Data buku kumpulan puisi
Judul : Tirani
dan Benteng; dua kumpulan puisi
Penulis : Taufiq
Ismail
Cetakan : I,
1993
Penerbit : Yayasan
Ananda, Jakarta.
ISBN :
979-8424-00-X
Tebal : xxix
+ 172 halaman (72 puisi + 48 foto)
Kulit muka : Nur
Fadjar
Vignet :
Zaini
Foto-foto : Suroso
Soerojo, Kantjono, Erijono Wijono, Rushdy Husein, Marzuki Arifin, DA Peransi,
Ed Zulverdi.
Buku ini merangkum 3 kumpulan puisi, yaitu Puisi-puisi Menjelang Tirani dan Benteng
(32 puisi), Tirani (18 puisi) dan Benteng (22 puisi)
Beberapa pilihan puisi Taufiq Ismail dalam Puisi-puisi Menjelang Tirani dan Benteng
Oda pada Van Gogh
Pohon sipres.
Kafe tua
Di ujung jalan
Sepi. Sepi jua
Langit berombak
Langit berombak
Bulan di sana
Sepi. Sepi
namanya.
1964
1964
Dengan Puisi, Aku
Dengan puisi aku
bernyanyi
Sampai senja
umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas
cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang
Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila
kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang
busuk
Dengan puisi aku berdoa
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah
kiranya.
1965
1965
Potret di Beranda
Di beranda rumah
nenekku, di desa Baruh
Potretku telah
tergantung 26 tahun lamanya
Bersama
gambar-gambar sulaman ibuku
Dibuatnya tatkala
masih perawan
Di dapur rumah nenekku, nenekku renta
Di dapur rumah nenekku, nenekku renta
Tergolek drum tua
pemasak kerupuk kulit
Di atasnya
sepasang tanduk hitam berdebu
Kerbau bajak
kesayangan kakekku
Kerupuk kulit telah mengirim ibuku
Kerupuk kulit telah mengirim ibuku
Sekolah ke kota,
jadi guru
Padi, lobak dan
kentang ditanam kakekku
Yang disulap
subur dalam hidayat
Dijunjung dan
dipikul ke pasar
Dalam dingin
dataran tinggi
Karena ibuku yang
mau jadi guru
Dan ibuku bertemu ayahku
Dan ibuku bertemu ayahku
Yang dikirim
nenekku ke surau menyabit ilmu
Dengan ikan
kolam, bawang dan wortel
Di ujung cangkul
kakekku kukuh
Yang kembang dan
berisi dalam rahmat
Terbungkuk-bungkuk
dijunjung di hari pekan
Karena ayahku mau
jadi guru
Maka lahirlah kami berenam
Maka lahirlah kami berenam
Dalam rahman
Dalam kesayangan
Dalam kesukaran
Di beranda rumah
nenekku, di desa Baruh
Potretku telah
tergantung 26 tahun lamanya
Bersama
gambar-gambar buatan ibuku
Disulamnya
tatkala masih perawan.
1963
1963
Almamater
Di depan
gerbangmu tua pada hari ini
Kami menyilangkan
tangan ke dada kiri
Tegak tengadah menatap
bangunanmu
Genteng hitam dan
dinding kusam. Berlumut waktu
Untuk kali
penghabisan
Marilah kita kenangkan tahun-tahun dahulu
Marilah kita kenangkan tahun-tahun dahulu
Hari-hari kuliah
di ruang fisika
Mengantuk pada
pagi cericit burung gereja
Praktikum. Padang
percobaan. Praktek daerah
Corong anastesi
dan kilau skalpel di kamar bedah
Suara-suara
menjalar sepanjang gang
Suara pasien yang
pertama kali kujamah
Di aula ini, aula yang semakin kecil
Di aula ini, aula yang semakin kecil
Kita beragitasi,
berpesta dan berkencan
Melupakan
sengitnya ujian, tekanan gurubesar
Melepaskannya
pada hari-hari perpeloncoan
Pada filem dan
musik yang murahan
Ya, kita sesekali butuh juga konser yang baik
Ya, kita sesekali butuh juga konser yang baik
Drama Sophocles,
Chekov atau ‘Jas Panjang Pesanan’
Memperdebatkan
politik, Tuhan dan para negarawan
Tentang filsafat,
perempuan serta peperangan
Bayang benua abad
dahulu lewat abad yang kini
Di manakah kau sekarang berdiri? Di abad ini
Di manakah kau sekarang berdiri? Di abad ini
Dan bersyukurlah
karena lewat gerbangmu tua
Kau telah
dilantik jadi warga Republik Berpikir Bebas
Setelah bertahun
diuji kesetiaan dan keberanianmu
Dalam berpikir
dan menyatakan kebebasan suara hati
Berpijak di tanah
air nusantara
Dan menggarap
tahun-tahun kemerdekaan
Dengan penuh
kecintaan
Dan kami
bersyukur pada Tuhan
Yang telah
melebarkan gerbang tua ini
Dan kami
bersyukur pada ibu bapa
Yang sepanjang
malam
Selalu berdoa
tulus dan terbungkuk membiayai kami
Dorongan kekasih
sepenuh hati
Dan kami
berhutang pada manusia
Yang telah
menjadi guru-guru kami
Yang membayar
pajak selama ini
Serta menjaga
sepeda-sepeda kami
Pada hari ini di
depan gerbangmu tua
Kami kenangkan
cemara halamanmu dalam bau formalin
Mikroskop. Kamar
obat. Perpustakaan
Gulungan layar di
kampung nelayan
Nyanyi
pohon-pohon perkebunan
Angin hijau di
padang-padang peternakan
Deru kemarau di
padang-padang penggembalaan
Dalam mimpi
teknologi, kami kini dipanggil
Untuk menggarap
tahun-tahun kemerdekaan
Dan mencintai
manusianya
Mencintai
kebebasannya.
1963
1963
Pekalongan Lima Sore
Kleneng bel beca
Debu aspal
panggang
Sangar jalan
pelabuhan
Terik kota pesisir
Tik-tik
persneling Raleigh
Bungkus sarung
palekat
Sungai kuning
coklat
Nyanyi rumah
yatim
Pejaja es lilin
Riuh Kampung Arab
Jembatan loji
karatan
Genteng rumah
pegadaian
Keringat pasar
sepi
Kumis Raj Kapoor
Sengangar lilin
batik
Deru pabrik tenun
Bal-balan Bong
Cina
Harum tauto Tjarlam
Sirup kopyor
dingin
Gorengan kuali
tahu
Percikan minyak
kelapa
Sisa bungkus megono
Panas teh melati
Tik-tok kuda
dokar
Dengung DKW
Hummel
Peluit sepur
bomel
Klakson Debu
Revolusi.
1961
1961
Adalah Bel Kecil di Jendela
Sebuah bel kecil
tergantung di jendela
Di bulan Juni
Berkelining sepi
Daun asam dan cericit burung gereja
Daun asam dan cericit burung gereja
Keletak kuda
andong-andong Yogya
Kota tua
membentang dalam debu
Sepanjang gang
ditaburnya sunyi itu
Sebuah bel kecil tergantung di jendela
Sebuah bel kecil tergantung di jendela
Di bulan Juli
Berke-
li-
ning
Sepi.
1965
Sepi.
1965
Beberapa pilihan puisi Taufiq Ismail dalam Tirani
Sebuah Jaket Berlumur Darah
Sebuah jaket
berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
Pesan itu telah sampai ke mana-mana
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
Pesan itu telah sampai ke mana-mana
Melalui kendaraan
yang melintas
Abang-abang beca,
kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan
di atap bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah
ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN
PERJUANGAN!
1966
1966
Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah
malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
‘Ini dari kami bertiga
‘Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada
karangan bunga
Sebab kami ikut
berduka
Bagi kakak yang
ditembak mati
Siang tadi.’
1966
1966
Dari Catatan Seorang Demonstran
Inilah peperangan
Tanpa jenderal,
tanpa senapan
Pada hari-hari
yang mendung
Bahkan tanpa
harapan
Di sinilah keberanian diuji
Di sinilah keberanian diuji
Kebenaran dicoba
dihancurkan
Pada hari-hari
berkabung
Di depan
menghadang ribuan lawan.
1966
1966
Depan Sekretariat Negara
Setelah korban
diusung
Tergesa-gesa
Ke luar jalanan
Kami semua menyanyi
Kami semua menyanyi
‘Gugur Bunga’
Perlahan-lahan
Perajurit ini
Perajurit ini
Membuka baretnya
Airmata tak
tertahan
Di puncak Gayatri
Di puncak Gayatri
Menunduklah
bendera
Di belakangnya
segumpal awan.
1966
1966
Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya
“Tadi siang ada yang mati,
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan dalam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil
“Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutan!”
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saya
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju kami, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.
1966
Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini
Tidak ada pilihan
lain. Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti
atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian
tanpa harga
Akan maukah kita
duduk satu meja
Dengan para
pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap
kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku?”
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah
manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan
tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah
berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir,
gunung api, kutuk dan hama
Dan
bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak
punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu
pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus.
1966
1966
Arithmatik Sederhana
Menyimak
Adham Arsyad
Selama ini kita selalu
Ragu-ragu
Dan berkata:
Dua tambah dua
Mudah-mudahan sama dengan empat.
1966
Selama ini kita selalu
Ragu-ragu
Dan berkata:
Dua tambah dua
Mudah-mudahan sama dengan empat.
1966
Beberapa pilihan puisi Taufiq Ismail dalam Benteng
Benteng
Sesudah siang
panas yang meletihkan
Sehabis
tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas
Dan kita kembali
ke kampus ini berlindung
Bersandar dan
berbaring, ada yang merenung
Di lantai bungkus nasi bertebaran
Di lantai bungkus nasi bertebaran
Dari para
dermawan tidak dikenal
Kulit duku dan
pecahan kulit rambutan
Lewatlah di
samping Kontingen Bandung
Ada yang berjaket
Bogor. Mereka dari mana-mana
Semuanya kumal,
semuanya tak bicara
Tapi kita tidak
akan terpatahkan
Oleh seribu
senjata dan seribu tiran
Tak sempat lagi kita pikirkan
Tak sempat lagi kita pikirkan
Keperluan-keperluan
kecil seharian
Studi,
kamar-tumpangan dan percintaan
Kita tak tahu apa
yang akan terjadi sebentar malam
Kita mesti siap
saban waktu, siap saban jam.
1966
1966
Dari Ibu Seorang Demonstran
“Ibu telah
merelakan kalian
Untuk berangkat
demonstrasi
Karena kalian
pergi menyempurnakan
Kemerdekaan
negeri ini
Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
Atau gas airmata
Tapi langsung
peluru tajam
Tapi itulah yang
dihadapi
Ayah kalian almarhum
Delapan belas
tahun yang lalu
Pergilah pergi, setiap pagi
Pergilah pergi, setiap pagi
Setelah dahi dan
pipi kalian
Ibu ciumi
Mungkin ini
pelukan penghabisan
(Ibu itu menyeka
sudut matanya)
Tapi ingatlah, sekali lagi
Tapi ingatlah, sekali lagi
Jika logam itu
memang memuat nama kalian
(Ibu itu tersedu
sesaat)
Ibu relakan
Ibu relakan
Tapi jangan di
saat terakhir
Kauteriakkan
kebencian
Atau dendam
kesumat
Pada seseorang
Walaupun betapa
zalimnya
Orang itu
Niatkanlah
menegakkan kalimah Allah
Di atas bumi kita
ini
Sebelum kalian
melangkah setiap pagi
Sunyi dari dendam
dan kebencian
Kemudian lafazkan
kesaksian pada Tuhan
Serta Rasul kita
yang tercinta
Pergilah pergi
Pergilah pergi
Iwan, Ida dan
Hadi
Pergilah pergi
Pagi ini.
(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta
(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta
Beberapa saat
tangannya meraba rambut mereka
Dan berangkatlah
mereka bertiga
Tanpa menoleh
lagi, tanpa kata-kata).
1966
1966
Memang Selalu Demikian, Hadi
Setiap perjuangan
selalu melahirkan
Sejumlah
pengkhianat dan para penjilat
Jangan kau gusar,
Hadi
Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita
Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita
Pada kaum yang
bimbang menghadapi gelombang
Jangan kau
kecewa, Hadi
Setiap perjuangan yang akan menang
Setiap perjuangan yang akan menang
Selalu
mendatangkan pahlawan jadi-jadian
Dan para jagoan
kesiangan
Memang demikianlah halnya, Hadi.
1966
Memang demikianlah halnya, Hadi.
1966
Beberapa Urusan Kita
Tentang nasib
angkatan ini
Itu adalah urusan
sejarah
Tapi tentang
menegakkan kebenaran
Itu urusan kita
Apakah cuaca akan cemas di atas
Hingga selalu kita bernaung mendung
Apakah jantung kita masih berdegup kencang
Dan barisan kita selalu bukit-batu-karang?
Berjagalah terus. Berjagalah!
Siang kita bila berlucut laras senapan
Malam kita bila terancam penyergapan
Berjagalah terus. Berjagalah!
Mungkin kita tak akan melihat hari nanti
Mungkin tidak kau. Tidak aku. Siapa bisa tahu
Tapi itu urusan Tuhan
Masalah kemenangan, ketenteraman tanpa tiran
Tentang nasib angkatan ini
Apakah cuaca akan cemas di atas
Hingga selalu kita bernaung mendung
Apakah jantung kita masih berdegup kencang
Dan barisan kita selalu bukit-batu-karang?
Berjagalah terus. Berjagalah!
Siang kita bila berlucut laras senapan
Malam kita bila terancam penyergapan
Berjagalah terus. Berjagalah!
Mungkin kita tak akan melihat hari nanti
Mungkin tidak kau. Tidak aku. Siapa bisa tahu
Tapi itu urusan Tuhan
Masalah kemenangan, ketenteraman tanpa tiran
Tentang nasib angkatan ini
Itu urusan
sejarah
Tetapi tentang
menegakkan kebenaran
Itu urusan kita.
1966
1966
Refleksi Seorang Pejuang Tua
Tentara rakyat
telah melucuti Kebatilan
Setelah mereka
menyimak deru sejarah
Dalam regu
perkasa mulailah melangkah
Karena perjuangan
pada hari-hari ini
Adalah perjuangan
dari kalbu yang murni
Belum pernah
kesatuan terasa begini eratnya
Kecuali dua puluh
tahun yang lalu
Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnya
Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnya
Pelajar muda berlarian
ke jalan-jalan raya
Mereka kembali
menyeru-nyeru
Nama kau,
Kemerdekaan
Seperti dua puluh
tahun yang lalu
Spiral sejarah telah mengantarkan kita
Spiral sejarah telah mengantarkan kita
Pada titik ini
Tak ada seorang
pun tiran
Sanggup di tengah
jalan mengangkat tangan
Dan berseru: Berhenti!
Tidak ada. Dan kalau pun ada
Tidak ada. Dan kalau pun ada
Tidak bisa
Karena perjuangan pada hari-hari ini
Karena perjuangan pada hari-hari ini
Adalah perjuangan
dimulai dari sunyi
Belum pernah
kesatuan terasa begini eratnya
Kecuali duapuluh
tahun yang lalu.
1966
1966
Tentang Taufiq Ismail
(Baca biodata Taufiq Ismail di
sini http://taufiqismail.com/tentang-taufiq-ismail).
Taufik Ismail dilahirkan di
Bukittinggi, 25 Juni 1935 dan dibesarkan di Pekalongan, ia tumbuh dalam
keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi
sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan
ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi
cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya
usaha ternak. Semasa kuliah aktif sebagai Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI
(1960-1961) dan WaKa Dewan Mahasiswa UI (1961-1962). Di Bogor pernah jadi guru
di SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis, juga mengajar di IPB. Karena
menandatangani Manifesto Kebudayaan, gagal melanjutkan studi manajemen
peternakan di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian
Bogor. Ia menulis di berbagai media, jadi wartawan, salah seorang pendiri
Horison (1966), ikut mendirikan DKJ dan jadi pimpinannya, Pj. Direktur TIM,
Rektor LPKJ dan Manajer Hubungan Luar Unilever. Penerima beasiswa AFS
International Scholarship, sejak 1958 aktif di AFS Indonesia, menjabat sebagai
Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar
antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak 1957) telah mengirim 1700 siswa ke 15
negara dan menerima 1600 siswa asing di sini. Taufiq terpilih menjadi anggota
Board of Trustees AFSIS di New York, 1974-1976.
Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan '66
oleh Hans Bague Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses
penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi
Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim
Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara
Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna,
Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain. Banyak puisinya dinyanyikan
Himpunan Musik Bimbo, pimpinan Samsudin Hardjakusumah, atau sebaliknya ia
menulis lirik buat mereka dalam kerja sama. Iapun menulis lirik buat Chrisye,
Yan Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok Harahap. Menurutnya kerja sama
semacam ini penting agar jangkauan publik puisi lebih luas.
Taufiq sering membaca puisi di depan umum. Di luar
negeri, ia telah baca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota
Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Baginya, puisi baru
‘memperoleh tubuh yang lengkap’ jika setelah ditulis, dibaca di depan orang.
Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para
pejuang yang dibuang VOC ke Afrika Selatan tiga abad sebelumnya, di 3 tempat di
Cape Town (1993), saat apartheid baru dibongkar. Pada Agustus 1994 membaca
puisi tentang Laksamana Cheng Ho di masjid kampung kelahiran penjelajah samudra
legendaris itu di Yunan, RRC, yang dibacakan juga terjemahan Mandarinnya oleh
Chan Maw Yoh.
Bosan dengan kecenderungan puisi Indonesia yang
terlalu serius, di awal 1970-an menggarap humor dalam puisinya. Sentuhan humor
terasa terutama dalam puisi berkabar atau narasinya. Mungkin dalam hal ini
tiada teman baginya di Indonesia. Antologi puisinya berjudul Rendez-Vous
diterbitkan di Rusia dalam terjemahan Victor Pogadaev dan dengan ilustrasi oleh
Aris Aziz dari Malaysia(Rendez-Vous. Puisi Pilihan Taufiq Ismail. Moskow:
Humanitary, 2004.)
Mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah (1970),
Cultural Visit Award Pemerintah Australia (1977), South East Asia Write Award
dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994).
Dua kali ia menjadi penyair tamu di Universitas Iowa, Amerika Serikat
(1971-1972 dan 1991-1992), lalu pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kuala Lumpur (1993).
Lain-lain
Taufiq Ismail memberi kata pengantar di buku ini
dan dijudulinya Sehabis Jam Malam di
Setasiun Gambir. Dibuka dengan pernyataan ini: Puisi-puisi dalam buku ini saya tulis dalam masa sekitar 6 tahun,
antara 1960 dan 1966 di Pekalongan, Bogor, Yogya dan Jakarta. Yang ditulis pada
hari-hari demonstrasi 1966 disiarkan dalam Tirani dan Benteng, sedangkan puisi-puisi
sebelumnya tidak seluruhnya pernah dipublikasikan.
Dikatakan bahwa Tirani telah 3 kali terbit, mula-mula dalam bentuk mimeograf atau
stensil. Pertama oleh Gema Psychologi Universitas Indonesia (masih dengan nama
samaran Nur Fadjar), cetakan 2 oleh Pengurus Besar Peladjar Islam Indonesia
(PII) dan ketiga oleh Biro Penerangan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI)
Pusat. Adapun Benteng dua kali
terbit, pertama oleh Gema Psychologi kemudian oleh Penerbit Faset.
Meskipun bicara ke mana-mana, saya pikir
Sehabis Jam Malam di Setasiun Gambir bicara tentang peristiwa kehilangan
bungkusan batik dan ransel yang juga berisi naskah puisi tulisan tangan Taufiq
Ismail. Hari-hari demonstrasi telah memberinya banyak inspirasi dalam menulis
puisi, setumpuk puisi itu dikumpulkan dalam sebuah map. Al kisah, penulis
bercerita, salah satu tempat berkumpul menjelang atau sesudah demonstasi adalah
di Fakultas Psikologi UI, yang terletak di Jalan Diponegoro, seberang Rumah
Sakit. Penulis dikatakan biasanya jalan bersama Arief Budiman (Soe Hok Djin),
DA Peransi, Salim Said, dll. Suatu saat terlihatlah setumpuk puisi tersebut.
Ditulis oleh pengarang sebagai berikut: “Sejumlah
puisi tulisan tangan saya baru selesai saya ketik dan nampak oleh Arief
Budiman. Dia senang sekali membacanya. “Hei Fiq, biar aku terbitkan
puisi-puisimu ini, ” bujuknya. “Tunggu dulu, “jawab saya “jangan cepat-cepat.
Biar aku endapkan dulu dan aku biasanya revisi. Ini kan ditulis masih seperti
snapshot saja, belum diamplas. Belum sempat dihaluskan. Biar aku bawa dulu ke
Pekalongan. Besok aku mau pulang ambil batik dagangan.” Arief tidak mau
melepaskan puisi-puisi saya itu dari tangannya. Dia berkeras menerbitkannya
sebagai edisi khusus majalah Gema Psychologi. Akhirnya saya mengalah. Saya
tidak tahu bahwa paksaan Arief ini membawa hikmah yang luar biasa.”
Dan demikianlah, setumpuk puisi Taufik Ismail raib ketika sedang tawar
menawar becak di Setasiun Gambir sepulang mengambil batik dagangan di
Pekalongan. Sebagian yang terselamatkan adalah yang sempat terketik dan
dirampas pula oleh Arief Budiman. Taufik menulis begini: Jadi, empat puluh puisi yang anda baca di buku yang anda pegang ini
dalam Tirani dan Benteng, adalah yang ‘dirampas’ Arief dari tangan saya di lobi
Fakultas Psikologi itu. Inilah jasa besar Arief pada kesusastraan Indonesia.
Saya sangat berterima kasih kepada sahabat saya ini dan kekurangan kata-kata
untuk mengucapkannya!.
Saya temukan buku Tirani dan Benteng
di rak buku Y.S. Agus Suseno. Sesungguhnya puisi-puisi dalam buku ini mengembalikan
ingatan saya ke zaman sekolah dulu. Di buku-buku pelajaran sekolah banyak
bertebaran puisi-puisi Taufiq Ismail. Apalagi saat membicarakan penyair
angkatan ‘66. Penyair inilah yang disebut-sebut sebagai pelopornya. Meskipun
dikatakan bahwa itu merisaukan. Sebab label ini dapat membunuh kreatifitas. Perjalanan
penyair ini di masa tuanya tak selalu mulus, ia banyak punya “musuh”, terutama
sejak menulis buku putih bersama D.S. Moeljanto dan berada di barisan depan
penentang Gerakan Syahwat Merdeka. Terakhir dia dituduh menulis puisi plagiat
namun ujian itu pun bisa dilewatinya. Kesibukan terkini penyair ini saya kira,
berkutat di sekitar upaya-upaya untuk menggalakkan melek baca buku sastra di
kalangan pelajar. Beliau juga mendirikan dan mengelola Rumah Puisi di tanah kelahirannya, Sumatera Barat.
Oya, terkait banyaknya foto itu buku itu, Taufik Ismail menulis begini: “Visualisasi demonstrasi 1966 dan puisi saya
saling memperkaya. Foto itu tidak harus menerang-jelaskan puisi di sebelahnya,
dan puisi itu bukanlah pula bertugas sebagai teks gambar tersebut.
Masing-masing berdiri sendiri, tapi tolong dengarkan meraka bercakap
bersahut-sahutan, mungkin lirih dan mungkin juga gemuruh. Mereka sama-sama
berteriak memanggil atau barangkali berduet menyanyi. Mereka memang lahir pada
masa yang bersamaan. Dan menyaksikan zaman itu.” Jakarta, 19 Desember 1992.
Pungkas penyair yang kini kerap terlihat berpeci dalam penampilannya.
Salam kenal,
BalasHapusPuisi adalah untaian kata penuh makna
Saya adalah pecinta puisi tapi saya belum bisa menciptakan puisi yang baik dan indah :D
BalasHapusSalam kenal, puisi yang baik dan indah itu adalah puisi yang kita bisa merindunya. Suatu saat pasti kesampaian juga jika berusaha terus. Tapi, bukankah hidup yang baik dan penuh cinta adalah puisi juga...
HapusTerima kasih, :)Puisi adalah kita ya? Heheh
BalasHapusYa, kita. Semakin kita menyelami kata, semakin tergali keindahan diri kita.
HapusTerima kasih sudah berbagi informasi menarik dan bermanfaatnya
BalasHapusTetap semangat untuk share info yang lainnya!!!!
Mantab kali bah
BalasHapus