Laman

Tonggak

Senin, 02 September 2013

Kulsum Belgis: MANTRA RINDU


Data buku kumpulan puisi

Judul : Mantra Rindu
Penulis : Kulsum Belgis
Cetakan : I, Januari 2012
Penerbit : mingguraya Press, Banjarbaru.
Tebal : viii + 132 halaman (115 puisi)
ISBN: 978-602-98970-7-4
Editor: H. E. Benyamine
Desain sampul: Harie Insani Putra
Ilustrasi sampul: Zian Armie Wahyufi
Desain isi: Indrian Koto

Beberapa pilihan puisi Kulsum Belgis dalam Mantra Rindu

Memetik Daun Surga

bersamamu kulalui lebih dari seribu malam, bertasbih di
gemerlap bintang dan berkaca di merah bulan, meski telah
kuutus angin memetik daun surga tuk menyeka air mata
namun tak mampu kubendung hujan duri timbulkan perih di
kulit ari, kau laksana malaikat maut yang telah menancapkan
nasibku di genggaman pasir panas

Martapura, Maret 2011


Seruni

seberapa pantas jiwa dicintai, hingga lembah hati menggema,
alam keindahan seruni, mari mengkaji senyuman, atau
menghitung berapa banyak sayap capung menukik ujung
embun, seberapa pantas jiwa berjanji sampai pelupuk mata,
rapat tutup bias warna

Martapura, Maret 2011



Kasidah Cinta

rentak jiwa dalam irama
kasidah cinta mengalun
lewat gesekan ujung daun

datanglah kekasih
meski sayap malam memeluk bumi
telah aku singkap tirai hati
menyambut senyum rindu

Martapura,April 2011


Imajinasi

Kupahat langit dengan ujung angin
Gambar lentik matamu bersatu di kelip bintang
Cinta lunglai tersiram rayuan
Kupasrahkan seluruh hati pada garis senyum

Cintaku teramat gelora
Rentak berontak buhul pengikat
Aku telah gelap mata batin
Khayal meraja rejam jiwa

Kan kujemput paksa ragamu
Meski kau di lingkup langit
Perih rindu pecut hasratku
Biarkan aku tetap berandai

Hingga hangus nadiku
Di buncah bara aku tak ngeri
Ketakutanku hanya satu
Bila aku terbangun dari lelap
Maka selesailah mimpiku

Sedang cinta masih panas gelora
Aku tak akan menghentikan
Imajinasiku di pahatan langit
Tetap kulukis sosokmu

Martapura,24 April 2011


Liar

gelisahku mencari embun senja
di untai daun kelakai
jalan setapak berpagar kali kecil
gemericik liukan tubuh ikan dalam tampirai
hingga senja berpayung gerimis
petik bunga liar untuk menyunting rambutku

embun tak jelas dalam tatap
iringan langkah semakin jauh
telusuri hijau batang batang padi
gelisahku puncak kebimbangan
mengartikan sebait syairmu
adakah tangkai padi itu kau

perasaanku semakin liar
terbang terawang goyang
kembang kembang ilalang
harap kepastian satu kata
nyatakan setia pada hari dalam janji
aku menanti

Martapura, 07 April 2011


Amanat

kutulis amanat
pada ribuan bintang
jangan lagi kau mengingatku
sebab malam telah larut
bersegeralah kau bujuk selimut
untuk menghangatkan
mimpi indahmu

biarkan kuhabiskan malam ini
dengan segelas kerinduan

Martapura, April 2011


Rumah Bunga

Kutulis puisi cinta di luruh daun kemuning
Biarkan angin membaca bait sajak
Kepak camar berpasir hitam
Aku telah letih bersuara pekikan
hasrat di sajak cinta
karna kekasihku telah pergi
memasuki rumah bunga aneka warna

Dia telah disuguhkan madu bercawan emas
Dan kekasihku terlelap di bantal
Berseprai sutra ungu
Aku menangisi ujung jemari
Berlingkar cincin berlian

Tak berharap tirai cintaku terkuak
karna kekasihku telah pergi
Memasuki rumah bunga warna warni

Martapura, 06 April 2011


Telaga Mata

Aku mengetuk pintu malam dengan jemari rindu, nyanyian
angin desah nafas lepas di kembara hati sunyi, kucari nada
suara di jemari hujan dalam tarian malam, ah bulan tak
menoreh langit malam ini, bintang begitu enggan menyapa
putik embun, hatiku teramat sunyi.

Lalu kutanya malam alam mimpi mana yang akan kumasuki,
sebab semua telah kuimpikan di telaga mata berair, letihku
telah mencakupi lembah hati.

Martapura, April 2011


Topeng Luka Berwarna Pekat

Kau hampar kenangan kita dalam manis cinta belia, anganku
menuntun bayanganmu dalam irama rindu panjang, meski
kisah kita tak jelas di ujung langit, namun aroma angin
hembuskan harum masa lalu, ah aku merindukan jalan
perapatan Cihanjuang.

Jangan paksa aku memilih dua pilihan, sebab aku akan goyah di
semua sisi, biarkan kunikmati malam dengan keheningannya,
bukankah kau tahu keceriaan tawaku topeng luka berwarna
pekat, kemesraan yang kau semai runcing ujung duri, mataku
telah kering tak bertelaga keteduhan hati utusan hari dalam
pertahanan benteng kesabaran, lalu sampai kapan aku
menjunjung janji di patah tawa ini.

Martapura, April 2011


Diskusi
(: Ali Syamdusin Arsi)

Lipatan daun merekat di runcing lidi
bungkus paisan hati diam berbumbu
rempah argumentasi

Sebelum matahari menutup sayap
aku masih setia mendengar perdebatan
kritik saran seru derai tawa ketegangan
hilang di merah daging semangka
kilatan pijar semburat dari camera
menggambarkan warna jiwa kita

Aku menghapus keringat
dengan ujung kerudung kuning
tatkala rumah sastra
membanjiri syair dan puisi bungkam jiwa

Aku belum beranjak dari diskusi ini
sebab jawab belum tergenggam
kembali kubuka lipatan daun
merekat di runcing lidi
manis isi kebersamaan
dalam diskusi panjang

Martapura,17 April 2011


Bulan Tembaga

kalau hanya berpegang pada janji luka, kisah ini akan terbawa
angin tenggara. tapi siapa tahu cintaku bisa lebih seksama,
sampai kapan aku bisa berjanji bagimu. sampai saat paling
penghabisan kala bulan lebih tembaga dari waktu yang telah
terjalani dan aku tetap berpegang pada satu janji.

Martapura,8 Februari 2011


Tangga Tulang

Matahari bersorot tajam
panas hawa diam di kesejukan mobil ber AC
X-Over biru langit melaju menjilati hitam aspal panas
kilometer di titik enampuluh
sepanjang jalan Sebohor melaju
ke mulut kintap arah asam asam
di batu licin akan berlabuh sauh

Luka pandang pada padang sawit terbentang
kokoh hijau menjulang ejekan
pada anak sungai danau kali
berubah warna coklat gumpalan asam berkarat
akar menggumpal bongkar kerak bumi

Pecah padang dan anak gunung Meratus
kikis kaya limpahan cela
mesin mesin kuning menari
geruk gunduk merata

Kucuran peluh anak banua
hujam di batu biji besi pondasi
senyum kering Meratus berpagar sawit
cengkram mulus kulit ari bumi

Perih pandang tembikar
debu debu truk pengangkut tambang
girang gempita para pendatang
hingar kaleng fanta merah
di bibir aspal jalan berlubang

Pemuda banua tangga tulang
hilang amarah di sepiring beras pera berantah

Martapura,9 Maret 2011


Tarian Debu

Dulu moyangku menggantung
Senandung, di puncak hijau gunung
Mantra mantra sakral berkumandang di setiap mulut lembah
Doa puja puji lagu nina bobo

Burung dan hewan hutanku
Di bening air batu hitam
Moyangku berkaca
Menghitung berapa banyak kerutan di pinggir mata
Lalu menciduk sejuk embun di batang berlumut

Nyanyian gunung tarian hutan
Dalam irama bening gemericik air
Hari ini moyangku merintih
Di batu nisan amblas dalam galian pasir
Terhumbalang pekik mesin
Merobek gunung lembah hijau

Patah kepak burung burung cici madu
Hamparan lembah berpose lebar jalan
Tarian debu sorak gempita di raung
Mesin truk pengangkut emas hitam
Hitam negeriku
Hitam gunungku
Hitam harapanku

Putih cemerlang dunia
Dalam putih kertas bertulis berita

Martapura,30 Maret 2011


Tentang Kalsum Belgis
Kalsum Belgis lahir di Martapura, 21 Agustus 1978. Mengenyam SMP dan SMA di kota Bandung, sebelum kemudian melanjutkan ke IKJ. Pernah bergabung dalam Teater mBlink Kuningan arahan Aby Manyu. Kumpulan puisinya: Mantra Rindu dan Mantra Petapa.


Catatan Lain

Berdasarkan penglihatan sepintas saya, kumpulan puisi Mantra Rindu berisi puisi-puisi yang ditulis dalam rentang waktu sekitar 4 sampai 5 bulan, sejak 30 Desember 2010 sampai bulan April 2011. Disusun tidak secara kronologis. Dari 115 sajak, 2 ditulis di Banjarbaru, lainnya Martapura. Diantaranya ada yang ditulis di dua tempat, yaitu Martapura-Pelaihari dan Martapura-Mandiangin. Komentar saya tentang puisi Kulsum Belgis, cenderung melankolis. Jauh dari gambaran pemantra yang menyemburkan kata-kata dengan bertenaga atau hidupnya lagi kata-kata arkais.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar