Laman

Tonggak

Jumat, 04 Oktober 2013

Ibramsyah Amandit: TIKAR PANDAN



Data buku kumpulan puisi

Judul : Tikar Pandan
Penulis : Ibramsyah Amandit
Cetakan : I, Juni 2013
Penerbit : UPT Taman Budaya Kalsel bekerja sama dengan Penerbit Pustaka Banua, Banjarmasin
Tebal : xxii + 164 halaman (76 judul puisi)
ISBN : 978-602-1585-00-9
Desain sampul dan Lay Out: Tim Pustaka Banua
Pengantar : H. Adjim Arijadi
Esai : Sainul Hermawan, Hamberan Syahbana, Korrie Layun Rampan

Beberapa pilihan puisi Ibramsyah Amandit dalam Tikar Pandan

Lumpuh

di saat-saat lumpuhku
aku mendengar amarah sebatang tongkat dahan jambu
di tanganku

ia mencaci arti hidupku, katanya:
perbuatlah segera ganti darahmu
semerah darah Tuhanmu!

hanya lantaran takdirku saja
maka nasibku beserta orang lumpuh sepertimu!
padahal aku mau jauhi penyair …

tahu kau, siapa penyair di mataku?
cuma seorang pesolek
tukang rias
sekarang sibuk menyisir rambut Fir’aun
di negeri Fir’aun

Tamban, 13.1.2011



Sosok

bila kau lahir menjadi penyair;
anakku, jangan tidur!
terimalah beban sejarahmu

di sepasang bibir
kicaukan burung syorga
berbaur gemuruh neraka

karena ucapanmu milik abad akan datang
jangan baringkan lidah di ilalang rebah

katakanlah …
hanya dirimu yang menaklukkanmu
bukan si burung beo …

Tamban, 14.1.2011


Sketsa

Sketsa itu semakin terbaca
menjadi relief
menukik dalam
menoreh batu kehidupan
di 69 tahun usia perjalanan
di kali kedua stroke melumpuhkan

Tadi 29 September
Pada malam Sabtu
antara setengah tiga dini hari
isyaratnya datang dalam mimpi

Pengantar kulihat berjejer
mengingatkan para pelayat
melepas seorang yang wafat

Setiap orang kuberi salam
namun selalu membungkam
tak siapapun memberi reaksi

Padahal aku akan pergi
sambil membawa sesal
dengan pakaian kotor tersisa noda
dalam ngiang ilir-ilir yang menggema
“belimbing” belum kugenggam
Buat membilas pakaian diri

Begitu kejadian yang nampak
mungkin kembang tidur
tak perlu tafsir
mungkin juga ruh-ruh ingin berbagi rasa
mungkin Chairil mungkin Burhanuddin Soebely
sebab seputar tanggal itu hidupnya diakhiri

Tamban, 30 September 2012


Doa Sepotong Kata

Demi sepotong kata
kutolak hujan kuusir awan
sebisa-bisa aku bertahan

Demi sepotong kata
kudepak bumi berkah sesaji
biarkan diri kemarau zaman

Demi sepotong kata
dalam bisik hatiku nan perahu
mendayungkan rahmat bagi negerimu
Amin

Tamban, 20 November 2009


Syahwat Puisi

Puisi-puisiku lahir dari kemarahan istri
diriku lumpuh
tapi diatur bandel sekali

Bukan impoten
aku ini bangun tengah malam hingga pagi
tapi bukan menjamah istri
Ah, pikiranku bernapsu-napsu
tapi bagi puisi-puisi yang belum jadi

Tamban, 24/9/2012


Aset

Modal penyair adalah tangan untuk menulis
selebihnya sisa suara agar lantang baca puisi

Lupakanlah derita lumpuh
tak guna mengenang ruang UGD
atau pispot di tempat tidur
berminggu-minggu menyantap nasi bubur
makanan hambar seperti hidung kucing
punggung linu-linu membatu es
baru tahu nikmat hidup setalah badan dibalik tangan
perawat

Jangan berikan rasa kasihanmu kepada penyair!
caci ia bila berhenti nulis puisi
mustahil jadi arwah pada jantung berdenyut
tolol terlanjut wafat dalam diri padahal napas belum pergi

Hai, penyair lumpuh
Berteriaklah, berteriak!

Tamban, 23/9/2012


Zero

Di lingkaran kehidupan
aku putus kegiatan

Di lingkaran pergaulan
aku asyik memangku tangan

Di lingkaran waktu sehari
kulepas kupu-kupu menari

Di lingkaran percakapan
hatiku bersahutan

Di lingkaran perasaan
pagi esok aku berkain kafan

Di lingkaran nasib
aku digantung tuhan

Tamban, 2012


Guru

Ajarilah muridmu, kerja
ajari kasih sayang
suruh mengeja namanya
bin serta binti orang tuanya
di hadapanmu berulang-ulang
agar ia sanggup mempertaruhkannya

Ajari tambak ikan piaraan
kandang unggas
sawah dan ladang
agar tahu lelah perih hidup bertani
tunjukkan langit kosong:
sebelum ia berencana pengembalaan umat
atau melepas berat beban keluarganya

Tapi jangan ajari rupa-rupa lezat panganan
menu biasa hidup enak “bersantan”
pola-pola dandanan
pabrik gincu
jenis pewarna kuku
atau tunjuk penampilan
nanti ia mahir akrobatik kepalsuan

Maka terimalah jatah dosamu, hai guru;
kelak bila lahir seorang oportunis dari kelasmu!
yang buta realita rakyat lapar,
yang dirundung derita, tangis dan sengsara.

Ajarkan pula puisi-puisi belati
bukan sajak puja-puji…
supaya berani ia menusuk penjahat negeri.

Tamban, 27 Januari 2011.


Kasidah Batang Tenggelam

Wahai yang bersuka di padang ilalang
wahai yang bertirah di sarang miang
wahai yang berduka di batu karang
berair mata cuka meragi sahang

Wahai yang bernasab ke kulit bawang
jangkar takdir di gantung ruang
telisik jalan ke arena juang

Kudrah Iradah menata sempat sempitmu
pupuskan kata kepada-Nya
berserah diri dalam Dia

Tamban, 4 Mei 2012


Sanzen

Di Kyoto; musim panas…
aku memasuki biara Myoshinji
jumpa guru Zen Goto Roshi;
“Apa niatmu datang ke sini
ke kuil Pikiran Bagus ini?”

Sanzen, kataku
Beri hamba konsultasi meditasi
pikiran kusut tak terurai
dada sesak, napas sakit, paduka!

Hamba dari negeri jambrut khatulistiwa
yang tanah subur, gemah ripah loh jinawi
hamparan lahan ijo royo-royo
sayang kurang tata, tidak tentram jauh sejahtera
seperti bonsai Take Kengai adalah kemiskinan negeri
air terjun riah di sana sini
perih pedih menusuk hati
airmata sembilu jatuh airmata keluh kami

Negeri kami bukan negeri matahari sakura
kemajuan adalah fakta kebenaran
bukan basa-basi kemunafikan
negeri manipulasi citra
dan dusta

Di kuil Myoshinji ‘kan kuhapus debu-debu diri
intan kemilaukan pikiran
pohon bodhikan tubuhku
belah jiwaku seribu, sejuta, dua ratus jutakan
gelora semangatku bagi anak bangsa

di kuil Myoshinji guru Goto Rosho pesan:
“Selesai sarapan cepat cuci tangan
agar pagar tidak kekenyangan makan
tanaman!”

Myoshinji – kuil Pikiran Bagus
aku konsultasi meditasi
seharusnya jadi lelaki sejati…

Tamban, 15 Februari 2011


Catatan Perkawinan Seorang Kawan

Seperti jalan Habil dan Kabil kau goyang di bawah makam
duka saudaranya menggugurkan gunung-gunung
kau tikam sebait sabda. Di atas karang kembang bersemi
juga

Namun hatimu terang. Di batu itu
Pijar cinta pertamamu

Tamban, Maret 1982


Madu dan Batu

Ketakutanku pada pengertian dan ilmu
apa mencair seperti madu
atau membatu?

Bila tangan selesai menjuarai puisi
langit terbit membintang pagi

Bila khusyuk menimbang laba-rugi
Rumput larut menyusur kali

Aku menjerit-jerit meraih tepi

Tamban, 29 April 2012


Mamang Borneo*

Aku mencari pepunden cinta tanah Borneo
mencari pemilik makna otot rimba
saat ini mamang buli ke risau
kebawa-bawa kepada ikau

Iyu, beh; ikau uluh Siang, uluh Naju, uluh Busang
uluh Benuaq, uluh Punan, uluh Penyabung,
uluh Bahau, uluh Kenyah, uluh Manyan
uluh Bawu, uluh Ot Danum, uluh Lawangan
uluh Tabayan, uluh Kahayan, uluh Kutai
uluh Bakumpai, uluh Ngawa
si kuweh-kuweh uluh Ngaju kanih…

Risau yaku buli kepada rimba, hutan ulin, hutan ramin
kapuk meranti keruing
ken kuweh ikau cari jihi hama betang
huma peleh peteh, sandung semayam tulang-tulang
Ken kuweh tancap kayu pelawan
sanggai lunuk upacara tewah
Rimba awen meranggas-ranggas
pagar banua hilang batas
tiada halat sasangga wisa, hilang arifnya!

Kudengar isyarat bahaya dari gurun-gunung:
“Ihdzar al jidaar, ihdzaar al jidaar!”
Awas dinding. Awas dinding!

Namun tiap jengkal tanah Borneo gerbang peluang
kaki tangan jerat masuk menginjak-injak
senyum jebak rayu menembak-nembak
halimatek lintah lunak menghisap-hisap

Aku mencari pepunden cinta tanah Borneo
mencari pemilik makna otot rimba
dari perih luka-luka daging jantung banua

Sebuas-buas binatang tidak di rimba
sebuas-buas siapa ia binatang kota
Segarang-garang raung bukan singa
segarang-garang raung ia uang kuasa
Konglomerat habitat apa kuku tajam taring merunjam-runjam
sorot mata ke lapis-lapis bumi paling dalam
Wariskan jurang menganga;
kawah kubur rakyat anak banua
banjir menerjang desa-desa, membelah-belah kota
melindas sawah kebun dan pematang

Sebuas-buas siapa ia binatang kota?
segarang-garang apa raung ia uang kuasa?

Kita, kita, kita …
inilah kita jadi reruntuhan peristiwa
Kita, kita, kita …
inilah kita tak kuasa berkata jida!

Hai Dayak, pewaris Diraja Bunu
Putera-putera kekasih raja Jata, raja Sangiang
Habiskah sudah tewah Balaku Untung?

“Duhai Rahyang Hatala Langit;
tunjukkan pepunden tanah Borneo
pemilik makna otot rimba
tunjukkan enzim kekuatan tubuh Kalimantan
zat hidup pengetahuan Borneo
tunjukkan apa-bagaimana-siapa-mengapa di Borneo!
Kudengar dari gurun-gurun berdesauan suara lembut
wari’u al lushuut
wari’u al lushuut
wari’u al lushuut
Usir maling maling itu, usir maling maling itu
Usir maling maling itu!

Tamban, 8 Mei 2011
* dibacakan saat Dialog Borneo-Kalimantan, di Samarinda, Kalimantan Timur, 13-15 Juli 2011


Tikar Pandan

Akhirnya aku ke titik nadir
pada kesunyian mimpi-mimpi
angin yang luruh
sepi sekali
tak ada desiran yang tersisa

Karpet yang bermahligai
menyambut raja-raja muda
yang menggadang-gadang pemangku syahwat
berenang di secawan tuak
syukurilah aku
karena dapat pergi
enyah dari kemabukan jamur ini;
topeng-topeng budaya itu,
atribut,
mahligai,
paduka,
yang terhormat,
pencapaian puncak-puncak fiktif
bual kemuliaan mereka
nasib-nasib rakyat yang tersentak
dari kesuburan di tanah kelahiran

Oo, sempurnakanlah mangkuk air tawar ini
yang terkapar di tikar pandan
tanpa keadaan
tak dengan keadaan
di antara keadaan-keadaan
waktu pun tak berwaktu
di sana di sini ialah tak di mana-mana

Tikar pandan, di tikar pandan
kududuki karpet Tuhan

Tamban, 13/12/2010


Belajar Puisi

Orang-orang mau susah;
-          kerja berat bikin puisi

Tahu manusia tidak mencukupi
dimintanya lambang-lambang flora dan fauna
lende laut dan bongkah tanah ikut memberkati

Mereka bukan lagi pembaca mantra lama
petapa pada sisi fisika atau metafisika
yang mengawal batas sadar dan mimpi;
-          siap-siap selesai dan setengah jadi khayal kenyal
kesumba bumi
yang mengerja segala ajaib
dan kebolehan membongkar kata
menggantung bintang dalam kulit telur naga

Di gudang-gudang arang malam menggores batu
kutemui faham segala diam
tapi jeram gemercik gerak
segala imam adalah tegak
dera waktu lari ke muka
Aku menggigil di kuala
di sungai-sungai yang melipat langit
menghanyut sempoyongan kantuk malam menggigit

Tamban-UM, Oktober 1979


Jalan Puisi

Puisi perjalanan mikraj;
jalan naik menuju Allah
meniti asma, sifat, af’alullah

Lama diri bersimbah
panas serta berbasah-basah
tunduk tengadah pulang ke diri
nyatanya tak siapa pemilik apa

Puisiku perjalanan mikraj;
jalan pupus di dalam Allah
hilang panas hilang basah
punah diri dalam Allah
suara jiwa mengkalamullah

Puisiku perjalanan mikraj;
jalan pulang dari Allah dengan Allah
ulat kepompong berubah polah
sukma terbang selendang kiswah

Puisiku perjalanan mikraj;
turun di pintu-pintu rumah
sudah bersayap puisi amanah
kata-kata rahmat – petuah

Tamban, 3/11/2012


Tentang Ibramsyah Amandit
Ibramsyah Amandit bin H. Lawier, lahir di desa Tabihi Kanan, Kelurahan Karang Jawa, Kecamatan Padang Batung, Kandangan, Kab. Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, 9 Agustus 1943. Di usia tujuh tahun (1950), ayahnya yang merupakan anggota polisi tentara di kesatuan markas ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, memboyong keluarganya bermukin di bantaran Sungai Barito, Tamban. Di situ ayahnya diangkat sebagai wakil komandan peleton CTN. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta, sampai tingkat Sarjana Muda, 1971. Esai dan puisi tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Tinggal di Desa Sidorejo Kilometer 7 RT V Nomor 129, Kecamatan Tamban, Kabupaten Barito Kuala.


Catatan Lain
Kalau ada penyair yang makin tua makin “beringas”, maka Iberamsyah Amandit salah satunya. (yang seorang lagi penyair Arsyad Indradi). Keberingasan itu terutama terasa pada sajak-sajaknya, padahal dua kali penyair ini diserang stroke dan opname di rumah sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar