Laman

Tonggak

Rabu, 07 Maret 2012

Raudal Tanjung Banua: GUGUSAN MATA IBU


Data buku kumpulan puisi

Judul : Gugusan Mata Ibu
Penulis : Raudal Tanjung Banua
Cetakan : I, Mei 2005
Penerbit : PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta
Tebal : xiii + 116 halaman (50 puisi)
ISBN : 979-3062-56-8
Perancang sampul : R.E. Hartanto
Sketsa wajah : D. Zawawi Imron

Beberapa pilihan puisi Raudal Tanjung Banua dalam Gugusan Mata Ibu

Ayah dan Burung-burung

aku terbayang ayah yang melangkah di pematang
sawah kenangan. sesekali langkahnya tertegun
ngungun bersama embun. kadang ayah
bagai orang-orangan dari jerami
di tengah menguning padi. kusentakkan tali rindu
di antara kami. maka tersintaklah ayah
bersama riuh burung-burung yang berlepasan
tak kembali lagi.

yogyakarta, 2011


Di Boulevard, UGM

Berdiri di sini
di sisi pinus merkusi tua
kita menjelma nafas hidupnya;
pucuk menusuk langit tinggi
akar tetap tegak di bumi
datanglah angin, kita tak akan
            pernah terlelap
menyandarkan impian padanya
kita mencatat usia
yang diberikan waktu
kepada kita
Waktu, sang penentu yang bijak itu,
            tak pernah berkhianat
pada setiap tunas yang tumbuh
ia memberikan segalanya
tapi yang kita butuhkan hanya sedikit;
bagaimana pintu terbuka, dan di langit
kita saksikan ribuan bintang ...

Yogyakarta, 1998



Kenangan, Arah Segala Simpang

Setiap kita punya kata dan peta
Suratan telapak tangan. Pernahkah kau baca
Di luar restu tukang ramal?

Aku membacanya dengan caraku sendiri
Di sepanjang jalan kesunyian. Kusaksikan
Begitu banyak simpang yang kubawa berlari
Dalam diri, hingga tak satu pun tersimpan
Untuk kujadikan tanda dan lambang
Agar terbaca semua orang.

Maka dengan sedih dan nyeri kukepalkan telapak tanganku ini
Mengacungnya ke langit, ke bintang-bintang, kuingin ia
            berputar
Dan berpendar, bagai globe, bola dunia, di keheningan
            puncak malam.

Begitulah ia terus berputar dengan sumbu sebelah lengan
Yang bersitahan dari penat, pusat segala lenggang
Sampai aku tersadar, rute masih panjang
Sedang bintang-bintang tak kunjung jadi rambu
Di tajam tikung jalan. Kiri-kanan

Nganga ngarai atau ujung jurang, apapun
Tanganku telah terbuka membentang sekalian salam
Kepada sesama seperjalanan. Juga sungai dan batu-batu
Kusentuh tanpa genggaman, hingga kau dan aku berlalu
Dalam sesenggol sentuhan ngilu, dalam sepenggal
Kenangan pilu. Sedang kenangan,

Kau tahu, kenangan adalah batu yang menjadi
Jantung jurang, adalah sungai yang menjadi
Jiwa ngarai, meski tak ada lagi bintang penerang
Di bentangan peta nasib telapak tanganku ini.

Tapi, di remang ujung jalan sebelum sempurna kelam
Kusaksikan sekalian simpang, berkilatan, ternyata mengarah
Ke satu tujuan: Kenangan!

Maka, kulenggangkan tanganku, kau langgengkanlah kata
Perpisahan, agar kenangan menjadi tanda dan lambang
Kekal terbaca di setiap simpang.

Yogyakarta, 2002-2003


Surat yang tak (pernah) selesai
            : gus tf

Sebuah surat
hakikat beribu
kalimat sakitku

Akan kutulis padamu
Begitu malam
            Dan jalan-jalan
mengibaskan nasib yang payah
maka tersedulah aku
            teringat rumah!

Kugali sungai di kertas surat
air mata sunyi alir airnya
agar hanyut sangsaiku
            ke alamat rindu
maka rebahlah aku
            menahan sedu yang entah!

Sebuah surat adalah sungai
berhulu jauh
karena itu ia tak akan pernah selesai
dan mungkin tak akan sampai
padamu.

Denpasar, 1997


Alienasi
- kuta

Cahaya memanjang menikam pesisir yang basah
meneteskan kenanganku di sayap-sayap senja
kukumpulkan pasir kerinduan, ‘kan kubangun
wajahmu di sini, walau rapuh:
Ombak berlapis mengintai silih berganti
Sekali waktu harus kurela
mata, kaki, tangan dan rambutmu terseret pergi
hanya wajahmu setia kupertahankan hingga nanti

Menatap langit, ceruk yang tenggelam ke tepian laut
istana camar yang tak pernah sendiri
kutiadakan kesetiaan camar, dan kunikmati
            kecemburuan ini
sambil menangkap angin lewat
dalam igauan

Di dahan yang kurus, kau terbuai kenangan
dan tak pernah bisa kugapai walau sesaat.

Kuta, 1996


Jalan ke Bukit Penuh Duri
-- untuk Afrizal Malna

Ya, jalan ke bukit sudah berubah
dalam langkahku kini;
semak-semak meninggi, penuh duri
rumput, ilalang pun jelatang
berebut tumbuh di celah batu
menggores pundakku, sia-sia
mencari bekas pondok, pohon-pohon, mata air
bahkan batas ladang yang lama ditinggalkan

Tak ada suara seruling atau denting kecapi
di ladang-ladang mati. Tak ada langkah penyabit rumput
untuk lenguh ternak yang memang tak kedengaran lagi
Tak ada gegas laki-laki turun ke teratak
menyandang sekarung gandum musim panen.

Tapi aku tetap saja berjalan, mendaki
di antara kabut dan duri. Menguak semak-semak dan onak,
penuh debar, bagai menguak cadar perawan
(gadis-gadis kecil sepermainan)
berharap bertemu runcing bukit dan lekuk lembah kenangan.

Terus saja aku berjalan mengikuti desau ilalang
dari jurang ke jurang. Barangkali itulah lembah biru
tempat paling riang dalam hidupku:
yang di dasarnya memancar mata air
tempat membasuh lelah ibu
tempat pernah kugoreskan namaku di batu licin
tempat benih dan bijian tumbuh di subur rahim
tempat ayah berkubur akhirnya di gembur rahim.

Sungguh, semak-semak terasa bergetar
oleh rindu! Bahkan duri-duri terasa akrab
memahkotai diri. Dan aku gemetar, terbayang
semangka curian yang terlepas dari pangkuan
menggelinding liar dan jatuh di batu;
o, merah isinya bagai gelegak darah mudaku
ingin segera pergi mengenal peta baru dari lautan!
(tapi mengapa tak kunjung kukenali kembali
peta lama ladang sendiri di bukit-bukit pesakitan ini?)

wajahku tergores ilalang, bersama kembang
      darah mengalir dari kuntum usia yang hilang
ke dalam jurang. Sadarlah aku, semak bergetar
bukan karena rindu-dendam, bukan karena kilau bayang
      masa silam
tapi gedesau liar babi hutan atau geliat lapar harimau
      kumbang...

aku tersintak, hari hampir malam, atau barangkali matahari
tak sampai ke mari (telah jatuh di laut jauh). Aku tertatih
menyandang ransel sarat beban. Apa yang kau bawa
      penyair letih?
Bertanya aku pada diri sendiri, pada sepi. Apa yang kubawa?

Peta-peta kusam-kelabu. Tak terbaca karena gagu. Sobekan
      layar hilang warna
Pudar disepuh laut jauh tak berberita. Patahan jangkar.
      Bungkulan garam.
Sirip hiu. Moncong todak. Kulit penyu. Bulu camar. Akar bahar.
Kertas-kertas penuh coretan.

Pernah aku berkata, di pelabuhan penghabisan:
“Akan kugenapkan koleksi benda-benda yang kusimpan
serbuk cengkeh dan pala penuh aroma. Minyak nilam.
      Mata cangkul
dari tanah hitam. Bulu enggang. Paruh kuau. Jimat cakar
      elang. Taring celeng
Ketapel. Batu-batu lumutan. Akan kususun jadi bahasa baru
      penuh gema,
meski mungkin hanya aku yang tahu maknanya, aku seorang!”

Karena itulah aku pulang, berziarah. Persetan segala lelah!
Aku toh bisa bersandar di pohon rindang
dekat batu besar (serasa pokok ketapang di pantai, di celah
      karang)
Kelepak elang pulang sarang berselisih kelepak kelelawar
      ke luar kandang,
mengingatkan malam benar-benar akan segera datang
Aku tiba-tiba merasa sendirian, di tengah hutan, di dalam kelam
terasing di tengah tanda dan lambang-lambang
yang belum terumuskan. Sampai-

tanganku yang capai meraba licin lumut, lalu seperti tersesat
di kasat huruf. Aku temukan apa yang pernah kugoreskan:
batu itu menyimpan nama masa kecilku!

Dan segera kukenali kini: bekas pondok lapuk terlantar,
pusara tua, pancuran lama. Lalu, lidahku yang kelu
menyeru-nyeru ibu, “Ibu! Ibu! Kutemukan lembah yang riang
dan kemilau mata airku!”

Bahkan kunang-kunang pun berkilau di tepi hutan
dan semak-semak penuh duri, bercahaya. Aku teringat
bintang-bintang di atas pulau karang, penuh ranjau
Namun tetap kucari kata-kata yang lama hilang
dan kini terdampar di belantara warisan nenek-moyang!

Kutulis lagi mata bajak dan genta sapi
sampai semak kembali bergetar oleh irama yang akrab
      dikenali
bergetar, dalam pusaran angin malam. Bergetar, karena cinta
dan rindu-dendam. Aku pun gemetar, dan diam-diam
      menyorotkan cahaya senter ke tepi hutan;
sepasang mata harimau kumbang
bagai teror di jalan pulang!

Aduh ibu, mengapa teror kembali berulang
di ladang-ladang mati dan jelan penuh duri? Aduh, betapa berat
jalan kembali!

Tiba-tiba sebumbung asap menari dari sebalik bukit
yang lain lagi. Tapi bukan pertanda ladang atau tempat berdiang
yang aman. Tak ada aroma pisang panggang
      dan kelepak enggang
melainkan kobaran api, teror demi teror
melumat kenangan

Dan aku tinggal sendiri, di atas puing ribuan lambang:
menulis dengan abu, puntung dan arang
beserta perih duri-duri
tetap dengan riang...

Rumahlebah, yogyakarta, 2002


Ceritakan Padaku tentang Ikan
            : Wahida

Ceritakan padaku tentang ikan
yang tiap hari melintas menyapamu
Dari balik kaca tempatnya merentang sirip
Barangkali dirindunya matamu
Sebuah telaga sejuk berdayung nasib

Apa yang terbayang
ketika ikan-ikan kecil dan lucu itu
            akan menuju negeri yang jauh?

Telah ditawarkan keindahannya
Kepada dunia yang tak dikenalnya
Dipaksa melupakan karang-ganggang
            dunia sederhana miliknya

Tapi mengapa tak kita tawarkan
indahnya persaudaraan
Ke negeri-negeri yang jauh
            bahkan ke dunia yang kita punya?

Ceritakan padaku tentang ikan
Saat akan berangkat
Sampaikah lambaianmu menyentuhnya.

Pernahkah kau bayangkan
Aku satu di antara mereka
yang merindukan matamu
jadi telaga paling setia
            menadah lukaku?

Ceritakan padaku tentang seekor ikan
dari negeri yang jauh
setia melintas menyapamu
dari balik dunia kecil yang ia punya.

Ceritakan hanya padaku
Biar kudapatkan jawabannya.

Denpasar, 1996




Gugusan

Gugusan bintang dan pulau
Tidak memberi bahasa pada bumi
Bintang tak teraba. Pulau sunyi

Kita membentang peta
Meneropong galaksi
dengan keyakinan yang kelewat berlebihan
akan bahasa sejati.

Kompas yang liar
Memberi arah ke bandar dan kota-kota tak bernama
Sementara di langit bintang-bintang seperti kabut menyisih
putih-kemilau; semacam kata yang baru
pertama kali dilahirkan, susah payah memasuki jagad
bahasa

Kita pun terpana. Di depan mata, eksotisme
tanah hitam; matahari yang terbenam
dengan kilau emas murni dan rempah-rempah
ke lambung kapal yang disorongkan…

Begitulah, kapal demi kapal
Sandar dan menyorongkan lambungnya yang lapar
ke bibir tanah hitam
Nyaris tanpa percakapan. Apalagi musyawarah
Kecuali seruan-seruan bergegas, membentuk perintah
dan bentakan-bentakan kasar hewaniah
Sementara di atas kapal, radio panggil menggigil
mengabarkan
perang telah pecah di ujung benua…

Gugusan bintang dan pulau
Tidak memberi bahasa sejati pada bumi
Sepanjang pelayaran kapal-kapal
Mengeruk emas murni dari gugusan pulau
Dan pesawat-pesawat ruang angkasa
Bermimpi merontokkan bintang!

Saat itulah, orang-orang sepanjang gugusan
Merangkai kerang dan lokan dan menempelkan
Ke dada mereka yang gosong dan terbakar
Seperti bintang bercahaya dalam kelam, kata-kata menyisih
Di ujung lidah mereka; lahir jagad bahasa baru
yang kutahu, melebihi kilau emas murni
atau mutiara biru…

/Yogyakarta, 1998


Matahari Pertama

tidak ssetiap kesalahan adalah dosa
bukan pula kekalahan

bila pintu terbuka dan matahari bersinar
kami memandang tanpa curiga. kadang
dengan riang kami bicara
tentang perang. sambil membayangkan

kapal-kapal oleng karena muatan
bendera setengah tiang. lorong tambang
yang mendebarkan

dan ajaib, kami temukan mereka,
orang-orang dengan tulang rusuk yang rusak
bangkit dan bergerak. di ujung lorong
dengan sedikit cahaya

jadi pertanda – datangnya matahari pertama
matahari yang senantiasa terbaca
tiap kali pintu terbuka. tanpa curiga
kami memandang dan mengulang cerita lama

tapi tidak tentang kalah dan menang
biarlah itu menjadi matahari silam
para nenek moyang

matahari kami kini: matahari pertama
di suatu pagi yang tak mengenal
nama-nama hari. cahaya dibagi rata

seperti puisi,
menyepuh bumi dalam kilauan
sehingga semuanya bercahaya

bahkan bulan (yang tak memiliki
cahaya sendiri), purnama
dan bintang-bintang begitu cemerlang
di jagad galaksi matahari kami!

sehingga semuanya bernama
atas maunya sendiri. semuanya terbaca
dan ditulis kembali
dengan tatahan semangat cahaya pertama

cahaya yang menata batu-batu
dan air dan lorong tambang
menjadi baru dilahirkan

bahkan terasa
bahwa tuhan sendiri lupa menulis semuanya
di kertas dosa!

kami sendirilah yang menulisnya
di kertas putih
puisi cinta.

/Jakarta-bandung, 2000


Peta Tikar Pandan
– teringat nenek

Sebuah peta tak mesti lahir
dari panjang perjalanan. Bahkan juga
dalam diam; lahir peta baru
dari keheningan dan kenangan.

Kutemukan sehelai tikar pandan
di lantai tengah rumah kenangan
anyaman tangan nenekku yang sabar
dan kubaca sebagai peta segala arah
anyaman demi anyaman bagai perempatan
yang bersilangan.

Di sini kami berkenduri, berdoa, membaca silsilah
dan membakar kemenyan. Terkenang bekas luka
jari nenekku saat memungut duri pandan
dibalutnya sendiri hingga sempurnalah ketabahan.

Begitulah tikar ini diwariskan, meski lusuh
Tapi masih terbaca jalan lurus penuh simpang
tempatku sujud dan sembahyang.

Bahkan bekas air sirih kunyahan nenek
yang memercik satu tepi, terbaca
sebagai tanda dan isyarat
yang mengingatkanku pada tangga dan garis darah!

Pun ketika kopiku tumpah dan mengering
bekasnya masih akan terbaca mata tua nenekku
Dan dikenangnya pula sebagai tanda kepergian
Seorang cucu yang ditelan rute kepahitan.

/Yogyakarta, 2002


Pinangan Nasib

Tuhan menjodohkan aku
dengan nasib tak dikenal
hingga percintaan kami
terasa ganjil.

Kadang dengan riang kami berpeluk
di jalan. Kadang bertengkar di taman-taman
untuk sesuatu yang tak kunjung terumuskan.

Nasib membawaku ke kelok-kelok lengang.
Aku pun membawanya berliku dalam diriku.
Nasib mempermainkan aku lewat kasip waktu
Aku bermain-main waktu dengan nasib. Tak tahu,
Siapa bakal jemu lebih dulu, bosan dan meninggalkan.

Bila aku ditinggalkan nasib
aku pun menanggalkannya dari badan
Tak ada rujuk berbalik pulang!
Kepada Tuhan tak kuingin nasib baru
Aku akan mencarinya sendiri
dan minta Tuhan sekadar meminang!

/Yogyakarta, 2002


Teluk Bayur

Kapal yang sauh
bertolaknya jauh
di tepian pasang masih
engkau berdiri
gamang membatik kain selendang
di dadamu
selingkar bukit membayang
memantul di teluk cerlang

Masih kulihat kereta bara
gerobak pedati tua
di tiap tikungan – lipatan air
genta digalu ikan-ikan…

Ditingkahi terompet lokan
awan merendah kian terbaca
gabaklah mata; tuntas sudah
camar terakhir
menyerahkan sepucuk sayapnya
pada cuaca

Jangan menangis, Dik!
Sebelum kapal bersauh
di pulau-pulau jauh
sepucuk sayapku yang kelabu
akan bangkit mengepak
kepadamu.

/Padang-Yogya, 1997-1998


Ibu di Sepanjang Puisiku

ibu adalah ruh dalam diriku. di malam
penuh ilham, malam kemilau bintang-bintang
ibu selalu mengajakku berbincang
tentang sawah dan ladang-ladang
yang ditinggalkan.

suara ibu denyit pilu engsel pintu
membuka dan menutup diriku
tanpa salam. sebab bertemu dan berpisah
apalah bedanya bagi tubuh satu ruh!

Memang kami sudah lama berpisah badan
entah kapan bertemu. tapi lewat suara-suara lusuh itu
ibu selalu menjengukku dengan berbait-bait
kalimat rindu – tempat aku menyusu
tak habis-habis kususuri hingga ke hulu

dari manakah berhulunya kalimat rindu?
dari pintu masuk ke kalbu.
di manakah muaranya kalimat rindu?
dalam dada yang menjadikannya ruh

di sepanjang puisiku!

/Yogyakarta, 2001


Sepasang Mata yang Berkabar

Mataku. Batu yang jatuh
ke lubuk mabuk
Dipeluk dingin
hening merayap tebing

Menadah senyap dasar
dari situ aku ingin bergemuruh
berkabar
mengaliri jejak yang tertinggal

Bu, mataku boleh tak pulang
ke liangnya
tapi airnya yang leleh
jadi penyejuk hatimu
penawar luka agar tak dalam

Mataku. Kembar sepasang
direnggut arus menderas
dimabuk peluk
memecah diam

Bu, engkau ada di mataku
walau sekadar bayang di kulit air.

/Denpasar, 1995


Menyambut Kelahiran
– anakku, nahya atau tsabit

Kusambut kelahiranmu, anakku
dengan menggambar peta
buta. tanpa skala. tak ada kota-kota. tak ada
tanda dan nama-nama. kuharap
lapang matamu memandang: laut dan gunung
tak kuwarnai, biru melulu
mengharuku. danau dan sungai
tak kutandai, ketenangan dan kesunyiannya
telah menjadi tanda sendiri dalam dada. kuharap
lantang tangismu bergema, hingga kota-kota,
tanda dan nama-nama, lahir dari ketakjuban
dan keheranan pertamamu melihat dunia
warna-warna dan air mata
lahir dari asal-mula sederhana; tangismu
dan tangis ibumu.

Di seberangnya aku melambai
menantimu

/Yogyakarta, 2001


Sajak Mencari Kutu
– kenangan kecil bersama ibu
 
kau tahu, mencari kutu tak selalu di tubir pintu
sambil menyimak angin lalu. tidak pula sekadar
pembunuh waktu bagi perempuan kesepian.

perempuan-perempuan yang menunggu
yang ngingatkanku pada ibu!

dulu, ibu selalu menegurku bila duduk di depan pintu
atau tubir jenjang. beliau bilang berpantang:
anak gadis sukar dapat laki, dan laki-laki
bakal jadi tawanan mimpi, pun ilusi-ilusi

itulah sebabnya, bahkan untuk sekadar mencari kutu
ibu selalu mengajakku duduk di tempat sejuk,
misalnya di beranda
atau ruang tengah. dan kalaupun harus menyimak bahasa laut
cukup dari gelora atau memandangnya saja lewat jendela

“mencari kutu tak mesti berbincang sampai petang. bukan pula
bergunjing, menjinjing telinga kiri-kanan. mencari kutu
adalah bahasa kasih sayang nan tak lekang
oleh waktu. meski kau pun tahu, perempuan-perempuan
yang menunggu
seperti ibu yang juga bakal menunggu kamu, sungguh
tidaklah bisu!”

begitulah kata ibu yang menyengat naluriku
sambil terus mencari kutu di kepalaku
meski kadang-kadang hanya sekadar mengusapnya
mencari-cari bekas luka kena palang pintu
– tanda yang kelak ia kenang penuh rindu!

dan meski aku ini anak lelaki, tapi merasa pasti
tetap butuh waktu merintang hati, butuh waktu merasakan
bahasa kasih sayang, yang nanti bila pergi, selayang waktu itu
akan menggelegak mematangkan segala rasa
mengajakku – siapapun juga—pulang tersedu!

tapi sudah lama aku tak pulang! memang sudah masak
rasanya buah rindu
di sekujur batang tubuhku, sudah menggelegak rasa itu
ke puncak ubunku,
melebihi apapun yang bernama rindu dan restu dalam dadaku
namun, bagaimanakah aku hendak melabuhkannya, ibu?

atlas di saku kumalku ini makin penuh titik
seperti bekas kutu baru ditindas
di atas putih kertas. memercikkan titik demi titik
noda dan darah, yang mengering dan menghitam,
bagai bekas luka di kepalaku
yang membeku bersama rencana-rencana
dan setiap titik dihubungkan guguran rambut
membuat peta perjalananku kian hitam dan kusut.

ibu, segala tuju peta nasibku bagai titian serambut
dibelah tujuh, membuatku tertujah dan jatuh!

tapi bila nanti aku pulang atau terhantar
kuingin menyisir rambutmu di halaman
kertas-kertas puisi cintaku
kini penuh coretan. enyahlah
kutu-kutu yang kena kutuk waktu
gugurlah uban di jalur lurus langkah kakiku
menuju pintu-pintu tak diketuk
kini membatu.

/Rumahlebah, Yogyakarta, 2001.


Tentang Raudal Tanjung Banua
Raudal Tanjung Banua lahir di desa Lansano, Kenagarian Taratak, Kab. Pesisir Selatan, Sumatera Barat pada 19 Januari 1975. Awal 1995, merantau ke Bali, bergabung dengan Sanggar Minum Kopi. Lalu pergi ke Yogya, masuk jurusan teater ISI, mendirikan komunitas rumahlebah dan bergiat di Akar Indonesia. Buku kumpulan cerpennya, Pulau Cinta di Peta Buta (Jendela, 2003) dan Ziarah bagi yang Hidup (Matahari, 2004).

Catatan Lain
Buku Gugusan Mata Ibu nongkrong dengan asyiknya di rak buku Hajri. Ada sih barcodenya di belakang buku, tapi sudah dirusak entah oleh siapa. Kemungkinan besar buku ini dikasih Raudalnya langsung. Raudal dan Hajri saya pikir cukup “dekat”, mereka sering berkorespondensi dan bertemu langsung. Jika Raudal ke Banjarmasin, Hajrilah yang menampungnya. Tidak jarang mereka berpetualang bersama. Pergi ke tempat-tempat eksotik, ke Hulu Sungai, ke Pangkalan Bun, dsb. Tapi saya tak yakin juga, tak ada penanda Raudal di buku itu.
Raudal berkata: “Rantau, sparring partner dan silaturahmi, adalah tiga tradisi utama – yang kebetulan lahir di tiga kota – dalam perjalanan kepenyairan saya.” Saya beruntung dibesarkan dalam tradisi rantau, kata Raudal. Di kampung saya, sebagaimana lazimnya nagari-nagari di Minangkabau, merantau adalah upacara biasa selayaknya air hilir ke muara, ucapnya lagi. Maka mulailah Raudal memaknai rantau dalam ranah kreatif. Di mulai dengan berangkat ke Bali awal 1995. Kata Raudal, “sejak awal, niat saya merantau bukan mencari pekerjaan, bukan pula untuk studi formal, dua hal yang umum dilakukan perantau. Tujuan saya yang utama: belajar (menulis) puisi! Terasa gagah memang, dan begitulah akhirnya saya memilih.”
Di Bali Raudal bergabung dengan Sanggar Minum Kopi. Di sinilah ia mengenal tradisi sparring partner. Di mana setiap puisi yang ditulis didiskusikan, dibongkar dan dirombak. Istilah Raudal, “dibantai” beramai-ramai. Ketika hijrah ke Yogyakarta, ia mulai berkenalan dengan tradisi baru, yaitu silaturahmi. Kata Raudal, (dalam silaturahmi itu) tak ada batasan usia, tak ada hitungan “jam terbang”, bahkan tak ada jam kerja. Karenanya, lumrah bagi kami tiba-tiba bertemu di satu rumah, karena jadwal bertamunya kebetulan sama. Dan dari situ, muncul spirit baru untuk mencipta atau mulai menggarap karya yang terbengkalai.
Pembacaan saya sekilas terhadap buku ini, menghadapkan saya pada seorang perantau yang introvert. Yang dalam langkah ke depannya, dibebani cerita masa lalu. Maka berulang-ulang muncul kata kenangan atau ibu dalam banyak puisinya, tentu dengan nuansanya yang liris. Entahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar