Laman

Tonggak

Rabu, 02 Januari 2013

Toto Sudarto Bachtiar: ETSA



Data Kumpulan Puisi

Judul : Etsa
Penulis  : Toto Sudarto Bachtiar
Cetakan : III, 1976 (Cet. I, Jakarta 1958)
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Tebal : 48 halaman (40 puisi)
Gambar jilid : Popo Iskandar

Beberapa pilihan puisi Toto Sudarto Bachtiar dalam Etsa

Ode I

Kutanya, kalau sekarang aku harus berangkat
Kuberi pacarku peluk penghabisan yang berat
Aku besok bisa mati. Kemudian diam-diam
Aku mengendap di balik sendat kemerdekaan dan malam

Malam begini beku, di manakah tempat terindah
Buat hatiku yang terulur padamu megap dan megah
O, tanah
Tanahku yang baru terjaga

Malam begini sepi, di manakah tempat terbaik
Buat peluru pistol di balik baju cabik
O, tanah di mana mesra terpendam rindu
Kemerdekaan yang mengembara ke mana saja

Ingin aku menyanyi kecil, tahu betapa tersandarnya
Engkau pada pilar derita, megap nafasku di gang tua
Menuju kubu musuh di kota sana
Aku tak sempat hitung langkahku bagi jarak

Mungkin pacarku kan berpaling
Dari wajahku yang terpaku pada dinding
Tapi jam tua, betapa pelan detiknya kudengar juga
Di tengah malam yang begini beku

Teringat betapa pernyataan sangat tebalnya
Coretan-coretan merah pada tembok tua
Betapa lemahnya jari untuk memetik bedil
Membesarkan hatimu yang baru terjaga

Kalau sekarang aku harus pergi, aku hanya tahu
Kawan-kawanku akan terus maju
Tak berpaling dari kenangan pada dinding
O, tanah, di mana tempat yang terbaik buat hati dan jiwaku



Pusat

Serasa apa hidup yang terbaring mati
Memandang musim yang mengandung luka
Serasa apa kisah sebuah dunia terhenti
Padaku, tanpa bicara

Diri mengeras dalam kehidupan
Kehidupan mengeras dalam diri
Dataran pandang meluaskan padang senja
Hidupku dalam tiupan usia

Tinggal seluruh hidup tersekat
Dalam tangan dan kari-jari ini
Kata-kata yang bersayap bisa menari
Kata-kata yang pejuang tak mau mati


Au Revoir

Pada waktu itu, pada hati waktu
Yang mengandung gelita yang membatu
Burung hantu dan malam
Yang gelisah bagai serdam alam

Bersama kemerdekaan yang terus mengelana
Detik demi detik membebankan nasib dengan bencana
O, terasa nyaman mengenang jalan-jalan di luar penjara
Menajamkan sanggurdi bagi pemacu jalanan!


Etsa

Suara kasih dalam hati malam
Kian lincah, tapi kemudian membeku
Tanpa bulan, karena bulan beradu
Dan hatiku sendiri kian terbenam


Kawan

Biasanya dia berjalan malam-malam
Menggigil karena angin terlalu tajam
Orang-orang memandangnya dengan membelalak
Tapi aku tidak

Apa yang tak memikatnya sampai ke hati
Lampu dan bintang-bintang menyala tinggi
Matanya sayu membelai semua yang berjalan
Perempuan-perempuan, anak-anak berkejaran

Kalau malam putus asa tambah menurun
langkahnya pun bertambah berat berembun
Kadang-kadang dia berhenti, melihat padaku
Kami sama-sama tersenyum pahit pilu

Aku tak perlu tahu dia siapa
Tapi kami pernah sama mencintai malam
Aku dan dia tak ada bedanya
Hidup keras indah menari depan mata


Danau M
(untuk Bahar)

Serasa pernah kukenal gunung-gunung ini
Juga paras danau
Yang tepinya tak kelihatan
Sangat lajunya sekunar berkejaran

Burung-burung terbang siang hari
Air gemersik perlahan meninggalkan daunan
Ada daunan layu serba 'kan gugur
Yang dahannya langsing melentur-lentur

Semuanya mengacu padaku
Dan sampai pada jamahan tiada berupa
Hidupnya perasaanku pagi ini
Tapi hidupku tak hidup di sini


Jendela

Dulu kutengok lagi dari sana, mungkin kau datang
Kebetulan tirai tersingkap angin pagi yang lantang
Mengantar pipimu yang merah tersipu
Alangkah beratnya rindu

Pada jendela berdetik-detik air hujan
Kutahu pasti kau akan tiba
Tak usah memandangku penuh hiba
Aku ingin tahu apa aku bisa pergi selamanya

Tak usah juga engkau menampikku
Karena aku pun sedia pergi
Menuju arah di mana musim-musimnya bisu
Buat selamanya


Tegak

Antara ada dan tiada
Yang kutahu diriku hanya
Memandang lantun tertinggi hidup kita
Betapa juga pendeknya ...

Cinta, riah musim yang debar-debar jantungnya
Sangat tambah mesra ajakannya
Bersolek di atas cahaya matamu
Betapa sibuknya kupandang sekali

Juga alangkah sibuknya cinta dan kerja
Asyik menghitung satu dua tiga tiada habisnya
Tapi bisa terbengkalai sebab sepi yang datang
Antara ada dan tiada


Muka

Pada kaca jendela kulihat wajahku
Berat bersinar matinya yang akan tiba
Sangat dekat nafas usia, tapi tak teraba
Tapi aku betul tahu, dia memang wajahku


Tangan dalam Kelam

Tangan halus yang bisa merabaku dari jauh
Jadi tangan bisik yang mengulur belas padaku
Tangan mesra yang jari-jarinya sayang
Aku sangat rindu kepadanya

Kalau hidup mengandung neraka
Hendaklah hidupku ini saja
Tanpa hidup orang-orang lain yang baik
Yang tangannya jauh tak berdaya

Tangan halus yang bisa dari jauh cinta padaku
Cukup baik untuk memegangnya
Ah, dunia dosa
Aku kembali bermimpi tentangmu

Takut tanpa ujung karna hidup terlalu cinta
Jari-jariku ingin mengurai wajahnya
Tanpa kaku, tanpa terlena tidur
Karena kantuk semangatku jadi kendur

Tangan yang mengulur mesra kepadaku
Wahai dunia yang gaungnya kudengar
Apa arti jari-jari yang terkulai lapar
Biar dia melambai kepadaku


Jembatan Tua

Sudah begitu lama, masih juga aku lalu
Berapa banyak kaki telanjang dan bersepatu
Menggetarkan tangan-tangannya
Yang siang begitu menyala dan malam begitu biru

Bergandengan tangan kadang sepasang merpati
Melambatkan langkahnya dan kemudian berhenti
Waktu memandang ke bawah air bisu mengerdipkan matanya
Berlaksa mimpi menemukan matinya yang indah di sana

Awan yang lena terkaca di atasnya
Sarat mengandung muatan mendungku ini
Tergila-gila memang hatiku yang banyak meminta
Tanpa sebab, dalam terowongan perjalanan yang akan sebentar saja

Tetapi selalu, kalau aku di sana, aku mendengarnya
Suara yang tak habis-habisnya sampai
Kalau engkau sekali menjadi setuaku
Nasibmu mungkin lebih baik dari padaku


Tentang Toto Sudarto Bachtiar
Toto Sudarto Bachtiar lahir di Palimanan (Cirebon), 12 Oktober 1929. Pendidikan al, MULO dan SMA di Bandung, kemudian Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta. Pada waktu pecah perang kemerdekaan, ia bergabung dalam Tentara Pelajar Korps Pengawal Divisi Siliwangi di Tasikmalaya, dan pada waktu terjadi Clash ke-1 ia bergabung dengan Polisi Tentara Detasemen 132 Batalyon 13 di Cirebon. Pernah menjadi redaktur majalah Angkasa (milik AURI) sewaktu masih mahasiswa, juga menjadi redaktur majalah Menara di Jakarta, sebelum tahun 1964 turut mendirikan majalah Sunda di Bandung. Sajak-sajaknya mulai bermunculan tahun 1950-an, kebanyakan setelah tahun 1953. Sebagaian dikumpulkan dalam Suara (Kumpulan sajak 1950 - 1955), yang mengantarkan penyair ini memperoleh hadiah sastra nasional dari BMKN. Selain menulis sajak, juga menerjemahkan cerpen, emnulis esai kebudayaan, sastra dan politik.

Catatan Lain
Barangkali hanya ada dua sajak Toto Sudarto Bachtiar yang sekilas masih saya ingat dari ingatan masa-masa saya sekolah tempo lalu. Yang bunyinya semacam ini: Ia terbaring, tapi bukan tidur sayang dan Gadis kecil berkaleng kecil/senyumnya terlalu kekal untuk kenal duka. (Nanti akan saya cross-cek lagi, adakah puisi-puisi tersebut sempat saya tuliskan di buku tulisan tangan saya). Sepertinya dua puisi itu terdapat dalam kumpulan puisi Toto yang satu lagi, Suara. Buku ini (Etsa) tanpa kata pengantar sama sekali. Biografi penulis diletakkan di sampul belakang. Terus terang saya girang menemukan buku ini pertengahan desember lalu di perpustakaan provinsi. Entah muncul dari mana, sebelum-sebelumnya tak terlihat. Padahal di rak itu sudah saya teliti sebelumnya. Pertama seumur hidup saya menemukan buku puisi penyair yang selama ini hanya hidup dalam ingatan saja. Penyair, yang di buku-buku sekolah, disebut-sebut berada di bawah bayang-bayang Chairil Anwar. Sebelum membaca Etsa, kesan saya terhadap Toto Sudarto Bachtiar adalah ia seorang yang romantik. Namun setalah membaca Etsa, ada beberapa kata yang kerap muncul, yaitu malam. Pandangan-pandangan Toto, barangkali bisa dilacak dari keterpesonaan dan interpretasinya terhadap malam.

Aku tak perlu tahu dia siapa
Tapi kami pernah sama mencintai malam
Aku dan dia tak ada bedanya
Hidup keras indah menari depan mata
(dalam puisi Kawan)


Ketemu. Ternyata dua puisinya sempat saya tuliskan, yaitu Pahlawan tak Dikenal dan Gadis Peminta-minta. Berikut puisinya:

Pahlawan tak Dikenal

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur, sayang

Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 Nopember, hujan mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda


Gadis Peminta-minta

Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemanjaan riang

Duniamu yang lebih tinggi
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hapal
Jiwa begitu murni
Untuk bisa membagi dukamu

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar