Laman

Tonggak

Selasa, 07 Februari 2012

Gus tf: DAGING AKAR




Data buku kumpulan puisi

Judul : Daging Akar, Sajak-sajak 1996 - 2000
Penulis : Gus tf
Cetakan : I, Oktober 2005
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Tebal : xiv + 70 halaman (38 puisi)
ISBN : 979-709-225-9
Desain Sampul & Ilustrasi : A.N. Rahmawanta
Penata letak : Chris Verdiansyah
Catatan pembaca : Sapardi Djoko Damono

Daging Akar terdiri atas 2 bagian, yaitu Daging (19 puisi, 1997-1998) dan Akar (19 puisi, 1996-2000)

Beberapa pilihan puisi Gus tf dalam Daging Akar

Daging Akar

         akhirnya, siapa kausebut kini: Si serat dingin
ataukah daging yang terjanji? Seperti takdir, sosoknya
rebah membuntuti. Hanya pada waktu ketika bergerigi,
akan bisa kutangkap ia: Saat mengerut dalam diri.

         akhirnya, siapa kautangkap kini: Si serabut mati
ataukah sel yang berjalin? Seperti lilin, nyalanya lirih
terpantul cermin. Hanya di pedih-akar ketika terpilin,
akan bisa kuraih ia: Jawaban lain untuk dunia lain.

Johor Bahru, 1999



Pendatang

         Nanti, ketika aku pergi, akan tiba pendatang lain
dengan kalimat lain. Mungkin mereka jelaskan, segenap
misteri kehidupan; tetapi tidak tentang mereka sendiri. Selalu,
kata mereka, “Ada lampu. Tapi bukan buat disuluh dalam diri.”

         Namun, karena bertetangga, kau senantiasa terus tergoda
untuk tahu tentang mereka. Ada kalanya lupa, tetapi lebih sering
kau saling suruh berbaku-hasut mendesak mereka. Sampai suatu ketika
mereka berkata, “Ada mitos. Tapi semua cuma dongeng tak berguna.”

         Besoknya, terkejut, kausaksikan semua: puing-puing hangus,
tubuh-tubuh gosong, rumah-rumah rata. Di tengah sangit udara, kau
tiba-tiba ingat kejadian semalam, dan berkata, “Lampu itu! Ada nyala
di dada mereka!” semua pun lalu menangis. Menangis, sejadi-jadinya.

Payakumbuh, 1999


Gagak Putih

         Jangan terlalu percaya pada mata. Mungkin materi
yang membentuk realitas ini cuma gelombang suara. Dengarlah.
Seseorang menyebut sayap, padahal ia bukan burung. Seorang
menyeru cahaya, padahal ia tidak buta. Di depannya,
ia bisa melihat gagak, mendengar koak, dan bulu yang hitam.

         “Tapi aku ingin gagak putih,” katanya. Dan ia pun
mulai mengembara. Dari satu kota ke lain kota, dari satu masa
ke lain masa. Tapi apakah kota? Tetapi apakah masa? Hanya khayal,
tempat orang memotong diri untuk kemudian menyusunnya. Mungkin
antara usus dan lidah. Mungkin antara bokong dan tulang kepala.
Pernahkah kaulihat makhluk yang tidur telentang dengan dua muka?

         “Tapi aku ingin gagak putih!” teriaknya. Tetapi aku
bisa pula tuli karena gelombang suara. Makhluk dua muka itu.
Ia bangkit, dan melolong seperti serigala. Ia mendecis
seperti binatang buas di depan mangsa. Tidakkah
engkau yang memasukkan
lolong dan decis itu ke mulutnya? Ah.

Kututup telinga. Tanpa gagak putih, aku terus, dan terus berubah.

Padang – Payakumbuh, 1997


Mitologi

         Saat kanak-kanak, ia gemar melihat dirinya dalam cermin
di kamar Ibu. “Itulah kamu,” kata si Ibu seraya melepaskan seekor
burung di dalamnya. Burung itu cantik, pupilnya terang, paruhnya
merah muda. “Sebagai teman, tentu, bila Ibu tak ada.”

         Saat ia mulai remaja, cermin itu dipindahkan Ibu
ke kamarnya. Setiap berkaca, burung itu berkicau berputar
putar di atas kepala. Apakah yang dikatakannya? Adakah
yang diinginkannya? Bila dirinya tak ada, ia merasa
burung itu kesepian; dan tentu menderita.

         Saat dewasa, sebab entah sibuk bekerja, ia mulai
jarang berkaca. Burung itu, entah memang karena ia lupa,
jarang pula tampak olehnya. Bertahun-tahun,

berpuluh-puluh tahun, mereka bagai bukan bagian
dari bersama. Tapi suatu ketika, dalam usia separo baya, ia
melihatnya. Burung jelek, kusam, tak ubahnya kelebat muram

dalam hidupnya. Betulkah itu dia?

         Kini ia telah tua. Di depan cermin, pedih,
ia sering merindukannya. Burung itu – burung itu,
memang, sebenarnya tak pernah ada.

Payakumbuh, 1997


Setiap Terjaga

         Setiap terjaga, ia berkata, “Celaka,
kenapa aku terbangun di tubuh yang sama?”

Tapi tidak. Setiap tidur, sel dalam dagingmu
menggeliat mengupas rupa. Selalu ia merasa
ada yang lekat seperti lendir, membelit,

dan terus membelitnya

         Setiap terjaga, ia berkata, “Celaka,
kenapa aku terbangun di zaman yang sama?”

Tapi tidak. Setiap tidur, waktu dalam dirimu
berderak memangkas dunia. Selalu ia merasa
ada waktu lain bagai gelambir, menjerat,

menjerat, tak henti mengepungnya.

Payakumbuh, 1998


Bukan Bagian

         Suatu ketika – entah bila –
         aku bukan bagian dari alam raya. Tentang apakah manusia,
tentang apakah dunia, bagiku semua kosong saja. Tak ada pikiran
tentang hidup karena aku tak bakal berurusan dengan mati. Tak ada
apa pun kata dalam bunyi karena aku bukan bagian dari ensiklopedi.

         Suatu ketika – entah bila –
         aku bukan bagian dari alam raya. Anda melihat bintang,
aku belum ada dalam kerlipnya. Anda melihat laut, aku belum ada
dalam ombaknya. Adakah Anda, seperti mereka, mendapatkan belum
dalam tak ada? Setiap waktu, setiap ketika, mereka mendengar

diamku dalam suara. Melengking, merintih, jauh menuju tiada

Payakumbuh, 1997


Usia

maka tertahan aku: di bandul jam. Semua getar
melamban jadi gema. “Siapa
yang memecah kulit, keluar dari cangkangnya?”

dan kulihat engkau, tapi tak ada. Seperti bunga
dipindahkan: dari tangkai ke jambangan. Bagaimana
mungkin, kehilangan datang menaklukkan keberadaan?

dan aku meronta, mengerang dari dada. Secabik serat
melenguh: mengiris ruang dalam diriku. O, bagaimana
mungkin, masa depan menyurut, mengekal masa lalu?

maka tertahan aku: di bandul jam. Semua getar
melamban jadi gema. “Siapa
yang mengupas kulit, kelucas dari keriputnya?”

Payakumbuh, 1996


Si Bisu, Si Lupa

         Letih mengembara, capek berkelana, akhirnya ia putuskan
jadi Si Bisu. Ketika itulah ia tahu: Tiap kali bicara, sebenarnya
mengurangi hidupnya. Maka mulailah ia tinggal dalam pikiran;
dalam kenangan. Menciptakan dunia sendiri, seperti musik
dibuntal melodi, melengkung-ngambang dalam ruangan

segala dekat dalam jangkauan.

         Capek mengembara, puas berkelana, akhirnya ia putuskan
jadi Si Lupa. Barulah ia tahu: Tiap kali mengenang, sebenarnya
getar riang kian berkurang. Maka mulailah ia tinggal dalam alpa;
dalam lupa. Menciptakan dunia kedua, seakan hidup kemarin

tak pernah ada. Dan ia mengulang, mengulang lagi kehadirannya.

Payakumbuh, 1997


Negara Waktu

kau pun lalu berkata, “Hanya ketika waktu tak ada,
kau boleh bilang keabadian engkau yang punya.”

         Tapi inilah kota – katamu negara – yang tergerus
angan cahaya. Setiap hari bila terjaga, kau bermandi khayal
khatulistiwa. Katamu, “Lihatlah akar menjalar, merucut tumbuh
ke batang tubuh. Atmosfer cair, melengkung rebah ke bingkai air.
Sungai inikah, cemas sejarah, mengalir-bermuara ke laut entah?”

         Tapi inilah kampung – katamu kota – yang tercangkul
di ritus tanah. Setiap hari bila terjaga, engkau tercerap, lenyap
ke khayal indah. Katamu, “Lihatlah gedung menjulang, menyundul
awan bagai melayang. Lampu berpendar, berdenyar ke gelung akar.
Beton inikah, cemas sejarah, memanggul-bawa ke zaman entah?”

Mereka pun lalu berkata, “Hanya ketika kau tak ada,
kampung dan kota bagai waktu, akan memisah tak berkira.”

Payakumbuh, 1998


Daging

         Angkasa luas inilah yang menggelembungkan balon
di kepalaku. Bongkahan planet melayang, seperti gumpalan
dada yang mengerang. “Siapa Anda? Punyakah Anda secebis
kisah tentang dunia? Tolong.”

         Tidak. Tak ada kisah
         tentang dunia. Kecuali dongeng, semacam konon,
yang diterbangkan oleh sepotong daging di jagat raya. “Ini
bulan, kuserpih dari seratku yang malam. Ini matahari, kubeset
dari kulitku yang siang. Pada keduanya ada gerhana, tempat
kau berpikir tentang tiada.”

         Tentang tiada? “Aku manusia! Diriku lahir
karena ada. Siapa Anda? Takkan aku bertanya
kalau di mataku Anda tiada. Takkan aku berkata kalau gugus
galaksi gelap saja. Takkan aku berpikir kalau semuanya
sia-sia. Siapa Anda?”

         “Sudah mereka katakan aku cuma dongeng.
         Sudah mereka katakan aku cuma konon.
         Tapi aku daging. Daging, yang setiap hari engkau telan
engkau muntahkan…”    

Payakumbuh, 1997


Kutukan Itu

dan bebas. Kukatakan takdirku: Mencari.

Akhirnya datang kutukan itu. Kebebasan.
Adakah yang dapat engkau temukan? Tak ada.
Karena memang tak ada makna pada diriku.

Juru bisikku, kaukatakan dunia ini makna.

Kebebasan. Akhirnya datang kutukan itu.
Mencari. Tidakkah engkau budak Tuan Eksistensi?
Sepanjang hari, berabad-abad memikul kata: Makna

esensi, makna, esensi. Sampai capek. Sampai letih
dalam sajakku. Tapi tak ada. Karena makna, memang

hanya pada dirimu. Juru takdirku. Juru takdirku.

Larutkan aku, dalam terali penjara maknamu.

Payakumbuh, 1998


Geronggang, 2

         Karena di luar begitu penuh, kuciptakan
suatu tempat dalam diriku. Di situ, kota kulipat
jalan kugulung; tak satu apa pun pernah
tegak menancap di atas tanah.

         “Sangat indah kekosongan.”
         “Sangat luas kefanaan.”

         Karena di luar begitu penuh, kuciptakan suatu
dunia dalam diriku. Di situ, kukutuk segala yang pasti
kupuja segala yang ragu. Ruang? Waktu? Hanya khayal,
seperti dongeng tak habis-habis didustakan ibu.

         “Ia heran kepada yang ada. Mungkinkah
sesuatu ada jika tak ada awalnya?”

         “Setiap ada mulai dari tak ada. Mungkinkah
sesuatu muncul dari tiada?”

         Karena di luar begitu penuh, kuciptakan suatu
geronggang dalam diriku. Di situ, kota-kota mati jalan
jalan beku. Orang-orang mati jiwa-jiwa bisu. Manusia
manusia mati raga-raga batu. Dan ia? Dan dunia?

Tak ada. Kecuali seperti yang tampak dalam pikiranku.

Jakarta-Payakumbuh, 1999


Sajak, 2

Satu kalimat dalam dirimu: Suatu kali
engkau akan direnggut oleh waktu. Satu
kalimat dalam diriku: Selalu mencoba
ungkapkan diri, tak sampai-sampai,

tak sampai-sampai kepadamu.

Payakumbuh, 2000


Tentang Gus tf
Gus tf lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat pada 13 Agustus 1965. meraih Sih Award dari Jurnal Puisi tahun 2002. Buku puisinya yang lain adalah Sangkar Daging (Grasindo, 1997). Sejumlah puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Arab dan Jerman.


Catatan Lain
Buku ini saya temukan di rak bukunya Hajri. Di sampul belakang bagian dalam ada tempelan bertulisan Rp. 20.000,- Barangkali itu adalah harga buku puisi tersebut. Ada beberapa kata yang berulang-ulang muncul dalam beberapa puisi, dan itu menandai jejak Gus tf dalam pikiran saya, yaitu Susi, dalam diriku/dalam diri, serta daging.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar