Laman

Tonggak

Sabtu, 05 November 2011

Micky Hidayat: MEDITASI RINDU


Data buku kumpulan puisi

Judul : Meditasi Rindu
Penulis : Micky Hidayat
Cetakan : I, Desember 2008
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin
Tebal : xvi + 200 halaman (108 judul puisi)
ISBN : 978-602-84140-0-5
Pengantar : Sepi, Luka, Cinta dan Meditasi Rindu Micky Hidayat (Agus R. Sarjono)


Beberapa pilihan puisi Micky Hidayat dalam Meditasi Rindu

Sajak Untukmu

bila kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku
adalah rinduku yang mengharap kehadiranmu

bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku
adalah kesepianku ingin selalu bersamamu

bila sepi jadi pisau menikam dan melukaiku
adalah ketidakberdayaanku di hadapanmu

bila lukaku meneteskan darah di batu
adalah kekerasan hatiku mencintaimu

bila ternyata kau tak mencintaiku
aku tetap menulis sajak-sajak untukmu

                                                               1980



Ada yang Memisah Kita

Ada yang memisah kita; kau dan aku
aku dan rindu, kita dan cinta
yang terluka dikoyak-koyak waktu.

Ada yang memisah kita; siapa?
mimpi dan igau, kenangan purba
tinggal jejak, gerutu sebuah suara
entah suara siapa?

                                                           1981


Ekstase Puisi, 1

puisi
lapar dari segala laparku
dahaga dari segala dahagaku
hasrat dari segala hasratku
rasa dari segala rasaku
diam dari segala gerakku
gerak dari segala diamku
gairah dari segala puncakku
puncak dari segala gairahku
puisi
dagingku
puisi
tulangku
puisi denyut urat nadiku
puisi
darahku
puisi
nanahku
puisi
kelaminku
puisi
buah zakarku
puisi
liang duburku
puisi
beribu-ribu kesabaranku
puisi
berjuta-juta kekuatanku
puisi
bermilyar-milyar keberanianku
bertarung
melawan
hembusan angin napasku
gelora laut nafsuku
getaran dinding jiwaku
geliat asap sukmaku
geliat api syahwatku
geliat luka jantungku
bertarung
melawan
setan segala setan di dalam diriku
puisi
sembahyangku
puisi
doaku
puisi
zikirku
puisi
istighfarku
puisi
ngajiku
puisi
i’tikafku
puisi
makrifatku
puisi
rindu dari segala kerinduanku
puisi nikmat dari segala kenikmatanku
puisiku
melebur
dalam
genggaman-Mu
seluruh


1982


Kemerdekaan Gelatik

bila kau pernah melihat seekor burung
terbang meninggalkan sangkarnya
menembus langit putih cuaca
itulah aku – si burung gelatik yang terluka
mencari kemerdekaan di jagat semesta

terbang dan terus terbang dalam kepedihan
hanya angin menggerak-gerakkan sayapku
aku tak ingin lagi terperangkap dalam sangkar
kemewahan, yang dipasang beribu tangan
dan disambut dengan upacara sakral dan kehormatan
aku tak perlu lagi suguhan makanan lezat-lezat
dan minuman nikmat-nikmat
tapi aku ingin memakan dagingku sendiri
dan minum darah keringatku sendiri
aku pun tak perlu lagi janji-janji surga gemerlap
juga terbuai impian-impian kosong
yang membersitkan kesia-siaan

kalau kau lihat seekor burung terbang
berkicau dan terus berkicau dalam kesendirian
itulah aku, si gelatik berlumur darah
ditikam kekecewaan dan teror tak pernah sudah
lantaran hidup melulu diwarnai kengerian
dan keputusasaan
juga sekian banyak tuntutan

o, akulah si gelatik yang terbang sendiri
akulah si gelatik yang berkicau tak henti-henti
di kesunyian abadi

                                                                       1982


Sajak Petualang

                              untuk Eko Suryadi WS

kita adalah penyair petualang
dari kota asing menuju ke kota asing lain
dari negeri asing singgah ke negeri asing lain
hanya berbekal sekeranjang sajak-sajak
berlumur darah, perih, duka, mimpi,
kenangan, kekecewaan, dan luka-cinta

kitalah penyair yang selalu merindukan
pantai dengan hamparan pasir putihnya
laut dengan deburan ombaknya
angin dengan rahasia badainya
batu karang dengan keangkuhan dan ketegarannya

kita adalah penyair petualang
yang selalu merindukan jalan pulang
tapi rintangan selalu saja berulang menghadang
seperti cakrawala tak terjangkau ketinggian gelombang

                                                                           1982


Memandang Langit

Setiap kali memandang langit
Hidupku menjadi asing dan sunyi
Keinginan pun diam-diam tumbuh
Meneduh dalam kebisuan rahasianya

Setiap kali memandang langit
Serasa aku tak berpijak di bumi
Melayang-layang di ketinggian semesta-Mu

Langit menelan tubuhku!

                                                            1985


Sehabis Percakapan

Sehabis percakapan
Semuanya menjadi gaib
Langit terbongkar
Matahari terbakar
Menggambarkan huru-hara
Di bumi yang asing

Kata-kata yang diucapkan
Berbatu-batu
Semakin kesepianku membatu

Betapa terasa jauh jarak antara kita
Terpisah dari satu negeri asing
Ke lain negeri asing
Padahal percakapan masih kubutuhkan
Tapi hanya sepi yang mengucap

Sehabis percakapan
Segalanya menjadi gaib dan tersimpan
Di kerahasiaan yang maha rahasia ini
Aku ingin tenggelam menyelam
Ke dalam kegelapan dan ketiadaan
Lewat doa dan sujudku
Dan abjad-abjad kesunyianku

Baiklah, sebelum langit menawarkan kelam
Atau kesia-siaan
Di kediaman batu diri kusembunyikan
Sendirian, sendirian
Mengimani sisa-sisa kehidupan

                                                              1986


Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi

Dengan hati yang jelaga
Akhirnya kutempuh jalan sunyi
Di antara kebisingan dan polusi kota
Di balik tatapan aneh iklan-iklan baja
Gemerlap cahaya lampu elektronika
Dan gedung-gedung kaca berjulangan
Memantulkan bayanganku yang seakan tiada

Rasanya tak ada tempat bagi diriku
Untuk merenungi hakikat hidup ini
Bahkan di dalam tubuhku sendiri
Tak ada sedikit pun celah-celah
Untuk mengenali jiwaku
Yang senantiasa diteror keletihan panjang
Menghadapi hidup yang tegang dan mengambang
Tak habis-habis menimpukku batu demi batu kepalsuan
Hingga jiwaku yang mawar mabuk dan sempoyongan
Menjelajahi belantara kegelapan
Terperangkap dalam sergapan kecemasan

Akhirnya kutempuh juga jalan sunyi
Dalam getar sujudku, kuseru berulang nama-Mu
Telah kusempurnakan pasrahku yang membatu
Di tengah himpitan peradaban zalim dan jahiliyah ini
Di tengah cengkeraman materialisme dan hedonisme ini
Di saat terpaan kanker teknologi
Membius akal sehat ini
Hanya kepada-Mu aku mengadu
Menyampaikan ketidakberdayaanku

Akhirnya kutempuh jalan sunyi
Ya Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Bijaksana
Ampuni kelancangan hamba yang dhaif ini
Mencoba mengumandangkan retorika kebenaran kalam
Mencoba melafadzkan ayat-ayat kejujuran dan keadilan
Mencoba dengan suara terbata-bata berikrar:
Bukan jabatan atau kedudukan yang kuharapkan

Bukan kekayaan dan kejayaan yang kulaparkan
Bukan sajak-sajak yang kuberhalakan
Bukan kepenyairan yang kuagung-agungkan
Bukan pula kehebatan dan keunggulan yang kuhauskan

Atas ridho-Mu, hanya kemenangan Akhirat kudambakan
Subhanallah
Alhamdulillah
Lailaha Illallah
Allahu Akbar

Bismillah
Akhirnya harus kutempuh jalan sunyi yang paling sunyi
Dengan kesabaran dan kesadaran
Yang menuntunku tanpa kata
Aku telah siap mendaki ketinggian gunung
Tak gentar walau terjatuh dari puncaknya
Aku siap memasuki rimba lebat tanpa alamat
Tak perlu takut kehilangan arah ataupun tersesat
Aku pun siap menyusuri keriuhan jalan raya
Tanpa matahari, bulan, dan bintang-bintang
Aku ingin tenggelam menyelam ke dalam kegelapan
Kureguk darah kehidupan dengan air mata doa
Kuimani abjad-abjad kesunyian di puncak keberadaan
Sebelum langit menawarkan kelam bahkan kesia-siaan

Akhirnya kutempuh jalan sunyi
Sendirian, sendirian
Seperti hatiku yang sunyi
Pasrah di atas batu, diterjang arus air kali
Tak pernah cemas menerima duka abadi

                                                                                1997


Tak Bisa Kucatat dalam Sajak

begitu banyak peristiwa
melintas di mataku
mendengung di telingaku
mengendap di benakku
dan menyayat-nyayat batinku
tak bisa tercatat dalam sajakku

begitu banyak kata-kata
menari-nari di mataku
meloncat-loncat di telingaku
meliuk-liuk di benakku
dan menggelinding di batinku
tak bisa tercatat dalam sajakku

begitu banyak peristiwa
dan kata-kata
lunglai tak berdaya
ketika kucoba
membangunkannya

                                                2006


Telah Kuhapus Kata-kata*

telah kuhapus kata-kata yang pernah kutuliskan
sebab tak ada lagi yang bisa kutawarkan
selain kesunyian dan kecemasan
atau kekosongan dan kekecewaan
hingga langit yang kutasbihkan
pecah berkeping dan jatuh di lautan

telah kuhapus kata-kata yang pernah kuucapkan
sebab laut jiwaku tak kuasa menerjemahkan
rahasia angin, badai, dan gelombang
sebab perahu jiwaku yang retak makin gamang
putar haluan atau meneruskan saja pelayaran

telah kuhapus kata-kata
dan biarlah segalanya kulupakan
sebelum matahari, bulan, dan bintang-bintang
tak lagi memancarkan sinarnya
pada diriku yang tiada

                                                                         2007


____________
* 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 – Anugerah Sastra Pena Kencana
    (Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008)



Tentang Micky Hidayat
          
MICKY HIDAYAT, lahir di Banjarmasin, 4 Mei 1959.  Setamat  Sekolah Teknik Menengah melanjutkan kuliah di Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin (tidak tamat), dan di jurusan Ilmu Komunikasi, program studi Jurnalistik, Universitas Islam Kalimantan, Banjarmasin.  Mulai bergiat menulis sajak sejak tahun 1978. Di samping sajak ia juga menulis esai sastra, kritik sastra dan teater, reportase seni, artikel masalah sosial, politik, gerakan mahasiswa, dan kebudayaan. Karyanya dipublikasikan di berbagai media massa daerah dan nasional.  Sajak-sajaknya juga diterbitkan dalam antologi bersama di berbagai event/forum dan festival sastra, Penyair ASEAN (Yayasan Sanggar SEMU, Bali, 1983), Puisi Indonesia ’87 (Dewan Kesenian Jakarta, 1987), Kul Kul (Sanggar Minum Kopi Bali, 1992), Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia (Taman Budaya Jawa Tengah, 1995), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (Masyarakat Sastra Jakarta, 2000), Datang Dari Masa Depan (Sanggar Sastra Tasik, Tasikmalaya, 2000), Ragam Jejak Sunyi Tsunami  (Balai Bahasa Sumatera Utara, Medan, 2005), Perkawinan Batu (Dewan Kesenian Jakarta, 2005), 142 Penyair Menuju Bulan Antologi Puisi Penyair Nusantara  (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, 2006),  Cinta Disucikan,  Kehidupan Dirayakan (Komunitas Selakunda, Tabanan, Bali, 2007), Medan Puisi Antologi Puisi Pesta Penyair Indonesia (Laboratorium Sastra Medan, 2007), Antologi Puisi Penyair Kontemporer Indonesia antologi puisi dalam dwi bahasa: Indonesia dan Mandarin (Perhimpunan Penulis Yin-Hua, 2007), Salah satu puisinya berjudul “Telah Kuhapus Kata-kata” dimuat dalam antologi 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 Anugerah Sastra Pena Kencana (Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008).
              Sebagai aktivis sastra, ia juga aktif  bergiat di berbagai organisasi kesenian dan komunitas sastra. Tahun 1981, bersama beberapa penyair Banjarmasin mendirikan Himpunan Penyair Muda Banjarmasin (HPMB), pendiri sekaligus  ketua  Bengkel Sastra Banjarmasin  (1983-1987). Bersama para aktivis sastra di Banjarmasin, tahun 2004 mendeklarasikan berdirinya Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Banjarmasin, dan ia dipercayakan menjabat sebagai Ketua (periode 2004-2007). Pada Kongres Komunitas Sastra Indonesia di Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari 2008, ia terpilih sebagai Ketua III Dewan Pengurus Pusat Komunitas Sastra Indonesia periode 2008-2010, dan Koordinator Daerah KSI Kalimantan Selatan.
       Tahun 1997, namanya tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) karena berhasil menciptakan rekor membaca sajak selama 5,5 jam nonstop.  Tahun 1998, atas reputasi, prestasi, konsistensi, dan dedikasinya di bidang sastra, ia menerima penghargaan seni dari Gubernur Kalimantan Selatan.


Catatan Lain
Buku Micky Hidayat, yang terbit Desember 2008 itu, baru saya dapatkan versi cetaknya tanggal 13 Oktober 2011. Selepas diskusi sastra di Taman Budaya Banjarmasin, yang juga dihadiri Raudal Tanjung Banua, saya sambangi rumah Hajri di Pal 6 dan langsung menodongnya untuk pinjam buku Micky. Telah lama saya pengen pinjam dan mengutarakan maksud saya, baru sekarang kesampaian. Buku Meditasi Rindu pernah didiskusikan di Taman Budaya pada Festival Sastra Kalimantan Selatan, bulan Desember 2009. Acara yang waktu itu menjadi tandingan pelaksanaan Aruh Sastra di Marabahan, Batola. Selain membahas buku Micky oleh Jamal T. Suryanata, dibahas juga kumcer “Bintang Kecil di Langit yang Kelam” karya Jamal oleh Zulfaisal Putera. Selain itu, dihadirkan juga pembicara lain yang bicara tentang tema lain, yaitu Faruk HT dan Taufik Arbain. Acara yang digelar hari Sabtu itu, seingat saya, juga dihadiri antara lain YS. Agus Suseno, Mahmud Jauhari Ali, Arsyad Indradi, dll. Hari Minggunya, saya langsung ngacir ke Marabahan, bersama sepupu saya naik motor. Sempat mengikuti pembicaraan Setia Budi tentang syair klasik pedalaman Kalimantan dan kangen-kangenan dengan Kai Janggut Naga (Ibramsyah Amandit).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar