Laman

Tonggak

Sabtu, 03 Desember 2011

Soni Farid Maulana: PENEGUK SUNYI


Data buku kumpulan puisi

Judul : Peneguk Sunyi, Sajak-sajak 2006-2009
Penulis : Soni Farid Maulana
Cetakan : I, April 2009
Penerbit : PT. Kiblat Buku Utama, Bandung
Tebal : 74 halaman (42 judul puisi)
ISBN : 978-979-3631-85-1
Lukisan sampul : “Lirik Keheningan 2” karya Soni Farid Maulana

Beberapa pilihan puisi Soni Farid Maulana dalam Peneguk Sunyi


SALJU
                                        - untuk Beni Setia

derai salju seluas pandang
dingin angin subuh menyilet tulang
detik jam seakan maut di urat darah
nyawa menggigil di cangkang daging

2007


SONET HUJAN
                                       - untuk Leila S. Chudori

tetapi leila apakah malam ini milik kita?
di langit hanya semata kabut, dan hujan
yang turun kali ini, hujan yang lain
kau dengar risik angin di rumpun ilalang

kau dengar langkah sang ajal di detik jam
kau dengar degup rinduku padamu
ditelan gelombang lautan maha dalam?
di sini malam seperti tilam hitam

membentang entah ke mana, dan hujan
kembali bicara menyapa sunyi pepohonan
menyapu kau dan aku di kabut malam

o angin menyeruak dari arah kuburan
o kebahagiaan hidup yang luput kudekap
bawa aku ke maha sumber cahaya

2008



LORONG

aku bercakap dengan bayang-bayang wayang
serupa amba. Tabuhan gamelan serupa risik angin
di tangkai pohonan. Suara-suara serangga malam
terdengar juga dari arah samping halaman rumahmu

yang kelam oleh kabut dukacita. Lalu kata-kata
menyusun dirinya dalam larik-larik puisi orang sufi
yang dari lembah ke lembah kehidupan tiada lelah
mencari kekasih idaman. Di cermin, rambutku

putih sudah. Malam kelam di buritan, dan kau
serupa amis gula, cintaku, terpisah dari sepah tebu
di lidahku. Dan kini segala yang aku teguk tawar

sudah. "Mengapa semua ini harus terjadi, selagi
segalanya belum genap melunas rindu?" tanya
tanpa jawab. Menggema di lorong jiwaku

2008


TAMASYA
                                              - untuk Rendra

di pantai laut merah di tepi kota Jeddah
tak kutemukan jejak musa selain deretan cafe
dan wajah para pelancong yang lelah
yang datang dari negeri jauh, yang menyandarkan
tubuhnya di kursi kayu, melepas pandang matanya
ke luas biru laut bertilam lembut angin panas
dengan ombak yang tenang

pemandangan seperti ini pernah aku lihat
dalam sebuah lukisan di sebuah galeri kota paris
ketika musim dingin menggigilkan daging dan tulang
dan kau tak ada di sampingku. Hanya pekik burung
yang aku dengar sore itu, sebagaimana aku dengar
siang ini di tepi pantai laut merah di tepi kota Jeddah
dan kau tak ada di sampingku

kini aku terperangah mendapatkan kaligrafi usiaku
memutih di tujuh helai rambutku, yang disingkap
lembut angin laut musim panas. ”Yang Maha Hakim
jangan sampai hamba karam ke dasar palung hitam
bagai fir'aun, yang lalai mengingatMu,” suara itu
aku dengar di tempat ini, bikin ruhku gemetar,
o menggelepar, layak seekor ikan di paruh
burung itu. Di paruh burung itu

2008


RENUNGAN JANTE ARKIDAM DI USIA 70 TAHUN
                                                                - untukAjip Rosidi

malam belum begitu gelap
ketika anjing melolong panjang
di bawah remang cahaya bulan

"ternyata hidup butuh agama!"
ujar Jante Arkidam seperti gumam
ketika maut menaksir detik jam
dalam detak jantungnya

kini kesepian
menampakkan dirinya
di hadapan Jante
yang dilanda batuk
dan sakit kepala

"ke mana nyi ronggeng
yang dulu hadir dalam hidupku,
yang dari meja ke meja perjudian
aku rajai dunia malam," tanya
Jante.

sesekali didengarnya
bunyi tiang listrik dipukul orang
juga lolong anjing tengah malam
sehabis mupukembang
lalu angin dingin kembali meraja
menghajar raga Jante dekat jendela
di sebuah rumah pinggir kota
yang dulu dijadikan tempat sembunyi
dari kejaran lelaki satu kampung
dan kini di mana lebat kebun tebu
setelah dengus zaman
menyulapnya jadi perumahan
yang dibuat asal jadi?

“betapa tanganku berlumur darah,
Betapa hidupku salah arah. Mengapa
cahayaMu terlambat aku kenal?”
batin Jante. Detik jam
bergeser lagi

sesaat, Jante menarik napas
dalam-dalam. Lalu dihembuskannya
pelan-pelan. Dari hari ke hari
ia buron sudah diburu bayang-bayang hidup
yang kelam, yang ingin dihapusnya
seperti menghapus sebuah tulisan
di papan tulisMu yang kekal

“masihkah terbuka celah ke Baitullah?”
tanya Jante saat ia berkaca
melihat wajahnya sendiri dalam cermin
seperti batu retak di dasar sumur tua
yang absen disapa timba
tanpa ikan dan lumutan

siit incuing ngear di batin Jante
“beri aku kesempatan meneguk
anggur cintaMu!” tangis Jante
di atas sajadah yang basah
oleh airmata

2007


Lanskap

aku berkaca di alir sungai Seine
ada wajahmu di situ
yang dulu berkata, “sayangku!”

pekik burung gagak dan merpati laut
mengguncang dinding hatiku sehijau
lumut waktu. Kau? Entah di mana

2007


Bintang Pagi

tiga jam ke arah utara,
kota tua, kabut mengendap
di bukit dan lembah raja
cahaya lembut bintang pagi
di atas pucuk cemara.
“itu bintangku!” katamu,
yang tiada bosan menarik tubuhku
ke dalam pelukanmu, sehabis bencana
dan kerusuhan melanda kalbuku
dan kau bertanya, kembali bertanya:
adakah esok hari, kebahagiaan hidup
tersaji senikmat hari ini?
jam digital berdenyut lagi
maut bergeser dari tempat duduknya
di ruang tunggu yang lengang,
yang gaib dari pandangan matamu
dan mataku, seperti pisau sepi
yang selalu menikam kalbu kau dan aku
yang tak pernah terlihat wujudnya
serupa apa. “Itu bintangku,
dan aku milikmu. Reguklah sedap
madu dari puting kalbuku,” bisikmu.
Langitmu dan langitku bersatu lagi
di kota tua, tiga jam ke arah utara.
“aku milikmu, paku aku cintaku
di kayu nasibmu, jangan ragu.”

2006


Taharah

sebelum sampai ke Raudhah, ingin kupotong
kegelapan di kalbuku: seperti memotong hewan
kurban. Hati yang karam ke dasar malam
betapa sulit dijangkau. Tinggal kilau mata pisau
di tanganku yang gemetar menujuMu

2008


Tentang Soni Farid Maulana
Soni Farid Maulana, lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 19 Februari 1962. SD, SMP, SMA di tempuh di kota kelahiran. Tahun 1985 menyelesaikan kuliah di Bandung di jurusan Teater, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Bekerja sebagai jurnalis di HU Pikiran Rakyat Bandung. Aktif menulis sejak tahun 1976. Antologi puisinya Variasi Parijs van Java (Kiblat Buku Utama, 2004), Secangkir Teh (Grasindo, 2005), Sehampar Kabut (Ultimus, 2006), Angsana (Ultimus, 2007), Opera Malam (Kiblat Buku Utama, 2008), Pemetik Bintang (kiblat Buku Utama, 2008). Juga menulis puisi berbahasa sunda, terkumpul dalam Kalakay Mega (Geger Sunten, 2007) dan telah memasuki cetakan ke 3. kumpulan cerpennya Orang Malam (Q-Press, 2005). Kumpulan esai Menulis Puisi Satu Sisi (Pustaka Latifah, 2004), Selintas Pintas Puisi Indonesia (Grafindo, Jilid 1 2004, Jilid 2 2007).

Catatan Lain
Buku Peneguk Sunyi oleh Soni Farid Maulana ini terdiri dari dua bagian, yaitu Setapak Jalan (sepilihan puisi 2006-2008, 21 puisi) dan Remang Miang (sepilihan puisi 2008-2009, 21 puisi). Bagian prolog dihantar sendiri oleh penulis dan dijuduli Kisah Sunyi, bagian epilog ditutup dengan Sekitar Proses Kreatif penulis. Yang menarik, ada sederetan puisi yang ditulis seputar perjalanan ziarah di tanah suci, mengingatkan saya pada Andi Amrullah yang juga merekam jejak perjalanan berhaji ke dalam beberapa puisi. Buku ini seharga Rp. 20.000,- Saya beli di TB. Indrian Koto pada 23 Juni 2011. Sip!

3 komentar: