Laman

Tonggak

Jumat, 04 Oktober 2013

Ajip Rosidi: ULAR DAN KABUT



Data buku kumpulan puisi

Judul : Ular dan Kabut, Sadjak-sadjak 1970 - 1972
Penulis : Ajip Rosidi
Tjetakan : I, Djanuari 1973
Penerbitan chusus : Budaja Djaja, Dewan Kesenian Djakarta
Tebal : 63 halaman (55 puisi)
Rentjana kulit oleh : A. Wakidjan

Beberapa pilihan puisi Ajip Rosidi dalam Ular dan Kabut
(catatan: penulisan menggunakan ejaan lama, sesuai buku)

Ular

Ular jang mendesis merisik, dengan warna kulit indah
mengedjarku, bahkan sampai dalam mimpi.
Berhenti! kataku. Dan ia menatap patuh, namun gelisah
Tiba-tiba kubatja: namamu terukir pada lidahnja yang terdjulur
merah.

1971


Kabut

Jang putih menjilaukan adalah kabut
Jang mengurungku dalam samar adalah kabut
Jang mendinding menghalang langkah adalah kabut
Jang hadir tak terdjamah adalah kabut
Jang bergetar tak terdengar adalah kabut
Jang diam, jang rahasia, jang tak pasti
adalah kabut.

1972



Sebuah Parabel
Buat Dan & Arlene

Orang-orang mendaki gunung, memahat batu
dan pulang sendja hari;
orang-orang berlajar ke laut, menangkap ikan
dan pulang sehabis badai;
orang-orang berangkat ke hutan, menebang kaju
dan pulang dengan beban jang berat;
dan orang-orang masuk kota, mendjerat angan-angan
tak seorangpun pulang kembali.

1972


Pada Suatu Saat, di Dunia
mengikuti sebuah sadjak R.M. Rilke

Di suatu tempat, entah di mana, di dunia
seseorang menunggumu, berdo’a
seperti do’a jang biasa kauutjapkan sehabis salat

Pada suatu saat, entah pabila, di dunia
seseorang merindukanmu, berdjaga-djaga
seperti malam-malammu jang berlalu sangat lambat

Seseorang menunggu, merindu, berdjaga dan berdo’a
di suatu tempat, pada setiap saat
seperti engkau, selalu.

1972


Drama Kabuki

I
Siapa main dalam Sukeroku lakon kabuki?
Siapa jang berperan djadi Agemaki?
Semua tak ada jang kukenal. Namun kuhapal tanganmu
Menating potji teh-hidjau harum mewangi.

II
Tatkala lajar turun, malam telah larut
Kita berkedjaran dengan waktu kian mentjiut
Kugenggam tanganmu dingin. Siapa masih bitjara?
Jang menempias renjai hanjalah angin.
     Antara kita bukan siapa.

1970


Seekor Badjing di Mount Vernon

Seekor badjing
tjelingukan kiri-kanan
di kebun Mount Vernon
peninggalan George Washington
ditonton para pengundjung
mendjelang petang
achir musimpanas jang pandjang

Para pendjaga
membiarkannja merasa aman
berlari sepandjang rumputan

Tak ada badjing betina
tapi ia merasa senang
di taman jang tenang
tjelingukan kiri-kanan
melintasi rumputan
melintasi waktu
tiba di keabadian kenang
karena di sini
masalampau djadi bagian hakiki
dari masakini

Sungai Potomac tak beriak
memberi kesaksian sedjarah
tentang arti rumah
jang mendjadi tempat ziarah
orang-orang jang sedjenak ingin mendjenguk
masalampau jang indah
dari djendela masakini jang sibuk

1972


Kepada Rodin

Kautjintai
manusia-manusia penuh mas’alah
jang melangkah, tertegun ragu, tengadah
hidup dalam himpitan. warga-warga calais
jang sia-sia melepaskan diri
dari persoalan.

Kautjintai
manusia-manusia jang selalu sungguh
jang terkulai dalam napsu, menggeliat berat
dalam ilusi jang hebat. Bahkan malaikat
kaubuat terdjerat dalam persoalan
manusiawi.

Kautangkap dalam djenak jang tepat
mendjelma mendjadi hidup
jang menumbuhkan kesadaran: Bahwa tak sanggup
kendati hanja lari
ke dalam kemutlakan
diri sendiri.

1972


Pelukis Affandi di Pasar Vittoria

Dengan djaket hitam
dan topi merah dari wolita
ia berdjalan menjelinap
sambil makan buah tjeri
di Pasar Vittoria, Roma,
bulan Djuni 1972.
Hari masih pagi.

Seorang pedagang memberi salam
karena mengia ia orang Tjina:
dipudjinja Mao
dengan ibudjari diatjungkan tinggi.
Affandi tertawa, dan dengan djenaka
ditawarnja sehelai djas musimdingin
dengan harga jang dibanting.

Tapi pedagang Italia
memberi salam bukan mau rugi
dia hanja tertawa dan berkata:
“Tjina tidak baik
djika menawar serendah itu!”
dan ditundjukkannja kelingking kiri.

Affandi hanja tertawa
karena ia bukan Tjina.

1972


Hamlet

Jang waswas selalu, itulah aku
jang gamang selalu, akulah itu

Ja Hamlet kusuka: dialah gambaran djiwaku
jang selalu waswas dan ragu. Membiarkan kau
mengembara dalam mimpi jang risau

Kutemukan pada Olivier, kegamangan falsafi
dunia jang muram dan masa depan jang suram
tapi kulihat ketjerahan intelegensi
seorang muda jang terlalu dekat kepada alam

Hamlet. Hamletku, ia datang kepadamu
menatap fana atas segala jang kudjamah: tahu
bahwa hidup melangkah atas ketakpastian
jang terkadang menentukan Kepastian.
Aku pasrah

1972


Tokyo Mendjelang Tengah Malam

Aku berlari-lari menempuh waktu jang hampir luput
Djandji ke Osaka, tapi di sini masih tersangkut:
Menokok-nokok lantai subway dengan tumit sepatu
Memelasi pemuda-pemuda mabuk sake terdampar di Sindjuku

Bagai terdjaga dari mimpi aku tiba-tiba djadi mengerti
Kedjemuanmu akan hidup rutin jang serba-duniawi:
Bajang-bajangmu melintas-lintas dalam gerimis tak kundjung habis
Lenjap dalam deras lalulintas kota raksasa jang kaku menghantu.

1970


Manila, Musimpanas 1970

Tjahaja benderang, musik merdu dan para remadja tertawa bahagia
Kusaksikan belaka dalam ketenangan sendja Taman Luneta;
Tjahaja remang, musik brisik dan teriakan-teriakan histeris jang buas
Kusaksikan sendiri dalam keriuhan klub-klub malam sepandjang
Roxas

Angin sedjuk, pohon hidjau, alam ‘nak masuk dalam dada jang djadi
lapang
Kuhirup diam-diam sambil merenungi danau Taal terhampar tenang;
Udara busuk, gedung-gedung tua dan sampah tertimbun di sudut-
sudut gang gelap
Kusimakkan dengan getir sepandjang Santa Cruz jang pengap.

Rumah-rumah indah, kebun-kebun luas dan kemewahan di daerah
Mapati
Pertjakapan-pertjakapan pandjang, seekor andjing galak tiba-tiba
menjalak terdjaga
Kegelisahan dan harapan jang mengambang akan datangnja satu
revolusi
Semua kulihat dan kusimakkan selama seminggu di Manila.

1970


Hutan Wassenaar

Lindap bajangan pohonan
betapa bening mata memandang

Terhampar baka
segala rahasia
manusia jang purba

Karena waktu
terpaku di situ
untuk selamanja

Lindung bajangan pohonan
betapa djernih tawa jang lantang

Kata-kata tertjapak terang
di awang-awang
musimpanas jang lengang

Karena waktu
terpaku di situ

Untuk selamanja

1972


Pasar Minggu di Roma

Ke pasar ini manusia mengalir, lalu pergi
melintas ruang dan waktu jang njaris terdjaring
dalam keisengan harapan, dalam hidup ini
jang lahir dan mati, ambil djalan masing-masing.

1972


Angka-angka dan Tanda-tanda
buat Anwar

Dalam penerbangan menudju Phoenix
stewardess bertanja: “Di mana tuan akan turun?”
dan orang tua renta di sebelahku mengangkat katjamata:
“Tak tahu di mana. Tolong lihat
barangkali dalam tiket ada tertjatat.”

Perdjalanan dari satu ke lain tempat
dari kota ke kota: selalu sama. Bagaikan
si orang tua jang tak tahu lagi mau ke mana.
Semuanja sudah terserah, diatur dalam atjara:
huruf-huruf, angka-angka dan tanda-tanda
jang tak semuanja dapat kupahami.

“Tolong lihat
dalam tiket semuanja sudah ditjatat.”
Lalu akupun tidur
karena semuanja toh sudah diatur.

1972


New York, Musimpanas 1972

Tak ada jang hendak dibuat
aku hanja duduk dan melihat:

         Orang berpasangan, duduk-duduk atau berdjalan
         asjik berbitjara, tertawa, bertjiuman
         menikmati kebahagiaan hingga tandas
         dalam hidup-serba-terbatas
         jang tak pernah merasa puas

Tak ada jang ambil peduli
pada seorang asing jang termenung sunji
sepandjang pagi

Di sini matahari terbit
         tapi entah di mana
Di sini matahari terbenam
         tapi entah di mana
         Sinarnja tak pernah tiba di bumi
         tersangkut di gedung-gedung tinggi

Di sini hidup keras dan liat
         besipun luluh dan tjair
         tapi hati tak pernah tjadi terharu
         melihat nasib malang ajahbunda
         terdampar dalam sepi jang ngilu
         menanti-nanti achir usia

Dan pada malam hari
         orang-orang megap-megap mentjari
         entah apa, entah bagaimana
         lalu tiba-tiba berteriak
         memanggil dirinja sendiri
         jang djauh tersembunji
         dalam kesibukan rutin sehari-hari

Ada jang bernjanji
         suaranya parau dan redup
         menjenandungkan kerisauan hidup
         jang dalam lara dan dukana
         penuh gairah dan warna
         jang memberi arti
         akan setiap hembusan udara jang dia hirup

Ada jang berdjalan
         ah, mereka selalu berdjalan dan selalu bergegas
         hendak menangkap setiap saat jang melintas
         untuk membuatnja abadi
         terpaku dalam kefanaan waktu
         agar mendjadi bukti kehadirannja
         dalam hidup jang singkat ini

1972


Sendja di Kelantan

Antara Kota Bharu dan Pasir Mas
sungai Kelantan mengalir tjemas.
Garis-garis terang di kakilangit jang sajup
pertanda dunia lain jang mau hidup!

Sendja merah di tanah Kelantan jang hidjau
membangkitkan mimpi-mimpi kedjajaan masalampau
memandang ke depan: djandji kebesaran
begitu dekat, seolah ‘kan mudah terdjangkau.

Antara Kota Bharu dan Pasir Mas
Sungai Kelantan mengalir tjemas.

1971


Tentang Ajip Rosidi
Ajib Rosidi lahir 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Sejak SMP Ajip sudah menekuni dunia penulisan dan penerbitan. Ia menerbitkan dan menjadi editor serta pemimpin majalah Suluh Pelajar (1953-1955). Pada tahun 1965-1967 ia menjadi Pemimpin redaksi Mingguan Sunda; Pemimpin redaksi majalah kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979); Pendiri penerbit Pustaka Jaya (1971); Menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1972-1981). Ajip yang tidak pernah menamatkan pendidikan SMA-nya itu pernah menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Sastra, Universitas Padjajaran, Bandung (1967); Pengajar tamu di Osaka Gaikokugo Daikagu, Osaka, Jepang (1981); Guru Besar Luar Biasa pada Tenri Daigaku, Nara (1983-1994) dan Kyoto Sangyo Daigaku, Kyoto (1983-1996). Saat meraih gelar Doktor Honoris Causa dari Unpad, Ajip Rosidi berujar, "Memajukan Kebudayaan Sunda Bukan Provinsialistis". Untuk melihat daftar karya-karyanya, silakan baca postingan “Pantun Anak Ayam”. 

Catatan Lain

Di Perpustakaan Provinsi Kalsel, ada tiga buku di bawah judul Ular dan Kabut ini. Ketiganya berbeda tahun cetakan, dan tentu berbeda pula gambar sampulnya. Cetakan II, diterbitkan oleh Pustaka Jaya tahun 1975 dan cetakan IV, terbit tahun 1983 (kalau tak salah ingat). Hanya cetakan I yang memakai ejaan lama, dan karena alasan itu saya memilihnya. Dan sialnya, saya menemukan halaman tergunting, yaitu halaman 21/22. Bagian tengah buku, yaitu halaman 31 sd 34 juga menghilang entah ke mana. Tapi saya pikir, kegembiraan yang diberikan buku tua kumal ini sulit digambarkan.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar