Data buku kumpulan puisi
Judul : Misalkan Kita di Sarajevo
Penulis : Goenawan Mohamad
Cetakan :
I, 03/1998
Penerbit :
Penerbit Kalam, Jakarta
Tebal :
v + 61 halaman (31 puisi)
ISBN :
979-95480-1-2
Desain cover :
S. Malela Mahargasarie
Tata Letak :
Emilia Susiati dan Sijo Sudarsono
Grafis :
Tisna Sanjaya
Foto :
Rully Kesuma
Beberapa pilihan puisi Goenawan Mohamad dalam Misalkan Kita di Sarajevo
Untuk Frida Kahlo
Frida Kahlo menulis dalam catatan hariannya:
”Hidup yang
diam, pemberi dunia, apa yang paling penting
ialah tiada
harap.” Di sana disebutnya juga fajar, pagi,
rekan-rekan merah,
ruang besar biru, daun-daun di tangan, burung
yang gaduh …
Apakah yang kita mengerti sebenarnya, tadi:
kesederhanaan
lagu tentang nasib, atau arus tak sadar pada
tinta, darah dalam
dawat, deretan kata-kata murung? Apa penanda,
apa petanda?
Frida tak pernah menjawab. Berhari-hari yang
nampak adalah
lelaki, tamu-tamu, yang berdatangan, melalui
beranda Rumah
Biru, menyapanya, duduk-duduk, minum teh,
mencicipi kue,
dan berceloteh dan melucu, sambil berdiskusi
tentang tuhan
yang mereka ingkari dan kedatangan Trotsky
Mereka berkata, ‘Tidak, Frida, kau tak
apa-apa’
Tapi di alis itu …
di
alismu langit berkabung
dengan
jerit hitam
dua
burung
di ragamu
tiang patah
di kamar
narkose, ampul tertebar:
sisa
sakit dan sejarah
tapi
kijang yang tak menjerit di hutan
pada
luka lembing penghabisan
adalah
seorang perempuan
uluhati
yang tercerabut
tapi
terbang, menjemput Maut
adalah
seorang perempuan
Kemudian akan datang lusa: dari Cayougan
orang-orang akan
pulang, dan akan datang pula orang lain. Ada
yang telah
berangkat mengurus revolusi atau kembali
menenteng tas dan
kertas-kertas – manifesto yang kehilangan
bunyi. Tapi semua
berkata, “Tidak, Frida, kau, kita, juga Diego
Riviera, telah
berusaha untuk setia, tapi kita bukan apa-apa
lagi. Dunia
sudah tak seperti dulu.”
Bukan apa-apa …
tapi di
matamu kaulihat
piramid-piramid
sakit
mencari
air kaktus
pada
pucat langit
Lalu
kaulukiskan airmatamu,
seperti mutiara
dan
putih
cuka
di tembikar
kulitmu
Di
atasnya para santo
dan wajah
Diego: praba dan cahaya
yang membakar
kekal
mimpi Meksiko
Di ruang Meksiko itu, dengan gaun putih
Tehuana, Frida
menghentikan kursi rodanya. Kamar berubah
suhu, tapi hidup,
seperti dulu, adalah kini yang berganti-ganti.
Kekekalan – yang
telah mengalami semua, dan akan menyaksikan
semua – tak
ada. Palet yang memamerkan luka, paras Judas,
rangka dari
kertas, buket kembang lavender yang tertahan
di tangan:
elemen waktu yang berakhir setiap hari, setiap
kali.
Terkadang ia tergoda juga untuk lupa:
dilukisnya korsase putih
yang tetap bersih dan Noguchi (di dada seorang
perempuan, di
Manhattan, yang jatuh dari gedung-gedung,
dengan raut
cemerlang, bunuh diri).
Apakah mati sebenarnya? Konon di tempat
tidurnya – sebelum
orang mengangkatnya ke api kremasi – ada
seorang yang
datang dan mencium parasnya, penghabisan kali,
“Frida, kau
adalah ketakjuban kepada harum brendi, senyum
di
percakapan dan ranum pisang dalam sajian
makan malam.
Kau tergetar kepada apa yang sebentar.”
Barangkali mati adalah transformasi,
perjalanan ramarama
yang sedih yang menghilang ke arah roh:
keabadian yang tak
tahu telah berubah lazuardi.
“Apa yang akan kulakukan tanpa yang absurd dan
yang
sementara?”
Benar, begitulah ia pernah bertanya.
1993-1994
Misalkan Kita di Sarajevo
Buat B.B dan kawan-kawan
Misalkan kita di Sarajevo; mereka akan
mengetuk
dengan kanon sepucuk
dan bertanya benarkah ke Sarajevo
ada secelah pintu masuk.
Misalkan kita di Sarajevo: tembok itu,
dengan luka-luka peluru,
akan bilang “tidak”,
selepas galau.
Tapi kau tahu musim, di Sarajevo
akan mematahkan engsel,
dingin akan menciutkan tangan,
dan listrik lindap.
Orang-orang akan kembali
dari kedai minum,
dan memandangi hangus
di loteng-loteng.
Apakah yang mereka saksikan sebenarnya
di Sarajevo: sebentang samun,
tanah yang redam?
Apakah yang mereka saksikan sebenarnya?
Keyakinan dipasak
di atas mihrab dan lumbung gandum
dan tak ada lagi
orang membaca.
Hanya mungkin pada kita
masih ada seutas tilas,
yang tak terseka. Atau barangkali
sebentuk asli katahati?
Misalkan, misalkan, di Sarajevo: bulan
tak meninggalkan replika,
di dekat menara, tinggal warna putih
yang hilang dari azan
Misalkan angin juga kehilangan
perangai
di pucuk-pucuk poplar kuning
dan taman yang tak bergerak.
Pasti nenek peri, dengan suara kanker di
perut,
akan berkata,
“Tinggal cobaan dalam puasa
di padang gurun, di mana kau tak bisa.”
Mengapa kita di Sarajevo?
Mengapa gerangan kita pertahankan kota ini?
Seperti dalam sebuah kisah film,
Sarajevo tak bisa takluk.
Kita tak bisa takluk
Tapi keluar dari gedung rapat umum,
orang-orang sipil
akan mengenakan baju mereka yang terbaik,
mencium pipi para isteri, ramah tapi gugup,
meskipun mereka, di dalam saku,
menyembunyikan teks yang gaib itu:
“Bukan roti, melainkan firman.”
Batu-batu di trotoar ini
memang tak akan bisa jadi roti
cahaya salju di kejauhan itu
juga tak akan jadi firman
Tapi misalkan kita di Sarajevo
Di dekat museum itu kita juga akan takzim
membersihkan diri: Biarkan aku mati
dalam warna kirmizi.”
Lalu aku pergi
kau pergi, berangkat, tak memucat
seperti awal pagi
di warna kirmizi
1994
Pada Sebuah Pulau
Badai hanya pulang gema, di sini, seperti
ratap pulau
dari karang-karang kambria
yang gelap.
Pantai mengangakan rahang, menelan waktu
yang datang bertubuhkan
gelombang
Tanah melulur
ekulaptus.
Sejarah menembus.
Pada batukapur tua ia menyusun sember itu –
yang akhirnya tak ada
Beratus tahun kemudian ia pun kembali,
jejak, kerak, sisa, tanda: fana, barangkali
tak fana
1994
Berlin, 1993
Berlin berteriak
dalam bengis sirene
Kau tersentak:
“Jangan tinggalkan aku di Friedrichstrasse”
Kucium pelupukmu, kelopak yang gelap
di kaca etalase:
Kenapa luka itu tak pernah nampak
seusai berita dan parade?
Pohon-pohon linden sebelum Mei
seperti rangka, seperti berdiri,
nyeri, di kamp tahun ‘42
pagi hari.
Kulihat rautmu yang turki,
rambutmu yahudi
Berlinmu yang lain,
setelah aku pergi
Aku pun bertanya, bisakah kita berlindung
pada senja yang tak memihak,
pada malam sejenak,
dan metamorfose?
Berlin hanya berteriak
hanya berteriak
dalam serak
dan bengis sirine.
1994-1996
Di Pasar Loak
Di pasar loak jejak timpa menimpa, menghapus
kau dan aku,
mengingat kau mengingat aku
Pengalaman adalah karpet tua, anakku,
pompa-pompa,
gambar burak, gambar yesus, kamus-kamus, gaun
malam dan
hordin panjang, di mana dulu ada sebuah rumah,
di mana kita
tak ada, kita tak punya, di mana seekor parkit
mungkin
mencoba bernyanyi, mencoba menyanyi, dan
seseorang tutup
pintu, dengar, papa, aku tak kembali, tak akan
kembali
Kenangan adalah seperti manik-manik yang
ditawarkan peniup
harmonika itu: butir-butir putih yang
teruntai, tak berkait,
sebuah montase, sederet huruf morse,
Selamatkan Kami,
Selamatkan Kami, Kami Tenggelam, percintaan
yang tak ingin
jadi hantu dalam mimpi malam.
Perpisahan adalah sebuah isyarat kematian,
orang tua penjual
kaca itu berkata dan bertanya, siapa kita
sebenarnya, mengapa
1994
Sajak Selatan
Buat Y.Y
Ia lepas topi kepada burung-burung
dan sore hari orang Samarkand
Ia lihat matahari menitipkan parasnya pada
pualam
Asar lewat, sekelebat
asar seorang komisar
ketika bayang dan cahaya yang silau
saling memburu
di madrasah biru
Ia dengar surah
seperti Tuhan belum pernah
dikalahkan
seperti desau kapas
dari ladang pedalaman
Tapi di dalam balai ada orang nyanyi, kisah
caravan
dan sajak orang Bukhara
yang mereka bacakan, mereka bacakan, sampai
Lenin-Lenin plastik
leleh di aula
dan orang terdiam
dalam perjamuan
Barangkali ia dengar juga bunyi esok
yang lain lagi?
Bunyi waktu, yang seperti pisau,
bunyi mimpi yang robek,
bunyi malam yang kadang sampai
di langit Uzbek?
Ia lihat burung-burung bertambah hitam,
hinggap,
seperti tirai.
Di malam itu ditulisnya surat
(meski ia tak tahu di mana kau, Yevgeny),
“Di Samarkand sesuatu terlindung di kedap
daun,
aku melihatnya
di pohon-pohon lampai.”
1996
Bintang Pagi
Bintang pagi: seperti sebuah sinyal
untuk berhenti. Di udara keras kata-kata
berjalan, sejak malam,
dalam tidur: somnabulis pelan, di sayap mega,
telanjang,
ke arah tanjung
yang kadang menghilang. Mungkin ada
sebuah prosesi, ke sebuah liang hitam,
di mana hasrat – dan apa saja yang teringat –
terhimpun
seperti bangkai burung-burung
di mana tepi mungkin tak ada lagi.
Siapa yang merancangnya, apa yang mengirimnya?
Dari mana? Dari kita? Ada teluk yang tersisih
dan garis lintang yang dihilangkan,
barangkali.
Sementara kau dan aku, duduk, bicara,
dalam sal panjang.
Dan aku memintamu: Sebutkan bintang pagi itu,
hentikan kata-kata itu. Beri mereka alamat!
Kau diam. Mungkin ada sejumlah arti yang tak
akan hinggap
di perjalanan, atau ada makna, di rimba tuhan,
yang selamanya menunggu tanda hari:
badai, atau gelap, atau –
bukan bintang pagi.
1996
Di Malioboro
Kepada seseorang yang
mengingatkan saya akan Iramani, yang dibunuh di tahun 1965
Saya menemukanmu, tersenyum, acuh tak acuh
di sisi benteng Vriedenberg
Siapa namamu, kataku, dan kau bilang:
Kenapa kau tanyakan itu.
Malam mulai diabaikan waktu.
Di luar, trotoar tertinggal.
Deret gedung bergadang
dan lampu tugur sepanjang malam
seperti jaga untuk seorang baginda
yang sebentar lagi akan mati
Mataram, katamu, Mataram …
Ingat-ingatan pun bepercikan
-- sekilas terang kemudian hilang – seakan
pijar
di kedai tukang las.
Saya coba pertautkan kembali
potongan-potongan waktu
yang terputus dari landas.
Tapi tak ada yang akan bisa diterangkan,
rasanya
Di atas bintang-bintang mabuk
oleh belerang
kepundan seperti sebuah radang
dan bulan dihirup hilang
kembali oleh Merapi
Trauma, kau bilang
(mungkin juga, “Trakhoma”?)
membutakan kita
Dan esok los-los pasar
akan menyebarkan lagi warna mainan kanak
dari kayu: boneka-boneka pengantin
merah-kuning dan rumah-rumah harapan
dalam lilin.
siapa namamu, tanyaku
Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu.
1997
30 Tahun Kemudian
30 tahun kemudian mereka bertemu di restoran
dekat danau.
Hujan dan kenangan berhimpitan, berbareng,
seperti lalulintas yang langgeng.
Terkadang badai meracau,
langit kian dekat, dan dari tebing dingin
berjalin dengan basah
pucuk andilau
ketika mereka duduk berlima,
dengan tuak putih tua,
bertukar cerita tentang lelucon angka tahun
dan rasa asing pensiun,
mengeluhkan anak yang pergi dari tiap bandar
dan percakapan-percakapan sebentar.
Terkadang mereka seakan-akan dengarkan teriak
trompet dari
kanal seperti jerit malaikat yang kesal
dan mereka tertawa. Sehabis sloki ketiga,
waktu pun berubah seperti pergantian prisma:
masa lalu adalah huruf yang ditinggalkan musim
pada
marmar makam Cina.
Kerakap memberinya warna. Kematian memberinya
kata.
Dan pada sloki ke-4 dan ke-5 mereka dengarkan
angin susul
menyusul, seakan seorang orang tua bersiul
dengan suara kisut
ke bulan yang berlumut.
Pada sloki ke-6 mereka menunggu malam singgah
dalam
topeng Habsi. Dan tuhan dalam baju besi.
30 tahun kemudian mereka tak akan bertemu lagi
di sini.
1996
Nuh
Pada hari Ahad kedua, kota tua itu tumpas.
Curah hujan
tak lagi deras, meskipun angkasa masih ungu,
dan hari gusar.
Rumah-rumah runtuh, seluruh permukaan rumpang,
dan
tamasya mati bunyi, kecuali gemuruh air.
Memang ada jerit
terakhir, yakni teriak seorang anak.
“Ia jatuh,” kata laporan yang disampaikan
kepada Nakhoda
“dari sebuah atap yang bongkah. Air bah
menyeretnya
Kakinya memang lumpuh sebelah. Dengan cepat ia
pun
tenggelam, seperti yang lain-lain: neneknya,
ibu-bapaknya,
saudara-saudaranya sekandung. Ia tenggelam,
seraya memekik,
begitu juga seluruh kota.”
Nakhoda itu tersenyum. Segera diberitakannya
kabar terakhir itu
kepada Nuh yang sedang berdoa di kamarnya
dalam bahtera.
Orang alim itu terdiam sebentar, lalu bangun
dan berjalan ke
buritan. Ia ingin menyaksikan sendiri benarkah
gelombang telah
selesai membunuh.
Memang: banjir itu tak lagi ganas, seakan-akan
naga yang
kenyang bangkai.
Dan di sisa kota itu ia lihat mayat, terapung,
menggelembung,
hampir hitam, beribu-ribu, seperti menantikan
sesuatu.
Ia lihat gagak dan burung-burung marabou,
bertengger di atas
perempuan-perempuan tua yang terserak busuk.
Di permukaan
air itu bahkan hutan-hutan takluk dan senja
seakan terbalik,
seperti pagi. Nuh pun berbisik,”Kaum yang
musyrik, yang tak
dikehendaki…”
Ia menghela napas, lalu kembali ke anjungan.
Bau bacin
menyusup dari cuaca, bahkan sampai ke ruang
doa, dan ia
merasa kota itu akan segara jadi payau. Maka
tatkala langit
teduh, Nuh segera meminta agar bahtera diarahkan
ke sebuah
dataran tinggi yang masih utuh, di utara. Ia
berkata, ”Keadilan,
perkara besar itu, telah dibereskan Tuhan.”
Dan ia mendarat.
Lepas dari air, ia merunduk di tepian itu dan
diucapkannya
syukur. Lalu segera disuruhnya persiapkan
korban hewan di
kaki bukit. Harum daging bakar pun sampai ke
langit, dan
membuat surga berbahagia. “Ya, Maha Dasar, tak
ada lagi yang
bisa keluar,” begitulah sembah yang
diucapkannya, ketika hari jadi
terang dan jemaat berdoa untuk kota-kota yang
akan datang,
yang kukuh, patuh. Kota-kota Nuh.
1998
Tentang Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad
lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Mengikuti pendidikan di Fakultas
Psikologi UI (1960-1964), di College d’Europa, Brugge, Belgia (1965/1966), juga
mendapatkan fellowship di Universitas Harvard, AS (1989-1990). Karyanya: Parikesit (kump. Puisi, 1971), Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin
Kundang (kumpulan esai, 1972), Interlude
(kump. Puisi, 1973), Seks, Sastra, Kita
(kumpulan esai, 1980), Catatan Pinggir.
Menerima hadiah sastra ASEAN (1981). Saat ini menjadi pemimpin redaksi majalah
Tempo.
Catatan
Lain
Buku GM dengan
judul “Misalkan Kita di Sarajevo” cetakan
yang ini benar-benar merepotkan :D. Tak ada daftar isinya! Tidak ada pengantar
maupun suara-suara gegap gempita penyair lain yang mengomentari buku ini. Hanya
sebuah persembahan: untuk Tika dan Dila. Jadi saya ingin mengutip dari buku
yang GM yang lain, “Kesusastraan dan Kekuasaan” (Pustaka Firdaus, 1993), yang
bersamaan pinjamnya di Perpustarda Prov. Kalsel. GM berkicau begini dalam salah
satu esainya, dan saya hampir tergelak: “Ia
melihat betapa panjang perjalanan yang telah ditempuh oleh mereka yang terbiasa
dengan puisi modern dari wilayah hidup tembang-tembang klasik Jawa dan
sebangsanya. “Rakyat tidak akan mengerti sajak-sajak kalian,” demikian selalu
dikatakan orang kepadanya. Ia tahu ini benar. Ia tahu bahwa ia tak pernah
membayangkan seorang nelayan di desanya akan menyanyikan sajaknya. Di
Indonesia, di mana pedusunan terbentang seperti laut dan kota-kota hanya pulau
yang terserak-serak – titik merah yang ganjil pada peta – penyair justru tidak
datang ke desa-desa dan desa-desa tidak datang pada para penyair. Kepenyairan
hanyalah posisi yang tak jelas dari orang-orang kota.”
Mengenaskan, ternyata saya suka
dengan kalimat yang saya garisbawah itu! Buku yung berisi 17 esai itu dibuka
dengan sebuah tulisan panjang: Peristiwa
“Manikebu”: Kesusastraan Indonesia dan Politik di tahun 1960-an. Asyik.
Dalam tulisan itu, GM ada mengutip Lu Hsun, sastrawan Cina yang pernah disebut
Mao sebagai pemikir besar dan seorang revolusioner besar. Kata Lu Hsun: “ Setiap kesusastraan adalah propaganda, tapi
tidak setiap propaganda itu kesusastraan.”
GM kembali mengutip Lu Hsun:”Pada
hemat saya, kesusastraan apa pun yang dapat dipakai untuk tujuan propaganda
politik tak mempunyai daya persuasif. Kesusastraan yang baik selalu menolak
untuk dipesan dari luar...secara spontan ia memercik dari hati!” Nah.
Uln ada buku puisi Goenawan Muhammad yg judulnya Don Quixote. Kalo mau minjam silakan Pak, tapi kada dijual, hehe..
BalasHapusSip, Zian. Btw, belum pernah dengar GM punya buku itu... Baru, ya?
Hapus