Data buku kumpulan puisi
Judul : Ballada Orang-orang Tercinta
Penulis : Rendra
Cetakan : VII, 1993 (Cet. I, 1957)
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta (mulai cet. II, 1971)
Tebal : 52 halaman (19 judul puisi)
ISBN : 979-419-004-7
Gambar jilid : Jean Kharis
Beberapa pilihan puisi Rendra
dalam Ballada Orang-orang Tercinta
Ballada Lelaki-lelaki Tanah Kapur
Para lelaki telah keluar di jalanan
dengan kilatan-kilatan ujung baja
dan kuda-kuda para penyamun
telah tampak di perbukitan kuning
bahasa kini adalah darah.
Di belakang pintu berpalang
tangis kanak-kanak, doa perempuan.
Tanpa menang tiada kata pulang
pelari akan terbujur di halaman
ditolaki bini dan pintu berkunci.
Mendatang derap kuda
dan angin bernyanyi :
-'Kan kusadap darah lelaki
terbuka guci-guci dada baja
bagai pedagang anggur dermawan
lelaki-lelaki rebah di jalanan
lambung terbuka dengan geram serigala!
O, bulu dada yang riap!
Kebun anggur yang sedap!
Setengah keliling memagar
mendekat derap kuda
lalu terdengar teriak peperangan
dan lelaki hidup dari belati
berlelehan air amis
mulut berbusa dan debu pada luka.
Pada kokok ayam ketiga
dan jingga langit pertama
para lelaki melangkah ke desa
menegak dan berbunga luka-luka
percik-percik merah, dada-dada terbuka.
Berlumur keringat diketuk pintu.
- Siapa itu?
- Lelakimu pulang, perempuan budiman!
Perempuan-perempuan menghambur dari
pintu
menjilati luka-luka mereka
dara-dara menembang dan berjengukan
dari jendela.
Lurah Kudo Seto
bagai trembesi bergetah
dengan tenang menapak
seluruh tubuhnya merah.
Sampai di teratak
istri rebah bergantung pada kaki
dan pada anak lelakinya ia berkata:
- Anak lanang yang tunggal!
kubawakan belati kepala penyamun bagimu
ini, tersimpan di daging dada kanan.
Tangis
Ke mana larinya anak tercinta
yang diburu segenap penduduk kota?
Paman Doblang! Paman Doblang!
la lari membawa dosa
tangannya dilumuri cemar noda
tangisnya menyusupi belukar di rimba.
Sejak semalam orang kota menembaki
dengan dendam tuntutan mati
dan ia lari membawa diri.
Seluruh subuh, seluruh pagi.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Ke mana larinya anak tercinta
di padang lalang mana
di bukit kapur mana
mengapa tak lari di riba bunda?
Paman Doblang! Paman Doblang!
Pesankan padanya dengan angin kemarau
ibunya yang tua menunggu di dangau.
Kalau lebar nganga lukanya
mulut bunda 'kan mengucupnya.
Kalau kotor warna jiwanya
ibu cuci di lubuk hati.
Cuma ibu yang bisa mengerti
ia membunuh tak dengan hati.
Kalau memang hauskan darah manusia
suruhlah minum darah ibunya.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Katakan, ibunya selalu berdoa.
Kalau ia 'kan mati jauh di rimba
suruh ingat marhum bapanya
yang di sorga, di imannya.
Dan di dangau ini ibunya menanti
dengan rambut putih dan debar hati.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Kalau di rimba rembulan pudar duka
katakan, itulah wajah ibunya.
Perempuan Sial
la terbaring di taman tua
pestol di tangan dan lubang di jidatnya
Mereka menemuinya tanpa dukacita
dan angin bau karat tembaga.
Mulutnya menggigit berahi layu
bunga biru dan berbau.
Matanya tidak juga pejam
lain mimpi, lain digenggam.
Ah, tubuhnva! Ah, rambutnya!
Tempat tidur tersia suami tua.
Bunga bagai dia diasuh angin
oleh nasib jatuh ke riba lelaki tua dingin.
Nizar yang menopangnva dari kelayuan
perempuan bagai bunga, lelaki bagai dahan.
Lelaki muda itu bertolak tinggalkan dia
tersisa jantung dan hati dari timah.
la terbaring di taman tua
pestol di tangan dan lubang di jidatnva.
Suaminya yang tua berkata:
- Farida, engkau ini perempuan sial!
Ada Tilgram Tiba Senja
(Ada tilgram tiba senja
dari pusar kota yang gila
disemat di dada bunda).
(BUNDA, LETIHKU TANDAS KE TULANG
ANAKDA KEMBALI PULANG).
Kapuk randu! Kapuk randu!
Selembut tudung cendawan
kuncup-kuncup di hatiku
pada mengembang bemerkahan.
Dulu ketika pamit mengembara
kuberi ia kuda bapanya
berwarna sawo muda
cepat larinya
jauh perginya.
Dulu masanya rontok asam jawa
untuk apa kurontokkan air mata?
cepat larinya
jauh perginya.
Lelaki yang kuat biarlah menuruti darahnya
menghunjam ke rimba dan pusar kota.
Tinggal bunda di rumah menepuki dada
melepas hari tua, melepas doa-doa
cepat larinya
jauh perginya.
Elang yang gugur tergeletak
elang yang gugur terebah
satu harapku pada anak
ingat 'kan pulang 'pabila lelah.
Kecilnya dulu meremasi susuku
kini letih pulang ke ibu
hatiku tersedu
hatiku tersedu.
Bunga randu! Bunga randu!
Anakku lanang kembali kupangku.
Darah, o, darah
ia pun lelah
dan mengerti artinya rumah.
Rumah mungil berjendela dua
serta bunga di bendulnya
bukankah itu mesra?
Ada podang pulang ke sarang,
tembangnya panjang berulang-ulang
- Pulang ya pulang, hai petualang!
Ketapang. Ketapang yang kembang
berumpun di dekat perigi tua
anakku datang, anakku pulang
kembali kucium, kembali kuriba.
Balada Ibu yang Dibunuh
Ibu musang dilindung pohon tua meliang
bayinya dua ditinggal mati lakinya.
Bulan sabit terkait malam memberita datangnya
waktu makan bayi-bayinya mungil sayang.
Matanya berkata pamitan, bertolaklah ia
dirasukinya dusun-dusun, semak-semak, taruhan
harian atas nyawa.
Burung kolik menyanyikan berita panas dendam warga desa
menggetari ujung bulu-bulunya tapi dikibaskannya juga.
Membubung juga nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba
oleh lengking pekik yang lebih menggigilkan
pucuk-pucuk daun
tertangkap musang betina dibunuh esok harinya.
Tiada pulang ia yang meski rampas rejeki hariannya
ibu yang baik, matinya baik, pada bangkainya gugur
pula dedaun tua.
Tiada tahu akan merataplah kolik meratap juga
dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin
Tenggara.
Lalu satu ketika di pohon tua meliang
matilah anak-anak musang, mati dua-duanya.
Dan jalannya semua peristiwa
tanpa dukungan satu dosa. Tanpa.
Ibu musang dilindung pohon tua meliang
bayinya dua ditinggal mati lakinya.
Bulan sabit terkait malam memberita datangnya
waktu makan bayi-bayinya mungil sayang.
Matanya berkata pamitan, bertolaklah ia
dirasukinya dusun-dusun, semak-semak, taruhan
harian atas nyawa.
Burung kolik menyanyikan berita panas dendam warga desa
menggetari ujung bulu-bulunya tapi dikibaskannya juga.
Membubung juga nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba
oleh lengking pekik yang lebih menggigilkan
pucuk-pucuk daun
tertangkap musang betina dibunuh esok harinya.
Tiada pulang ia yang meski rampas rejeki hariannya
ibu yang baik, matinya baik, pada bangkainya gugur
pula dedaun tua.
Tiada tahu akan merataplah kolik meratap juga
dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin
Tenggara.
Lalu satu ketika di pohon tua meliang
matilah anak-anak musang, mati dua-duanya.
Dan jalannya semua peristiwa
tanpa dukungan satu dosa. Tanpa.
Gerilya
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana.
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.
Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kasumatnya.
Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama.
la beri jeritan manis
dan duka daun wortel.
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.
Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air
bergantang-gantang
disiram atas
tubuhnya.
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.
Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya
Ballada Lelaki yang Luka
Lelaki yang luka
biarkan ia pergi, Mama!
Akan disatukan dirinya
dengan angin gunung.
Sempoyongan tubuh kerbau
menyobek perut sepi.
Dan wajah para bunda
Bagai bulan redup putih.
Ajal! Ajal!
Betapa pulas tidurnya
di relung pengap dalam!
Siapa akan diserunya?
Siapa leluhurnya?
Lelaki yang luka
melekat di punggung kuda.
Tiada sumur bagai lukanya.
Tiada dalam bagai pedihnya.
Dan asap belerang
menyapu kedua mata.
Betapa kan dikenalnya bulan?
Betapa kan bisa menyusu dari awan?
Lelaki yang luka
tiada tahu kata dan bunga.
Pergilah lelaki yang luka
tiada berarah, anak dari angin.
Tiada tahu siapa dirinya
didaki segala gunung tua.
Siapa kan beri akhir padanya?
Menapak kaki-kaki kuda
menapak atas dada-dada bunda.
Lelaki yang luka
biarkan ia pergi, Mama!
Meratap di tempat-tempat sepi.
Dan di dada:
betapa parahnya.
Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo
Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut burni
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk
para
mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok yang
diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang.
Segenap warga desa mengepung hutan itu
dalam satu pusaran pulang-balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri.
Satu demi satu yang maju tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.
- Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa.
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa
Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang.
- Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Bedah perutnya tapi masih setan ia
menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala.
- Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba.
Pada langkah pertama keduanya sama baja
pada langkah ke tiga rubuhlah Atmo Karpo
panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka
Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah.
Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
la telah membunuh bapanya.
Ballada Gadisnya Jamil, Si Jagoan
Begitu ia masuk ke dalam kali
perawan dengan dada-dada pepaya.
Sebab kedua matanya
telah ia tatapkan pada bulan
dan terkaca pada segala
hidup bukan lagi miliknya.
- Jamil! Jamil!
Bahkan pandang terakhir
tiada aku diberinya.
Punahlah sudah punah
lelaki yang hidup dari luka.
Kerbau jantan paling liar
memberi gila di dada berbunga.
Begitu ia masuk ke dalam kali
ikan larikan kail di rabunya
di pusaran putih
segala tuba.
- Jamil! Jamil!
Amis darah di mulutnya
kukulum keraknya kini.
Jamil! jamil!
Bersuluh obor
mereka mengejarnya
setelah ia bunuh
anak lurah di pesta.
Dan tikaman paling dendam
melepas dahaga hitam
pada tubuhnya yang capai.
Si dara menatap bulan di air
didengarnya bisik arus gaib.
Begitu ia masuk ke dalam kali.
Tiada kemboja di sini
dan gagak-gagak dilekati timah
pada mata-matanya.
Lala! Nana!
Tembang malam dan duka cita!
Angin di pucuk-pucuk mangga.
Tapi siapa 'kan nyanyi untuknya?
Ballada Sumilah
Tubuhnya lilin tersimpan di keranda
tapi halusnya putih pergi kembara.
Datang yang berkabar bau kemboja
dari sepotong bumi keramat di bukit
makan dari bau kemenyan.
Sumilah!
Rintihnva tersebar selebar tujuh desa
dan di ujung setiap rintih diserunya
- Samijo! Samijo!
Bulan akan berkerut wajahnva
dan angin takut nyuruki atap jerami
seluruh kandungan malam pada tahu
roh Surnilah meratap dikungkung rindunya
pada roh Samijo kekasih dengan belati pada mata.
Dan sepanjang malam terurai riwayat duka
begini mulanya:
Bila pucuk bambu ngusapi wajah bulan
ternak rebah dan bunda-bunda nepuki paha anaknya
dengan kembang-kembang api jatuh peluru meriam
pertama
malam muntahkan serdadu Belanda dari Utara.
Tumpah darah lelaki
o kuntum-kuntum delima ditebas belati
dan para pemuda beribukan hutan jati
tertinggal gadis terbawa hijaunya warna sepi.
Demi hati berumahkan tanah ibu
dan pancuran tempat bercinta
Samijo berperang dan mewarnai malam
dengan kuntum-kuntum darah
perhitungan dimulai pada mesiu dan kelewang.
Terkunci pintu jendela
gadis-gadis tertinggal menaikkan kain dada
ngeri mengepung hidup hari-hari
Segala perang adalah keturunan dendam
sumber air pancar yang merah
bebunga berwarna nafsu
dinginnya angin pucuk pelor, dinginnya mata baja
reruntuklah sernua merunduk
bahasa dan kata adalah batu yang dungu.
Maka satu demi satu meringkas rumah-rumah jadi abu
dan perawan-perawan menangisi malamnya tak ternilai
kerna musuh tahu benar arti darah
memberi minum dari sumber tumpah ruah
nyawanya kijang diburu terengah-engah.
Waktu siang mentari menyadap peluh
dengan bongkok berjalan nenek suci Hassan Ali
di satu semak menggumpal daging perawan
maka diserunya bersama derasnya darah:
- Siapa kamu?
- Daku Sumilah daku mendukung duka!
Belanda berbulu itu membongkar pintu
dikejar daku putar-putar sumur tapi kukibas dia.
- Duhai diperkosanva dikau anak perawan!
- Belum lagi! Demi air daraku merah: belum lagi!
Takutku punya dorongan tak tersangka
tersungkur ia bersama nafsunya ke sumur.
- O tersobek kulitmu lembut berbungakan darah
koyak-moyak bajumu muntahkan dadamu
lenyaplah segala kerna tiada lagi kau punya
bunga yang terputih dengan kelopak-kelopak sutra,
- Belum lagi! Demi air daraku merah: belum lagi!
Demi berita noda teramat cepat karena angin sendiri
di mulut tujuh desa terucap Sumilah dan nodanya.
Dan demi berita noda teramat cepat kerna angin
sendiri
noda Sumilah terpahat juga di hutan-hutan jati
lelaki-lelaki letakkan bedil kelewang mengenangnya
dan Samijo kerahkan segenap butir darah
lebih setan daripada segala kerbau jantan.
Bila dukana terkaca pada bulan keramik putih
antara bebatang jati dengan rambut tergerai
Sumilah yang malang mendamba Samijonya
menyuruk musang, burung gantil nyanyikan ballada hitam.
Satu tokoh menonggak di tempat luang
dan berseru dengan nada api nyala:
- Berhenti! Sebut namamu!
Terhenti Sumilah serahkan diri ke batang rebah:
- Suaramu berkabar kau Samijo, Samijoku.
Daku Sumilah yang malang, Sumilahmu.
- Tiada lagi kupunya Sumilah. Sumilahku mati!
- Belum lagi, Samijo! Aku masih dara!
Bulan keramik putih tanpa darah
warna jingga adalah mata Samijo
menatap ia dan menatap amat tajamnya.
- Padamkan jingga apimu. Padamkan!
Demi selaput sutraku lembut: belum lagi!
Bulan keramik putih bagai pisau cukur
sayati awan dan malam yang selalu meratap
Samijo menatap dan menatap amat tajamnya.
- Samijo, ambil tetesan darahku pertama
akan terkecap daraku putih, daramu seorang
Batang demi batang adalah balutan kesepian
malam mengempa segala terperah sendat napas
Samijo menatap dan menatap amat tajamnya.
- Samijo, hentikan penikaman pisau pandang matamu
kaubantai daku bagai najis, mengorek dena yang
tiada.
Padamlah padam kemilau yang menuntut dari dendam.
Wama pandangnya seolah ungkapan kutuk berkata:
- Jadilah perempuan mandul kerna busuk rahimmu,
jadilah jalang yang ngembara dari hampa ke dosa
aku kutuki kau demi kata putus nenek moyang!
Tanpa omong dilepas tikaman pandang penghabisan
lalu berpaling ia menghambur ke jantung hutan jati
tertinggal Sumilah digayuti koyak-moyaknya.
Sedihlah yang bercinta kerna pisah
lebih sedihlah bila noda terbujur antaranya
dan segalanya itu tak 'kan padam.
Kokok avam jantan esoknya bukanlah tanda menang
adalah ratap yang juga terbawa oleh kutilang
karena warga desa jumpai mayat Samijo
nemani guguran talok depan tangsi Belanda.
Merataplah semua meratap
kerna yang mati menggenggam dendam
di katup rahang adalah kenekatan linglung tersia.
Kerna dendamnya siksa airmatanya terus kembara
menatap kehadiran Sumilah, dinginnya tanpa percaya
dan Sumilah jadi gila terkempa dada oleh siksa
gadis begitu putih jumpai ajalnya di palung sungai.
Sumilah! Sumilah!
Tubuhnya lilin tersimpan di keranda
tapi halusnya putih pergi kembara
rintihnya tersebar selebar tujuh desa
dan di ujung setiap rintih diserunya:
- Samijo! Samijo!
Matamu tuan begitu dingin dan kejam
pisau baja yang mengorek noda dari dada
dari tapak tanganmu angin napas neraka
mendera hatiku berguling lepas dari rongga
bulan jingga, telaga kepundan jingga
ranting-ranting pokok ara
terbencana darahku segala jingga
Hentikan, Samijo! Hentikan, ya Tuan!
Tentang Rendra
Bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra lahir di Solo,
Jawa Tengah,
7 November
1935 – meninggal
di Depok,
Jawa Barat,
6 Agustus
2009 pada umur 73 tahun. Pendidikan SMA St.
Josef, Solo. Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta. American Academy of Dramatical Art, New
York, USA (1967). Kumpulan puisinya antara lain Ballada Orang-Orang Tercinta, Blues untuk Bonnie, Empat
Kumpulan Sajak, Sajak-sajak Sepatu Tua, Mencari Bapak, Perjalanan Bu Aminah, Nyanyian
Orang Urakan, Pamphleten van een Dichter, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Disebabkan
Oleh Angin, Orang Orang Rangkasbitung, Rendra: Ballads and Blues Poem, State of
Emergency. Penghargaan yang pernah diterima : Hadiah Pertama
Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan , Yogyakarta (1954), Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956), Anugerah
Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970), Hadiah Akademi Jakarta (1975), Hadiah
Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976), Penghargaan
Adam Malik (1989), The S.E.A. Write Award (1996), Penghargaan Achmad Bakri
(2006).
Hal lain
Sebagaimana ada yang pertama, maka ada yang terakhir.
Maka saya ingin juga menyajikan puisi yang oleh banyak pihak disebut-sebut
sebagai puisi terakhir Rendra. Puisi ini tak diberi judul. Ditulis tangan saat
dirawat karena penyakit jantung koroner di RS Mitra Keluarga Depok pada 31 Juli
2009. Teks puisi bertulis tangan itu diperlihatkan di rumah duka di Bengkel
Teater, Citayam, Depok, Jumat (7/8/2009). Berikut puisinya:
Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal
Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar
Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi
dari racun kimiawi
Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah
Tuhan, aku cinta padamu
Rendra
31 July 2009
Mitra Keluarga
31 July 2009
Mitra Keluarga
ini blognya pak afrizal malna atau bukan?
BalasHapusBukan, kawan. Hanya blog seorang pecinta puisi...
Hapusapa
HapusSemua puisi ini termasuk puisi balada kah?
BalasHapusSaya Tidak tahu. Tidak pernah belajar teori. Mestinya iya.
HapusPuisi balada orang2 tercinta kok ga ada ya?
BalasHapus#tolong jawab!
Buku ini cetalan tahun 1990 an
BalasHapusJavier
BalasHapusIh om Javier bisa aja
BalasHapus