Laman

Tonggak

Kamis, 08 Maret 2012

Agus R. Sarjono: LUMBUNG PERJUMPAAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : Lumbung Perjumpaan
Penulis : Agus R. Sarjono
Cetakan : I, Februari 2011
Penerbit : PT. Komodo Books, Depok.
Tebal : 164 halaman; 14 x 20,5 cm (66 puisi)
ISBN : 978-602-98260-9-8

Beberapa pilihan puisi Agus R. Sarjono dalam Lumbung Perjumpaan

Ranggawarsita

Zaman edan yang bahagia, di manakah
gerangan Ranggawarsita?

Sunya ruri seisi negeri. Siapa bertahta
di ujung harta? Tanduk-tanduk partai,
mengusung dua ratus juta telur sangsai
ke rumah gadai. Alangkah eling dan waspada
bagi setiap peluang yang ada.

Sunya ruri segala mimpi. Harapan lama
bagai bendera di malam badai: berkibaran
dan kusut masai. Pengadilan dan gunung api
melontarkan magma dan debu ke udara
lantas mengendap di paru-paru negara
: pengap dan menyesakkan dada.

Zaman edan yang bahagia, di manakah
gerangan Ranggawarsita?



Saint-Exupery

Seorang penulis buku anak
dengan indah telah meminta maaf
pada anak-anak, karena cerita untuk mereka
dengan terpaksa, pada orang dewasa
dipersembahkan. Ada sekian alasan
dan sebab: yang utama, tentunya
karena orang dewasa paling banyak
kehilangan. Misalnya saja warna-warna
di alam semesta. Makin dewasa
makin sedikit warna tersisa bagi manusia
yakni warna-warna dasar yang sederhana
karena warna pelangi, warna berseri
warna terang, cerah, dan norak
hanya milik dunia anak-anak.

Belum lagi kehilangan yang lebih mencekam
: otot, gairah, mimpi, usia muda,
rasa ingin tahu, khayalan, rasa heran,
kekaguman paripurna pada dunia
yang masih segar dicipta
belum diterjemahkan jadi angka-angka
kering dan kejam di pasar saham.

Setiap anak dilahirkan sebagai pangeran kecil
gemilang dalam cahaya gemintang mungil
Mereka segera jadi kaum papa jelata
begitu ia menjelma jadi dewasa,
tak peduli berapa istana ia punya,
berapa timbunan harta dalam simpanan.
Karena hanya pada kanak, bintang
di angkasa merasa punya hubungan
rubah di hutan merasa berteman.

Orang dewasa berdiam di jauhan
dengan bedil di tangan: lelah, cemas,
dan siaga. Tak melihat hubungan lain
dengan kehidupan selain jadi pemburu
atau diburu. Tak putus-putus mabuk
untuk menghapus rasa malu
karena telah menjadi pemabuk.

Maka kepada anak-anak tolong maafkan
bila bahkan buku untuk kalian
kepada orang dewasa dipersembahkan.
Kasihanilah kami orang dewasa
yang begitu banyak kehilangan.
Yang terbesar dan tak tergantikan
adalah hilangnya masa kanak
anugerah terindah dari kehidupan
yang begitu lekas musnah
dan menyilam.


Singer

Seorang lelaki
berkutat bebaskan budak
dalam diri,
menulis musuh
dalam kisah cinta sejati.
Tapi trauma dan masa lalu
bagai mantan istri
yang selalu memaksa
untuk rujuk kembali.

Dalih adalah Sang Tuan
dari rembang ingatan.
Bahkan di detik jingga
di nadi hidup
yang berdegup mesra,
selalu ada dalih bagi kita
untuk tetap tak bahagia.


Sartre

Neraka keberadaan tak lain
adalah orang lain, ucapmu
dalam sebuah pintu tertutup
pada sebuah drama canggung
dari sebuah zaman yang murung.

Di tanah airku, ada dan ketiadaan
karcis menjadi tema utama
setiap hari raya. Stasiun dan terminal
tersengal oleh antrian: panjang
dan rapat seperti kalimat filsafat.
Kerumunan yang berdebar
tak sabar ingin memudikkan jiwa
dan badan ke surga kebersamaan
kerabat dan keluarga
karena neraka tak lain
adalah tanpa orang lain.


Cervantes

Dengan pena terhunus kau pacu keledai sastra
menerjang kincir keramat hikayat bangsawan
dan raja-raja hingga porak-poranda
dan menjelma jadi gelak tawa

Di negeri-negeri yang jidatnya sempit
dan muram, tank, panser, dan penjara
tersedia bagi Don Quixote dan keledai sastra
yang menggoyang kebajikan mapan
bungkus mulia bagi jiwa-jiwa deksura.

Adakah ksatria gelak tawa berbahaya
bagi negara, serupa ular berbisa di belukar
mendesis merayap menyusun makar?
Dia yang bijaksana tahu tak ada
mahkota dimakzulkan oleh cerita
jika ke dalamnya penguasa sedia berkaca.

Keledai sastra yang dungu bestari
senantiasa menggergaji satu kaki singgasana
agar sang raja belajar bijaksana di atasnya.
Atau mengecat tembok istana
dengan warna ganjil tak biasa
biar angker kekuasaan sedikit belajar
menertawakan diri dan agak jenaka.

Dengan pena terhunus kau pacu keledai sastra
menerjang kincir keramat hikayat bangsawan
dan raja-raja hingga porak-poranda
dan menjelma jadi gelak tawa

Kisah sehari-hari dan orang biasa
sejak itu berhak juga menjelma cerita.


Gorky

Di sebuah negeri gamang dan pilu
Gorky yang piatu melahirkan seorang ibu
untuk membuka hati dan mengasuh
hari-hari jelata yang rusuh. Bagai Musa
Ia menuntun jelata pekerja
untuk berhijrah dari kubangan vodka.
Di kerontang akar rumputan, kesadaran
konon tumbuh merimbun bagai palawija
berbuah mesra penuh janji
untuk dipanen kelak selepas fajar pagi.
Tapi sejarah selalu milik ayah.
Mereka memanennya malam-malam
hingga tak banyak yang tersisa
di ladang selain warna merah
dari jejak-jejak amarah.

Di lorong gelap jelata, di kedalaman
terbawah, ada pelacur dan pencuri
merayapi mimpi mengharap cerlang matahari.
Dan bangsawan afkiran, buruh harian,
pedagang asongan, sibuk menanam diri
dalam cerita warna-warni
karena sesekali, orang-orang merasa perlu
menyentuh jiwa papa kelabu
dengan sedikit warna ungu.

Dalam gairah, Gorky menyusun
masyarakat dari lembar-lembar kertas
dan penguasa melemparnya ke tungku
biar revolusi berkobar selalu.

Waktu berganti rezim berlalu
di tanah yang merah dan tak merah
semua berubah, kecuali pelaminan
tempat penguasa penuh gairah
menjamin jelata dan kemiskinan
agar senantiasa bisa menikah.

Tinggal Gorky: masai dan terlunta
dijahit penguasa menjadi bendera
berkibar-kibar seperti sejarah
tempat jelata terbungkam pasrah.


Pamuk

Adalah salju
yang mempertemukan
orang sunyi dengan puisi
ketika perempuan yang tertindas
menghidupkan emansipasi
dengan bunuh diri

Bisakah manusia bahagia
sebagai pasangan cinta
menghuni rumah mungil berdua
tanpa direcoki perabot-perabot berat
dan sulit diangkat seperti negara
atau perkakas keras
tajam dan bergerigi
seperti ideologi?

Di Kars atau Tanjung Priok
di Kabul atau Istambul, sandiwara
bisa saja mengkudeta fakta
ketika remaja-remaja yang rindu
dan mereka yang mengusir pilu
dalam sebuah pertunjukan
terburai diserbu serdadu
hanya karena seorang komandan
yang bosan dan putus asa
mendadak ingin jadi sutradara.

Namaku merah, seperti darah
warna termegah dalam sejarah.
layar terpintal di sunyi Pamuk
membungkus puing-puing Attaturk

Negeri-negeri salju kastil-kastil kertas
sejarah mengeras di tapal batas
hari-hari timur hari-hari barat
hamba dan tuan bertukar tempat.

Musim mengeras di tapal batas.
Ada yang diam-diam bergegas
melaju di atas seribu bus seperti Pamuk
atau Osman atau Mehmet atau kau
memburu cinta, kematian, atau malaikat
dan tak mendapat apa-apa kecuali
identitas yang meranggas dan sekarat
antara masa kanak yang terkoyak
dan masa depan yang lembam.
Antara timur yang mendengkur
dan barat yang berkarat.

Dari Herat menuju ke Barat
merana tersungkur di Indonesia
ingatan adalah rakyat berkarat
menetas sia-sia dari telur amnesia.

Sambil menyusuri kota kelahiran
dalam ingatan silam, ditentengnya hidup baru
seperti menenteng kopor ayah
tempat istana salju dan buku hitam catatan harian
menyembul diam-diam bagai kenangan:
bacaan-bacaan masa muda
yang menggendong sukma ke Eropa,
dan hikayat-hikayat keramat
yang menuntun gelisah
kembali pulang ke rumah.

Di luar masih terhampar
dunia-dunia yang membenci
sebesar mencinta, yang bercumbu
sekerap bertengkar, bagai hujan salju
yang indah dan memisah hingga selalu susah
untuk bertegur sapa. Tapi akan selalu ada
yang sabar seperti Orhan, menyalakan lilin
untuk mencairkan salju yang membeku
di jembatan perjumpaan
biar segala yang lindap dan tak terucap
dapat bersijingkat temukan jalan.


Chairil

Pada kereta senja
Chairil menebal jendela
cinta dan bahagia
makin jauh saja
mendengking Chairil
mendengking kereta
sayatan terus ke dada.

Pada senja di pelabuhan kecil
kau datang padaku: Chairil
cinta insani di tangan kiri,
Amir Hamzah cinta Ilahi
di tangan kanan
dengan pandang memastikan
: untukku. Aku membisu
dicakar gairah dan cemas
bertukar tangkap dengan lepas.
Aku hilang bentuk
remuk. Seharian itu
kita tak bersapaan. Oh puisi
yang enggan memberi
mampus kau
dikoyak-koyak sepi.

Kekasih, dengan apakah
kita perbandingkan pertemuan kita
: dengan Amir sepoi sepi
atau Chairil menderai sampai jauh?
Kini habis kikis segala cintaku
hilang terbang, kembali sangsai
seperti dahulu di nyanyi sunyi
di buah rindu.

Amirlah kandil kemerlap
pelita Chairil di malam gelap
ketika dada rasa hampa
dan jam dinding yang berdetak.

Aku sendiri, menyusur kata-kata
masih pengap harap. Apatah kekal
kekasihku, airmata yang kenduri
di riuh nadi di gamang jiwa
sedang cerlang matamu
tinggal kerlip puisi
di malam sunyi.

Chairil dan Amir
di pintumu puisi negeriku mengetuk.
Mereka tak bisa berpaling.


Nietzsche

Dengan hebat Nietzsche menghantamkan palu
ke jidat filsafat. Sejak itu semua buku
terpaku dan bahasa mengerang dilanda migren
hingga kadang-kadang harus dilarikan
ke rumah sakit sebagai pasien
dalam pemeriksaan Wittgenstein
untuk dicincang jadi satuan kecil
yang kemudian buru-buru dia lepaskan
sebagai sebuah permainan.

Dengan kantong cekak dan kekuasaan
membengkak di kepala ia kendarai
symponi-symponi Wagner untuk berkunjung
dari kampung ke kampung. Ia temukan
bahwa ancaman fatal bagi manusia kuat
bukan datang dari sang terkuat melainkan
dari mereka yang terlemah. Lihatlah!
Di kampung para pecundang orang gemar
membangun kerangkeng besi bagi Rajawali
agar tak leluasa terbang memangsa mereka,
domba-domba yang bahagia, beranak pinak
dan berdoa dalam ibadah dombawi
tempat tuhan dibiarkan mati setiap hari
tanpa mereka sadari.

Apa yang paling keras memisah dua manusia
jika bukan perbedaan rasa dan tekanan
atas kebersihan? Maka dia mendaki puncak
dan bersabda pada Zarathustra: kebenaran
adalah ilusi tentang mereka yang lupa siapa
diri mereka sendiri, serupa tamsil yang labil
tanpa rasa, uang yang luntur tanpa rupa
dan tak bisa dipakai membeli apa-apa.
Orang-orang pun menganggapnya gila.
Tapi kegilaan pada pribadi jarang terjadi.
Kegilaan hanya bisa meraja dalam kerumunan
semacam kelompok, komunitas, partai, atau negara.
Maka di puncak Zarathustra Nietzsche bersabda
menyeru para domba untuk kembali jadi manusia
bukan berbaris bersama dan mengaum seolah singa.
Diajaknya kita membunuh tuhan-tuhan dombawi
agar manusia bisa berdiri tegak dan mandiri
tak bisa lagi mengembik bahagia
sebagai hamba sahaya yang jumawa.

Sejak kedalaman sentosa yang dulu
bernama bintang kini menjelma noda bayang
ia tak hendak jadi sang peminang kebenaran
dan memilih jadi si pandir, si penyair
karena ilmu dan pengetahuan tak bakal tumbuh
dan berkembang tanpa disiapkan jalan
oleh tukang sulap, penyihir, ahli bintang
dan penyair yang menggubah
semacam haus, lapar, dan citarasa
yang terlarang dan rahasia.
Kehidupan begitu pendek untuk bertuan
pada kejemuan. Bukankah Buah-buah
terindah sang bahagia mewangi ranum
Di ranting-ranting bahaya?

Seekor rajawali membawa Nietzsche
melayang tinggi. Di bawahnya domba-domba
bergerombol menghancurkan berhala
di setiap sudut kota dan pulang ke kandang
sebagai pengabdi sejati bagi berhala
yang kini menjulang abadi di dalam hati.
Kepada Zarathustra dia bersabda:
bunuhlah segera tuhan-tuhan dombawi
bunuh juga si domba pengabdi dalam diri
agar bisa purna sebagai manusia
dan Tuhan sejati bersedia mengada
karena Sang Gemilang
bukan hak para pecundang.

Nun di bawah sana, ada yang berkelahi
berebut roti, ada yang mengganti popok bayi,
ada cumbu dan pertengkaran suami-istri.
Mereka tak habis mengerti mengapa
ada yang bersikeras melesat tinggi
bagai rajawali menikahi angkasa kosong sepi
membuang bahagia sehari-hari
dan menggantinya
dengan ratap nestapa abadi.


Hemingway

Sebuah kisah adalah rumah
yang bersih dan lampunya terang
tempat gundah berpesta
dalam tandukan nasib
yang menghujami lambung
pengarang yang murung.

Sebuah kisah adalah lautan
tempat seekor ikan agung
mengantarkan lelaki tua
ke pantai kejayaan
yang tinggal kerangka.

Sebuah kisah adalah lambai
perpisahan bagi senjata
yang lunglai didera airmata.
Tapi perang bagai matahari
senantiasa terbit kembali
melintas sungai menembus hutan
jiwa-jiwa yang rawan.

Aduhai, gerangan pada siapa
sebuah kisah berdentang
lebih panjang dari bahagia?
Di sore usia, di geraian beruban
rambut petualangan, di pekat hasrat,

di degup pesta segamang cinta,
sang pendongeng menjelma banteng
luka, mendekap maut memilih tamat
agar kisah yang ditanduknya ke udara
menjadi abadi, bagai salju
di pegunungan yang jauh
tempat bahagia, keluh, dan pilu
mekar tak terengkuh.


Hasek
di Gaza

Mohon melapor tuan, kami mencari Schweik
di Jalur Gaza tapi belum juga ditemukan.
Kami ingin memesan anak-anak anjing
dari keturunan yang bermartabat
juga alasan-alasan perang atau ideologi
yang sehat dan bersertifikat.

Mohon melapor tuan, apakah bom
yang membunuh perempuan dan anak-anak itu
bisa ditelusur asal-usul silsilah keluarganya?
Kelihatannya tuan menang dan bahagia
Jangan sampai perempuan dan anak-anak
yang bergelimpangan akibat penyerbuan itu
merusak selera makan tuan. Juga hati-hati
jangan sampai sampanye yang tuan minum
tumpah mengotori jas tuan seperti darah
orang sipil yang tuan ledakkan.

Mohon melapor tuan, kami mencari Schweik
barangkali tuan tahu di mana? Dia prajurit yang baik.
Sayang ia tak butuh lencana, bintang jasa,
atau gelar pahlawan dengan membunuh
dan menganiaya orang. Jika kami bertemu
biar saya mintakan silsilah dan alasan
yang bagus-bagus buat perang
dan serbuan tuan
seperti dia buat silsilah yang hebat
buat anjing-anjing curian.

Mohon melapor tuan, senjata kimia
yang membakar daging dan tulang
orang kantoran, anak-anak, dan perempuan
apakah bisa dipakai memanggang
daging kosher buat santap malam.
Oh ya barangkali anak-anak tuan yang sehat
dan lucu butuh potongan tangan
atau kepala anak-anak Palestina
sebagai teman tidur atau boneka?

Mohon melapor tuan.


Dostoyevsky

Orang sakit, judes, pendengki, menyebalkan
dan jujur, telah menulis catatan-catatan bawah tanah
dari lumpur kelam jiwa dalam coreng-moreng grafiti
di baju moral dan kesadaran kita. Sejak itu
tak lagi kita bisa tentram berpakaian suci.

Pada tiap hari dan baris-baris Dostoyevsky
ada ruang berbayang tempat bersemayam naluri
dan hasrat keji: terbungkus rapi seperti kado nikah
orang-orang sopan yang tak bahagia. Siapa

yang diduga membunuh ayah untuk cinta?
Yang ingin lari demi perempuan dan hasrat?
Yang memasang Tuhan, pikiran, dan kebebasan
di meja debat dalam kalimat-kalimat gagap
dan berat? Hari-hari pun berkabut
bagai hari-hari kejahatan, hari-hari hukuman
tempat cahaya berkutat mencari udara
dari pengap jiwa yang kusut.

Di kota-kota moral yang necis dan benderang
oleh wejangan-wejangan usang, kebenaran
tersaruk-saruk mencari genangan lumpur
yang kotor dan tulus biar selalu ada
ingatan tentang noda yang harus dicuci
tiap hari dalam lungkrah dan girang
tak sudah-sudah merindu terang
untuk menjemur jiwa yang gamang.


Marquez

Di tengah wabah cholera, cinta abadi
adalah orang yang selamat dari kapal karam
bagai jenderal berkaki bengkak yang terbatuk
menyusuri labirin Amerika Latin/dunia ketiga
dalam gerilya abadi seratus tahun sunyi
untuk bisa pulang ke haribaan tersayang
semacam perempuan atau negeri-negeri
yang mengisut dan beruban olah penantian.

Selepas badai daun, para diktatur gugur
dan bersemi kembali. Sebagian berwarna-warni
bagai mawar atau beo yang dicat sendiri.
Maka seperti Macondo, orang-orang disergap lupa
hingga benda-benda kembali harus diberi nama.
Setelah semua derita sudah bisa kembali diingat
diam-diam rakyat belajar menangkap malaikat
yang luka dan mengurungnya di kandang
sebagai pelipur lara. Mereka tak punya uang
untuk membeli obat tidur dan naik kapal terbang
untuk bisa lelap sepanjang perjalanan
bernegara yang dikemudikan tiran yang malang.

Perjalanan itu begitu panjang dan melelahkan
serupa ziarah asing ke tempat-tempat asing
kadang mereka singgah di negeri-negeri
tempat para pesulap dan tukang obat
menawarkan salep atau puyer palsu penyembuh
negeri-negeri yang lumpuh atau keracunan.
Kadang mereka bertemu kolonel-kolonel berdebu
yang menghabiskan waktu di pengasingan
membacai surat-surat yang tak pernah ada.

Setelah bertahun-tahun dengan keras
belajar mengucapkan selamat jalan
pada sang presiden yang tak juga kunjung pergi,
orang-orang kembali disergap lupa
hingga benda-benda kembali harus diberi nama.
Hanya anak-anak abadi yang diam-diam
menyalakan lampu di malam- malam tertentu
hingga cahaya menjelma air membanjiri kota
tempat mereka menyelam dan melayari puisi
dari perabotan rumah dan derita sehari-hari.


Li Bai

Hanya Li Bai, gunung,
dan Arak. Bertiga
hikmati awan berarak

Di bening sungai minuman
tempat duka tak bisa
lama berdiam, terpana
kami berdua
di bentangan sejarah
subur dan basah

oleh airmata. Aku dan dia
diam-diam menyulingnya
jadi gelak tawa.


Paz

Pada relung-relung puisi
suara-suara lain tak terpermanai
mengirim isyarat darurat
lewat bisik batuan senyap

Puisi pun menjelma gumam
di bursa saham, belukar
di tertib pasar

Di benderang siang
puisi memadahkan pesona gelap
bayang muram sang keindahan
bisik lirih di keriuhan
gaduh pekik di kebisuan
semacam dengung murung
di sela hamparan gedung
nyanyian-nyanyian lindap
yang mengusik tidur-tidur lelap.

Pada pusaran kesendirian
abad-abad bergegas
mengejar zaman yang lekas.
Tapi puisi selalu saja bersikeras
menghuni sunyi abadi
merayap senyap ke jantung pemimpi
dan bertelur diam-diam
melarvakan masa depan


Tentang Agus R. Sarjono
Agus R. Sarjono lahir di Bandung, 27 Juli 1962. Menulis sajak, cerpen, esai, kritik, dan drama. Buku puisinya: Kenduri Airmata (1994), Suatu Cerita dari Negeri Angin (2001), Diterbangkan Kata-kata (2006). Buku esainya Bahasa dan Bonafiditas Hantu (2001) dan Sastra dalam Empat Orba (2001). Dramanya: Atas Nama Cinta (2006). Pernah menjadi sastrawan dan peneliti tamu di International Institute for Asian Studies, Universitas Leiden (2001), sastrawan tamu Heinrich-Boll_Haus, Langen-broich (2002-2003) dan ilmuwan tamu Universitas Bonn (2010-2011). Juga sebagai Dosen jurusan teater STSI Bandung dan redaktur majalah Horison.  


Catatan Lain
Ini pengakuan Agus R. Sarjono dalam pembuka yang diberinya judul Untuk Diabaikan: “Puisi-puisi dalam buku ini adalah serangkaian perjumpaan sekaligus pengakuan hubungan batiniah saya dengan nama-nama yang menjadi judul dalam puisi-puisi saya. Ini adalah semacam jam session dalam pertunjukan musik jazz. Dalam jam session, sebuah lagu dimainkan dan masing-masing pemusik menghidupkan gaya dan jatidirinya sekaligus memberi ruang dan menghidupkan jati diri pemusik lainnya.”
            Ya, seluruh puisi dalam buku ini, saya kira, adalah nama-nama manusia, yang kesemuanya disingkat hingga menjadi satu kata saja, dan itu sudah cukup menjadi penanda. Hanya lima nama yang tidak satu kata, yaitu Abdulkadir Munsyi, Hasan Mustapa, Saint-Exupery, Li Bai, dan Lu Hsun. Selebihnya satu kata, macam Whitman, Iqbal, Shakespeare, Rumi, Pramoedya, Naipul, Chekov, Hafiz, Dumas, Becket, Tolstoy, Paternak, Lubis, Kawabata, Rilke, Proust, Marquez, untuk menyebut beberapa nama. Dan nama-nama itu disusun berurut sesuai abjad.  
            Namun, bukan itu yang ingin saya ungkap. Saya tak pandai mengulas puisi dari sisi teknis. Saya hanya akan mengutip ungkapan yang saya anggap paling jujur dari seorang Agus R. Sarjono. Dan itu menjadi pembuka paragraf dari pengantarnya. Tulisnya: ”Lama, pada tahun 1980-an, setelah menerbitkan sejumlah puisi di berbagai koran terkemuka di Indonesia, saya ditikam kejemuan, kelungkrahan, dan keengganan. Rasa gembira dimuat di media massa hanya bertahan sebentar, tidak sampai sebulan. Namun, rasa hampa dan sia-sia bertahan jauh lebih lama, sampai bertahun-tahun, setiap saya menyadari bahwa puisi-puisi yang saya tulis – bagus atau buruk – merupakan sekedar eksemplar dari perpuisian yang muncul mengisi hari minggu setiap orang. Yakni, puisi-puisi yang – bagus atau buruk – saat nama penyairnya dihilangkan, tidak banyak bedanya satu dengan lainnya. Saat itu saya putuskan untuk berhenti saja menulis puisi....”
            Saya kira, kejujuran macam itu, perlu juga dipunyai oleh setiap penyair yang ingin serius menapak di jalan puisi. Kejujuran lain juga saya rasakan dalam puisi Chairil, puisi yang lebih tepatnya merupakan perjumpaan tiga orang, yaitu Chairil Anwar, Amir Hamzah dan Agus sendiri. Karena si penyair, juga secara intens mengutip Amir dalam puisi itu, tapi barangkali ingin dijadikan satu paket saja. Kejujuran yang saya maksud ada di bait terakhir puisi itu, yang oleh Agus R. Sarjono, dibikin menjadi perasaan kolektif: “Chairil dan Amir/di pintumu puisi negeriku mengetuk./Mereka tak bisa berpaling.”
            BTW, buku ini saya temukan di rak Hajri, dalam kondisi yang baru, dan barangkali saja belum sempat terbaca seluruhnya oleh ybs. Tidak ada keterangan di mana dan berapa belinya. Tapi paling tidak, saya dapat bersetuju dengan komentar Berthold Damshauser di sampul belakang buku: “Selain diuji, setiap berlian akan menguji ketajaman seorang jauhari. Demikian juga karya sastra yang berhasil. Kumpulan sajak Agus R. Sarjono, bagai berlian dengan banyak faset yang menantang sekaligus menguji kepekaan pembaca sastra di Indonesia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar