Laman

Tonggak

Jumat, 11 November 2011

Andi Amrullah: LANGKAH


Data buku kumpulan puisi

Judul : Langkah
Penulis : Andi Amrullah
Cetakan : I, 2005
Penerbit : Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel
Tebal : xix + 155 halaman (91 judul puisi)
ISBN : 978-3381-00-0
Penyunting : Y.S. Agus Suseno
Ilustrasi Sampul : Aswin Noor
Penata letak : Maman S. Tawie

Beberapa pilihan puisi Andi Amrullah dalam Langkah

Di Frankfurt

mengelilingi kota
mata membelalak
di etalase
boneka hidup mengedipkan mata
di atas kepala kubaca namanya:
anita
di bawah kakinya sepotong harga
500 deusche mark

masihkan aku ada di sini
bersandar pada sepotong pribadi
ketika mengitari frankfurt yang perkasa
kutatap parasku di kaca jendela
masih kulihat kerut-kerut dahi Indonesia
masih kulihat sekulum senyum Indonesia
tetapi ketika kulihat jejakku
di sepanjang manheimer strasse

masih juga melintas tanda tanya yang menggoda
masihkah aku, aku adanya?

Frankfurt, 1979



Bunga Karang

di samudera yang dalam
angin tak mampu menghadirkan gelombang
dan bunga karang
tetap tegak perkasa menentang waktu
dan kapalku berlalu
tanpa kau tahu
sarat muatannya:
rindu


Kabar Buruk dari Surga

sebuah puisi mengantarku minum kopi
sementara senja beringsut-ingsut ke tepi
memberi salam kepada malam
yang mengubur dendam dan sakit hati

terbuktilah kabar
bahwa di majelis umum perserikatan bangsa-bangsa
dua saudara melingkarkan cinta dan curiga
dalam ketawa dan pura-pura
dalam seloki dan diplomasi

dengarlah kabar bahwa di timur tengah
kecapi padang pasir membawakan melodi
sementara serdadu-serdadu mengurut betis yang letih
sementara kepul mesiu tinggi memutih

kureguk kopiku dalam-dalam
dan terasa kemudian ada sesuatu yang mendesis
oh, betapa banyak kabar vang memuakkan
oh, betapa banyak diplomasi yang dilontarkan
di meja-meja perundingan, di meja-meja persahabatan

seperti apa yang terjadi di luar
dalam surga yang hampir terbakar ini
masih juga ada mimpi yang menyedihkan
sang bidadari bunuh diri
lantaran tak memenuhi janji
berkencan dengan lelaki di air susu yang jernih

ya, kudengar berita itu, kubaca kabar itu
sementara hatiku turut ngilu dan pilu
dan malam kelabu oh betapa lambat ia berlalu

Banjarmasin, 179030


Langkah

berayun dari waktu ke waktu
di antara angin dan debu
dalam kepastian dan kepasrahan
tanpa ragu

satu per satu di antara kita
melangkahkan kaki
ke suatu tujuan yang pasti
mati

dan ketika kita menoleh ke belakang
jejak-jejak kehidupan panjang dan berkesan
menari di atas kanvas yang kita lukis sendiri
lalu kita beri arti


Ketika Berbaring Dalam Sepi

adalah penyakit yang menggeletakkan diriku
di pembaringan sepi ini

lalu suara-suara dari jauh bergemuruh
dan saling membenturkan gaungnya
di dinding yang penuh debu di seputarku

ada panggilan: mari kemari, kita jelajahi alam
bersama awan kapas

di bawah arasy
ada seruan: mari kemari, kubantu kau menghitung
langkah-langkahmu yang salah
dalam kembara panjang di dunia

adalah lampu kuning mengerdipkan cahayanya
di pintu kamar
mengirim suara-suara
dari dasar laut yang sempat kuselami
bersama desah napasku

sepi menghunjam menikam-nikam
penyakit yang menyapaku bersenyawa dengan diam
sementara itu di langit-langit kamar
ada kristal-kristal merjan
berwarna-warni indah sekali

wahai sepiku
kuharap kau tidak mengendap di sini terlalu lama
mataku silau menatap cahaya yang menyelinap
di empat dinding kamar yang pengap ini
telingaku pekak mendengar suara-suara dari kejauhan
akankah mereka mempercepat langkahku
ke pintu yang satu itu
sementara anak dan isteri tak kuasa menutupnya

pasrah dalam diam, pasrah dalam sepi
tidak kuasa menenteramkan diri

Banjarmasin, 9890041


Di Muka Makam Rasulullah

tiada kata kecuali rasa
mengembang di sini
nabawi
melafazkan ikrar
dengan sadar
aku bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Ia
Allahu Rabbi
dan aku bersaksi bahwa kau
Muhammad
adalah pesuruh dan kekasih-Nya  

di muka makam Rasulullah
di ar raudah
tiada kata kecuali doa
tiada rasa kecuali cinta

medinah, 080884


Changi

seperti baru bangun tidur
singapore pagi ini
menepiskan gerimis di kaca jendela

ketika jumbo boeing tujuh empat tujuh berteduh
terasa ada salam hangat yang akrab
terjulur lewat jendela pesawat

seperti baru bangun tidur
changi menggeliat dan menguap

changi airport, 070884


Yul

namanya nurul
orang dekat memanggilnya yul
aku pun memanggilnya yul
karena aku juga orang dekatnya
karena aku adalah salah satu tulang rusuknya
karena aku adalah tulang punggungnya

namanya nurul
tapi yang bersiul dalam hidupku adalah yul
yang menggapai sepiku adalah yul
yang menjala mimpiku adalah yul
yang ebrsinar dalam hidupku adalah yul

namanya nurul
terpatri dalam doa adalah yul
dalam tangan tengadah adalah yul
menjemba malam yang kusut
barangkali sampai tibanya maut merenggut
cinta sepanjang detik dalam dalamnya laut

namanya nurul
kupanggil dengan yul
ia adalah yang-ku
setiap waktu
supaya kau tahu

Klaus Reppe, 220985
 

Dan Bangau Itu Pun Kini Telah Menukik

                                   Kado pekawinan untuk dinda Micky Hidayat & Nelawati

akhirnya burung bangau yang melangit
jadi juga menukik

menancapkan kakinya yang panjang
di sepanjang pematang
dan sawah pun melebarkan bidangnya
menundukkan tangkai-tangkai padi

ketika di rumah umbul-umbul terpasang
dan warna-warni bergemerlapan
dentang jam dinding menyatu dalam kalimat
menjadi titian kehidupan yang terbentang
yang harus dititi dengan hati-hati
karena di sini sepotong sajak saja
mulai menuntut arti

berakhir di sini
pengembaraan tanpa arah
ketika kaki melangkah
mencari jejak

lalu, apakah diskusi kita juga akan selesai di sini?
tidak, katamu
tidak juga, kataku

karena kita tahu
rumah kita banyak berpintu
harus diketuk satu-satu
spada?
tiada jawab kecuali gema suara
rupanya kau sudah tiada
rupanya aku pun sudah tiada
rupanya yang ada
tinggal kita

seperti rumus matematika
satu ditambah satu ada dua
aku memandangmu dengan mata kaca
haru dan bahagia

jalanlah terus adikku
di atas titian sajak-sajakmu
karena itulah bekal kita
yang tak ada habisnya

sepotong doa kuselipkan di sini
di baris akhir puisi ini:
ya Allah, ya Rabbi
rahmatillah micky dan nelawati
agar mereka tidak berpikir surut
agar mereka tidak menjadi benang kusut
dalam merenda sajak-sajak cintanya
dalam lingkaran kehidupannya
amin

Banjarmasin, 987011-81


Tentang Andi Amrullah
          
Andi Amrullah, lahir di Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu, 12 Juli 1941. Pendidikan dasar dan menengah ditempuh di kota Malang. Usai merampungkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (1969), beliau kembali ke tanah Banjar dan menjadi dosen di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat. Tahun 1993, dikukuhkan menjadi Guru Besar di UNLAM. Meninggal dunia di RS Suaka Insan, Banjarmasin pada Kamis 28 Maret 2002. Dikebumikah di alkah Kerukunan Keluarga Amuntai, Jl. Jenderal A. Yani Km 22, Banjarbaru.
Antologi puisinya: Demi Buah Tin dan Zaitun (Banjarmasin, 1973), Lintasan Waktu (Banjarmasin, 1974), Titian Musim (Penerbit BKKNI, Banjarmasin, 1978), Arafah (Penerbit HIMSI Kalsel, Banjarmasin, 1984), Yul (Banjarmasin, 1985), Dian (Banjarmasin, 1986) dan Kisi-kisi Hidup (Taman Budaya Kalsel, Banjarmasin, 1996). Kumpulan cerpen Napas Kehidupan (1992, belum diterbitkan) dan sebuah novel Di antara Dua Bukit Karang (1986). Juga menulis esai sastra. Selain mengasuh rubrik konsultasi hukum di media massa di Banjarmasin, Andi Amrullah juga banyak menulis artikel hukum yang pernah dipublikasikan di koran Surya, Jawa Pos, Suara Pembaharuan dan Kompas.


Catatan Lain
Buku puisi Langkah dari Andi Amrullah ini, saya dapat pinjam dari Hajrian, sepertinya ia beli/dikasih Y.S. Agus Suseno?

1 komentar: