Laman

Tonggak

Jumat, 04 Oktober 2013

F. Aziz Manna: SITI SURABAYA DAN KISAH PARA PENDATANG


Data buku kumpulan puisi

Judul : Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang
Penulis : F. Aziz Manna
Cetakan : I, November 2010
Penerbit : Diamond, Surabaya, bekerjasama dengan FS3LP, GAPUS, CeRCS, DKJT, FIB Universitas Airlangga
ISBN: 978-602-96494-3-7.
Tebal : 116 halaman (73 judul puisi)
Editor : Ribut Wijoto, Indra Tjahyadi
Gambar sampul : Petan karya Liem Keng (alm)
Cover buku dan layout : Ganjar Ahadiyat
Pengantar : Nu’man “Zeus” Anggoro

Beberapa pilihan puisi F. Aziz Manna dalam Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang

Ingatan Perjalanan

kereta tidak bersama mereka
tapi mereka bersama berada dalam kereta
(Afrizal Malna)

perjalanan ini kian membingungkan, mereka bilang telah
bangkit dan berjalan jauh selama 100 tahun tapi kami tak
melihat kaki-kaki beranjak, hanya pemandangan silih berganti:
pepohonan, sawah, ladang, sungai, jembatan, perumahan,
pabrik, perkantoran, tembok-tembok semuanya hanya jadi
perbincangan, lewat begitu saja, jalanan tidak bersama kami
padahal kami bersama berada dalam perjalanan, suara-suara
kami juga membingungkan, antara bunyi klakson, cerobong
dan gesekan besi, mulut-mulut berkembang biak, bertingkahan
untuk jadi dominan, kami yang datang selalu jadi penumpang
dan tak ada yang mau turun, tak ada yang mau menyentuh
tanah, kami, para penumpang itu, ingin selamanya duduk di
kursi di atas lantai besi melupakan perjalanan dalam perjalanan


  
Kota yang Bunuh Diri

mal-mal dibangun di bawah reruntuhan kampung, real estate dan
apartemen menancap dalam pecahan batu nisan, kota kami tumbuh
melebihi kemampuan kami, membuat tembok-temboknya sendiri,
seperti kekasih yang menyimpan foto orang lain, kami di pinggiran
bukan karena tak diinginkan tapi kota tak lagi punya titik tengah:
ruang yang seharusnya dihuni-penuhi sejarah pikiran, hanya
berkubang otot dan kemaluan, bulan lebih cantik dari neon dan
mercury, listrik memalsukan tubuhmu, membuat elektronika lebih
dipercaya dari perbenturan kepala, kota kami tumbuh di luar impian
kami seperti peta yang menghapus dirinya sendiri


Mempelai

kami pernah jatuh cinta dan pada saat itu apa yang kami rasa
seluruhnya semerbak bunga tapi saat kami putuskan menikah,
dunia beralih rupa, penuh tembok dan gunting, memagari dan
memangkas ranjang bunga pengantin kami, taman cinta kami
ditumbuhi kegersangan, kami baru sadar ternyata cinta saja
tak cukup bagi hidup, harus ada siasat, tawar menawar, dan
sedikit kecurangan, dunia terlalu sibuk bagi perkawinan, meski
kami pernah jatuh cinta tapi dunia kian praktis, hidup kian bengis


Kau Bilang, Katamu

/1/
kau bilang tak ada lagi puisi, kau bilang kata telah dikekang, dijerat
dianyam jadi barang kerajinan, kau bilang bahasa hanya seorang
tawanan dank au bilang tak ada yang menarik lagi pada puisi, kau
bilang puisi yang lahir dari bibir si mahir, si lihai, si ahli, si tukang
jahit hanya menawarkan baju dari potongan kain perca, baju-
baju yang hanya pantas bagi tubuh langsing manekin, kau bilang
bukan tubuh manusia, bukan tubuh kita, kau bilang

/2/
membeli buku puisi kini, katamu, seperti mengumpulkan kertas
bekas, katamu, membacanya seperti berjalan dalam plasa
tanpa uang, katamu, hanya membuat capek dan mual, katamu,
seperti ditipu gadis ayu, katamu, yang mengaku perawan tapi
dadanya penuh cupang, katamu, seperti pendoa yang
ditinggalkan pendengarnya, katamu, sepertinya tak perlu lagi
puisi, katamu, sebab tak ada lagi obat dalam puisi, katamu,
sebab kata telah lenyap dari kertasnya, katamu, sebab kertas
jadi topeng bahasa, katamu, topeng kertas bahasa yang
menutupi kata, katamu


Roda

roda berputar demikian liar, lingkar-melingkar, gila-menggila, roda
tar-berputar di tubuh kami, sar-berpusar di otak kami, roda,
membelit diri kami, roda, melilit hidup kami, roda, membekas-gurat
di kening kami, di perut kami, roda, jelma jalan usia, roda, tumbuh
melingkar, roda, membelukar, roda, liar seperti ular, roda,
menyimpan lobang jebakan, roda, mengancam leher kami, roda,
menderu napas kami, roda, mengguruh hendak runtuh, roda,
laju-berpacu, roda, buru-memburu, roda, ngilu, roda, ini waktu,
roda, ngilu


Taman Ketabang

di taman ketabang, kita bercakap tentang hari-hari yang lewat
sementara orang-orang di sekitar semakin erat berpelukan atau
khusyu’ mananti kambangan kail bergerak digondol ikan, kita
mengurai waktu di antara orang-orang yang berusaha keras
menangkap waktu, mengabadikannya dalam kekinian, kita
melompat dari kemarin ke kemarinnya lagi, mengeker-eker
kubang kenangan, ada jam dimana kita bertengkar tentang
cat rumah yang nampak muram, ada juga detik ketika kita saling
tersenyum membayangkan anak-anak kita tumbuh menjadi
orang-orang berdasi dan bekursi, namun sebelum tuntas
segala yang melintas di atas kepala dan percakapan kita, kau
tiba-tiba berkata: meski banyak orang dan pohonan di taman
ini, meski banyak impian dan harapan berlompatan, namun
entah mengapa aku merasa sendiri, sepi dan sunyi, kau tahu,
cuaca di tempatku, beberapa waktu ini dilikut kabut, seperti
hatiku, beberapa cermin yang terpasang di kamar enggan
memantulkan bayangan, bahkan, kertas-kertas yang biasa
kutulisi puisi, lembab, tak mau terbuka lagi, seperti pikiranku,
sampaikan maafku pada anakmu ketika ia memejamkan mata,
atas malam-malam panjang yang hilang darinya, karena kau
sedang mendendang kidung tidur buatku, tapi percayalah, tiap
linang air mataku adalah sebuah rindu padamu, meski aku tahu,
aku telah kehilanganmu sejak awal pertemuan


Orang-orang Kampung

/1/
kami tidur dengan impian terpotong, tubuh kami menggigil oleh
bunyi sendiri dalam pelukan sprei yang lengket, kerisik daun
mangga jadi begitu menakutkan seperti masa lalu yang
menghardik, mata kami menutup tapi pikiran kami dibawa lari
kenangan, kenyataan yang tidak nyata, kegaiban yang
mengada, kami di ambang tidur dan jaga

/2/
kami mulai mengalami gangguan pada pikiran, kami
menceracau tentang keburukan para tetangga, ada seorang
yang pernah begitu bersemangat berkhotbah tiba-tiba berlaku
buruk pada anak kami, menodai anak kami hingga mengancam
hidup generasi kami, ada para pengurus yang awalnya suka
menata namun akhirnya memerintah dan memaksa, hingga
para saudara kami yang tidak lagi peduli

/3/
malam itu pukul 1 kami mencoba menjaga gerak tubuh tapi
mimpi membuat ceracau kian kacau: wajan-panci-kereweng-
baki melayang dari dalam rumah ke luar melewati tembok ke
jalanan, kami menangis dalam hati, lihatlah, ibu kami bakal
mati karena ngenes, tak bisa sabar dan tak bisa kuat menahan
beban cobaan, kami ingin kembali normal dan bercengkerama
dengan wajar kepada saudara-saudara kami kepada para
tetangga penghuni kampung kami kepada seluruh penghuni
bumi, kami tak ingin menyapa dengan senyum bercampur
tangis bercampur meringis bercampur teriakan bercampur
dendang bercampur rintihan bercampur umpatan bercampur
joget bercampur tatap liar yang kosong, kami akan menjadi
orang yang paling berdosa dan bersalah jika ada satu bagian
dari diri yang mengalami kegilaan

/4/
tuhan, selama ini kami memang tidak pernah melibatkanmu
dalam persoalan kerena kami merasa tidak begitu pantas
memintamu untuk turut campur, kami orang asing bagimu tapi
saat ini orang asing ini telah jadi tawanan keadaan, terkalahkan
dan butuh bantuan sedang bantuan seluruhnya telah
menghilang, kaulah satu-satunya, kami hanya ingin satu hal:
jika memang keputusanmu mengambil hidup kami, ambillah
cepat tapi jika keputusanmu masih memberi waktu, biarkan
kami sembuh, bernapas lepas seperti orang-orang bebas,
tolong jangan gantung hidup kami antara sadar dan gila


Indische

/i/
perkebunan tua itu menarik mimpiku
pada sebuah cermin buram, di sana
harum embun daun teh
manis tebu dan daun sereh
lalu kutanya
milik siapa?

/ii/
ayahku seorang yang jauh
bahkan perkutut itu pun tak tahu
tapi ibuku berdiam saja
bukan siapa-siapa
dan perkutut pun tahu
darimana datangnya, di sana
harum embun daun teh
manis tebu dan daun sereh

lalu kutanya milik siapa?

/iii/
kemiripan kami tertanam di tanah
burung-burung sahabatku
kebun tebu tempat bermainku
tapi kau seperti tak menyahutku
seperti tak memandangku
lalu siapa yang membunuh?


Montase Kota Mati

/1/
di pagi muram menikam
pintu, kelambu dan lampu masih menyala
dalam kamar jejak hujan
dalam dada jejak kenangan
ingatanku berlubang

/2/
terlihat leher bumi yang retak
laut mengirimkan air matanya
ke serambi jantungku
lama sudah tak terdengar
ketuk pintu di ruang tidurku

/3/
dari jendela itu terpandang rintik hujan
kelopak basah
daun jantung patah
dan sebuah payung
tertinggal
sendirian

/4/
o, kenangan
hujan dalam dekapan
kadang muncul kadang tenggelam
di mataku
menggenang gemuruh adzan

/5/
hujan pun jatuh di kepala
susut di hitam rambut
tiris di garis alis
tumpah di air mata

/6/
aku pun menulis kisah pada wajah mungil bunga
pada televisi dan majalah pada seluruh peta kota
dan di sana, di sudut entah dimana, hujan
dan aku tak pernah ada

/7/
sementara, tak ada lagi musik indah
orang-orang berderap dalam teriak
seperti ingin hidup seperti ingin mati
seperti warna kopi

/8/
sekawanan gelombang berderap
menerobos gerbang kota
di pusat pusar air
setangkai bunga
patah
makan terasa sakit
dan kau entah kemana

/9/
nyawa melengkung dalam ombak
menancap dalam karang
mengendap dalam kehijauan
pekiknya
melulur di jantung kota

/10/
musim mengamuk
mengasingkan kenangan
dari ruang tunggu
matamu dan pintu nasib itu
mengembunkan seluruh pikiranku

/11/
hujan bukanlah air
bukanlah petir
bukanlah geludug
bukanlah mendung tebal
awan hitam, bukanlah …
tuhan, kota terus bimbang

/12/
lalu titik
menitik
entah terus entah putus
kata kata dalam haus

/13/
di tikungan jalan itu
masih tergambar cinta
dan lembut suara, ketika
gerimis pecah
bayang berbayang
aku kau tanggalkan

/14/
seorang anak adalah perahu penyelamat
di musim hujan, seorang tua
kini dengan bunga
di sudut taman kota

/15/
daun-daun melayang
kabut tebal mengembang
limbung
mengambang
di sungai panjang
bayi mati terbuang

/16/
di taman makam kota terbaca kisah
ribuan orang bergerak dalam perang
(antara impian dan dendam) payung-payung hitam
meninggalkan masa depan
waktu hanya hitungan, kota hanya sebutan

/17/
waktu
jalan
penuh hujan
si tua muram berjalan
berkerudung kenangan
hitam

/18/
dan kota penuh awan
penuh gemuruh penuh ledakan
penuh wajah ketakutan
ciumlah aku maka kau kutinggalkan

menyusuri reruntuhan kota lama
Surabaya Utara

/19/
aku berjalan di rawa-rawa mati
apakah yang mungkin
selain kata dan cinta
sedang tubuhku penjara
dan wajahmu terlampau berbahaya

/20/
kota-kota halte
mulut-mulut menganga
seorang orang menggenggam detik jam
antara pergi dan mati

/21/
aku terus berjalan
di rawa mati, 100 nyawa tercekam
dan sejarah dirobohkan, bekasnya
jadi lobang penuh kutukan

/22/
orang-orang berkumpul membicarakanmu
tapi bahasa hanya bergetar di mulut sendiri
waktu telah retak, memusat di tubuh ini
tapi kenapa kau lari, lari dariku

/23/
aku pun tenggelam di rawa mati
pintu menghadapku
sekaligus menghadapmu
tapi siapa, yang tiba-tiba saja, merobohkannya?

/24/
seperti kekosongan
kota ini tak bisa dibingkai
seperti puisi atau komposisi bunyi-bunyi
kota ini tak mau ditafsiri

/25/
maka jangan kau cinta mereka
yang berhasrat tinggal bersama
seperti hujan datang
dan pergi

Gerbang Kota yang Dirobohkan
Malam Hujan Paska Wonokromo Dibakar

/26/
dalam sebuah bait suci
adzan melengking putih
membisikkan sesuatu
yang seluruhnya sia-sia

/27/
ini malam
kelam
mencekam
lubang hujan di jantung karang

/28/
antara mendung dan kembang celung
angin tertikam, lanskap garis hujan
di tengah ruang kosong
malam

/29/
beberapa cahaya dinyalakan
beberapa kepala bertopi lebar
beberapa jauh di tengah lautan
dengan doa dalam hujan

/30/
rumah dalam lingkar mawar
sehabis hujan
sehabis: tuhan apakah yang kau inginkan?
jalan terjal, pintu, aku, dan bayangan
menjauh

/31/
seberkas bunga plastik
aspal selepas hujan
angin bergetar mengikuti bayangan
seorang tua dalam wajah ketakutan

/32/
dalam sisa-sisa hujan
hanya seorang pejalan
hanya angin malam
hanya kekosongan
wajahmu begitu muram

/33/
seperti cintaku
dunia akan menjadi masuk akal
jika memang kau berkehendak
hujan menerjemahkan gebalau

/34/
dan bila kerinduan bersayap
ke jendela kamar tentu akan terbang
untuk menculikmu saat ini
sebab langit berdusta dengan bahasa cuaca

/35/
waktu telah menetes di balik awan
membentuk danau di dadaku
di dasarnya
jantungku membatu

/36/
kenangan hanya kaca yang lekas pecah
ketika hujan tak hendak selesai
dan kau berpaling, pulang
dalam diam

/37/
kota telah berlayar dalam gelombang
dan cerita tinggal gesekan biola
lalu bagaimana kusembahyangkan
kenangan cintaku padamu

/38/
pintu terbakar dan
aku telah sampai pada titik
dimana cinta tak mungkin lagi dimulai
seperti kopiku yang kian pahit
kota kian gelap


Semakin

hidup semakin susah
apalagi di surabaya

tanam padi tumbuh pagar besi
tanam jagung tumbuh gedung

sepetak tanah
harganya naudzubillah

padahal itu hanya untuk kuburanku
apalagi untuk rumahku?

tempat menyetubuhi istriku
dan melahirkan anak-anakku

masyaallah
dunia sudah jungkir balik

buat rumah dibikin susah
buat mall malah dipermudah

kalau mau kelon
apa harus di etalase dan ditonton?

kalau sudah begini
berakpun jadi susah

bukan tak ada tempatnya
atau mahal harganya

tapi memang tak ada
yang bisa dikeluarkan

dari dubur ini cuman kentut
itupun sudah tercemar timbal

baunya minta ampun kawan
bikin perempuan tak mau buka kutang

ealah! sampeyan masih nulis puisi ta?
ya, setidak-tidaknya untuk membujuk

hidup biar tidak kepalang buruk
dan cacing dalam perut bisa sedikit nurut

meski jarang dikasih makan
ya, memang aku bicara kelewat muram

seperti malam tak pernah terang
dan kamar hanya dihuni cucian

tapi semua perlu dicuci bukan?
juga mulut yang kacau ini

otak yang pelo ini
karena hidup memang kian semerawut

lihat saja, di jalan banyak tilangan
eh, pencurian malah tak hilang-hilang

apa sampeyan masih baca puisi?
ya, setidak-tidaknya masih ada langit biru

dan embun subuh itu obat
mujarab penghilang kalut dan sakit perut

ah, maaf kalau bicaraku ngawur dan ngelantur
bukannya aku protes, ngamuk atau kecewa

pada nasib yang tak berubah
atau pemerintah yang diam saja

tidak kawan
aku tidak sedang melawan

perlawanan
hanya bagi yang gelap pikiran

yang tak punya pilihan jalan keluar
yang hanya bisa menyalahkan orang

tidak kawan
aku tidak sedang membangkang

aku hanya sekedar ingin melupakan
kehidupan

hidup yang kian susah
apalagi di Surabaya


 Tentang F. Aziz Manna
F. Aziz Manna adalah alumnus Tambak Beras Jombang, aktor, mantan ketua Teater GAPUS Surabaya, aktivis Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Menyelesaikan studi sejarahnya di Unair. Juga pernah menjadi koordinator bidang sastra dewan kesenian Surabaya. Puisinya tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama, juga pernah disiarkan radio suara Jerman, Deuchte Welle. Berdomisili di Tropodo I No. 302 Waru Sidoarjo 61256.

Catatan Lain
Kumpulan puisi ini terbagi atas dua bagian, yaitu Siti Surabaya (15 puisi) dan Kisah Para Pendatang (58 puisi). Kebanyakan puisinya bertipografi paragrafik. Mungkin ada sekitar 62 judul, hanya sembilan puisi yang nampak seperti puisi pada umumnya. Saya pikir, seluruh buku ini memusat pada sajak yang berjudul Siti Surabaya. Sebuah sajak panjang penuh pergulatan: siti adalah city dan city adalah siti//siti bergelut dengan city, city berebut merenggut siti, kata satu bagian dari sajak itu. Sebuah sajak yang mengingatkan pada Pengakuan Pariyem, karya Linus Suryadi, barangkali, sebab ternyata saya tak pernah baca Pengakuan Pariyem, tapi saat membaca Siti Surabaya pikiran saya langsung tertuju pada masterpiece Linus tersebut. Keterhubungan itu, barangkali, karena kemiripan dalam pengungkapan erotikanya, bukan dari latar budayanya. Barangkali. Tapi entahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar