Laman

Tonggak

Minggu, 03 November 2013

M. Fadjroel Rachman: SEJARAH LARI TERGESA


Data buku kumpulan puisi

Judul : Sejarah Lari Tergesa
Penulis : M. Fadjroel Rachman
Cetakan : I, Agustus 2004
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : xiv + 63 halaman (31 judul puisi), format landscape
ISBN : 978-979-22-0985-9
Ilustrasi sampul : Teguh Ostenrik
Tulisan judul : Mahatma Yudhistira Kusuma Putera
Desain sampul : Pagut Lubis
Prolog : Joko Pinurbo (Pena Berdarah)
Epilog : Enin Supriyanto (Antara yang Puitik dan Politik)

Beberapa pilihan puisi M. Fadjroel Rachman dalam Sejarah Lari Tergesa

Menari di Tepi Waktu

andai aku bertemu lagi denganmu. aku pasti tersipu menyebut namamu
karena tanpa ragu, engkau menyebut namaku. dengan keramahan, dan ejaan sempurna
engkau bertanya, “ke mana saja kamu selama ini?”
“aku menunggumu sejak perpisahan terakhir,” ujarmu memelukku lembut, matamu basah merindu airmata

ya, aku pernah mengenalmu, pada suatu waktu. engkau tiba-tiba hadir, kita bertukar kartu nama tanpa alamat
aku meninggalkanmu di simpang jalan, karena harus menempuh nasibku sendiri, tanpa peta, tanpa penunjuk arah
aku ingat engkau menitikkan airmata, lalu berucap, “temui aku di tepi waktu, bila cemas dan rindu memuncak.”
ya, aku ingat hari itu, magrib bergegas turun. aku elang muda kelaparan, melayang menembus waktu

andai aku bertemu lagi denganmu. inilah yang yang akan kukatakan,

“tuhan, terimakasih, engkau masih menyimpan kartu namaku.”

2003



Kalender Menulis Dirinya Sendiri

3 juta obor menari telanjang di tepi mekong, 3 juta ajal berenang telanjang ke muara mekong

airmata mengiris malam mendanau darahnya. ombak beringsut menyergap tangis
kunang-kunang mengoyak nadi kabut, beterbangan di rumah ajal yang murung

di saku baju peta kamboja menetes darah, udara tiba-tiba asin, kristal garam berhamburan
sungguh, kegelapan tak lagi menakutkan. kecemasan menari disiram hutan tak berwajah

3 juta jemari biru terjulur dari kubur mengiris-iris purnama

jam meleleh, dan kalender menulis dirinya sendiri

2002


Danau Haiku

terlalu banyak anggur putih malam ini, gelombang menyeret jejak waktu dan harum tubuhmu ke langit jauh
bulan keperakan menggantung di tepian malam, begitu rapuh. gagak liar menjaring kristal luka, menyayat senja tua

“aku mencincangnya di lelap pantai, dalam kegelapan samudera, hotchu-san,” teriak serak garam selat kyushu
“di dasar luka engkau temukankah belulang musim gugur?” tanyamu sambil menari mengurai perak cahaya bulan
seribu perahu berarak, tenggelam menyeret matsuo basho ke danau haiku

the old pond –
a frog jumps in:
the sound of water

“engkau terlalu ramah untuk dunia ini,” desis garam selat kyushu. “tidakkah segelas anggur putih, sekecup duka,
menyalakan menara kehidupan di kuil jiwamu,” ringkik garam sambil menyelam, menjemput kupu-kupu mati di
lautan
hotchu san, kita memeluk malam, dengan tubuh remuk, sambil menari letih di hotel-hotel kematian. sendirian

esok pagi serpihan perak cahaya bulan berserakan di jalanan, ada jejak waktu dan harum tubuhmu
di langit sepi berkelap-kelip kristal luka dan kepedihan kita disisakan garam selat kyushu,

juga, setetes tangis kupu-kupu mati

1995


Ketika Waktu Bukan Milik Kita Lagi

30 kunang-kunang menari di langit jakarta, menembus magrib tergesa. darahnya manis disihir rembulan
kabut memeluk malam, bintang jatuh menoreh siang di dada langit. memeluk kenangan, impian lumpuh

“darah segar masih harum tercium di aspal jalanan,” bisik embun pagi

“ya di hitam lengan kupeluk tubuh muda itu terhempas,” kenang aspal jalanan mengusap airmata
malam begitu dingin bunda, begitu dingin dan begitu rakus lidah matahari mengupas merah kenangan

30 kunang-kunang menari di langit jakarta, menembus magrib tergesa. darahnya manis disihir rembulan
menarilah, hingga airmata kering diisap rembulan, darah biarlah memerah mawar di hati bunda

“siapakah engkau?” rintih ibu tua memeluk senja, tangisnya menetes darah, menggenang cemas di kubur anak
sepasang kunang-kunang hinggap di pangkuan, mendekap bayi merindu. sayapnya manis, darahnya manis

“aku pulang, sepasang mata biru buah hatimu.”

2003


Tiga Peluru Meracuni Malam

aku rindu tanah-airku, aku rindu gerimis jatuh di yangoon

ayahku, bagai anjing terjungkal bersimbah darah dengan 3 peluru pecah di kepala
kekerasan adalah iblis dari neraka terpanas, melambai rindu, membakar langit merah chiang mai
3 peluru di saku baju meracuni malam, 3 peluru di kepala pembunuh ayahku

hujan daun pinus merebahkan diri, lelap berselimut embun di ladang cemara
berjuta bunga mekar di chiang mai, melayang di senja tua menjelma diriku

chiang mai dipeluk sepi, dendam mengembun bunga liar, menetes diam-diam di abu persembahan
malam ini yangoon melesak dalam mimpiku, 3 peluru melesak di kepala ayahku
aku ingin menari, aku ingin menyanyi tentang kehilangan dan rindu gerimis di yangoon

rintik hujan jatuh melukai daun pinus. Malam likat mewangi mawar, gemuruh di sunyi belulang
3 peluru menghitam di abu persembahan, 3 peluru di saku baju meracuni malam

aku rindu tanah-airku, aku rindu gerimis jatuh di yangoon
aku rindu menangis dalam hujan cemara di yangoon

hingga sempurna airmata malam menenun kebahagiaan

2002


Bila Tubuh Hadir Bergegas

ransel lelah bertanya pada lobby hotel, “ada kamar kosong? yang paling murah saja.” sebelum kata melepas kantuk
sambil menendang tempias hujan, lobby hotel terkantuk-kantuk mengangguk, “tulislah alamat tuan di buku tamu.”
“apakah setiap orang harus punya alamat?” tanya sepatu tua
“alamatku di sini, malam ini,” bisik ransel pada buku tamu
“harus tuan,” ejek kunci kamar, “tiap tubuh punya akar walau berpindah dari hotel ke hotel,” ujar bunga di jambangan

walau sementara
walau sementara

“selamat datang, wahai tuan tanpa alamat, wahai tuan tanpa tujuan,” ejek lobby hotel, buku tamu, dan kunci kamar

“apakah yang kau cari bersama sepatu tua dan ransel lelah?” tanya kabut sambil meludah ke jambangan bunga

: bila tubuh hadir bergegas, sebelum waktu menikam tuntas

2003


Senja Jatuh di Orchard Road

“uap alkohol dan harum babi panggang tak akan mengantarmu ke neraka,” ujar denting piano melompat menyambar
meja putih bersih, meledakkan piring saus merah darah. “kemiskinan dan doa juga tak akan mengantarmu ke surga,”
desak irama jazz yang melengking kusut, menyeret tuan raffles melompat ke sungai keruh singapura, riuh dan letih

“revolusi tak dijual di orchad road,” desis mimpi tersedak pengemis cina tua, menidurkan dendam di jembatan
penyeberangan. “sungguh mudah bukan membeli marx, lenin, mc donald dan nina ricci di orchad road,” tergeletak
tiger beer menyembur gitar sember klub jazz tua. “nasib tak pasti mesti ditata rapi di etalase orchad road,” tangis
melayu dan india tua. “tapi, di manakah tanah air tanpa airmata?” cekik irama jazz mematahkan leher singapura

senja jatuh di orchad road, gucci dan nike bergegas bergandengan tangan, menyetop bus kota melenggang genit

“tak perlu gelisah, besok kita kembali shopping, membeli airmata,” hibur gucci menghempaskan tubuh berlemak

2003


Mayat itu Terapung di Sungai Kata
yohanis tajoja (60) dan buce (30)

“kepada siapakah tuhan berpihak tadi malam?” bisik cemas mencekik kunang-kunang
“kedua mayat ditemukan tewas terapung si sungai puna, poso pesisir,” desis lirih detik pukul 14:00

“kepada siapakah tuhan berpihak tadi malam?” bisik cemas mencekik kunang-kunang
“kedua mayat ditemukan tewas tergantung di sungai kata, kompas halaman 11,” desis lirih detik pukul 7:00

“kepada siapakah tuhan berpihak tadi malam?” bisik cemas mencekik kunang-kunang
“kedua mayat ditemukan tewas terapung di sungai mimpi, dilelap bundanya,” desis lirih detik pukul 24:00

sungai puna
sungai kata
sungai mimpi

:deras dan dingin arusnya ke muaramu

2003


Nyanyian Orang Biasa

siapa tahu gelombang hati manusia. siapa yang tahu?
tanpa uang dan kekuasaan, siapa menyapamu. bahkan teman seperjalanan paling akrab, tanpa pamit meninggalkanmu

siapa tahu gelombang hati manusia. siapa yang tahu?
tanpa uang dan kekuasaan, siapa mencintaimu. bahkan kekasih paling dicintai, tanpa pamit meninggalkanmu

siapa tahu gelombang hati manusia. siapa yang tahu?
tanpa uang dan kekuasaan, siapa akan setia padamu. bahkan sahabat paling setia, tanpa pamit meninggalkanmu

bila semua pergi, tanpa pamit meninggalkanmu,

: siapa paling tahu gelombang hati manusia

2003


Tarian Penyaliban Manusia

apa kabar ikan asin, sayur kangkung, dan segelas teh pahit di cangkir berkarat?
apakah sebenarnya yang mengikat engkau dan aku?
kesetiaan, cita-cita, atau sekadar lapar dan kebahagiaan kecil?

“udara berdebu dan oksigen penuh racun!” teriak lelaki mabuk
mengapa harus mabuk? bayangkan upacara suci ini di suatu pagi musim panas
engkau bersiul dan hatimu bagai kapas
ada seekor ikan asin dan semangkuk sayur kangkung di piring berkarat
serta segelas teh pahir di cangkir berkarat
semua kenangan pahit telah kau larutkan dalam uap teh kemarin malam
lalat mendengung, jendela berderit disentuh angin
“bukankah cinta dan hati yang lapang menerobos dinding pemisah aku dan alam semesta?”

baiknya ada seorang perempuan, tetapi kurasa tak usah saja
perempuan selalu mengatur tetek bengek hidup kita
(tetapi lelaki sama menggelikannya, juga diriku)
“rambutmu kacau dan warna bajumu tak cocok di badan,” katanya
“duduklah dengan sopan dan pikirkanlah kebahagiaan kita di masa depan,” katanya
tetapi hatiku selalu bertanya, “adakah keteraturan di alam semesta dan sejarah manusia?”

sebaiknya juta tak ada bentakan dan hentakan sepatu lars (pada lantai dan tubuh kita)
juga tak ada tangis kehilangan, putus asa dan kesakitan
doa juga tak penting,
karena mengingatkan ketakberdayaan dan keputusasaan

bukankah seekor ikan asin, semangkuk sayur kangkung, dan secangkir teh pahit di cangkir berkarat
diuapi cinta dan hati yang lapang, mengingatkan keberadaan dan keterlemparan kita di bumi ini?

bukankah ini juga upacara suci seorang lelaki mabuk dan kesepian
derit pintu sel selalu menghantam gendang telinganya dan menggetarkan seluruh urat sarafnya
jeruji, sebesar ibu jari kaki, mencekik urat lehernya, menusuk kedua kornea matanya
teriakan kesakitan, tangis kehilangan, dan jerit keputusasaan menerobos dinding selnya
darah menyiram jalan raya, hutan, kebun petani miskin, bahu kaum pekerja,
jagat raya, dan wajah kita

orang-orang berlari dari kota ke kota
orang-orang berlari dari penjara ke penjara
orang-orang berlari dari mimpi ke mimpi
orang-orang berlari dari kata ke kata

di dungu kecil dilahirkan penuh rasa syukur
setia patuh menarikan upacara suci di ruang-waktu berdarah
di altar penyaliban manusia

lalu, apa kabar ikan asin, sayur kangkung dan segelas teh pahit di cangkir berkarat?
apakah sebenarnya yang mengikat engkau dan aku?
kesetiaan, cita-cita, atau sekadar lapar dan kebahagiaan kecil?

1989 (LP Kebon Waru-Sukamiskin)
* ditulis ulang dari Catatan Bawah Tanah


Tentang M. Fadjroel Rachman
M. Fadjroel Rachman kelahiran Banjarmasin, 17 Januari 1964. pernah kuliah di Jurusan Kimia, Institut Teknologi Bandung hingga mengerjakan tugas akhir, tapi tidak selesai karena terlibat Peristiwa 5 Agustus 1989 dan dipenjarakan 3 tahun (dijalani di Penjara Bakorstanasda Jawa Barat, Penjara Kebun Waru, Penjara Polwiltabes Bandung, Penjara Nusakambangan dan Penjara Sukamiskin Bandung). Pernah menjadi presiden grup apresiasi sastra (GAS) ITB tahun 1985-1986. Antologi puisinya: Antologi Puisi Pesta Sastra Indonesia (penerbit pikiran rakyat/granesia bekerjasama dengan kelompok sepuluh  Bandung, 1985). Kumpulan puisi tunggal pertamanya: Catatan Bawah Tanah (1993)


Catatan Lain
Penyairnya menyebut dalam Pembuka Kata, bahwa dari 30 puisi dalam buku ini, 28 buah belum pernah dipublikasikan dan dua puisi adalah ditulis kembali dalam bentuk penulisan baru dari kumpulan Catatan Bawah Tanah. Lalu ditambah satu puisi yang disebutnya esai-puisi, berjudul “Korban yang Dikorbankan”, yang 13 November 2003 pernah terbit di Kompas sebagai artikel.
            Dalam Prolog yang ditulis Joko Pinurbo, dikatakan: “Seusai membaca seluruh puisi, saya menemukan pena yang telah berlumur darah: darah musuh maupun darah penyair. Bahkan bisa jadi puisi-puisi ini sendiri ditulis dengan pena yang sudah berdarah. Dan darah yang bergelimangan dalam sajak-sajak Fadjroel bukan hanya darah yang menetes atau mengucur dari luka. Darah dalam puisi Fadjroel seakan telah menjadi warna kehidupan.”
            Tapi bagian yang saya suka dari tulisan Jokpin adalah bagian ini: “Dalam hal sajak-sajak Fadjroel, saya beroleh perasaan mual karena menjumpai begitu banyak darah, mayat, dan airmata. Mungkin karena saya tidak tahan melihat darah, tidak begitu suka melihat airmata, dan tidak pernah benar-benar siapa menyaksikan kematian. Perasaan seperti itu muncul di tengah situasi kalang kabut dan tidak menentu di mana kata-kata berderap dan menyergap bertubi-tubi. Hadirnya banyak tuhan tidak cukup mampu membebaskan saya.//Teror mental? Siapa takut! Sebagai pembaca, saya masih dapat mencari dan menemukan celah sunyi di sana sini. Celah sunyi itu memang kecil dan tersembunyi, tapi bagiku cukuplah.”
            Di bagian akhir, Jokpin menulis bahwa dalam kaitan dengan buku ini maka menulis puisi bukan sekadar kerja artistik, ia merupakan bagian dari komitmen dan cita-cita politik. Namun diberinya juga embel: “Tentu saja, ketika sudah berjumpa dengan pembaca, puisi punya cara tersendiri untuk mewartakan makna.”

            Buku koleksi Hajriansyah ini, jika melihat Barcode-nya, maka agak spesial karena diembeli “Buku Harga Khusus GPU” yaitu Rp. 10.000,- cuma.

2 komentar:

  1. Prolog dari bapak Joko Pinurbo, menunjukkan puisi dalam buku ini layak di acungi jempol. Pemberontakan diri, keputus asaan, dan setitk harapan. Mungkin nuansa yang tertangkap dalam buku ini.( yang terbaca oleh mata awamku, maaf kalau salah hehe ), tapi keren.aku suka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pembaca adalah raja, Mba. Konon ada yang percaya, begitu puisi lahir, penyairnya meninggal dunia. hehe...

      Hapus