Laman

Tonggak

Selasa, 04 Juni 2013

Amir Hamzah: NYANYI SUNYI



Data buku kumpulan puisi

Judul : Nyanyi Sunyi
Penulis : Amir Hamzah
Cetakan : XV, 2008 (XIV, 2004; terbit pertama 1941)
Penerbit : Dian Rakyat, Jakarta
Tebal : 30 halaman (24 judul puisi)
ISBN : 978-979-523-047-6
Hiasan Isi : Koespriyadi

Beberapa pilihan puisi Amir Hamzah dalam Nyanyi Sunyi     

Taman Dunia 

Kau masukkan aku kedalam taman-dunia, kekasihku!
Kaupimpin jariku, kautunjukkan bunga tertawa; kuntum tersenyum.
Kau tundukkan haluku tegak, mencium wangi tersembunyi sepi.
Kaugemelaikan di pipiku rindu daun beldu melunak lemah.
Tercengang aku, takjub, terdiam.
Berbisik engkau:            
"Taman swarga, taman swarga mutiara rupa".
Engkaupun lenyap.
Termanggu aku gilakan rupa.


Padamu Jua

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa


Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu - bukan giliranku
Mati hari - bukan kawanku...

           
Hanya Satu 

Timbul niat dalam kalbumu:
Terban hujan, ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk tamanmu rampak

Manusia kecil lintang pukang
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba

Teriak riuh redam terbelam
Dalam gagap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi

Terapung naik jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Bebas lepas lelang lapang
Ditengah gelisah, swara sentosa
                                
Bersemayam sempana di jemala gembala
Juriat jelita bapaku iberahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putera berlainan bonda.

Kini kami bertikai pangkai
Diantara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad

Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa dikau dekat rapat
Serupa musa dipuncak tursina.


Batu Belah 
(kabaran)            
                 
Dalam rimba rumah sebuah
Teratak bambu terlampau tua
Angin menyusup di lubang tepas
Bergulung naik di sudut sunyi.
           
Kayu tua membetul tinggi
Membukak puncak jauh diatas
Bagai perarakan melintas negeri
Payung menaung jemala raja

Ibu bapa beranak seorang
Manja bena terada-ada
Lagu lagak tiada disangkak
Mana tempat ibu meminta

Telur kemahang minta carikan
Untuk lauk di nasi sejuk

Tiada sayang;
Dalam rimba telur kemahang
Mana daya ibu mencari
Mana tempat ibu meminta

Anak lasak mengisak panjang
Menyabak merunta mengguling diri
Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa karena cinta

Dengar.........dengar !
Dari jauh suara sayup
Mengalun sampai memecah sepi
Menyata rupa mengasing kata

Rang... rang... rangkup
Rang... rang... rangkup
Batu belah batu bertangkup
Ngeri berbunyi berganda kali.

Diam ibu berpikir panjang
Lupa anak menangis hampir
Kalau begini susahnya hidup
Biar ditelan batu bertangkup

Kembali pula suara bergelora
Bagai ombak datang menampar
Macam sorak semarai rampai
Karena ada hati berbimbang

Menyahut ibu sambil tersedu
Melagu langsing suara susah:

Batu belah batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudah demikian kuperbuat janji

Bangkit bonda berjalan pelan
Tangis anak bertambah kuat
Rasa risau bermaharajalela
Mengangkat kaki melangkah cepat

Jauh ibu lenyap di mata
Timbul takut di hati kecil
Gelombang bimbang mengharu fikir
Berkata jiwa menanya bonda

Lekas pantas memburu ibu
Sambil tersedu rindu berseru
Dari sisi suara sampai
Suara raya batu bertangkup

Lompat ibu ke mulut batu
Besar terbuka menunggu mangsa
Tutup terkatup mulut ternganga
Berderak-derik tulang-belulang

Terbuka pula, merah basah
Mulut maut menunggu mangsa
Lapar lebar tercingah pangah
Meraung riang mengecap sedap

Tiba dara kecil sendu
Menangis pedih mencari ibu
Terlihat cerah darah merah
Mengerti hati bonda tiada

Melompat dara kecil sendu
Menurut hati menaruh rindu...

Batu belah, batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudah demikian kuperbuat janji.

                    
Doa 

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
        setelah menghalaukan panas terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung
        rasa menayang pikir, membawa angan kebawah kursimu.       
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam
        menyirak kelopak.             
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan
        cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku
        rayu!
               

Tetapi Aku

Tersapu sutera pigura
Dengan nilam hitam kelam
Berpadaman lentera alit
Beratus ribu diatas langit

Seketika sekejap mata
Segala ada menekan dada
Napas nipis berlindung guring
Mati suara dunia cahaya

Gugur badanku lemah
Mati api didalam hati
Terhenti dawai pesawat diriku
Tersungkum sujud mencium tanah

Cahaya suci riwarna pelangi
Harum sekuntum bunga rahsia
Menyinggung daku terhantar sunyi
Seperti hauri dengan kepaknya

Rupanya ia mutiara-jiwa-ku
Yang kuselami di lautan masa
Gewang canggainya menyentuh rindu
Tatapi aku tiada merasa ….


Insaf 
                          
Segala kupinta tiada kauberi
Segala kutanya tiada kausahuti
Butalah aku terdiri sendiri
Penuntun tiada memimpin jari
           
Maju mundur tiada terdaya
Sempit bumi dunia raya
Runtuh ripuk astana cuaca
Kureka gembira di lapangan dada

Buta tuli bisu kelu
Tertahan aku dimuka dewala
Tertegun aku di jalan buntu
Tertebas putus sutera sempana

Besar benar salah arahku
Hampir tertahan tumpah berkahmu
Hampir tertutup pintu restu
Gapura rahsia jalan bertemu

Insaf diriku dera durhaka
Gugur tersungkur merenang mata:
Samar terdengar suwara suwarni
Sapur melipur merindu temu


Hari Menuai

Lamanya sudah tiada bertemu
Tiada kedengaran suatu apa
Tiada tempat duduk bertanya
Tiada teman kawan beberita

Lipu aku diharu sendu
Samar sapur cuaca mata
Sesak sempit gelanggang dada
Senak terhentak raga kecewa

Hibuk mengamuk hati tergari
Melolong meraung menyentak rentak
Membuang merangsang segala petua
Tiada percaya pada siapa

Insaf aku
Bukan ini perbuatan kekasihku
Tiada mungkin reka tangannya
Karena cinta tiada mendera

Kutilik diriku kuselam tahunku
Timbul terasa terpancar terang
Istimewa lama merekah terang
Merona rawan membuang sedan

Tahu aku
Kini hari menuai api
Mengetam ancam membelam redam
Ditulis dilukis jari tanganku


Sebab Dikau 

Kasihkan hidup sebab dikau
Segala kuntum mengoyak kepak
Membunga cinta dalam hatiku
Mewangi sari dalam jantungku
               
Hidup seperti mimpi
Laku lakon di layar terkelar
Aku pemimpi lagi penari
Sedar siuman bertukar-tukar
               
Maka merupa di datar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut mengikut
Dua sukma esa - mesra

Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang
                                                         
Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyenang dalang mengarak sajak.


Hanyut Aku

Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati,
         tiada air menolak ngelak.
Dahagaku kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku
         sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam.
Tenggelam dalam malam.
Air diatas mendidih keras.
Bumi dibawah menolak keatas.
Mati aku, kekasihku, mati aku!



Tentang Amir Hamzah
Nama lengkapnya, Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera, lahir dalam lingkungan bangsawan Kesultanan Langkat, Sumatera Timur, pada 28 Februari 1911. Meninggal di Kuala Begumit pada 20 Maret 1946 dalam umur 35 tahun dalam sebuah revolusi sosial Sumatera Timur. Dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Ia bersekolah menengah dan tinggal di jawa saat pergerakan kemerdekaan. Tahun 1933 mendirikan majalah Pujangga baru bersama Armijn Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana. Kumpulan puisinya adalah Nyanyi Sunyi (1941) dan Buah Rindu (1937). Ia juga menerjemahkan Stanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933) dan Syirul Asyar (tanpa tahun). Ada yang mencatat ia meninggalkan 160 karya, terdiri dari 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli, dan 1 prosa terjemahan

Catatan Lain
Buku ini kubeli hari Jumat, 24 Mei 2013, di tempat Zian di Jl. Belakang Mesjid Jami, Gg. Syukuri, Banjarmasin, tepat sebelum Jum’atan. Dan untuk pertama kalinya saya pergi Jum’atan di Mesjid Jami. Buku ini, rasa dulu, sewaktu SMP pernah kupinjam dari perpustakaan sekolah dan kufotocopy di monita, Banjarbaru. Tapi tak tahu di mana copy-annya sekarang. Dan salah satu puisi yang aku suka dan mendekap dalam diriku bertahun-tahun lamanya adalah Batu Belah .
     
Batu belah batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudah demikian kuperbuat janji

Bait itu selalu menghantui saya. 

Oya, buku ini tak memiliki daftar isi, tak ada biodata penyairnya. Diapit oleh ungkapan puitis:
Bagian awal:

Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus

Dan diakhiri:

Sunting sanggul melayah rendah
Sekaki sajak seni sedih

Jakarta Raya 1937

6 komentar:

  1. hehe.. makasih sdh berkunjung ke rumah pak. :)
    btw, kenapa puisi itu jd terus mendekap pak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, jangan kapok Zian. Kenapa? Ga tau juga, mungkin takjud aja karena ada puisi yang berkisah tentang ibu yang masuk ke dalam batu dan berdarah-darah. Itu imajinasi yang luar biasa bagi saya yang (waktu itu) masih polos. Hehe...

      Hapus
    2. itu cerita batu belah batu bertangkup.

      ada ditulis sebagai sastera rakyat.

      apa pun terima kasih atas puisinya.

      Hapus
  2. Puisi dalam buku itu yg paling tua yg mana? Judulnya apa dan ditulis kapan?
    Terima kasih

    BalasHapus
  3. Kumpulan puisi yang begitu indah
    (Wisnu Murti,https://tulisandenpasar.blogspot.com)

    BalasHapus