Laman

Tonggak

Rabu, 04 April 2012

Sindhunata: AIR KATA KATA


Data buku kumpulan puisi

Judul : Air Kata Kata
Penulis : Sindhunata
Cetakan : II, Maret 2004 (Cet. I, Desember 2003)
Penerbit : Galang Press dan Bayu Media, Yogyakarta.
Tebal : xii + 196 halaman (71 puisi); 160 x 210 mm
ISBN : 979-9341-90-x
Ilustrasi cover : Agus Suwage
Desain grafis : Ong Hari Wahyu

Beberapa pilihan puisi Sindhunata dalam Air Kata Kata

Wak Duljangkep

Niatku mau nggendhong
menggendong rumahnya Semar Boyong
Aku menabur dengan dukacita
aku menuai dengan sukacita

Niatku mau lelaku
Wak Duljangkep ngelmu-ku
Dul itu si Dul
artinya: jumendhul, lahir, muncul
Jangkep itu wejangan ganep
artinya jangkep: pas, tiada kurang, lengkap.
Aku tua, maka aku dipanggil Wak Duljangkep
Duljangkep, artinya lahirku, adaku, munculku
hanya untuk jangkep-jangkep
untuk melengkapi dan pelengkap, agar semuanya pas.

Meski hanya hamba, tua, miskin tak berguna
tanpa aku hidup tidak akan pas, karena tidak lengkap
Tanpa kau, hidup ini seperti
sambel tanpa terasi
  sayur tanpa garam
     kopi tanpa gula
        obor tanpa sumbu
            pintu tanpa engsel
                tumbu tanpa tutup
                        tuan tanpa hamba
                               pimpinan tanpa rakyat
                                             cinta tanpa nafsu
                                                     rahmat tanpa dosa
                                                                     Tuhan tanpa manusia

Aku hanyalah miskin dan hina
   tapi tanpa aku, semuanya takkan ada.
      Aku ini nyaris tiada, tapi ketiadaanku membuat ada.
         Itulah aku, Wak Duljangkep.
           Aku ini tiada yang membuat ada
               maka aku ini tiada nyata yang membuat ada nyata
                   Akulah kesamaran yang ada di balik semua kenyataan.
                        Kenyataan akan hilang tanpa kesamarannya.
                            Maka sesungguhnya nyata itu samar:
                               Samar itulah kekurangan, kehinaan, kemiskinan
                                   yang melengkapi kesempurnaan, kemuliaan, kekayaan:
                                       Samar itulah Semar.
                                           Wak Duljangkep itulah Samar yang Semar.

Ilmuku Wak Duljangkep, artinya
Samarlah yang ingin kuajarkan
Semarlah yang ingin kunyatakan.


Langkahku Semar yang tertawa
jalanku samar tiada habisnya.
Semar kuning yang menggiring
menggiring siapa?
menggiring badanku, agar dilepaskan
dari kenyataanku, jadi
samar dalam kerohanianku.
Semar hitam yang mengejar
mengejar siapa?
mengejar nafsuku, agar disucikan
dari lumpur keserakahanku, jadi
samar dalam rasa pasrahku.
Semar merah yang marah
marah terhadap siapa?
terhadap budiku, agar dibebaskan
dari pengetahuan palsu, jadi
samar dalam ketidaktahuanku.
Semar putih yang membersihkan.
membersihkan apa?
membersihkan tinggihatiku, agar direndahkan
aku dari serbabisaku, jadi
samar dalam keterbatasanku.

Ke utara, rupaku kuning samar
Ke selatan, rupaku hitam samar
Ke timur, rupakau merah samar
Ke barat, rupaku putih samar.
Ke mana-mana aku tak dilihat orang
aku selamat karena Semar
yang membuatku tak dikenal.
Aku terlepas dari keangkuhan:
Adaku hanyalah untuk pas-pasan.
Hatiku tentram, karena aku bisa pasrah
diriku hanya untuk imbuh-imbuhan
njedhul-ku hanya untuk jangkep-jangkepan
Ternyata duljangkep adalah misteri
kerendahanhati yang membuat hatiku tenang.

Kutemui Wak Duljangkep
aku duduk dengannya
jagongan dan wedangan
dan aku disuruh makan gula kacang
Saking asyiknya omong-omongan
tak terasa hari sudah malam
tiba-tiba Wak Duljangkep menghilang
dan aku menjadi kenyataan.

1999


Mata Air Ikan 3

Dari utara si nenek miskin
datang ikut memasang kicir
kicir anyaman benang angin

Nek, lama sudah kau pasang kicir
ikan-ikanmu lari terjerat cacing

Nak, kenapa kau terpancing
mencuri ikan dengan cacing
padahal kau pandai menyuling
telah lari ikan-ikanku
di bambu serulingmu.

Pergi ke pasar anak gembala
semua orang heran di sana
dia tawarkan ikan sambil menyuling
meski tak punya ikan hasil memancing

1982


Senja Kuning Pantai Ikan

Senja kuning pantai ikan
Terapung sampan anak nelayan
Didayung luka lautan
Sulingnya sedih merintih-rintih
Lengking gelepar napas-napas ikan

Senja kuning memanggil-manggil
Perempuan tua bergegas menggigil-gigil
Turun dari bukit berlubang
Dengan tenang rambut uban
Jala dilempar tanpa amarah lautan
Gemetar hati anak nelayan:
Sudah kaulempar jalamu berulang-ulang
Kenapa tak kaudapatkan ikan-ikan?
Ikanku mati jadi tangis sulingmu
Ibu, kuberikan ikanku padamu
Aku bukan ibumu
Ibumu dalam sulingmu
Terjerat dalam jalamu

Sampan anak nelayan
Jadi permadani wangi
Terbang bersayapkan angin harapan
Mengheningkan gemuruh
Pasar nelayan yang menawarkan
Hidup dengan ikan:
Nak, kenapa kaujual jalamu
Dan bukan ikan-ikanmu
Jalaku
dan bukan ikan-ikanku
adalah hatiku
kujual kegembiraanku
kujual kesedihanku
kujual kerinduanku
pada lautan
pada ikan-ikan
pada-Mu Tuhan
sebelum senjaku ditelan malam-Mu
sebelum pantaiku dihempas amarah pasang
gelombang-Mu

1994


Malam Katak-katak

Dari mana malam dibuat
   dari anak k a t a k -  k a t a k
      Suara katak berhati hijau
         di batu hati k a t a k – k a t a k parau.
             Kena pelipis sayap belibis
                  perut tertawa dengan menangis
                      Menyanyilah hai kali
                          dengan air mata berudu,
                               hati kami gembira
                                   dengan rindu burung tuhu.
                                        Cenggaretnong mengerik-erik
                                           berlubang awan mata cengkerik
                                               Dari utara datang
                                           angin kunang-kunang
                                       Pucuk belimbing pohon beringin
                                   datang angin membawa dingin
                              Dingin tak terasa di sungai-sungai
                          udara berenang-renang damai.
                      Dari mana malam dibuat
                  dari hati anak-anak.
              Bermain di hatiku malam anak-anak
           kenapa fajar kau melompat-lompat
      girang mrekah
dengan lembut k a t a k – k a t a k merah?

1995

Susu Semar

Semar itu bukan lelaki bukan wanita
namun seperti lelaki seperti wanita
Tersimpan dalam buah dadanya
susu penderitaan para wanita
Tak pernah Semar memikat wanita dengan senyum,
karena dalam dirinya penderitaan wanita terkandung.
Sekarang Semar suka mesem,
Karena ia adalah Semar mendem.

1996


Mbah Merapi

            Malam gelap, malam yang hijau
                             hijau bulan, hijau dedaunan
                             hijau kuda-kuda
                             menderap turun ke Alas Patuk

Mbah Merapi berpesta raja
            sedang hijau padang gembalaannya
                        angin hijau dari dahan-dahan
                                    menyingkap kain Nyai Gandhung Mlati
            kegelapan di Alas Tutupan
                        terbangun oleh birahi
                                    hijau di mana-mana
                                                hijau di hatiku juga.

1995


Rumah Pohon

Sekarang Kotir sudah senang
selesai sudah pengembaraan
ia pulang kandang
tahu-tahu rumahnya sudah tenang.

Bersayapkan burung sriti
harum dengan minyak serimpi
Kotir pulang ke rumah pohon
pule hijau daunnya segar

Paro petang bulan purnama
teman-temannya datang
mandi di Sendang Bagong
meraba-raba paha tak kelihatan
paha-paha putih
anak-anak Nyai Gadhung Mlati

Kotir naik sapi gumarang
melihat seribu bintang
menelan penderitaannya
istana langit terbuka pintunya
merintik turun gerimis kemenyan
jatuh jadi mutiara-mutiara doa
di atap rumah pohonnya

Harum dengan wangi bidadari
teman-teman Kotir telanjang di sendang
mereka melihat senang
Kotir sudah pulang kandang
dan rumahnya sudah tenang.
Di malam seribu bulan
katak duka katak harapan
menabuh gamelan di Jalakan.
Kotir mendengar senang
di rumah pohon dukanya menghilang
mengerjap dalam harapan
tahu-tahu rumahnya sudah tenang.

Rumah pohon di tepi Kali Boyong
batunya megah berantai emas
kalung lahar Eyang Merapi
Tiap hari Kotir mengais rezeki
pasir dihitungnya bagai butiran nasi.

Dari Pemancingan Seh Belu mampir
diberinya Kotir ilmu zikir pasir
Kali Boyong terus mengalir
nasi dari pasir tertanak dalam zikir Kotir
Kotir memandang pasir dengan mata Nabi Khidir:
samudera raya dengan segala aslinya
ternyata terkandung dalam sebutir pasir
Sebutir pasir adalah nasi
dalam sebutir pasir terkandung samudera
dalam sebutir pasir terkandung hidupnya
Kini dengan zikir pasir Kotir mengerti
apa arti: perahu yang memuat samudera raya.

Kotir menyesal, kenapa demikian lama
ia mesti mengembara mencari hidupnya
jika kekayaan hidupnya ada dan berada
dalam pasir yang tiap hari diinjak-injaknya?

Kotir tak lagi mencari hidupnya
ia sudah pulang ke rumah pohon
dan mendapati rumahnya sudah tenang

2003


Anak Bajang Menggiring Angin

Anak bajang
menggiring angin
naik kuda sapi liar
ke padang bunga
menggembalakan kerbau raksasa
lidi jantan sebatang
disapukan ke jagat raya
dikurasnya samudera
dengan tempurung bocor
di tangannya

di gelaran sayap garudayaksa
naik anak bajang
ke bukit hardacandra
janur gebang berayun-ayunan
anak bajang berarak-arakan
dalam iring-iringan panjang
para pencagakan dan kemamang
di belakang riang memanjang
barisan warudhoyong dan singabarong
dhenokongkrong dan dhadhungwinong
berkebit-kebit di ekor
anak-anak carubawor

paro petang bulan purnama
lelap tertidur anak bajang
dekat perapian kundakencana
dibelai gading gajahmeta
dan bisa permata nagaraja
dengan tikar daun runya

dari negeri atas angin
berhembus nafas
naga giyani dan mintuna
meniupkan samirana dukula
anak bajang terbang
hingga ke puncak mandira
menari-nari bersama kukila

di bawah perempuan menangis
melahirkan pedang
dari luka-luka kedukaan
sedih anak bajang bertanya
bunda kenapa
kaurobek kainmu dengan darah
sedang hendak merayap aku
di antara dua bukit-bukitmu?

gelap pun gulita
dengan empat nafsu cahaya
anak bajang menyalakan dian
teja darpasura
bumi bergoncang
dahana menyala
jaladri pecah
prahara melimbah-limbah

anak bajang dikejar dua manusia
senjatanya pedang emas
payung kencana
menghadang di sana raksasa
mulutnya berlumuran darah
ikan berbisa
anak bajang meronta-ronta
menolak susu wanita
yang menutup payung hitamnya

gemuruh malam kumbang
ular jantan di kiblatan
dipeluk petang jalanan catur denda
anak bajang lari menubruk sunya
langit mendung hujan bintang
matahari padam senyum bulan muram
kusuma terbang merebut singgasana awan

bidadari turun telanjang
di madu-madu buah dadanya
menyusu anak bajang
sekeras duka-dukanya
tangis dan sorak gambiralaya
lahir di saptapratala
dunia tua berusia bayi muda

1983


Suara Mesin Jahit

Sampai kini
   mesin jahit itu masih berbunyi
      di dalamnya tangis kita berdua tersembunyi
           Kesedihan kita sudah lewat

mestinya hanya kegembiraan kita dapat
    tapi kenapa masih belum juga lunas
       bayang-bayang hidup kita yang kandas

Tinuk, kenapa masih juga
     suara mesin jahit kita
          merintih sedih tatkala
              duka malam kita tiada lagi ada?

Bukan kesedihan dan kepedihan
namun suka cita dan kegembiraan
memaksa kita kembali mendengar
derita kita yang telah silam

Pulang dari penjara
tak ada yang kita punya
hanya mesin jahit itulah harta
dengannya kita mencari nafkah

Kuteringat, malam telah larut
tak jauh dariku kaududuk
mengitik lubang kancing
baju dan celana jahitanku

Sementara anak-anak tidur
kutanya kepada malam
masihkah akan kudapat nasi
buat anak-anakku yang lapar?

Malam sedang terang
     tak juga bulan dan bintang
          memberiku jawaban kapan berakhir
              kegelisahanku setiap malam

jari-jarimulah, Tinuk, yang menjawabku
jari-jarimu tak lelah merapikan jahitan hidupku
tanpa kautahu bagaimana mestinya
mengikat lagi benang-benangnya

Melihat jari-jarimu, Tinuk
tak kupeduli lagi berapa kali
jarum menusuk perih jari-jariku
makin kuat kakiku menjejak
memacu mesih jahitku memenuhi
nafkah kita bila esok tiba

Nasib memaksaku meninggalkan keindahan
tak bisa lagi aku melukiskan kehidupan
tinggal kutanggung bebannya
lalu kujahitkan semuanya dalam baju dan celana
tiap hari selalu sama, bentuk duka dan deritanya

Tinuk, aku pencinta warna yang indah
namun kularang kaupakai pemerah
Kataku, kau sudah cantik
tanpa pemerah bibirpun kau tetap jelita

Sebenarnya tak kularang kau menghias bibirmu
                             Aku hanya khawatir, hari ini dapat kaubeli
                                   pemerah bibir itu,
                                   namun belum tentu lain hari kaumampu.
                             Sekali kauoleskan pemerah bibir
                        dan kemudian pucat bibirmu
                   karena tak mampu kaubeli lagi hiasan itu,
              cantikmu akan hilang, Tinuk
              aku tak mau itu terjadi
              biarkanlah bibirmu tanpa pemerah apa-apa

Kini sejuta pemerah bibir dapat kaubeli
tapi keindahan itu sudah tak dapat lagi kita nikmati
Dalam kelimpahan kita yang kini
bibirmu masih seperti yang dulu
ketika kaududuk mengitik
mendengarkan suara mesin jahitku
melagukan pucat duka-duka malamku.

Sekarang semuanya sudah kita punya
   mengapa kini aku masih sering bermimpi
       tiba-tiba aku tak punya apa-apa
           aku dicekam rasa takut, jangan-jangan
                tak bisa lagi anak-anak kita makan
                     persis seperti dulu
                         ketika tiap hari aku harus bergulat
                            mengais rezeki dengan mesin jahitku
                               Ketika terbangun keringat dingin mengalir
                                   Aku lega, untung semua itu hanya mimpi
                                        bukan kenyataan seperti dulu lagi

                     Tinuk, sekarang semuanya sudah kita punya
                   tapi mengapa anak-anak kita suka berkata,
                             tak ada yang lebih indah daripada
                            malam di mana kita mendengar
    mesin jahit ayah bersuara tak henti-hentinya
                                      suara itu adalah janji
                      esok pagi akan datang rezeki
dan perut kita takkan lapar dalam sehari

Tinuk, kenapa masih juga
   suara mesin jahit kita
      merintih sedih tatkala
         duka malam kita tiada lagi ada?

Mengapa, selalu kembali dalam kenanganku
duka dan derita malam hidupku?
mungkin, dulu derita kita terlalu hebat
hingga harus selalu meninggalkan bekas
namun, mungkin juga di sana tersembunyi
dengan amat indah cinta kita yang kini
tak dapat lagi kita beli
dengan segala harta yang kita miliki.

2003
Untuk peringatan perkawinan yang ke-34: Djokopekik dan Ibu Tinuk.


Ularularan Waktu

Ularularan waktu
Waktuku berjalan berularularan,
nasib hidupku ulangmengulang
Harapan akan masa depanku,
ditelan kekejaman masa laluku.

Apa yang menyelamatkanku kini,
hanyalah apa yang menghancurkanku nanti,
dan semuanya tadi, sudah kuketahui
di masa lalu sebelum ini.

Dengan sepatu koyak, aku mengejar
masa laluku yang telah hilang.
Ternyata aku terbawa terbang
ke langit tinggi masa depan,
dan kembali aku kehilangan
apa yang seharusnya kudapatkan.

Hidupku menjadi layang-layang,
benangnya putus, dan aku terlempar.
Kini tak ingin aku
terbunuh lagi oleh waktu.

Kugigit ekor ularularannya, dan
masa laluku pun mengucurkan darah
Kupatahkan kepalanya, dan
terbebas aku dari impian masa depannya.

Aku hidup dari waktuku,
lega, kendati kini berada aku
dalam gelap kekinian,
aku berjalan dengan perut ular
mengelengsargelengsar tanpa kemajuan,
terhenti di masa kini, di dunia ini.

Baru sekarang aku rasakan
keabadian adalah kekinian yang kekal
di dalamnya masa laluku tertelan
dan masa depanku terkandungkan
aku bahagia, di sini dan sekarang

2000


Tentang Sindhunata
Sindhunata, atau lengkapnya Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, SJ, lahir di Kota Batu, Malang, pada 12 Mei 1952. Adalah penanggung jawab/ pemimpin redaksi majalah BASIS Yogyakarta dan penulis tetap di rubrik Tanda-Tanda Zaman. Tamat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta tahun 1980, menyelesaikan studi teologi di Institut Filsafat Teologi Kentungan, Yogyakarta, tahun 1983 dan menyelesaikan program doktoral filsafat di Philosophische Fakultat SJ Munchen, Jerman pada 1986-1992. Ia lebih dikenal sebagai penulis features dan buku-buku ilmiah . Juga menulis dalam bahasa Jawa.

Catatan Lain
Di cover belakang buku ditulis begini: “Buku Air Kata-kata adalah upaya kata-kata Sindhunata tentang hal yang berupa-rupa: mulai dari yang kasar sampai yang halus, mulai dari yang humor sampai yang serius, mulai dari yang profan sampai religius....  Air Kata-kata tentang hal yang berupa-rupa ini juga merupakan kata-kata berupa. Hampir setiap kata-katanya disertai dengan karya rupa. Sindhunata memang dikenal sebagai pencerita karya-karya seni rupa. Sekarang ganti dua puluh tiga perupa ikut merupakan kata-katanya. Disain grafis buku ini pun dirancang untuk makin merupakan kata-katanya. Karena itu Air Kata-kata juga bisa dinikmati sebagai karya rupa yang berkata-kata.”    
            Ya, demikianlah, buku ini penuh dengan karya para perupa. Dan kata-kata/baris/kalimat dalam buku ini didesain secara berupa-rupa. Naik, turun, bergelombang, digeser-geser, dipanjangkan, diberi ornamen, dibentuk, dibuat menjadi tiga dimensi, dsb. Untuk gambar, setidaknya melibatkan banyak perupa, yaitu agus suwage, agus suyitno, alex luthfi, arahmaiani, bambang toko, djokopekik, drs. hendro suseno, edi sunaryo, eko nugroho, hari budiono, hermanu, ismanto, ivan sagita, nasirun, ong hari wahyu, pande ketut taman, putu sutawijaya, sekar jatiningrum, sigit santosa, sulasno, ugo untoro, yamyuli dwi iman, dan yuswantoro adi.
            Untuk puisi, seperti dikatakan dalam Patah Patah Kata, kata-kata bahasa Indonesia kadang tidak cukup untuk mengungkapkan perasaan dan pengalamannya, maka munculnya bahasa ibunya, yaitu bahasa jawa. Ada yang seluruh puisi berbahasa jawa, ada juga yang meminjang istilah saja, dan ini yang terbanyak. Corak puisi Sindhunata, saya pikir, mengambil tema-tema kemanusiaan (humanis) yang dibalut dengan filsafat Jawa. Namun diluar itu ada juga yang bicara religi dengan teologi Kristen, beberapa ada yang memunculkan ajaran Budha, dan ada usaha-usaha untuk berkunjung ke etnis tionghoa dengan puisi-puisi sekitar putri cina. Namun yang terakhir ini, saya kira, masih dangkal dan tempelan saja. Maksud saya, jika dibanding dengan corak puisi yang lain itu. Entahlah.    
            Buku koleksi Hajri ini dibelinya Rp. 33.000,- Tak percaya? Datanglah ke rumahnya dan cek di cover belakang buku ini masih ada barcode harganya...Hehe

12 komentar:

  1. saya berada di Semarang. kalau mau beli bagaimana ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga tak tahu buku ini dapat dibeli di mana saja sekarang. Saya pun cuma dapat pinjaman dari teman.

      Hapus
  2. Mas, M. Nahdiansyah Abdi..
    Aku udah 1 bln ini cari Air Kata Kata di Jakarta dan Bandung memang susah skali dcari krna sprtinya dah ga dcetak lg..
    Aku lg cari buat seseorang Mas..
    Please mas, klo boleh aku beli yg mas punya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih perhatiannya, tapi buku yang ini memang bukan punya saya. Tapi milik seorang teman, Hajriansyah namanya. Telah lama saya balikin ke empunya.

      Hapus
  3. Mas, kalo boleh aku minta no.tlp nya utk bicara langsung..
    Kirim ke emailku aja ya
    Eka.pras90@gmail.com
    Makasih ya sbelumnya

    BalasHapus
  4. sungguh menimbulkan keghairahan untuk mendalami sastera..

    BalasHapus
  5. waa, senangnya bisa baca puisi karya Sindhunata. saya punya bbrp buku beliau. saat ini belaiu masih aktif menulis artikel di majalah Basis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, para pemikir dan budayawan, siapa pun itu, sudah selayaknya mendapat tempat di hati kita....

      Hapus
  6. Puluhan buku Sindunata yg layak koleksi. Malah saya senang novel dsn catatan budaya seperti Anak Bajang Menggiring Angin (1983) Semar mencari raga(1996) tak enteni keplokmu tanpa bunga dan telegram duka(2000) dan putri cina0(2007).puisi yg bagus Air kata kata(20033

    BalasHapus