya di Martapura, saat saya masih bersekolah di SMA. Harganya tak tercatat oleh saya.

3 komentar:

  1. Mantab! Dari pada teronggok, Maka justru akhirnya saya menemukan mu... :D

    Mohon copy untuk blog saya

    Sudi mampir, dari orang yang baru belajar.. :)
    >>> am535.blogspot.com <<<

    BalasHapus