Laman

Tonggak

Minggu, 03 November 2013

CHAIRIL ANWAR PELOPOR ANGKATAN 45



Data Buku

Judul : Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45
Penulis : H. B. Jassin
Cetakan : VII, 1985 (cet. I, 1956)
Penerbit : PT. Gunung Agung, Jakarta
Tebal : 184 halaman
Gambar kulit dan penata wajah : AMA

Beberapa sajak hasil terjemahan Chairil Anwar  dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.
(Tapi sebelumnya, kita nikmati dulu “satu-satunya” sajak Chairil Anwar yang ditulis dalam bahasa Belanda: Catastrophe, hlm. 63)

Catastrophe

Hun vijver werd moeras,
Rust werd gevaar,
En nymphen zonken
Zwaar toen zij niet
Meer zwemmen konden.

Het bleekgroen riet
Week, door zwart poelgewas
Verstikt en overwoekerd,
Van de verwaasde oev’ren.

Toen enklen boven dreven,
Gezwollen als verworgden,
De heren los,
Doken die overleefden
Dieper in het bos.

Maar steeds naar de ramp getrokken
Zagen zij and’re doden
Die niet verdronken:
Zij die niet vloden

Liggend in ‘t slib, de voeten
Domplend in drabbig water,
Een prooi voor iedren sater,
Wiens bronst hen komt bezoeken.

Jakarta, 23 September 1945
* Dari Seruan Nusa. Memperingati berdirinya I Tahun K.R.I.S. Oktober 1945-1946, Yogyakarta, hal. 19.




Huesca

Jiwa di dunia yang hilang jiwa
Jiwa sayang, kenangan padamu
Adalah derita di sisiku,
Bayangan yang bikin tinjauan beku.

Angin bangkit ketika senja,
Ngingatkan musim gugur akan tiba.
Aku cemas bisa kehilangan kau,
Aku cemas pada kecemasanku.

Di batu penghabisan ke Huesca,
Pagar penghabisan dari kebanggaan kita,
Kenanglah, sayang, dengan mesra
Kau kubayangkan di sisiku ada.

Dan jika untung malang menghamparkan
Aku dalam kuburan dangkal.
Ingatlah sebisamu segala yang baik
Dan cintaku yang kekal.

(diterjemahkan dari puisi John Cornford, Huesca)


Jenak Berbenar

Yang kini entah di mana di dunia nangis,
tidak berpijakan di dunia nangis,
nangiskan aku

Yang kini entah di mana tertawa dalam malam,
tidak berpijakan tertawa dalam malam,
mentertawakan aku

Yang kini entah di mana di dunia berjalan,
tidak berpijakan di dunia berjalan,
datang padaku

Yang kini entah di mana di dunia mati
tidak berpijakan di dunia mati
pandang aku.

(diterjemahkan dari puisi R.M. Rilke, Ernste Stunde)


Mirliton

Kawan, jika usia kelak
meloncer kita sampai habis-habisan,
jika seluruh tubuh, pehong lagi bengkok,
hanya encok tinggal menentu kemudi,
menyerah : “Sampai sini sajalah”,
akan menyingkirkah kita bertambur bisu
mencari jalan belakang
kawan?

Ini tersurat juga bagi pengantin pilihan:
sekeras batu laun ‘kan terkikis,
dan ini karkas, barang sewaan,
meninggalkan kita, tidak lagi memaling –
Cukup! Berkeras sampai gerum penghabisan
kawan

(diterjemahkan dari puisi E. Du Perron, Mirliton)


Musim Gugur

Tuhan : sampai waktu. Musim panas begitu megah
Lindungkan bayanganmu pada jarum hari
dan atas padang anginmu lepaslah.

Titahkan buahan penghabisan biar matang
beri padanya dua hari dari selatan lagi
Desakkan mereka ke kemurnian dan buru jadi
gula penghabisan dalam anggur yang garang.

Yang kini tidak berumah, tidakkan menegak tiang
Yang kini sendiri, ‘kan lama tinggal sendiri,
‘kan berjaga, membaca, menyurat panjang sekali,
dan akan pulang balik melalu gang
berjalan gelisah, jika daunan mengalun pergi.

(diterjemahkan dari puisi R.M. Rilke, Herbsttag)


Datang Dara, Hilang Dara

“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”

“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”

“Dara, rambutku lepas terurai
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”

“Tidak, aku tidak mau!
Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang-bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lagu.”

“Dara, dara, anak berani
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”

“Heeyaa! Lihat aku menari di muka laut
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”

“Dengarkanlah, laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”

“Gelombang tidak mau menelan aku
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”

“Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?”

Malam kelam mencat hitam bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak –

(diterjemahkan dari puisi Hsu Chih-Mo, A Song of the Sea)


Fragmen

Tiada lagi yang akan diperikan? Kuburlah semua ihwal,
Dudukkan diri beristirahat, tahanlah dada yang menyesak
Lihat ke luar, hitung-pisah warna yang bermain di jendela
Atau nikmatkan lagi lukisan-lukisan di dinding pemberian
                                                            teman-teman kita.
atau kita omongkan Ivy yang ditinggalkan suaminya,
jatuhnya pulau Ikinawa. Atau berdiam saja
Kita saksikan hari jadi cerah, jadi mendung,
Mega dikemudikan angin
- Tidak, tidak, tidak sama dengan angin ikutan kita …
Melupakan dan mengenang –

      Kau asing, aku asing,
Dipertemukan oleh jalan yang tidak pernah bersilang
Kau menatap, aku menatap
Kebuntuan rahsia yang kita bawa masing-masing
Kau pernah melihat pantai, melihat laut, melihat gunung?

     Lupa diri terlambung tinggi?

Dan juga
diangkat dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain
mengungsi dari kota satu ke kota lain? Aku
sekarang jalan dengan 1 ½ rabu.
Dan
Pernah percaya pada kemutlakan soal …
Tapi adakah ini kata-kata untuk mengangkat tabir pertemuan
memperlekas datang siang? Adakah –

Mari cintaku

Demi Allah, kita jejakkan kaki di bumi pedat,
Bercerita tentang raja-raja yang mati dibunuh rakyat;
Papar-jemur kalbu, terangkan jalan darah kita
Hitung dengan teliti kekalahan, hitung dengan
teliti kemenangan. Aku sudah saksikan
Senja kekecewaan dan putus asa yang bikin tuhan juga turut tersedu
membekukan berpuluh nabi, hilang mimpi, dalam kuburnya.
Sekali kugenggam Waktu, Keluasan di tangan lain
Tapi kucampur baurkan hingga hilang tuju.
Aku bisa nikmatkan perempuan luar batasnya, cium
matanya, kucup rambutnya, isap dadanya jadi
gersang.

Kau cintaku

Melenggang diselubungi kabut dan caya, benda yang tidak menyata
Tukang tadah segala yang kurampas, kaki tangan tuhan –
Berceritalah cintaku bukakan tubuhmu di atas sofa ini
Mengapa kau selalu berangkat dari kelam ke kelam
dari kecemasan sampai ke istirahat-dalam-kecemasan;
cerita surya berhawa pahit. Kita bercerita begini –

Tapi sudah tiba waktu pergi, dan aku akan pergi
Dan apa yang kita pikirkan, lupakan, kenangkan, rahsiakan
Yang bukan-penyair tidak ambil bagian.

(diterjemahkan dari puisi Conrad Aiken, Preludes to Attitude)


Lagu Orang Usiran

Misalkan, kota ini punya penduduk sepuluh juta
Ada yang tinggal dalam gedung, ada yang tinggal dalam gua
Tapi tidak ada tempat buat kita, sayangku, tapi tidak ada tempat buat kita

Pernah kita punya negri, dan terkenang rayu
Lihat dalam peta,akan kau ketemu di situ
Sekarang kita tidak bisa ke situ, sayangku, sekarang kita tidak bisa ke situ

Di taman kuburan ada sebatang pohon berdiri
Tumbuh segar saban kali musim semi
Pasjalan lama tidak bisa tiru, sayangku, pasjalan lama tidak bisa tiru

Tuan Konsol hantam meja dan berkata:
“Kalau tidak punya pasjalan, kau resmi tidak ada.”
Tapi kita masih hidup saja, sayangku, tapi kita masih hidup saja.

Datang pada satu panitia, aku ditawarkan korsi
Dengan hormat aku diminta supaya datang setahun lagi
Tapi ke mana kita pergi ini hari, sayangku, ke mana kita pergi ini hari.

Tiba di satu rapat umum; pembicara berdiri dan kata:
“Jika mereka boleh masuk, mereka colong beras kita.”
Dia bicarakan kau dan aku, sayangku, dia bicarakan kau dan aku.

Kukira kudengar halilintar di langit membelah
Adalah Hitler di Eropah yang bilang: “Mereka mesti punah.”
Ah, kitalah yang dimaksudnya, sayangku, ah kitalah yang dimaksudnya.

Kulihat anjing kecil dalam baju panas terjaga
Kulihat pintu terbuka dan kucing masuk begitu saja
Tapi bukan Yahudi Jerman, sayangku, tapi bukan Yahudi Jerman.

Turun ke pelabuhan dan aku pergi berdiri ke tepi
Kelihatan ikan-ikan berenang merdeka sekali
Cuma sepuluh kaki dari aku, sayangku, cuma sepuluh kaki dari aku.

Jalan lalu hutan, terlihat burung-burung di pohon
Tidak punya ahli-politik bernyanyi ria mereka konon
Mereka bukanlah para manusia, sayangku, mereka bukanlah para manusia.

Kumimpi melihat gedung yang bertingkat seribu
Berjendela seribu dan berpintu seribu
Tidak ada satupun kita punya, sayangku, tidak ada satupun kita punya.

Berdiri di alun-alun besar ditimpa salju
Sepuluh ribu serdadu berbaris datang dan lalu
Mereka mencari kau dan aku, sayangku, mereka mencari kau dan aku.

(diterjemahkan dari puisi W.H. Auden, Song XXVIII)
* ada dua versi terjemahan Song XXVIII dengan redaksi yang sedikit berbeda di buku ini.


Biar Malam

Biar malam kini lalu,
cinta, tapi mimpi masih ganggu
yang bawa kita bersama sekamar
tinggi seperti gua dan sebisu
stasion akhir yang dingin
di malam itu banyak berjejer siur katil-katil
Kita terbaring dalam sebuah
yang paling jauh terpencil.

Bisikan kita tidak pacu waktu
kita berciuman, aku gembira
atas segala tingkahmu,
sungguhpun yang lain di sisiku
dengan mata berisi dendam
dan tangan lesu jatuh
melihat dari ranjang.

Apakah dosa, apakah salah
kecemasan berlimpah sesal
yang jadikan aku korban
kau lantas lakukan dengan tidak sangsi
apa yang tidak bakal aku setuju?
dengan lembut kau ceritakan
kau sudah terima orang lain
dan penuh sedih merasa
aku orang ketiga dan lantas jalan

(diterjemahkan dari puisi W.H. Auden, Song IV. Terjemahan puisi ini tidak dijuduli oleh Chairil Anwar)


Hari Akhir Olanda di Jawa
oleh Sentot

Mau terus kau menginjaki kami
Hatimu menulang karna uang
Kau, tuli ‘kan tuntutan hak dan rasa
Menghasut kelembutan jadi kekerasan?

Maka kami bercontoh ke kerbo
Yang jemu diejek, lalu meruncing tanduk
Melambung penunggangnya bengis ke atas
Lantas kakinya kasar menghantam penyet.

Maka api perang membakar ladangmu
Gunung serta lembah menghawa dendam
Asap mengepul dari tiap kediamanmu
Angkasa bergetar pekikan bunuh.

Maka telinga kami ‘kan merasa nikmat
Mendengarkan raung-tukikan bini-binimu
Kami ‘kan bertepuk bergembira
Berjejer melihati mampusnya kekuasaanmu.

Maka anak-anakmu ‘kan kami sembelih
Anak-anak kami bergelimang di darah mereka
Supaya utang yang berabad lama
Begitu berlipat terbayar kembali.

Dan jika metari turun di barat
Samar agak di belakang uapan darah
Dia menerima erangan mati
Sebagai tanda pisah penghabisan dari Olanda.

Dan jika pelikat malam
Menyelimuti alam yang sedang berasap
Anjing utan mengais antara ungguk mayat
Merobek, menghisap, menggerutu …..

Maka putri-putrimu ‘kan kami larikan
Dan segala dara kami miliki
Kami beristirahat di dada putih mereka
Letih membunuh, letih berperang.

Dan jika segala penodaan ‘lah kami lakukan
Kami capek memeluk-cium
Kami sudah kenyang enek
Hati oleh dendam, tubuh oleh napsu,

Maka kami ‘kan ria berpesta
Seruan pertama : “Kita beruntung!”
Seruan kedua : “Pada Isa Kristus!”
Teguk penghabisan : “Pada Tuhan Olanda!”

Dan jika metari naik di timur
Berlutut tiap ‘rang Jawa depan Mohammad
Karna dibebaskan bangsa yang terlembut
Dari kongkongan anjing-anjing Kristen.

(Disalin-terjemahkan dari Multatuli, Max Havelaar)


P. P. C.

Tinggal, Clary. Tidak ‘ku mengucap selamat.
Nanti kelihatan tolol, juga biar datang dari hati
Sudah kau jual dirimu. Jangan lagi beruwet
Tentang apapun : manusia memang penghiba hati.

Rumahmu kecil dulu. Tuanmu datang membesarkan,
Hartanya tidak bakal putusnya, menurut cerita.
Kau terpandang sampai nafasnya penghabisan.
Kau berjiwa kecil. Nah! Inilah yang sebenarnya.

Badanmu menapsukan. Kau betina jelita.
Kau lahirkan anak manis buat tuanmu.
Kau tak bisa berlepas, tapi toh bersetia saja.
Kau disegani, tetap terjaga namamu.

Tinggal, Clary. Dengan aku kau tidak ‘kan bertemu
Kau ‘ku jauhi, sampai dalam mimpi.
Ah! Impian sebelum kita bertemu.
Kau tetap kau. Aku padamu menista saja.

(diterjemahkan dari puisi E. Du Perron, P. P. C.)


Somewhere

Mungkin sekarang kita berkawan dan
besok boleh jadi semua terlupa
baik kau padaku, persenan lebih dari semusti
bayu mengusap, selempap setawar sedingin
Aku toh ‘kan kembali seperti sebelum
mengenal kau, tapi jenak ini
‘ku mau percaya teras kecil ini
adalah Dunia, malahan batas Dunia.

Tumpukkanlah segalanya atas
bahwa aku kawanmu dan kau kawanku –
langit berwarna kelabu, bayangkanlah dia merah
seperti dulu lagi di Italia.
Kita bersatu tapi sama tahu dan sadar:
Suatu kata lebih ringan dari bulu merpati;
kataku “cinta”, tapi ‘ku kan lupa
pernah kau bilang : “Ah, cuma sekali mencinta?”

Jangan jadi pusing kerna nyaris-bercintaan ini
semua ‘kan lupa kalau apa yang terbedah,
sehabis perjuangan, sembuh atau terkatup lagi.
Aku toh menyebut “cinta”. Tidak kayak dulu-dulu
juga bukan yang sekali! Ini bukan terpaan.
Jaman masih bergedoncak segila bisa,
udara pucat dan bersedih terhampar:
‘ku mainkan kata yang dulu mengharu
dalam persahabatan padamu pengisi hampa.

(diterjemahkan dari puisi berbahasa Belanda E. Du Perron, Somewhere)


Hari Tua

Tetaplah padaku juita, sebab api makin mati
Anjingku dan aku sudah tua, ketuaan bakal mengelana
Lelaki bernapsu teruna bikin mengkilang pencaran air terbang
sangat kaku akan bakal mencinta
untuk maju, terlalu beku bercinta

Kuambil buku dan dekatkan diri pada dian
Bolak balik lembaran kuning lama; dari menit ke menit
Jam berdetik kena kalbuku; sebuah kawat kering
Bergerak
Aku tidak kuasa layari lautanmu, aku tidak kuasa edari
Ladangmu, juga pegununganmu, juga lembahmu
Tidak bakal lagi, juga tidak pertarungan nun di sana
Di mana perwira muda kumpulkan lagi barisan yang pecah
Hanya tinggal tenang sedangkan pikiranku mengenangkan
Keindahan nyala/api  dari keindahan

(diterjemahkan Chairil, yang menurut H. B. Jassin, tidak jelas oleh penyair mana, tapi salinan sajak dari bahasa aslinya ada)


Gerontion

Inilah aku, pak tua dalam bulan gersang
sedang dibaca oleh anak muda, ketika menanti hujan.
Aku tidak berada pada pagar hangat
Juga tidak terbenam hingga lutut dalam rawa garam,
mengayunkan pedang pandak.
Digigit lalar, berkelahi.
Rumahku adalah

(terjemahan sajak ini tidak selesai, baru 7 baris, dari sajak T.S. Eliot, Gerontion)


Sonnet

Tidak apa yang diberi gampang saja. Undang-undang mesti kita cari
Gedong-gedong besar berdesak-desakan dalam metari
Dan di belakangnya terjalani jeriji
Jauh tersembunyi gubuk dan teratak keji

Tidak apapun bisa menentukan nasib kita;
hanya tubuh berpasti; si besar dan si kecil rata-rata
mencoba bertambah naik; deretan rumah sakit saja
memperingatkan bahwa kita semua berderajat sama.

Siapapun, juga polisi, tetap menyayangi anak-anak:
mereka ceritakan tentang masa sebelum para perwira
mengenal sepi serta kehabisan langkah

(tiga baris lagi belum diterjemahkan, dari sajak W.H. Auden, Sonnet, terjemahan ke bahasa belanda oleh Van der Plas, dalam buku I Hear America Singing, dari bahasa Belanda lah Chairil menerjemahkan)


Song XI

Letakkan, cintaku, kepalamu yang terkantuk
Pada lenganku yang tidak setia
Bukankah jaman dan demam membakar
Keindahan yang dipercaya
dari masa kanak, di negeri mimpi –
kuburan saban kali tunjukkan
bahwa sang anak hidupnya pendek,
tapi biarlah sampai pagi
dalam pelukanku kau baring
sebagai insan hidup: usiamu terbatas
dan juga punya salah, tapi ah, bagiku
jelita yang sempurna.

Tubuh jiwa lepas kewajiban
jika mereka yang berkasihan
terhampar di lembah ajaib Venus
dalam deru, sudah mulai biasa saja;
maka dikirimkannyalah wajah impian

(6 baris dari kuplet ini dan 2 kuplet lagi belum diterjemahkan, Song XI, W.H. Auden)


Tentang Chairil Anwar
Chairil Anwar lahir di Medan, 26 Juli 1922. Berpendidikan MULO (tidak tamat). Pernah menjadi redaktur “Gelanggang” (ruang kebudayaan Siasat, 1948-1949) dan redaktur Gema Suasana (1949). Kumpulan sajaknya, Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, 1950). Chairil Anwar dianggap pelopor angkatan 45. Ia meninggal di Jakarta, 28 april 1949. Hari kematiannya diperingati sebagai Hari Sastra di Indonesia. Dan hari lahirnya sebagai Hari Puisi Indonesia.


Catatan Lain
Buku yang patut dimiliki oleh pecinta sajak Chairil Anwar. Banyak mengungkap selak-beluk sajak-sajak Chairil. Misalnya, akan kita peroleh keterangan tentang sajak “Aku” yang terkenal itu, hal 170: “Sajak ini punya dua nama. Yang asli ialah “Aku”. Nama sajak itu dirobah oleh Pusat Kebudayaan jadi “Semangat”, untuk menyesuaikannya dengan semangat zaman, supaya lolos dari sensur. “Aku” mempunyai interpretasi individualistis, sedang “Semangat” bisa dipertanggung-jawabkan sebagai perjuangan kolektif. Sajak ini buat pertama kali diperkenalkan oleh Chairil Anwar dalam pertemuan Angkatan Muda di Pusat Kebudayaan bulan Juli 1943 dan kemudian dimuat dengan kepala “Semangat” dalam ……..”
            H.B. Jassin juga bicara tentang plagiat-nya Chairil Anwar. Di satu bagian kita akan ketemu tulisan ini, (hlm. 41): “Timbul pertanyaan apakah sebabnya Chairil sampai melakukan plagiat? Apakah plagiat hobbinya? Ataukah ia menganggap orang Indonesia cukup bodoh untuk tidak akan pernah menemukan plagiatnya? Plagiatnya yang menggemparkan ialah “Datang Dara Hilang Dara”, yaitu terjemahan dari sajak Hsu Chih-Mo, beberapa bulan sebelum ia meninggal. Ini bisa diterangkan disebabkan karena penyakitnya yang banyak makan ongkos untuk pembayaran dokter. Kira-kira waktu inilah pula ia mengumumkan di bawah namanya sajak-sajak “Fragmen” dan “Krawang-Bekasi”. Saudara bertanya: mengapa dia tidak menyerahkan sajak-sajak itu sebagai terjemahan kepada redaksi majalah? – Tidak akan diterima saudara. Majalah-majalah kebanjiran oleh sajak-sajak yang asli dan terjemahan jarang diterima, atau kalau diterima lama sekali baru dimuat dan honorariumnyapun kurang dari honorarium sajak asli. Dan penyair begitu memerlukan uang dan segera untuk pengobatan penyakitnya. Sangat prosais alasan ini saudara, tapi begitulah.” 
            Lanjut, H.B. Jassin di hlm. 45 : “Sekarang hanya tinggal pertanyaan: Apakah hukuman sejarah pada penyair Chairil Anwar yang diakui telah membarui kesusastraan Indonesia tapi di samping itu telah melakukan kesalahan plagiat? Apakah karena plagiat beberapa sajak, semua sajaknya yang aslipun harus dianggap tidak lagi bernilai? Dan apakah karena itu harus dicopot predikat pelopor angkatan ’45?//Ini pertanyaan yang penting bagi para ahli hukum dan para moralis yang dalam hal ini diharap tidak melupakan faktor manusia dan keadaan.”         
            Dalam pada itu, H. B. Jassin juga pernah menyelidik. Apakah sajak “Nisan” yang ditulis bulan Oktober 1942 adalah sajaknya yang pertama? Tulis H. B. Jassin, di halaman 11: “Hal ini pernah saya tanyakan pada penyair dan menurut keterangannya perhatiannya kepada kesusastraan sudah mulai sejak ia duduk di bangku sekolah rendah dan dia sudah lebih dulu membuat sajak-sajak corak Pujangga Baru, tapi karena tidak memuaskannya lalu dibuangnya.”
            Dalam buku ini, terkait dengan sajak Chairil yang berbahasa Belanda, H. B. Jassin menulis: “Dalam cetakan ini saya sertakan pula sajak dalam bahasa Belanda “Catastrophe”, yang memakai nama Chairil Anwar, bertanggal: Jakarta, 23 September 1945. Sajak ini mula-mula pernah saya dapat, diguntingkan oleh seorang teman dari sebuah majalah yang tidak diingatnya namanya. Kemudian saya mendapat salinannya dari John. M. Echols dari Cornell University, yang menyalinnya dari majalah Seruan Nusa. Saya ragu-ragu tentang keaslian sajak ini, karena jiwa dan semangatnya serta tema dan lukisannya lain sekali dari umumnya puisi Chairil Anwar.” Di bagian lain, pernyataan ini diulangi lagi, hlm. 173: “Sajak ini ditemukan oleh J. M. Echols dari Cornell University, tatkala dia dalam tahun 1956 datang di Indonesia dan antara lain mengumpulkan majalah-majalah lama untuk keperluan universitas itu. Saya belum dapat memastikan apakah sajak ini sajak asli, meskipun di bawahnya dibubuhi nama Chairil Anwar. Jiwanya lain sekali dari umumnya puisi Chairil Anwar, demikian juga tema dan lukisan.”
            Menurut saya, satu-satunya alasan kenapa H. B. Jassin tetap memuat sajak ini meskipun jiwa dan semangatnya berbeda dari kebanyakan sajak Chairil, ya karena alasan yang saya paparkan di paragraf sebelumnya: bahwa Chairil pernah juga menulis sajak yang bercorak lain, corak Pujangga Baru. Atau barangkali, patut juga direnungkan, jangan-jangan ada orang lain yang memiliki nama yang sama, Chairil Anwar. Hehe.
            Dalam buku ini ada juga istilah saduran. Sajak Chairil yang dianggap saduran antara lain sajak “Kepada Peminta-minta”. James S. Holmes pernah mensejajarkan sajak itu dengan sajak yang berjudul Tot Den Arme karya Willem Elsschot. Hasilnya menunjukkan bahwa dari 20 baris sajak Chairil ada 16 yang sama dengan sajak Elsschot yang terdiri dari 24 baris, meskipun tidak dalam urutan yang sama. (baca hlm. 34). Pun sajak “Krawang-Bekasi” yang merupakan saduran dari sajak Archibald MacLeish, “The Young Dead Soldiers”.
                 H. B. Jassin juga meneliti sajak-sajak asli Chairil yang mendapat pengaruh dari penyair lain. Sajak “Catetan Th. 1946” dikatakan dipengaruhi sajak Inggris yang berjudul “War Poet” karya Donald Bain. Tulis H. B. Jassin (hlm. 35): “Perbandingan menurut sistem Holmes yaitu dengan memberi nomor-nomor, memberi kesimpulan kepada saya bahwa 6 dari 12 baris sajak Chairil menyerupai 6 baris sajak Bain yang terdiri dari 8 baris.//Secara kongkrit perbandingan di sini antara yang diambil dan punya sendiri paro-paro dan saya cenderung untuk menggolongkannya pada sajak asli yang mendapat pengaruh dari Bain.” Sajak “Kepada Kawan” mendapat pengaruh bersama dari 6 sajak Marsman dan 1 sajak Slauerhoff. Kata Jassin, pengaruh itu kelihatan dalam semangat, penggunaan kata-kata dan perbandingan-perbandingan (hlm. 175). Sajak “Orang Berdua” dipengaruhi (atau menurut bahasa Jassin: adalah sajak asli yang keras dipengaruhi, hlm. 48) sajak Marsman “De Gescheidenen”. Sajak “Rumahku”, termasuk unik, mula-mula dianggap saduran dari sajak Slauerhoff yang berjudul “Woninglooze”. Namun di cetakan ketiga, digolongkan sajak asli yang dipengaruhi. Meskipun 6 dari 12 baris sajak “Rumahku” sama dengan “Woninglooze” namun sebagaimana perkataan Mundingsari yang diamini Jassin, sajak Slaurhoff menggambarkan fatalism, sedang Chairil menonjolkan keyakinan yang kuat. Inilah yang membuat yakin Jassin menempatkannya sebagai sajak asli yang dipengaruhi.  
            Dalam buku ini, Jassin tidak hanya menunjukkan, tapi juga memuat sajak-sajak yang merupakan sumber terjemahan atau saduran atau pengaruh atau yang disinyalir berisi pengaruh, dalam bahasa aslinya. Kebanyakan bahasa Belanda, yang bahasa Inggris hanya “Preludes to Attitude” karya Conrad Aiken dan “The Young Dead Soldiers” karya Archibald MacLeish. Pengaruh-pengaruh kecil pun bahkan dikemukakan juga oleh Jassin dalam bukunya itu. Misalnya ia menulis, menjelang akhir 1963, ada seorang wartawan dan pengarang muda asal Makassar, bernama A. Rosadi Sani, mengirim sajak Ezra Pound bersama terjemahannya, yang menurut perasaannya ada persamaan dengan sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”. Judul aslinya “A Pact”, dikutip dari The Pocket Book Verse, sebuah antologi yang disunting oleh Oscar Williams. Terjemahannya sebagai berikut:

Persetujuan

Kubikin persetujuan dengan kau, Walt Whitman
Aku sudah menyia-nyiakan kau cukup lama
Aku datang padamu seperti bocah yang dewasa
Yang punya bapa dengan hati yang membatu
Aku sudah cukup lama sekarang membikin persahabatan
Kiranya kau yang telah mematahkan ranting-ranting muda
Kini tiba waktunya untuk berbagi
Kita punya satu zat satu urat
Biarkan dia bersatu dengan kita.

Komentar Jassin, memang ada persamaan ide dan persamaan nafas, namun sajak Chairil dianggap memiliki semangat, suasana, ungkapan, dan berdiri dengan keistimewaan sendiri. “Pengaruh Pound? – Memang. Dalam beberapa ungkapan. Plagiat? – Bukan.” kata Jasssin.
            Kemudian ada juga yang menyandingkan sajak Chairil “Cintaku Jauh di Pulau” dengan sajak Lorca berjudul “Cordoba”. Buyung Saleh menyebut sebagai memindahkan lingkungan suasana. Tapi Jassin berkata bahwa suasana dan pengerjaannya lain sekali meski kalau dideretkan kuplet demi kuplet dan baris demi baris ada kesamaan. Kesan persamaan yang menyolok terlihat di baris 11 pada kedua sajak. Kata Chairil, “Amboi! Jalan sudah bertahun-tahun kutempuh!” dan pada Lorca: ”Wahai! Amat panjangnya jalan!. Kata Jassin, di sini ada persamaan yang aneh karena nyata sangat kebetulannya (hlm. 30). Berikut dikutipkan “Cordoba”, dari bungarampai Puisi Dunia I terjemahan Taslim Ali.

Cordoba

Cordoba
Sayup-sayup dan sepi

Kudaku Zanggi, bulan purnama,
Dan buah zaitun di kantong pelana
Walau kukenal jaring jalannya,
Berasa, tak lagi kucapai Cordoba.

Memutus padang, menjuang angin
Kudaku Zanggi, pulan purnama.
Maut mengeram, mengintai di depan
dari Menara kota Cordoba

Wahai! Amat panjangnya jalan!
Wahai, Zanggi, kuda perwira.
Bila disergap maut di jalan:
Raib di mata gerbang Cordoba

Cordoba,
Sayup-sayup dan sepi



1 komentar: