Laman

Tonggak

Selasa, 14 Februari 2012

Ali Syamsudin Arsi: BUNGKAM MATA GERGAJI



Data buku kumpulan puisi

Judul : Bungkam Mata Gergaji
Penulis : Ali Syamsudin Arsi (Asa)
Cetakan : I, Februari 2011
Penerbit : Framepublishing, Yogyakarta
Tebal : xiv + 148 halaman (40 judul)
ISBN : 978-979-16848-4-7
Desain isi : Indrian Koto
Gambar cover  : Darvies Rasjidin (Pintu Larangan)
Desain cover : Nur Wahida Idris

Beberapa pilihan puisi Ali Syamsudin Arsi (Asa) dalam Bungkam Mata Gergaji

Semakin Terbuka

Bersuaralah tanpa ada batas-batas, menulislah tanpa ada titik-titik. Jangan biarkan tekanan demi tekanan menyelimuti sampai akhirnya tersungkur karena bentangan garis pembatas. Bersuaralah tanpa harus melihat ke kiri atau ke kanan, menulislah sampai tak tampak lagi apa yang seharusnya disampaikan. Mimpi yang terkepung dengan semua hasrat berjalan sendiri-sendiri di kerikil cadas semilir angin berhenti dalam. Sunyi kembali. Kalimat terpotong. Sunyi kembali. Wacana tak ada yang dapat diterima. Yang di luar dari kepentingan, enyah sajalah sebelum diusir secara kasar, demo tak ada ujungnya, protes tak akan didengar juga. Berdiri di titik saling berhadap-hadapan adalah kata sepakat, tapi paling sakit dari segala langkah. Malam datang engkau tetap termangu dalam menunggu. Hei, ada berita bahagia atas segala pinta, Chairil Chairil Chairil, menyebut sebuah nama yang rasa-rasa sulit dilupakan, Tardji Tardji Tardji, sejak itulah orang-orang semakin mempersempit jalan dan melayang di tatap matanya Rendra Rendra Rendra.
Keterbukaan yang menyeruak ke akar-akar ternyata membentuk kotak-kotak cahayanya sendiri dengan memisahkan bagian-bagian dan sampai pada akhirnya tidak mau menerima apa pun yang dilakukan oleh orang lain, oleh segala sesuatu yang berada di luar dari bagiannya. Kebersamaan seperti orang-orang pesimis memandang lurus harapan dibentang, tetapi kata sepakatnya adalah harus melebihi kepentingan orang lain karena ada tujuan terselubung di balik layar lebar sebagai tontonan, masa depan adalah kami, masa kini lebih dari sekedar kami, dan masa lalu biarlah kalian yang memiliki, seperti mimpi-mimpi itu sendiri. Terjerat di sudut kelambu. Kami terlalu pahit merasakan
kami terlalu sakit dibebankan. Ranjang kami pun dirampas paksa. Kursi goyang kami pun dijarah dengan bentakan sekeras halilintar. Kompor kami ditendang tanpa dapat memunguti isinya yang tumpah ke parit-parit. Kami adalah orang-orang tersingkir dari tanah negeri kami sendiri. Kami lebih rendah dari sampah yang masih ada memunguti
Tinggal sekarang siapa yang menemukan ujung tali kendali, tinggal sekarang kotak mana yang memiliki kemampuan menyusun cahayanya sendiri tanpa mempedulikan di luar dari bagiannya. Oh, sangat membahayakan. Berjenis apakah akhirnya segala macam bentuk kebijakan. Berduri sepanjang apakah semua bentuk keputusan. Setajam apakah semua jenis angan-angan. Pernah sebuah kota yang tidak memiliki penghuni dan bangunan tua lagi berdebu, mati. Seperti itu juga akhirnya sebuah negeri karena tak mau membuka mata dan lubang-lubang telinga disumbat oleh mesin penggerek urat syaraf. Sepi, bahkan orang-orang lari ke daerah jurang dengan tingginya tepi demi tepi. Orang-orang lapar di tengah hamparan sawah ladang menguning yang tanpa isi, hampa kosong dan paling banyak hanyalah bualan-bualan penguasa berdampingan dengan pengusaha-pengusaha dari negeri-negeri asing sebagai tamu yang pantas diberi jamu. Mengalir benda-benda, tak terbendung, bersiap bersiap bersiap. Atas segala debu.

(banjarbaru/ 24 luli 2010)


Di Riak Kayuh Perahu

Riak kecil itu sebagai tanda yang sengaja dihadirkan agar kita bersiap untuk menyambutnya sebelum wajah dan kaki mereka nampak sebagai bagian dari perjanjian yang telah lama didengungkan oleh sebagian yang lain di tempat dan waktu berbeda padahal semua orang memahami bahwa betapa tidak sepantasnya menerima bencana demi bencana sedangkan arus deras itu tetap saja mempermainkan wajah-wajah yang kini membisu seperti patung di relief dinding langit.
            Engkau, sendirian duduk di dalam perahu kecil, dipermainkan gelombang kecil. Sungai telah menjadi bagian hidupmu.

Banjarbaru, Desember 2010


Monolog-monolog Terkepung

Melangkah ke samping panggung, pentas kecil di kota kecil, penonton orang-orang kecil. Antara rimbun pohon-pohon karet dan sawit. Padang ilalang bergoyang diterpa angin yang lewat, malam semaikin gelap, tanpa penerangan listrik, hidup seadanya, hidup dari aliran sungan dan rawa, pohon-pohon masih tegar kokoh berdiri, pohon perdu masih merambat jauah ke batas-batas perburuan, kerbau-kerbau berkubang, siang-siang terik. Senja mulai bergerak, perlahan lelap mengantarkan tidur nyamuk dan jangkrik. Menatap penonton dengan tawa renyah, anak-anak kecil semakin lincah berlari dari tangis di dekap ibunya. “Hei, siapa yang harus memulai, ini padang-padang terbuka.” Seekor kijang sembunyi dari kejaran pemburu.
            Wajah-wajah para pemimpin pun terbayang lesu di tengah hutan sebuah desa kecil yang jauh dari keramaian, isolasi isolasi isolasi. “Akh, tak pernah terpikirkan untuk mereka, yang terpencil.”

Banjarbaru, November 2010


Gumam kepada Hans Ranjiwa

Seharusnya apa yang ita pikirkan menjadi seimbang dengan yang orang lain juga lakukan, sejak pagi ketika embun memecah di udara dan cahaya memberikan bias-biasnya, sejak itu pula segala bentuk perjuangan dikobarkan, terus-menerus tanpa henti tanpa mengenal surut walau dalam hitungan hanya beberapa centi, bunga-bunga dari tanaman-tanaman merambat, perlahan tetapi penuh dengan kepastian, semua orang akan sepakat bahwa yang kita lakukan menjadi sejajar dengan pemikiran orang lain secara umum, padahal kita pun tahu bahwa perbedaan bahkan pertentangan dan biasanya memuncak kepada permusuhan adalah sesuatu yang harus kita selesaikan dalam dialog demi dialog dan teruslah melakukan komunikasi yang sangat intens, sebab intensitas itu menunjukkan kepada dunia, kita saling menjaga bersama-sama, kelestariannya, dunia kita berada pada kelasnya pula, kelas yang selalu dengan grafik meningkat tentunya, pantang surut ke lain tempat apalagi tersisihkan oleh  hal-hal yang di luar wilayah  kita sendiri, oh ya, bagaimana perkembangan burung-burung dara yang kita lepas-piarakan di kawasan Mingguraya dan sekitarnya, di saat-saat yang mengasyikkan permainan-permainan kita dengan buah-buah logo menjadi daya pikatnya pula, apa kabar pajangan karya-karyamu?


Pohon-pohon Rumbia

Pohon-pohon itu tertinggal jauh dari derap langkah perjalanan yang lama tidak lagi meninggalkan jejak di lumpur, “Lihatlah ujung atap rumah itu pun lenyap tanpa mampu bernapas, bahkan untuk dirinya sendiri, kita tak mampu,” selembar atap rumbia hanyut di arus sungai menuju laut yang begitu luas
            “Adakah yang akan berangkat di subuh bercuaca kabut itu,” suara dari menara dan kini kita semakin melupakan bahwa ada yang menangis di bawah lumpur mereka.

Banjarbaru, Desember 2010


Sebatas Rindu

Merindukan kebebasan secara wajar terhadap kelayakan hidup yang dipertahankan sejak rasa sakit melilit itu semakin kuat menekan kesadaran untuk bersuara dan melakukan terobosan sampai ke lorong-lorong jauh di rumput kering berserak terhampar negeri ini entah selayak apa terhadap kebutuhan warganya dan entah sampai kapan ketika kaki-kaki telah menaiki anak-anak tangga selama itu pula jerit di hening naik ke ubun-ubun seperti yang telah dipertontonkan oleh banyak orang, kemudian ada yang memaksa untuk merebut keleluasaan di hamparan luas sedang desau angin itu terlalu kuat mengencangkan hembusnya sampai kehadiran badai di gubuk-gubuk kusam bertudung bocor dan orang-orang bebal tetap saja mengarahkan telunjuk, “Bongkar. Bongkar penghalang pandang.” Adakah kecoa lari terbirit-birit dengan todongan kilat ujung tajam belati bahkan kata-kata manis sebagai ganjal di waktu-waktu saat melepaskan penat, namun entah mengapa masih saja mereka tak pernah bangkit dari lelap dengkur teramat panjang, “Lihatlah kami telah berbuat banyak dan kita bukan semudah membalikkan telapak tangan atau seperti para pesulap ilusi dengan seperangkat muslihat dan tetap saja dinina-bobokan ketika tepuk tangan membelah kehadirannya padahal musim menunggu sangatlah membosankan, “Akh, cukup tersenyum sedikit maka rasa lelah menunggu pun lenyap seketika. Tataplah matanya, setelah itu palingkan ke arah yang berlawanan.” Akh, manusia-manusia siap saji, menjengkelkan. Manusia-manusia siap saji, menyebalkan. Manusia-manusia siap saji, membosankan. Bangun tengah malam. Bunyi jangkrik di sela bebatuan. Pagar rumah belum juga tertutup rapat. Dingin mengepung. Urat syaraf di pelupuk mata memberikan respon terhadap kantuk yang belum juga datang mengetuk. Pejamkan mata sejenak. “Akh, tak jua mau bersahabat. Sampaikan salam kepada mereka yang akan datang sebagai tamu. Selamatkan semua orang dalam ketulusan dan tidak harus dalam suasana selalu menuntut pinta.” Suara itu menjadi belai di kulit kepala. Sejuk pun menjalar hingga pagi tiba. Bergeraklah, ayo bergeraklah. Sebut nama kawan kita satu-satu, sampai langit mencatat setiap mereka. Sampai gelombang di pucuk deru badai di samudera mampu menjelmakan dirinya sebagai tangan pengulur pinta. Rindu terhadap kebebasan beban dari perjalanan, tanah. Berpasir. Berbatu. Kerikil. Daun-daun gugur segera. Hujan mulai reda, mari kita bertolak menuju musim di batas kabutnya. Langkah. Ada derap di ujung sepi, kembali. Tubuhmu licin diterpa sinar lampu warna-warni, jauh dari telaga. Menatap lorong jauh. Pintu-pintu mulai terbuka. “Tapi banyak jendela ditutup dengan sengaja.”
            Hanya sebatas rindu kita, rindu untuk hidup selayaknya.

Banjarbaru, 23 Agustus 2010


Cerita di Sebelah Kamar

Pengdilan itu telah membuat semua orang di antara mata dan telinga serta apa yang terjadi adalah bagian dari perjalanan seekor cicak yang sedang merayap-rayap dan kini ada yang mengganjal dalam pikirannya. Semakin lama dan semakin dibiarkan jadi pengganjal setiap upaya yang kini hangat dibicarakan orang padahal seumur-umur tidak pernah yang namanya aungai itu tidak mengalami pendangkalan demi pendangkalan. Semua orang telah tahu itu. Ada sesuatu yang harus diterima sebagai bagian dari hasil pemikiran dan imajinasi, kepundan atau jelaga. Oh, puncak capaian di setiap sudut mata memandang dan setajam daun telinga menyimak hasil pendengaran. Cerita di sebelah kamar, tak ada yang terlewatkan, seperti angin menanda kedatangan, maka daun jendela pun bergoyang-goyang.

Banjarbaru, Desember 2010


Tentang Ali Syamsudin Arsi
Ali Syamsudin Arsi atau biasa dipanggil ASA, lahir di Barabai, Kalimantan Selatan, pada 5 Juni 1964. mulai aktif menulis puisi sejak 1982. Puisi, cerpen dan esainya tersebar di berbagai media massa daerah, nasional dan regional. Kumpulan puisi tunggalnya: Asa (1986), Seribu Ranting Satu Daun (1987), Tafsir Rindu (1989), Anak Bawang (2004), Bayang-bayang Hilang (2004), Pesan Luka Indonesiaku (2005), Bukit-bukit Retak (2006). ASA memperkenalkan gumam mulai tahun 2009, yang ditandai dengan terbitnya buku kumpulannya tersebut, yaitu Negeri Benang pada Sekeping Papan (2009), Tubuh di Hutan Hutan (2009), dan Istana Daun Retak (2010). Tahun 1999 mendapat penghargaan sastra dari Bupati kabupaten Kotabaru. Tahun 2005 menerima penghargaan sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan. Tahun 2007 dari Balai Bahasa Banjarmasin.

Catatan Lain
Buku Bungkam Mata Gergaji diluncurkan ASA di TOSI alias Taman Olah Sastra Indonesia miliknya di Jalan Karang anyar 2, Loktabat Utara, kota Banjarbaru. Tak lama setelah terbitnya, Februari 2011. Kalau tak salah yang jadi pembicaranya Budi “Dayak” Kurniawan, seorang wartawan. TOSI tak jauh dari tempat tinggal saya, paling setengah kilometer jaraknya. Tapi saya tak bisa hadir waktu itu. Saya lupa apa alasannya. Buku ini saya dapatkan setelah ada acara berikutnya di TOSI, yaitu peluncuran buku puisi Ahmad Fahrawi dan M. Rifani Djamhar, Pendulang, Hutan Pinus, dan Hujan. Harga buku-buku itu sebenarnya Rp. 25.000,- tapi hari itu ada harga khusus, Beli Rp. 50.000,- dapat tiga. Kebetulan waktu itu Hajri nitip minta dibelikan Pendulang, Hutan Pinus, dan Hujan. Ia tidak dapat hadir. Jadi saya beli 1 Bungkam Mata Gergaji dan 2 Pendulang.    
Sebenarnya, apa yang saya tampilkan dalam kesempatan ini bakal tak diakui ASA sebagai puisi. ASA memberi nama baru, yaitu GUMAM, sebagai yang bukan puisi dan bukan pula prosa. Dan ia cukup keras kepala! Telah banyak pula tulisan-tulisan yang mengulas gumam. Ada yang mendukung, ada yang mengkritik. Apa yang hadir dalam Bungkam Mata Gergaji telah mengalami penyesuaian-penyesuaian menurut apa kata pembaca, kata ASA suatu ketika. Gumam di buku-buku sebelumnya panjangnya auzubile. Berlembar-lembar kertas. Sekarang dia bikin lebih pendek, seperti yang sekarang ditampilkan. Saya, sebagaimana ASA, sama keras kepalanya untuk menyebut karya kreatifnya sebagai puisi. Atau katakanlah sebagai bagian dari puisi. Syair, pantun, soneta, haiku, kwatrin, dsb barangkali tak mau disamakan dengan puisi, namun dalam struktur pengetahuan saya, ia menjadi bagian dari keluarga besar puisi. Pun begitu dengan Gumam. Ia terlalu sarat dengan beban puitik. Ia lebih condong ke puisi meskipun secara tampilan memilih baju seperti prosa. Apakah anda pembaca yang keras kepala juga? Silakan berpendapat.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar