Data
buku kumpulan puisi
Judul : Sembahyang Rumputan
Penulis : Ahmadun Yosi Herfanda
Cetakan : I, Mei 1996
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
Tebal : ix + 92 halaman (68 puisi)
ISBN : 979-8793-15-3
Gambar cover : Mella Jarsma
Disain cover : Buldanul Khuri
Penutup : Afrizal Malna (Totalisasi yang Bertahan dari Perubahan)
Beberapa pilihan puisi Ahmadun Yosi Herfanda
dalam Sembahyang Rumputan
Sembahyang Rumputan
walau kaubungkam suara azan
walau kaugusur rumah-rumah tuhan
aku rumputan
takkan berhenti sembahyang
: inna shalaati wa nusuki
wa mahyaaya
wa mamaati
lillahi
rabbil ‘alamin
topan menyapu luas padang
tubuhku bergoyang-goyang
tapi tetap teguh dalam sembahyang
akarku yang mengurat di bumi
tak berhenti mengucap shalawat
nabi
sembahyangku sembahyang rumputan
sembahyang penyerahan jiwa dan
badan
yang rindu berbaring di pangkuan
tuhan
sembahyangku sembahyang rumputan
sembahyang penyerahan
habis-habisan
walau kautebang aku
akan tumbuh sebagai rumput baru
walau kaubakar daun-daunku
akan bersemi melebihi dulu
aku rumputan
kekasih tuhan
di kota-kota disingkirkan
alam memeliharaku subur di hutan
aku rumputan
tak pernah lupa sembahyang
: sesungguhnya shalatku dan ibadahku
hidupku dan
matiku hanyalah
bagi allah
tuhan sekalian alam
pada kambing dan kerbau
daun-daun hijau kupersembahkan
pada tanah akar kupertahankan
agar tak kehilangan asal
keberadaan
di bumi terendah aku berada
tapi zikirku menggema
menggetarkan jagat raya
: la ilaaha illallah
muhammadar
rasulullah
aku rumputan
kekasih tuhan
seluruh gerakku
adalah sembahyang
1992
*versi
pertama sajak ini, lebih pendek, ditulis tahun 1986 dan termuat dalam buku Syair Istirah (kumpulan sajak bersama
Emha Ainun Nadjib dan Suminto A. Suyuti, penerbit Masyarakat Poetika Indonesia
IKIP Muhammadiyah Yogyakarta). Versi panjangnya (1992) terpilih sebagai
pemenang pertama lomba cipta puisi religius Yayasan Iqra Jakarta tahun 1992.
Fragmen Tak Bernama
seperti semula, kaunyanyikan lagu
purba
menyatu dalam tarian pohon-pohon
akasia
ketika adam meninggalkan tanah
asalnya
mencari hawa di belantara luka
dalam kicau burung dan risik
serangga
angin bersetubuh dengan musimnya
tiap senja tiba daun pun rontok
mawar mekar merah senyumnya
ketika layu kau tak menjamahnya
kaubiarkan burung meninggalkan
kicaunya
kaubiarkan kupu meninggalkan
kepompongnya
semesta berproses dalam genggaman
kodrat
kehidupan kauciptakan lantas
kauremas
pelan-pelan, mengucur darah
kefanaan
1980
Obsesi Futurista
manusia masa depan berdiri tegak
di layar
komputerku. di tangan kanannya
jaringan internet
di tangan kirinya hutan lebat
menghijau
rambutnya mengkilat tanpa shampo
giginya kristal-kristal cahaya,
mata kanannya
radar, kirinya antena parabola,
otaknya einstein
hatinya sunan kalijaga. ia simpan
kitab kuning
dalam disket, filsafat di saku
baju
sejarah ia lipat dalam sepatu
manusia masa depan mencipta badai
dengan
tuts piano, mencipta gelombang
dalam lagu sangsai
mencipta hutan di kota-kota beton
dan baja, ombak
laut ia tampung dalam katub
jantungku. manusia masa depan
tak takut kehilangan kursi dalam
syairmu
manusia masa depan membangun
sejarahnya sendiri
yang merdeka dari rencanamu hari
ini
1989
Nyanyian Kota Peradaban
- jakarta
di kota peradaban orang-orang
mencari tuhan
di bar-bar dan bursa-bursa
perempuan, bank-bank
dan perkantoran. politikus pun
mengaum: di mana
tuhan di mana? birokrat menjawab
sambil menguap:
di sini tuhan di sini. ketika
orang-orang berdatangan
yang teronggok cuma berhala
kekuasaan
meninggalkan tuhan dalam dirinya,
orang-orang
makin sibuk mencari tuhan,
memanggil-manggil:
tuhan, di mana kau tuhan? di sini
tuhan di sini
jawab suara di hotel-hotel dan
kelab malam. ketika
orang-orang berdatangan, yang
terhampar cuma
kelamin-kelamin rindu bersebadan
di kota peradaban orang-orang
mencari tuhan
hilir-mudik di jalan-jalan,
berebut keluar masuk
diskotik dan pasar-pasar swalayan
orang-orang lupa, tuhan dalam
hati sendiri
tak pernah pergi
1992
Persinggahan
- pantai samas
laut hanya bersajak. cinta
mengendap dalam tubuh tegak
beku memandang dingin matamu
tak kautangkap gairah pagi
mentari menghidupkan percik
ombak di pasir, kini-esok
tanpa akhir
: di sinilah kehidupan
bermula dan berakhir
perahu nelayan melaut
berlabuh kembali
di pelukan terabadi
dan kita, petualang, tergenggam
keangkuhan batu karang
mengunyah duka. diam
dalam ayunan gelombang
tak kau pedulikan tingkah
angin pagi. mengayun mimpi
telah kita ukir kenangan
kepedihan tak terelakkan
1982
Memoriam Peziarahan
- pemakaman kaliwungu
salam padamu, bapak-simbok,
kakek-nenek
buyut-biyungku. telah lama kalian
tidur
tanpa degup dan gairah hati.
sendiri
doa bagimu tanpa bunga tujuh
warna
bakti bagimu tanpa kepulan asap
dupa
ziarahku dalam sederhana
sebelum diziarahi anak cucu
pohon semboja kutanam
tumbuh subur penuh bunga
ialah saksi waktu dan usia
yang menipis di mulut batara kala
ialah pertanda kesuburan cinta
tertanam abadi di hati kita
takzim padamu, penghuni misteri
penunggu akhir tanpa mimpi
1981
Sajak Ziarah
dengan zikir kuziarahi siti
jenarku
yang berpusara di bilik kalbu
dengan cinta kuziarahi
adam-hawaku
yang bertenda di pintu mautmu
sepanjang waktu aku berziarah
padamu
daun-daun gugur yang mendahului
hari tamatku
sepanjang langkah aku berziarah
sepanjang sujud kusebut maut
sepanjang cinta kutabur bunga
sepanjang orgasme kusebut
kematiannya
sepanjang hidup kau
berziarah-ziarah
sepanjang mati hidup kauziarahi
siapa tak kenal ziarah
takkan kenal makna rumah
dengan ilmu kuziarahi nabi
hidirku
yang berpusara di sungai jiwa
dengan kata kubongkar rahasia
alima
yang terkunci di bilik sukma
dengan sajak aku pun berdoa
membuka tangan al-malik
yang menggenggam jagat raya
1992
Tahajud Sunyi
kuketuk pintumu. biarkan jemari
kasihku
mengusap gerai rambutmu. kau pun
membuka
tabir jiwaku, hingga hatiku bisa
leluasa
mengeja alif ba ta cintamu
(kata-kata mesra pun bermekaran
lewat pintu jiwa kupetik bagai
bunga
hadiah untuk kekasihku kelak di
sorga)
malam ini aku pasrah dalam renta
entah esok atau lusa
jika kealpaanku tak lagi kausapa
tenggelamkan diriku yang sarat
luka
ke lautan cintamu yang tak
terukur dalamnya
-- kan kubasuh segenap nikmat
kesesatan!
1980
Sajak Orang Mabuk
karena hidup penuh keterbatasan
kupilih api cinta abadi
membara dalam dadamu
allah, sambutlah hatiku
yang terbakar api itu
karena hidup penuh keterikatan
kupilih kebebasan dalam apimu
bakarlah seluruh diriku
o, allah
kuingin debu jiwaku
mengalir abadi dalam darahmu
bertahun-tahun aku mabuk
bermalam-malam aku tenggelam
dalam gelombang kerinduan
luluh dalam apimu
1991
Sajak Alif
kautulis kearifan pada alif
huruf pertama panggilanmu
gerbang terdepan ke taman hatiku
ketika sunan kalijaga
menggembala umatnya
alif pun menjadi tongkatnya
pada tongkat isa tertulis
cinta-kasihmu
pada tongkat musa terukir
keajaibanmu
ketika tongkat mengetuk batu
mata air pun terpancar
darah abadi bagi kehidupan
kautulis kemuliaan pada alif
huruf terdepan panggilanmu
kauturunkan alif dari arasy ke bumi
debu pun menjelma kemuliaan
sejati
alif terbentang di hati orang
pilihan
jalan lurus menuju haribaanmu
1987
Catatan di Pojok Taman
- kepada pahlawan tak dikenal
kini kau berlayar sendirian
di lautan kelam tanpa karang
menuju pelabuhan seberang
untuk tidur di pangkuan tuhan
(sebutir peluru telah merenggut
jantungmu
ketika kau nekat melindungiku
dalam penyerbuan ke benteng itu
di pangkuanku kautinggalkan
jasadmu
sebelum sempat kausebut namamu
asal dan induk pasukanmu
kecuali seberkas senyum
keikhlasan)
lukamu kini tak dapat kuraba lagi
karena dagingmu telah kembali ke
asal
tinggal cahaya putih cintamu
membekas dalam di kalbu
1980
Tentang
Ahmadun Yosi Herfanda
AHMADUN YOSI HERFANDA, lahir di Kaliwungu,
Kendal, 17 Januari 1958. Alumnus FPBS IKIP Yogyakarta ini menyelesaikan S-2 jurusan
Magister Teknologi Informasi pada Universitas Paramadina Mulia, Jakarta. Ia
pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI,
1993-1995), dan ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999-2002).
Tahun 2003, bersama Hudan Hidayat dan Maman S. Mahayana, mendirikan Creative
Writing Institute (CWI).
Ahmadun juga pernah menjadi anggota Dewan Penasihat
dan (kini) anggota Mejelis Penulis Forum Lingkar Pena (FLP). Tahun 2007
terpilihmenjadi ketua umum Komunitas Cerpenis Indonesia (periode 2007-2010),
tahun 2008 terpilih sebagai presiden (ketua umum) Komunitas Sastra Indonesia
(KSI), sejak 1993 sampai 2009 menjadi redaktur sastra Republika, dan tahun
2010 menjadi ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sejak 2007 ia
juga menjadi “tutor tamu” untuk apresiasi dan pengajaran sastra Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) RI, dan sejak 2009 menjadi direktur
Jakarta Publishing House, serta mengajar sastra dan jurnalistik di sejumlah
perguruan tinggi. Selain itu, ia juga sering menjadi ketua dan anggota dewan
juri berbagai sayembara penulisan dan baca puisi tingkat nasional.
Selain menulis puisi,
Ahmadun banyak menulis cerpen dan esei, serta buku biografi tokoh, buku wisata,
dan company profile. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai
media sastra dan antologi puisi yang terbit di dalam dan luar negeri. Antara
lain, Horison, Ulumul Qur’an, Kompas, Media Indonesia, Republika,
Bahana (Brunei), antaologi puisi Secreets Need
Words (Harry Aveling, ed, Ohio University, USA, 2001), Waves
of Wonder(Heather Leah Huddleston, ed, The International Library of Poetry,
Maryland, USA, 2002), jurnal Indonesia and The Malay World (London,
Ingris, November 1998), The Poets’ Chant (The Literary
Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995).
Beberapa kali sajak-sajak
Ahmadun dibahas dalam Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman
(Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing memenangkan
salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland
(Belanda) dan dibukukan dalamParadoks Kilas Balik (Radio Nederland, 1989). Tahun
1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum
informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura). Tahun 2008
meraih Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa Depdiknas atas buku kumpulan
sajaknya yang berjudul Ciuman Pertama untuk Tuhan (Logung
Pustaka, 2004).
Sebagai sastrawan dan
jurnalis, Ahmadun sering diundang untuk menjadi pembicara dan membaca puisi dalam berbagai seminar serta
even sastra nasional maupun internasional. Tahun 1998 ia diundang untuk
membacakan sajak-sajaknya dalam Festival Kesenian Perak di
Ipoh, Malaysia. Tahun 1997 ia menjadi pembicara dalam Pertemuan Sastrawan
Nusantara (PSN) IX Padang. Tahun 1999 ia mengikuti PSN X di Johor Baharu,
Malaysia, dan menjadi pembicara pada Pertemuan Sastrawan Muda Nusantara Pra-PSN
di Malaka. Tahun 2002 ia menjadi pembicara dan membacakan sajak-sajaknya dalam
festival kesenian Islam di Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir.
Kemudian, pada Agustus
2003 Ahmadun diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam simposium
penyair The International Society of Poets di New York, AS.
September 2004 menjadi pembicara dalam PSN XIII di Surabaya. Mei 2007 menjadi
pembicara dalam Pesta Penyair Indonesia 2007, Sempena The 1st Medan
International PoetryGathering, Taman Budaya Sumatera Utara, Medan.
Oktober 2005 dan Oktober 2007 menjadi pembicara dan Kongres Cerpen
Indonesia (KCI) IV di Pekanbaru, dan KCI V di Banjarmasin. Januari 2008 menjadi
pembicara dan ketua sidang pada Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di
Kudus. November 2009 menjadi pembicara dan membacakan sajak dalam Pertemuan
Penyair Nusantara (PPN) III di Kualalumpur, Malaysia.
Buku-buku Ahmadun yang
telah terbit adalah Sang Matahari (puisi, Nusa Indah, Ende,
1984), Sajak Penari (puisi, Masyarakat Poetika Indonesia,
Yogyakarta, 1991), Fragmen-Fragmen Kekalahan (puisi,
Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Sembahyang Rumputan (puisi,
Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996), Sebelum Tertawa Dilarang (cerpen,
Balai Pustaka, Jakarta, 1997), Ciuman Pertama Untuk Tuhan (puisi
dwi-bahasa, Logung Pustaka, 2004), Sebutir Kepala dan Seekor
Kucing (cerpen, Being Publishing, 2004), Badai Laut Biru (cerpen,
Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004), dan The Worshipping Grass (puisi
dwi bahasa, Bening Publishing, Jakarta, 2005).
Buku-buku terbaru Ahmadun
yang sedang dalam proses terbit, antara lain Resonansi Indonesia (kumpulan
puisi), Metafor Cinta, Dialektika Antara Sastra, Alquran dan Tasawuf (esei
panjang), Kolusi (kumpulan cerpen), Koridor yang
Terbelah (kumpulan esei), dan Musang Berbulu Agama (kumpulan
sajak). Kini tinggal di Vila Pamulang Mas Blok L-3 No. 9, Phone/Fax
(+62-21)-7444765, Pamulang, Tangerang Selatan 15415, Indonesia. Email: ahmadun.yh@gmail.com. Mobile: 081315382096.*
Hal Lain
Buku Kumpulan Puisi Sembahyang Rumputan terdiri dari dua bagian, yaitu Prosesi Penyerahan diri (Sajak-sajak
1989-1994, 26 puisi) dan Tahajud Sunyi
(Sajak-sajak 1980-1989, 42 puisi). Afrizal Malna mencatat dalam epilognya: Pada paruh pertama kumpulan puisinya,
aku-lirik berada dalam wilayah diksi natur-agraris dan pada paruh terakhir
kumpulan puisinya, aku-lirik mulai berada dalam wilayah dunia industri-elektronik.
Tetapi aku-lirik menggunakan kedua wilayah ini dalam posisi yang sama, tidak
bergeser. Puisi-puisi Ahmadun dalam kumpulan ini, kata Afrizal lagi, akhirnya dapat dilihat sebagai usaha
panjang yang (untuk?) tetap bertahan
dalam satu konsep harmoni. Yaitu harmoni yang tidak mengandaikan adanya
keretakan dalam berbagai hubungan yang dibangunnya. Buku ini aku pinjam
dari Perpustarda Prov. Kalsel.
Oya, saya sempat mikir, setelah mengetahui nama
blog penyairnya. Ternyata hanya sedikit penyair yang tersangkut paut secara
unik dengan karya. Maksud saya, kita bicara tentang puisi yang identik dengan
penyairnya. Jika kita menyebut satu judul puisi, otomatis kita teringat dengan
penyairnya. Contoh, puisi aku dengan
chairil anwar, hujan bulan juni
dengan sapardi, celana dengan joko
pinurbo, dan tentu saja sembahyang
rumputan dengan ahmadun. Khusus yang terakhir, puisinya tidak cuma
dijadikan judul buku, tapi juga judul blog. Saya kira, tak (belum) ada penyair
Indonesia yang secara sadar mengekploitasi hal itu selain ahmadun. Saya juga
pernah dengar selentingan kabar bahwa puisi Sembahyang
Rumputan dibeli oleh orang malaysia dengan harga yang wah. Sampai sekarang
saya tidak mengerti yang wah itu seberapa dan “membeli” itu seperti apa. Apa
tulisan tangan dari puisi itu dipigura dan ditandatangani langsung si penyair
yang dijual atau bagaimana. Lagipula itu hanya selenting kabar dari seorang
teman kuliah, yang sampai sekarang pun tak begitu jelas jalan ceritanya.
Mungkin yang lain ada yang tahu?
yang dimaksud rumputan di puisi sembahyang rumputan itu siapa sih?
BalasHapusterus kenapa rumputan selalu sembahyang?
apa bedanya sembahyang rumputan sama sembahyang manusia?
kenapa rumputan selalu disingkirkan dari kota-kota?
kenapa rumputan tak pernah mati meskipun ditebang dan dibakar daunnya?
apa buktinya jika seluruh gerak rumputan adalah sembahyang?
tolong di jawab ya
Rhima, banyak sekali pertanyaanmu :D. Sayang, saya bukan ahli mengapresiasi puisi, hanya penikmat saja. Tapi barangkali ini membantu. Saya pikir, rumputan bisa dipahami sebagai rumput yang tanaman, tapi bisa juga metafor dari rakyat kecil. Sembahyang rumputan kayak gimana? saya pikir perlu dicari referensinya di kitab suci. Yang saya ingat al: semua yang di langit dan bumi bertasbih (memuji) Tuhan, atau semua di langit dan di bumi bersujud (tunduk) dengan sukarela atau terpaksa. Bertasbih atau bersujud itulah yang mungkin dipahami sebagai sembahyang. Kenapa rumput disingkirkan, karena hanya dipandang sebagai gulma (pengganggu), kenapa tak pernah "mati", sebaiknya tanya guru biologi... :).
HapusKalau menurut pemikiran saya, rumputan itu ialah orang orang yang bertaqwa, kenapa dipilih rumput? karena, sebenarnya rumput itu tumbuhan paling kuat. mau diterpa topan juga tetap bertahan, dicabut, tumbuh lagi, dibakar, muncul lagi. itulah yang melambangkan ketaqwaan orang2 yang taat pada Allah, meski ada hambatan, mereka tetap memuji Allah SWT
HapusSejalan dengan penjelasan di atas, kita perhatikan bagaimana kota-kota besar di pemukiman kumuh, merekalah yang dianggap sebagai rumput. Tentang sembahyang, merupakan suatu kegiatan yang patuh pada pencipta, nah, dalam puisi ini saya kira, seperti apapun mereka menantang, tetap kekuasaan akan mengalahkan semuanya, sama seperti manusia pada hakikatnya (lebih banyak yang tidak mau mati/meninggal, namun akhirnya jika ajal menjemput tiada daya upaya). Pemukiman kumuh selalu saja berusaha disingkirkan dari tengah-tengah peradaban kota, karena dianggap sebagai perusak tata letak perkotaan, transmigrasi masih belum sesukses yang diperkirakan untuk menggusur para rerumputan liar yang terus saja bergoyang di jalanan kota. Tidak mati di sini, karena setiap tahunnya angka perpindahan masyarakat ke kota menanjak tajam sedangkan transmigrasi yang direncanakan untuk mengurangi penduduk perkotaan malah tidak jelas bagaimana kesudahannya. Bahkan akhir-akhir ini sudah tidak terlaksana lagi. Mudik lebaran dan tahun baru setiap tahunnya menambah angka di atas 20% dari penduduk yang meninggalkan kota.
BalasHapusPulangnya 6 ribu orang, datangnya kembali 7 ribu lebih. Sehingga masalah kemasyarakatan di perkotaan menjadi hal yang mendasar dari puisi Ahmadun Yosi Herfanda.
TERIMA KASIH YA, IJIN BERBAGI DI https://puisibumijatayu.blogspot.com/2020/03/puisi-sembahyang-rumputan-karya-ahmadun.html
BalasHapus