Laman

Tonggak

Senin, 02 September 2013

Sutan Takdir Alisjahbana: LAGU PEMACU OMBAK


Data buku kumpulan puisi

Judul : Lagu Pemacu Ombak
Penulis : Sutan Takdir Alisjahbana
Cetakan : II, 1984 (cet. I. 1978)
Penerbit : PT Dian Rakyat, Jakarta.
Tebal : 39 halaman (19 judul puisi)
Link: http://www.alisjahbana.org/

Beberapa pilihan puisi Sutan Takdir Alisjahbana dalam Lagu Pemacu Ombak

Seindah Ini

      Tuhan,
      Terdengarkah kepadamu himbau burung di hutan
sunyi meratapi siang di senja hari?
      Remuk hancur rasa diri memandang sinar lenyap
menjauh di balik gunung.
      Perlahan-lahan turun malam menutupi segala pan-
dangan.
                                    *
      Menangis, menangislah hati!
      Wahai hati, alangkah sedap nikmatnya engkau pandai
menangis!
      Apa guna kutahan, apa guna kuhalangi?
                                    *
      Aku terima kasih kepadamu, Tuhan, memberiku hati
tulus-penyerah seindah ini:
            Sedih pedih menangis, waktu menangis!
            Girang gembira tertawa, waktu tertawa!
            Marak mesra bercinta, waktu bercinta!
            Berkobar bernyala berjuang, waktu berjuang!

10 Agustus 1937
Dari: Pujangga Baru, Agustus, 1937



Kalah dan Menang

Tidak, bagiku tidak ada kalah dan menang!
Sebab kuputuskan, bahwa kemenangan sudah
pasti untukku saja. Kalah tinggal pada mereka yang lain:
Yang mengeluh bila terjatuh,
Yang menangis bila teriris,
Yang berjalan berputar-putar dalam belantara

*
Di padang lantang yang kutempuh ini,
aku tak mungkin dikalahkan:
Sebab disini jatuh sama artinya dengan bertambah
kukuh berdiri.
Tiap-tiap pukulan yang dipukulkan berbalik berlipat
ganda kepada sipemukul.
Malahan algojoku sekalipun yang akan menceraikan
kepalaku dari badanku, akan terpancung sendiri seumur
hidupnya:
Melihat mataku tenang menutup dan bibirku berbunga
senyum.

4 Mei 1944
Dari: Majalah Pembangunan, Tahun I, No. 2, 23 Desember 1945.


Kepada Kaum Mistik

I
Engkau mencari Tuhanmu di malam kelam
Bila sepi mati seluruh bumi
Bila kabur menyatu segala warna
Bila umat manusia nyenyak terhenyak
Dalam tilam, lelah lelap.
Tahulah aku, Tuhanmu Tuhan diam kesunyian!

Tetapi aku bertemu Tuhanku di siang-terang
Bila dunia ramai bergerak
Bila suara memenuhi udara
Bila nyata segala warna
Bila manusia sibuk bekerja
Hati jaga, mata terbuka
Sebab Tuhanku Tuhan segala gerak dan kerja

Aku berbisik dengan Tuhanku
dalam kembang bergirang rona
Aku mendengar suara Tuhanku
dalam deru mesin terbang diatas kepalaku
Aku melihat Tuhanku
dalam keringat ngalir orang sungguh bekerja

II
Berderis decis jelas tangkas
Tangan ringan tukang pangkas
Menggunting ujung rambutku
Jatuh gugur bercampur debu

Aku melihat Tuhanku Akbar
Ujung rambut di tanah terbabar
Teman, aku gila katamu?
Wahai, kasihan aku melihatmu

Mempunyai mata, tiada bermata
Dapat melihat, tak pandai melihat
Sebab beta melihat Tuhan di-mana2
Diujung kuku yang gugur digunting
Pada selapa kering yang gugur ke tanah
Pada matahari yang panas membakar

19 Oktober 1937


Manusia Utama

      Beta selalu menggemari pemandangan lantang: di
pinggir laut yang luas, di puncak gunung yang tinggi.
      Dan sekarang beta berdiri di tengah padang yojana:
sejauh mata memandang ruang lapang, diatas mem-
bentang gelanggang awan terbang.
      Disini dada kurasa limpah ruah, darah mengalir
berbusa-busa, tenaga mekar tiada berhambat.
      Tuhan menjadikan manusia penguasa seluruh buana:
matanya tembus menerus segala adangan, telinganya
menangkap segala getaran, langkahnya melewati segala
watas dan tangannya menjingkau ke balik angkasa.
      Dan hanyalah ketakutannya sendiri yang menjadikan
makhluk itu ulat papa tiada berdaya.
      Beribu tali dibelitkannya sekeliling badannya, se-
hingga akhirnya ia tiada dapat bergerak lagi.
      Picik matanya akan rahasia alam dan takutnya akan
mati disucikannya menjadi agama. Malasnya berpikir
dan menyelidiki dinamakannya percaya.
      Takutnya bertanggung jawab disembunyikannya di
balik nasib. Ngerinya berjalan sendiri dipalutnya dengan
keluhuran sepuhan adat.
      Dan akhirnya tertutuplah sekalian kemungkinan alam
yang luas baginya dalam kepompong gelap yang di-
jalinnya sendiri …….
      Sedangkan bagi kepompong ulat, makhluk yang lata
itu, alam menjanjikan kemuliaan dan kemegahan, telah
sepatutnya bagi kepompong manusia, makhluk utama
yang lengkap berakal dan berbekal itu, hanya teruntuk
kehinaan dan kemelaratan.
      Sebagai hukuman akan kealpaannya terhadap pen-
jelmaan kebesaran dan kekuasaan Tuhan dalam dirinya.

4 Mei 1944
Dari: Majalah Pembangunan, Tahun I, No. 2, 25 Desember 1945


Buah Karet

      Sekali aku duduk dibawah pohon karet dan terkejut
mendengar letusan nyaring diatas kepalaku: biji matang
menghambur dari batangnya.
      Ya, aku tahu, dimana-mana tumbuh menghendaki
bebas dari ikatan!
                                    *
      Terdengarkah itu olehmu, wahai angkatan baru?
      Putuskan, hancurkan segala yang mengikat!
      Rebut gelanggang lapang disinar terang!
      Tolak segala lindungan!
      Engkau raja zamanmu!
                                    *
      Biar mengeluh, biar merintih segala nenek moyang!
      Lagi pohon yang bisu insaf, bahwa biji yang sekian
lama dikandungnya itu akan mati busuk dibawah
lindungan.
      Bahwa bayangan rindang yang meneduhi itu meng-
halangi tumbuh.

5 Mei 1944
Dari: Majalah Pembangunan, Tahun I, No. 2, 25 Desember 1945.


Selalu Hidup

Dan ketika aku melihat dari kebunku kebawah
ke sawah tunggul jerami di tanah yang rekah,
dan dari sana memandang ke bukit kering merana,
terus ke hutan hijau dibaliknya,
sampai ke gunung yang permai bersandar di langit biru,
maka masuklah bisikan kedalam hatiku:
Hidup ialah maju bergerak,
selalu, selalu maju bergerak,
gembira berjuang dari tingkat yang satu ke tingkat
yang lain.
…………………………………..
Topan, datanglah engkau menyerang!
Malang, datanglah engkau menghalang!
Kecewa, engkaupun boleh datang mendera!
Badanku boleh terhempas ke bumi!
Hatiku boleh hancur terbentur!
Wahai, teman, besi baja yang keras
hanya dapat ditempa dalam api yang panas.
Dan Tuhan,
berikan aku api senyala-nyalanya!

Tiap-tiap beta keluar dari nyalamu,
terlebur dalam bakaran apimu,
nampak kepada beta:
Dunia bertambah jelita!
Diriku bertambah terkurnia!
Dan engkau, Tuhan, bertambah mulia!

21 Agustus 1937
Dari: Pujangga Baru, 1937


Hidup di Dunia Hanya Sekali

Mengapa bermenung mengapa bermurung?
Mengapa sangsi mengapa menanti?
Menarik menunda badai dahsyat
seluruh buana tempat ngembara
Ria gembira mengejar berlari
anak air di gunung tinggi
memburu ke laut sejauh dapat
Lihat api merah bersorak
naik membubung girang marak
mengutus asap ke langit tinggi!

Mengapa bermenung mengapa bermurung?
Mengapa sangsi mengapa menanti?
Hidup di dunia hanya sekali
Jangkaukan tangan sampai ke langit
Masuk menyelam ke lubuk samudra
Oyak gunung sampai bergerak
Bunyikan tagar berpancar sinar
Empang sungai membanjiri bumi
Aduk laut bergelombang gunung
Gegarkan jagat sampai berguncang
Jangan tanggung jangan kepalang

Lenyaplah segala mata yang layu
Bersinarlah segala wajah yang pucat
Gemuruhlah memukul jantung yang lesu
Gelisahlah bergerak tangan
Terus berusaha selalu bekerja

Punah
Punahlah engkau segala yang lesu
Aku hendak melihat
api hidup dahsyat bernyala,
menyadar membakar segala jiwa.
Aku hendak mendengar
jerit perjuangan garang menyerang
langit terbentang hendak diserang.
Aku hendak mengalami
bumi berguncang orang berperang
Urat seregang mata menantang

12 Januari 1938


Menghadapi Maut

Kulihat,
Kurasakan:
Peluru mendesing menembus kening,
Pedang bersinau memenggal leher,
dan
Tergulinglah jasad di tanah:
Darah mengalir merah panas.

Sekejap pendek:
Kaki melejang-lejang,
Urat berdenyut meregang-regang.
Sudah itu
Diam
Sepi
Mati,
Muka menyeringai pucat pasi.

Datang mendorong dari dalam:
Mana harapanku, mana cita-citaku?
Sebanyak itu lagi ‘kan kukerjakan!
Mana isteriku, mana anakku,
karib handai tolan?
Lenyapkah sekaliannya selama-lamanya?
Hampa!
Kelam!
Ngeri!

Tanganku mengapai-gapai:
orang karam mencari ranting.
Wahai nasib,
Sebanyak itu perjuangan!
Sebanyak itu pengikat!
Pemberat hati kepada dunia!

Sedangkan,
Dari semula telah kutimbang,
Kupikir, kurenung matang-matang:
Ditengah peperangan seluruh buana,
Hebat dahsyat tiada beragak:
Bom peluru mungkin menghancur remuk,
Perampok penyamun mungkin menggolok,
Disentri, kolera, lapar mungkin mencekik …

Dan diantara mati perlbagai mati,
Bukankah ini telah kupilih,
Dengan hati jaga, mata terbuka?
Wahai rahsia hidup!
Penuh pertentangan, penuh kesangsian!
Berat sungguh menjadi manusia!

Tahanan Seksi Tanah Abang, Januari 1945
Dari: Majalah Pembangunan, Tahun I, No. 19-20, 10-25 September 1946.


Kerabat Kita

Bunda,
masih kudengar petuamu bergetar
waktu ku tertegun di ambang pintu,
melepaskan diriku dari pelukmu:
“Hati-hati di rantau orang, anakku sayang,
Berkata di bawah-bawah, mandi di hilir-hilir.
Dimana bumi dipijak disana langit dijunjung.”

Telah lama aku mengembara:
Jauh rantau kujelajah,
banyak selat dan sungai kuseberangi,
gunung dan gurun kuedari.
Baragam warna, bahasa dan budaya manusia,
teman aku bersantap, bercengkerma dan bercumbu,
lawan aku bertengkar dan berselisih.

Di runtuhan Harapa dan Pompeyi aku ziarah,
Dari menara Eifel dan Empire State Building
aku tafkur memandang semut manusia.
Di pembajaan Ruhr dan Nagasaki
aku bangga melihat kesanggupan ummat
berpikir, mengatur dan berbuat.
Kuhanyutkan diriku dalam lautan manusia
di Time Square di New York dan di Piccadily di
London.
Kuresapkan lagu kesepian pengendara unta
di gurun pasir dan batu Anatolia,
saga Islandia yang megah di padang salju yang putih.

Bunda,
Pulang dari rantau yang jauh
berita girang kubawa kepadamu,
resap renungan petua keramat,
sendu engkau bisikkan di ambang pintu:
Dimana-mana aku menjejakkan kaki,
aku berjejak di bumi yang satu.
Dan langit yang kujunjung
dimana-mana langit kita yang esa

Bunda,
Alangkah luasnya dan dahsyatnya kerabat kita,
kaya budi kaya hati,
pusparagam ciptaan dan dambaan.

Honolulu, HARI IBU, 1962
Dari: Majalah Horison, Oktober 1971


Pemacu Ombak

Pemacu ombak di segara raya,
Gelisah terapung berbuai-buai
Diatas alun kecil-kecil,
Menantikan ombak tinggi padu,
Gairah menggulung menuju pantai.

Didepan membentang samud’ra biru,
Jauh menghabis di garis lengkung,
Tempat langit mantap bertahan,
Dan awan tipis takjub tertegun.

Disini segalanya tiada berhingga:
Ketinggian langit melingkungi semesta,
Keluasan angin di gelanggang biru,
Kedalaman rahasia ombak bergolak.
                        *
“Datang, datanglah alun perkasa!
Tinggi biru berpuncak putih,
Saya ‘lah siap diatas peluncur,
Menanti anda menjulang tinggi.”
                        *
Meninggi, meninggi alun biru.
Sejenak pendek:
otot berseregang
mata terpaku
jantung terhenti
Dan peluncur tangkas merebut ombak,
Garang liar mengejar pantai.

Cepat cergas pemacu gairah,
Tangkas terpegas di papan peluncur,
Menguakkan tangan meluruskan badan,
Menegakkan kepala anggun bangga,
Laksana dewa, muda ria
Merangkum rahasia permainan abadi,
Antara langit, air dan angin.
                        *
Pemacu ombak di segara raya,
Gelisah terapung berbuai-buai
Diatas alun kecil-kecil,
Menantikan ombak tinggi padu,
Gairah menggulung menuju pantai.

Pantai Kuta, 17 September 1974

  
Tentang Sutan Takdir Alisjahbana
(Di dalam buku tak ada biodata penulis, saya nyarinya di  http://id.wikipedia.org/wiki/Sutan_Takdir_Alisjahbana) Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun), merupakan tokoh pembaharu, sastrawan, dan ahli tata Bahasa Indonesia. Buku-bukunya antara lain: Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929), Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932), Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935), Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936), Layar Terkembang (novel, 1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940), Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969), Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971), Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978), Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978), Kalah dan Menang (novel, 1978), Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985), Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985), Sajak-Sajak dan Renungan (1987).


Catatan Lain
Baru di kumpulan inilah saya benar-benar merasakan Sutan Takdir Alisjahbana sebagai tokoh dibalik Polemik Kebudayaan. Pikiran-pikiran dan pandangan-pandangannya lebih terasa di kumpulan puisi ini ketimbang dalam Tebaran Mega.
            Juga, saya pun memaklumi, setelah membaca kumpulan ini, jika kemudian STA dan Sanoesi Pane, misalnya, beranggapan bahwa angkatan 45 adalah bagian dari Pujangga Baru. Hanya kemudian, H.B. Jassin, dkk-lah yang “menang” dalam polemik ini dan kanon sastra Indonesia akhirnya lebih memilih angkatan 45 sebagai angkatan sendiri. Namun yang menjadi catatan saya, kegarangan puisi Chairil Anwar, yang menjadi ikon angkatan 45, sudah terasa di kumpulan ini. Namun juga tak memungkiri, lukisan alam kadang masih muncul di sana-sini. Puisi-puisi ikon Pujangga Baru, seperti STA, Sanoesi Pane, Amir Hamzah, belum sepenuhnya bebas dari “nuansa” puisi-puisi lama.
Misalnya akan dikutipkan sebuah puisi lagi, sebuah puisi yang pernah dimuat di Majalah Pembangunan, Tahun I, No. 19-20, 10-25 September 1946. Dan diberi keterangan untuk Angkatan Baru. Puisi ini juga sering dikutip dalam buku teks sekolah waktu saya sekolah dulu, entah sekarang.  

Menuju Ke Laut
Angkatan Baru

Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat:

“Ombak ria berkejar-kejaran
di gelanggang biru bertepi langit.
Pasir rata berulang dikecup,
tebing curam ditantang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega.”

Sejak itu jiwa gelisah,
Selalu berjuang, tiada reda,
Ketenangan lama rasa beku,
gunung pelindung rasa pengalang.
Berontak hati hendak bebas,
menyerang segala apa mengadang.

Gemuruh berderau kami jatuh,
terhempas berderai mutiara bercahaya,
Gegap gempita suara mengerang,
dahsyat bahna suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti
pekik dan tempik sambut menyambut.

Tetapi betapa sukarnya jalan,
badan terhempas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut,
namun kembali tiadalah ingin,
ketenangan lama tiada diratap.
…………………………….. 

Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat


1 komentar:

  1. Jadi dalam buku ini ada beberapa puisi sudah di muat dalam majalah seperti jangan tanggung jangan kepalang, kalah dan menang, dan menuju ke laut?

    BalasHapus