Laman

Tonggak

Jumat, 07 Desember 2012

Nur Wahida Idris: MATA AIR AKAR POHON



Data buku kumpulan puisi

Judul : Mata Air Akar Pohon
Penulis : Nur Wahida Idris
Cetakan : I, April 2008
Penerbit : [Sic], Yogyakarta.
Penyunting : Saut Situmorang
Tebal : 96 halaman (51 puisi)
ISBN : 978-979-168493-6
Gambar sampul : Abu Bakar
Rancang sampul : Nur Wahida Idris
Lay out : Adi Samawa        

Beberapa pilihan puisi Nur Wahida Idris dalam Mata Air Akar Pohon

Aku Sedang Tidak Meludahi Diri Sendiri

aku sedang tidak meludahi diri sendiri!
bila langit berubah perangai
di mana kakiku mesti berjejak
agar tanah tak salah tuju
mengalirkan mata air

aku hanya tahu musim tak berkaki
menawan angin dalam tubuhku
biar jinak kehendak sendiri oleh waktu
yang tak tentu mengubah wujudnya di mulutku

si kucing liar! serumu
sambil mengeong di ujung lidahku
lalu melompat geram di jejak kaki
mengendus langkahku yang pincang

aku sedang tidak meludahi diri sendiri
kaislah bau tubuhku
bagai kutuk abadi di jalan kini dan masa lalu
yang terus menanti

Yogya, Oktober 2003



Penari
: desak putu kari

memang akhirnya kami kembali
dan berkumpul di carangsari...

tubuh penariku
melemparkan bunga tumbal
ke asap dan air yang berpusar
di dasar takdir aku menari
kuserahkan kaki dan tangan ke dalam ruhmu
tapi mata dan ruh yang bergerak
menemu senyap cahaya di rahimku

duh ratu,
gending tangis anak-anak berdesingan
menabuh gamelan di ubun-ubun merah
dikeraskan darah kering ayah mereka
sedang aku,
terus berpusar di tarian maut ini!

aku ibu yang menari tanpa bunga dan air suci
bintang-bintang yang sembunyi
di lelap mata anakku
memercik duri-duri cahaya
membakar mahkota bunga
di kening mereka

di carangsari...
memang akhirnya kita bertemu

langit memutih
membuat bayangan menjadi abu
darah menggenang di kening berlubang
dan hari-hari menguning di pelukan kami

miri-sawit, juli 2004


Khotbah

riwayat dosa selalu menguntit
keingintahuan yang ragu
mengekalkan ketidaktahuanku

jumat kekal di hari-hari naif
buah tangan matang
sebelum kupersembahkan
buat makan malamku yang sendiri
mengunyah mimpi manisku

kenyataan di sekitarku redup
di mata orang-orang merajah bintang
dan sebak nafasnya
melicinkan lidah, senyap gerit di perutku

wahai bayang di cermin
yang lantas tak berwajah
gairah disucikan untuk tak meraba
berikan seteguk madu
untuk orang-orang suci melenggang
di jalanku yang sesat

miri-sawit, november 2005


Turun dari Dieng

ketika malam naik
kami turun dari dieng
jurang-jurang benderang
tapi tatahan di batu berlumut
mengirim kabut ke lembah-lembah

kami lupakan asap dupa
yang mengeraskan altar
terusir dari dataran dingin penjinak kabut
dan bersitegang dengan maut

kami berlima bagai segerombolan
makhluk ganjil yang naas
saut moksa di tikungan
tan, dal, dan juha
sepanjang jalan tak henti meniup dupa
dan bunga yang berguguran

di batas jalan yang dikeramatkan
kami hentakkan kaki yang membatu
dan sebagian keropos
tersentaklah ruh para pendeta
yang terikat di pohon-pohon
candi-candi melayang
bersama saut yang menjelma jadi pendeta
dan mantra-mantra tertatah
di batu lontaran lahar dan kata-kata

banjarnegara-sawit, 2004-2005


Keinginan

aku biarkan diriku
menemuimu petang ini
kubiarkan musuh-musuh dalam diriku
menggiring kuda-kudanya
ke padang rumput berwarna merah
            - cahaya mataku yang merana
                        dan udara bergetar di atas rumputan

kau mungkin mengenang
lambaian tangan dan pesan-pesan
agar berkabar setelah sampai tujuan,
lalu aku mengenang kelam jalan-jalan

adakah kau siap-siaga mengintai debar jiwaku
            yang kehilangan
            dan selalu berhasrat menghukumku?

kau menemuiku bagai cahaya yang melesat
seketika alam di sekitarku padam
aku telah kehilangan waktu
untuk abai padamu

miri-sawit, juni 2005


Aroma Kopi di Kening Ibu

aroma kopi mengingatkanku pada kening ibu
menyangrai biji matanya, bagi hidupku yang terus nyala
pecah biji pelupuk
jadi arang menisik bibir ibu
biar diam segala cecap
lalu batu membungkus diri di lidahku

aroma dan angin saling meminang
biarkan aku tumbuh di keras keningmu
biar kucecap setiap ingatan sampai ke lubuk
lesung hitam kening ibu, menggerus ujung aluku
bertubi-tubi berhasrat sempurnakan jalan panjang kini
yang tak kutahu berujung di telunjukmu

ayak, ayaklah kini darah yang mengental
di simpang tubuhku
pilih, ibu, pilihlah kalimat sakit di kubur tidurku
biar pecah biji kopi di gelas piala
dan waktuku
pelupukmu yang terus berjaga

miri-sawit, oktober 2003


Loloan

apa yang dapat kukenang
dari kampung halaman
ayah yang murung di kamar
atau lambaian kain ibu
mengipas angin menarik layar

kampung kian mengecil
terhapus ombak di gigir sampan
ke mana tangis yang tadi beriak di antara kami
ah, hanyalah sekelebat bagian
yang minta jadi kenangan

kenangan hanya milik ayah dan para lelaki

kampungku tak pernah terasing
di negeri asing yang mengurungnya
dan kami bagai anak piatu
tak sempat mengenal suara ibu

senandung buaian selalu kami cari dari negeri yang jauh
dari pemilik ranah beribu
dan kami pun terbuai
bagai tangan kasih mengusap-usap keletihan
dari jejak diri yang mengabur

lalu aku meminjam senandung-senandung itu
bagai milikku sendiri
peninggalan nenek-moyang kami
yang saling bertukar tempat dan bersilang turunan

dan kubayangkan suara ibu bersenandung pelan
mendongengkan asal-usul leluhur dan tersebab kelahiranku
ah, kenangan
mengajakku menemui ibu

di maha luas gelombang yang saling bertepuk
dapatkah kucari kenangan tentang kampung halaman
yang tak lagi yatim-piatu

yogya, 2003


Stateless

hidup takkan pernah aman
kapan dan di mana pun
selamanya terancam bahaya
(umbu landu paranggi)

telah kupijak tanah subur
bagi sejarah kematianku

langit biru cerah
secerah warna biru kertas surat cinta
pertama dari kekasih
orang-orang berwajah kehijauan menyambutku
seperti kartu hijau yang kini menyidikku

dari mana asalku,
mengapa aku tiba di sini,
ke mana aku menuju,
apa saja kehendakku?

isi koperku
menyerap seribu wujud maut di setiap pintu
sapaan penjaga, petugas periksa dan alat rekam
bagi jalan-jalan gelap di tubuhku
lampu-lampu putus, kata-kata tanpa kartu,
jalan masuk tak tertera, tanpa surat jalan

di mana pun hidup
tak kan pernah aman,
satu masa memihak
lain tempat menolak

di mana pun berpijak
aksenku bersiap jadi tajuk interogasi
meretas garis edar sidik jari
ribuan mata menyamun wajah asingku
bahkan seekor lalat yang hinggap di pipi
menduga-duga aroma pa yang tercium

sebuah ruang transit
garis lingkar demarkasi
terus mengecil, setiap kusebut nama,
tujuan dan keinginan
menjadi kolam kutukan
yang bertahun mencelup kakiku
benda-benda sekeliling mencair
membuat air meluap jadi danau
menjadi lautan, sepi sekeliling ...

tapi jarak pandang hanya sebatas lengkung bumi
kapal-kapal besar, layar-layar megah
dan kibaran bendera bermunculan
lebih dalam tercelup ke punggung laut
menandai batas jalan air yang tak tersentuh tanganku

gerak gelombang memunculkan hurup-hurup
dari arus kecemasan, kekuasaan
kapalku hanya tinta yang memercik dari hurup-hurup itu
nama-nama mengambang di permukaan laut
dan berkibaran di ujung tiang kapal
menyeru arah mata angin – sebagian dari napas
yang kuhembuskan

laut dan daratan sama saja
kapal ditenggelamkan agar tak mencapai daratan
dan langit yang kupuja
imajinasi tersekat bayang-bayang diri yang menakutkan

kapan dan di mana pun
selalu dihadang bahaya,
maka kuikhlaskan tubuh ini
tak aman bagi setiap tanah
bagi setiap pijakan

kutolak bumi dan langit untuk yang fana
tapi setiap ingatan yang kumau dalam pikiranmu
menjadi tanah wakaf bagi hakekatku

miri-sawit, 2006 – maret 2008


Bulan Ketujuh
: chit ngiat pan

tiga ekor kerbau menyisir kota
tepat ketika malam sirap dalam gelap
mengintai lima palung sarang rangrang

yang ganjil
cahaya takluk di punggung legam
tiga pengintai, seekor bertanduk
mengendus hijau lalang, lebat miang
bagi arwah yang sedih
pulang tak berumah
gairah ranum tak berdaun

yang jalang lecut maut
mengubah jalan-jalan jadi sungai
gedung dan ruko-ruko mengambang bagai sampan
mengalir ke muara api ...

lima palung sarang rangrang
mengulum kabut bagi mula cahaya
memasang perangkap untuk maut
yang lengah menakar nasib
abai mata angin
dan hilang rasa pada waktu

aku sebuah palung
yang memasang jerat tujuh lubang rahasia
bagi mata nujum yang menjarah doa suci
walau lingkaran bulan makin ganjil
denyar cahaya menyepuh kata pahit
dan janji maut tak sanggup terucapkan

tiga ekor kerbau
menikung jalan ke arah kuil
mengarak rangrang sepenuh jalan kota
ke makam leluhur yang setengah hati
kuberi penghormatan

kini, cahaya bulan sepenggal
menjauh dari kota
menyihir yang tersedu jadi serbuk kayu
mengalir ke sungai-sungai dangkal

belinyu-sawit, agustus 2006

Chit ngiat pan adalah sembahyang arwah yang dilakukan di rumah masing-masing oleh masyarakat tionghoa, pada bulan ke tujuh hitungan tahun cina

Ketugtug

ketugtug, kampung hulu
kudengar sumur-sumur mulai dangkal
dan gemerincing uang logam
jadi hiasan kalung bidak catur

kampung hulu, derak gerobak perempuan yang berjaga
bunda malam yang riang dalam rinai
mengelus embun dengan syahdu

kini kudengar lagi jerit yang menggeretak
akar bambu terbakar, sungai lenyap dalam semalam
kampung ditinggalkan buaiannya
yang hendak menyelam rindu
ke mana pergi?
jembatan rubuh
hawa angin bersisik peluh
apakah hujan hendak berkabar?

sementara aku di sini
menunggu gerak angin
memulihkan mainan kenangan
berlayar di lautan daun musim gugur
menghalau gigil perahuku
menggapai tepi

miri-sawit, 2000


Tentang Nur Wahida Idris
Nur Wahida Idris lahir di Ketugtug, Loloan, Negara, Bali, 28 April 1976. puisi-puisi awalnya banyak muncul di rubrik “Apresiasi” Bali Post Minggu, di bawah asuhan Umbu Landu Paranggi (1994-2000). Tahun 1998 hijarah ke Yogyakarta, aktif di Komunitas Rumahlebah dan AKAR Indonesia. Menyelesaikan studi di jurusan kriya/tekstil, fakultas seni rupa , ISI Yogyakarta, 2007. puisinya dipublikasikan al Koran Tempo, Kompas, Suara Merdeka, Minggu Pagi, Bernas, majalah Horison, dll.  


Catatan Lain
Dalam pengantarnya, Nur Wahida Idris menyadari posisinya. Dia menulis begini: “Setidaknya yang membuat saya berbeda adalah keberadaan saya sebagai perempuan di tengah konstruksi sosial yang memang belum setara, maupun pengalaman yang berkaitan dengan alat reproduksi...” Baginya ini menjadi dasar untuk mencari perspektif, ungkapan dan bentuk pengucapan yang berbeda. Ia juga menengarai untuk tidak ingin ikut-ikutan merayakan wacana tertentu, baginya, persoalan apapun jika menjadi kegelisahan dan butuh dituliskan, maka dituliskanlah, dengan atau tanpa idiom, diksi dari wilayah domestik perempuan. Ia juga mencatat, bahwa ada yang beranggapan kehadiran atau pencapaian-pencapaian yang diusahakannya di dunia sastra karena faktor Raudal Tanjung Banua, sang suami. Bahkan ada yang berkomentar bahwa puisi-puisinya adalah puisi Raudal yang sengaja ditulis atas nama dia. Nur Wahida tentu saja meradang, ia merasa berada di posisi dilematis dalam struktur masyarakat yang patriarkis. Seharusnya, pasangan suami istri, yang memutuskan terjun di dunia penulisan kreatif, dapat dipandang sebagai sparring partner.  Oya, buku ini milik Hajri, saya mengusiknya dari rak bukunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar