Laman

Tonggak

Minggu, 03 November 2013

Amal Hamzah: PEMBEBASAN PERTAMA


Data buku kumpulan puisi

Judul : Pembebasan Pertama, Kumpulan 1942-1948.
Penulis : Amal Hamzah
Cetakan : 1979 (terbit pertama: 1949)
Penerbit : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta.
Keterangan tambahan: Tidak Diperdagangkan, diterbitkan kembali seijin PN Balai Pustaka, BP No. 1687.
Tebal : 184 halaman (43 puisi)

Halaman persembahan : Untuk AMIR HAMZAH yang tidak mempunyai kuburan diberikan buku ini sebagai kenangan.

Pembebasan Pertama terbagi atas 4 bagian, yaitu Romance (20 puisi), Sine Nomine (23 puisi), Skets (3 cerpen, 3 naskah drama), Roman (1 roman, judul: Suwarsih)

Beberapa pilihan puisi Amal Hamzah dalam Romance

Senyap

Hatiku kini tiada bernyanyi
Riang gembira laku dulu
Lama bisikan telah dinanti
Kabur mata dalam menunggu

Rupanya hatiku laksana telaga
Kering timpas di musim kemarau
Di sinar panas surya mendera
Tinggal air berasa payau

Sekali-sekali dicoba berdendang
Lagu lama selang terkenang
Tapi nyanyi tiada merupa
Kesan hati yang menderita.

Senyap saja hatiku kini
Laksana pohon calang telanjang
Tegak lurus seperti mati
Di samar sinar hati petang.



Sunyi

Duduk aku di muka jendela
Memandang sayu ke atas langit
Mengemas cahaya purnama raya
Ditambah permai lentera alit.

Malam turun menyejuki bumi
Badanku lemah habis bekerja
Duduk sebentar bersenang diri
Melihat ke bulan berlayar sentosa.

Daun pohon di muka kamarku
Berkilau-kilau ditimpa cahaya bayu
Bergerak perlahan disayang bayu
Pulang bermain dari segara

Sunyi senyap tiada suara
Merusak aman damai malam
Hanya hatiku sedikit berkata
Melihat keindahan sekitar alam

Hatiku kecil lalu menangis
Terisak-isak tiada tertahan
Memikirkan diri bagai tertindas
Tiada teman tempat berkesan …


Laut

Berdiri aku di tepi pantai
Memandang lepas ke tengah laut
Ombak pulang memecah berderai
Ke ribaaan pasir rindu berpaut.

Ombak datang bergulung-gulung
Balik kembali ke tengah segara
Aku takjub terdiri termenung
Beginilah rupanya permainan masa

……………………………………….

Hatiku juga seperti dia
Bergelombang-gelombang memecah ke pantai
Arus suka, beralih duka
Payah mendapat perasaan damai …..


Arus

Berkayuh aku
di segara hidup,
alun air pelan semata
biduk melancar ria gembira

Pukulan kayuh tiada bersuara
Pada perahu muat seorang.

Sekali terbentur perahuku
Pada dara kucindan mata
Aku tersentak, sedar jaga
Kayuh terletak diambil segera.

Bermain kami di tempat ramai
Sampan berjalan berdekat-dekatan
Berjumpa kawan kata membelai
Lebih dalam tak diacuhkan

Kawanku rupanya lekas penjemu
Dalam asyik mereguk restu
Ia menarik diri
Meninggalkan daku.

Tinggal awak berkayuh seorang
Dalam gelora hidup mengamuk
Biduk menepis susunan karang
Nyaris sampan hancur remuk.

Kayuh kutinggalkan
Badan kuletakkan
Dalam sampan muat seorang…

Maju sampanku, maju
Ke mana saja engkau mahu
Mendarat ataupun karam
Serupa saja pada hatiku…


Musik di Waktu Malam

Di atas mejaku bertumpuk buku
Pekerjaan sehari-hari
Mencari ilmu menambah budi.

Kawanku setia, kawanku berkata
Kawanku karib, bukan manusia …

Suatu malam beta bertekun
Membaca kitab penuh bertimbun

Lupa segala di pagi hari
Waktu di kantor menjadi kuli

Segala susah sedih
Pada malam pecah berbuih

Aku rindukan malam bagia
Tempatku membaca dengan sentosa …


Pancaran Hidup

Di pagi hari
Aku berangkat bekerja
Tampak olehku seorang laki-laki
Mengorek-ngorek tong mencari nasi.

Sepintas hatiku sedih
Terasa miskin badan sendiri
Di tengah kekayaan negeri raya
Awak menjadi perminta-minta.

Lalu mataku menoleh ke padanya
Tampak tegap-teguh semata
Tiada cacat membuat celaka.

Hatiku marah:
Orang begini tak perlu dikasihani
Di dunia Allah penuh rezeki
Ia tinggal bermalas diri.


Dara

Dara, bawakan beta
ke dadamu melengkung
supaya kutahu mengecap untung.

Gadis, pelukkan daku ke bibirmu delima
agar dapat merasa bagia.

Adakah yang lebih indah, o kawan
dari bentuk gadis rupawan?

Hidup tiada sempurna
Aku dan dia mesti bersama …


Kenangan

            Putusnya tali kasih kita, adikku manis, datangnya dengan tiba-tiba, laksana pencuri di tengah malam.
            Seketika lama engkau tayang aku di irama kasihmu, aduh, lupa beta pada segala, karena berlayar di alun asmara.
            Mengapatah demikian, Hatiku, kurang cukupkah kasihku padamu maka engkau rentapkan kebat ini?
            Hatiku sendu berluka parah karena rentapan tanganmu halus. Bagaimana pun aku menekan luka itu lamun darah menitik juga dari padanya, setetes demi setetes, merah rona, mengingatkan ku pada warna Kasih.
            Kucari lupa, tetapi di manakah aku akan dapati dia? Karena hatiku penuh dengan wajahmu? Sastra pujangga, sajak seni sedih, di musik yang menggetarkan jiwa, di hiruk-pikuk dunia, semua tiada berkuasa melupakan aku pada engkau … malahan hatiku kecil bertambah meronta, menangis pedih, karena kesunyian tiada tertahan.
            Di mana kala hatiku sembuh dari luka ini, Rinduku, bekasnya tetap akan tinggal mengingatkan aku pada kasihmu… perduli apa aku karena kasihmu tiada lama? Apakah lama? Apakah tiada lama? Bukankah kasihmu telah membukakan Dunia Baru pada hidupku yang sebelum itu tak pernah kukecap? Tiada selalu lama itu membawa bahagia. Sesaat saja dapat pada masanya menguasai kehidupan kita yang akan datang. Dan saat kasihmu yang telah engkau anugerahkan padaku akan aku genggam-teguh, akan aku simpan sebagai pemberian kudus yang penghabisan kali dari padamu padaku. Dan biarpun hatiku sesudah ini takkan dapat lagi bernyanyi ria, mataku tak dapat lagi berbinar terang, tetapi dia tahu, bahwa dulu dia ada juga bernyanyi ria, mataku ada juga berbinar terang … dan semuanya ini datangnya dari Seruling Kasihmu yang engkau lagukan semasa itu untukku…
            Meskipun irama itu sekarang telah lama lenyap disawang lapang dan engkau takkan lagi melagukan Seruling Kasih ini untukku tetapi di hatiku irama itu tetap tinggal dibebat oleh sutera merah merona darah dari kasihku…
            Dan putusnya tali ini hanya dapat, bila rumput hijau telah menyelubungi tubuhku dan kemboja bunga menaungi tempatku berhenti…


Beberapa pilihan puisi Amal Hamzah dalam Sine Nomine

Melaut Benciku

melaut benciku terhadap manusia
melaut pula benciku terhadap ku sendiri
karena dalam kelakuan mereka
terlihat olehku prangaiku asli

menjilat!
menipu!
membohong!
memeras!

kelakuan dibuat-buat supaya
perut kosong gendut seperti tong!

mulut ketawa:
tampak gigi
kuning
tak pernah digosok,
bau mulut busuk bagai bangkai!

bah!
inikah yang dinamakan dunia!
dunia yang penuh tipu-cedera!

kalau boleh kupinta dulu
aku tak usah lahir ke dunia-tipu
tapi malang!
aku lahir bukan kehendakku!

dalam pelukan cinta berahi
tumbuh benih membusuk diri.
tercampak ke dunia
sebagai hasil nafsu kedua!

bah!
kalau boleh kupinta dulu
jangan badan datang ke mari!


Tiada Mengatasi

semua barang
dapat dibeli dengan wang!

dengan wang dibeli buku
dengan wang berlaku segala sesuatu!

buku
sabun
baju
perempuan!

totok
indo
cina
indonesia!

kasih tiada
kasih bergantung pada kantung!

semua segala dalam dunia
semua ada mempunyai harga.

siapa kaya
teruntuk padanya segala-gala.

dia dapat segala manusia!


Bunga Bangsa

Kata Nippon : Nippon Indonesia sama-sama
Kata Nippon : Dai Tooa
Kata Nippon : Asia Raya
Kata Nippon : Kemakmuran bersama

Kata pengkhianat bangsa : Saya bikin propaganda

Kembali engkau
setengah telanjang
lebih sedikit
dari binatang.

Tubuh
penuh cacat
borok-kudis.

Pandang
tiada seperti
manusia lagi.

Dulu
engkau perajurit
ekonomi
engkau bunga bangsa
kata mereka
yang menjerit-jerit
di Ikada.

Sekarang engkau kembali.

Di mana mereka
yang menyanjung
membujuk dikau
masuklah menjadi
perajurit ekonomi?

Di Siam
Di Burma
Di Malaya
Di Cochin-China
Ribuan temanmu mati.

Singapura,
ratusan
gadis-juru-rawat
melarat,
melontekan diri.

Yang berteriak
di Taman Raden Saleh,
Ikada,
telah lama lupa.

Waktu berangkat:
nyanyian musik
serta pekikan:
hidup perajurit
ekonomi!

Waktu kembali?

Di mana pekikan,
di mana musik?
di mana si pengkhianat bangsa?


Lingkaran Gila

Reni,
Engkau ini terlalu idealistis
ini dunia bukan swarga
seperti engkau mimpikan
dari dinding kamarmu
empat segi.

Aku lecuti engkau
dengan perkataan
pedas, pedas,
aku benci melihat
orang yang mau melambung tinggi
tinggalkan kenyataan:
dunia neraka!

Swarga? Tidak ada!
Juga tidak nirwana
ciptaan sang Buddha!

Ini hidup
perjuangan
antara si lemah
dan si kuat
antara si miskin
dan si kaya!

Kasihan?
Kasihan juga maya!
Kasihan hanya
untuk propaganda

Kalau kasihan:
angkat orang
yang bergelimpangan
di jalanan
beratus-ratus mati
setiap hari…………..

Ini dunia racun
Engkau racun
Aku racun
Aku dan engkau sama-sama meracun

Lalu gila kita meringis:
Inilah bahagia utama …….
(Dalam hati sama-sama kita ogah
percaya!)

Reni,
Ini hidup viceuse cirkel
Baik dan buruk
Bertaut mulut
Tidak dapat dipisahkan.

Sebetulnya semua
orang sudah gila
dunia gila
engkau, aku gila
propesor-propesor kita
juga gila
biarpun dia mau mengajarkan kita
filsafat kuna!

Tidak ada harga…………..

Konsekwensi ini pikiran
bunuh diri
bunuh diri
-- kata S. T. A. –
tapi celaka
sampai di sini
aku belum berani!

Masih juga mau
dengar ocehan
dari mulutmu
penuh racun!

Celaka………..


Kesombongan

wah!
manusia sombong pernah berkata
“badan kami ini dapat mati
tapi jiwa kami baka selama!”

aku tiada perduli!

satu padaku:
hari yang kuhadapi
akan kureguk sepuas-puasnya!


R!

Sekali menikmati keindahanmu,
Sudah itu pergi darimu ………..
Aku tak dapat lama
Cinta pada wanita!

Hidupku singkat!
Kenikmatan hendak kuperlipat,
Tidak perduli kelat!

Seperibu sekonde
Hendak kuperebutkan


R!

Meminta kasih?
Aku tak mau!
Kasih akan kurampas, kurampok!

Jangan percaya mulutku manis!
Semua perkataanku bohong belaka.
Aku ini penipu besar
Penipu engkau, penipu aku.

Aku ini setan dan dewa sekali.
Tempatku suarga dan neraka-api!


Sembrono

bukan aku tak tahu
bahwa lereng ngarai itu amat curam
dan rintis di situ sempit serta lincir.

bila terpeleset kakiku
tubuh ini tiada berguna lagi
rangka hidup menunggu mati…….

tapi aku orang sembrono
bermain bersenda dengan neraka!

kurangkum neraka bermulut api
kuterjang sekali segala ajaran suci!

kutukar bahagia sebentar
dengan swarga dijanjikan nanti.


Nafsu itu Tuhan
untuk h. b. jassin

berbisik iblis dalam hatiku
darahku keras mengalir,
jantungku keras berdenyut!

memercit peluh di dahiku
peperangan budi dan nafsu
sedang berlaku.

aduh engkau yang berkuasa
yang disebut orang beriman
tuhan.

kehendakmukah ini
manusia itu
tak kuasa menahan nafsu?

kami tiada lebih dari binatang.
dalam musim berpasang
menerjang ripuk segala halang!

oh!
segala adat-istiadat dan didikan
sepuhan belaka,
tipu!
tiada kuasa menahan nafsu ……..


Aku Contra Hidup
- sandiwara tragis –

beribukali aku tobat
beribu kali pula aku turutkan nafsuku

aku ini manusia
menipu diri sendiri

atau mestikan demikian
mestikah kuhirup
air hidup sekelat-kelatnya?

kerongkonganku pahit!

kelat! kelat!

air! air!
bawakan aku air!


Aku Hendak Kemana?

kami dalam dunia ini
seperti dalam paya besar
berputar-putar ribuan tahun
-- siapa yang tahu berapa lamanya sudah? –
mengedari matahari ……………

kami manusia ini
telah ribuan tahun pula
berputar-putar dalam paya
hati sendiri, makin lama makin payau
-- sampai mana akhirnya? –

dan aku, dalam diriku,
-- terjadi dari elemen yang empat –
ada pula paya semacam itu:
kotor, hijau, apak dan bau ………
dalam hidupku yang muda ini
bertimbun telah bangkai-bangkai
bekas kekejian perjalanan hidupku,
dan aku berputar-putar di sana
seperti orang gila, menganggap bahwa
payaku kecil ini adalah paya
sebesar-besar, dan seindah-indahnya ……

di luar payaku ini
ada paya dunia: luas dan besar dan permai,
setiap hari berganti warna dan harum,
karena daya hidup tersimpul di dalamnya.

sedang aku dalam ketengikan payaku sendiri
menyangka paya besar itu
busuk pula seperti payaku ……….

aku hendak ke mana? …………..


Pagi

Azan Mu’alim sunyi membumbung
di suasana pagi hari mendung
memanggil ummat berhening diri
sujud khidmat pada ilahi.

aku tergolek di tempat tidurku
menghempas badan kanan dan kiri
mengenang nasib tak pernah bertuju
hampir bertuju kulepaskan mesti.

sejuk sedap suara seruan
menghimbau engkau di langit tinggi
sekejap lenyap segala deritaan
dalam mendengar pujaan seni

tergenang melimpah kedua mataku
mendengar suara mu’alim sunyi
di atas menara tegak berdiri
menyeru allah di waktu pagi.

ingin aku menjadi suara
di pagi waktu menjelang hari
naik meninggi ke cerpu ilahi ………..

Hatiku, hatiku,
kalau lemah merapuh gelas,
kalau keras, menyama baja ……..


Tentang Amal Hamzah
Amal Hamzah disebut-sebut sebagai adiknya penyair Amir Hamzah, lahir di Binjai, Langkat, 31 Agustus 1922. Bukunya Pembebasan Pertama (1949) dan Buku dan Penulis (1950), berisi kritik-kritiknya terhadap beberapa roman dan drama Indonesia.


Catatan Lain
Sebenarnya, tak ada biografi Amal Hamzah di buku ini. Saya harus membolak-balik buku Ajip Rosidi yang berjudul Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (penerbit Binacipta, Bandung, cetakan V, 1991). Namun, Amal Hamzah telah diperkenalkan dalam kanon sastra waktu zaman saya sekolah dulu, terutama lewat sajak Pancaran Hidup dan Melaut Benciku.
            Ajip Rosidi menulis begini (hal. 76): “…… dalam sajak-sajaknya yang pertama menunjukkan pengaruh abangnya, terutama dalam gaya dan pengucapan. Ia kemudian tertarik oleh teosofi dan pengarang India Rabindranath Tagore. Ia menerjemahkan beberapa buah karya Tagore, yang pernah mendapat hadiah Nobel 1913, antaranya karya utamanya Gitanyali (1947).//Amal mulai menulis di jaman Jepang, ketika mana ia kehilangan kepercayaan kepada manusia. Ia menjadi kasar dan sajak-sajaknya sangat naturalistis. Juga dalam sandiwara-sandiwara dan cerita atau sketsa yang ditulisnya, sensualisme sangat kentara. Ia tampaknya mau menjadi nihilis yang mencampakkan segala nilai dan berkehendak mereguk hidup sepuas-puasnya tanpa mengindahkan acuan-acuan moral dan agama lagi. Sajak-sajak dan karangan-karangan lainnya kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Pembebasan Pertama (1949).”
            Kalau menurut pandangan saya sendiri, saya pikir, kalau disebut kasar dan naturalistis mungkin iya, tapi saya lebih suka menyebutnya blak-blakan. Tapi untuk mengarah ke nihilis, saya pikir tidak juga. Amal hanya memotret realitas paling menyakitkan dari jiwa-jiwa manusia. Seperti kata sajaknya “Nafsu Itu Tuhan”, ini adalah  peperangan budi dan nafsu. Pada sajak “Aku Hendak Ke Mana”, ia juga berhasil membuat jarak. Kebanyakan sajak yang lugas itu menggunakan kata ganti orang pertama. Jadi kelihatan seperti pandangan pribadi. Ya, bagi saya, inilah sajak yang jujur. Bukankah pada manusia diilhamkan kebaikan dan kebusukan. Amal Hamzah dengan sangat baik memotret kebusukannya sendiri, yang tak lain adalah juga kebusukan manusia. Sajak-sajaknya yang lugas banyak termuat di sub-kumpulan Sine Nomine. Namun di sub-kumpulan itu juga ada sajak “Pagi” yang begitu lembut.   

            Namun, bagian yang saya suka dari buku ini adalah romannya. Berjudul Suwarsih, dan diberi embel-embel: Roman Ambruknya Sebuah Rumah Tangga. Roman yang selesai di Jakarta, dan dikerjakan dari Januari sd 3 Pebruari 1945 itu, mengasyikkan saya. Saya yang jarang membaca roman ini, (karena zaman sekolah tak pernah ada kewajiban membaca roman), terangguk-angguk menikmati jalannya cerita. Benar-benar di bawa ke kehidupan jaman itu, jaman peralihan, jaman yang berubah cepat. Mungkin saya harus lebih banyak membaca novel lagi. Biar punya pembanding.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar