Laman

Tonggak

Rabu, 04 Desember 2013

Zen Hae: PAUS MERAH JAMBU



 
Data buku kumpulan puisi

Judul : Paus Merah Jambu
Penulis  : Zen Hae
Cetakan : I, Mei 2007
Penerbit : Akar Indonesia, Yogyakarta
Tebal : x + 116 halaman (44 judul puisi)
ISBN : 979-998383-5
Supervisi : Joni Ariadinata
Penyelaras akhir : Raudal Tanjung Banua
Desain dan produksi : Nur Wahida Idris
Lukisan Cover : Abu Bakar, “Song of the Sea”

Beberapa pilihan puisi Zen Hae dalam Paus Merah Jambu

kail

di danau ini, paman khidir, betapa ngeri
tuhan-tuhan sebesar jagat
berjuntaian mengailku!

1994


mitologi keluarga kami
: frans nadjira

lihat, ibu mengunyah permen di beranda
merasa burung di gaunnya berkicau. ada angin
menerbangkan kebayanya ke lautan. kemudian ibu
memuja warna langit yang hitam, seperti warna api
yang melahap gladiol tua di vas bunga, negeriku
gumam ibu, hanya derit keranda di tepi jurang
: tahun-tahun berkejaran. langit meranggas

(adik melompati pagar. usianya memanjang
pada pilar-pilar jalan. seakan pohon pinus
tak pernah menyentuh langit. betapa nestapa!)

bapak tiba dengan lukisan. setiap hari
ada kuda terpanah, juga pohon-pohon menaburi
kamar dengan erangan panjang. mengapa tak lahir
sebait puisi sufi dari seutas tali penjerat leher
teriak bapak di sajadah, ketika senja mengguyur
jalan. rerumputan mencuri embun dari gelas

sedang aku melubangi matahari. menggenggam api
dari meteor yang dilempar senja. tapi aku ingin
mengapur langit. sebab malam akan memancung
bulan di samudera. menggantungnya di dahan

1993  



paus merah jambu
: iswadi pratama

seekor paus lapar, bung, ingin mencaplok gunung
sebuah sajak mengumpaninya tongkang dan kecubung

bermalam-malam
kau terbangun oleh runcing taring dan luas rahang
ombak gagu yang menggeram di punggung tebing hitam
arwah basahmu timbul-tenggelam – mencari pesisir
menjeritkan suaka di antara keriut perut
“berhentilah mengejaku
ambil harpunmu
bebaskan aku!”

kamarku terguncang oleh pelbagai suara
tapi aku terus membaca – menyusuri bait-bait tegang
hingga jerit paraumu menjelma semburan tinta
gigil tubuhmu merontokkan huruf dan tanda baca
seperti lidi-lidi kemarau
berjatuhan dari
matahari hijau tua

tapi anak-anak yang mengutip biji-biji usiamu
setiap kau tidur dan tersesat di lorong bercecabang
yang bermuara di teluk hitam – hanya tertawa
sekeras guntur di kuburan. punggung mereka
berkilatan di laut rumput pagi hari
mereka menunggumu dengan sayap berkelepakan
yang bunyinya membuatmu menangis
            di atas ranjang besi
                        berkemul seribu-satu lapis
                                    doa penolak bala

kamar ini menjelma bubu saat kututup buku
kau melompat-lompat dengan tubuh berlendir
banjir kiriman dari
gunung
hujan berlapis-lapis
di laut lepas
membujuk kapal-kapal merapat sepanjang malam
menantang orang-ikan mengosongkan sarang
kau bergegas – di kepalamu
rahang-rahang paus lapar
umpan mahabesar

 “ke teluk, paman, ke teluk. kupeluk, abang, kupeluk”

jalan ke teluk dijaga sembilan pungguk
pepohon berdahan karang merah berdaun lokan perak
sulur-sulurnya terjuntai menggenggam batu
bukit-bukit di selatan sehijau-sebisu bangkai kapal
terdampar ribuan tahun
setelah badai meteor menggebah
dan pulau-pulau berpindah
melulu begitu!
hingga matamu memejam
mencari segala ciptaan yang pernah dikabarkan
para perawi dari samudera dan jazirah mahajauh
: rupa, suara, rasa, gerak elmaut serupa sapu
dan kautemukan pada sebuah bait murung
bintang-bintang kuning gading
dari rasi tak dikenal mencair
menjelma ikan
dan orang usiran

“semesta tubuh kami adalah umpan segar. kami rindu
taring runcing, liur asin, daging koyak, tulang retak
– kraak!”

kau teringat kembali akan seekor paus
yang terluka dan menjerit di samudera biru tua
sebuah tembakan harpun membuat lorong di tubuhnya
seorang nabi hanya berdoa. sepotong tangan tuhan
akan berdarah di sorga – inna lillahi
semua ikan dan udang akan ditangkap
akan terus ditangkap
terkubur bumbu di atas nampan
diperam di dalam kaleng

paus itu berkuasa di laut dalam
paus itu berpuasa di musim kawin
tubuh raksasanya hanya sebesar guling
di selembar hasrat orang-orang berwajah api
yang lidahnya terjulur ke tanah
ludahnya hijau muda
nafsu makannya
serakus setan tasmania
hauk!

seekor paus sekarat, bang, menabrak tongkang
sebuah sajak menguburnya dalam bait-bait riang

kau menanti sekelompok pemburu paus
kapal mereka merapat di bawah hujan selebat baleen
lunasnya hitam, layarnya rompang, tiangnya goyang
kelasi-kelasinya turun. bersiul sebunyi kalkun
“ini pemburuan paling sial, syahbandar
seluruh paus bermigrasi ke selat hangat
kawin dan beranak.”

kau hanya anak kecil di situ. pengisap dongeng
berharap asap mukjizat memandu langkah mereka
ke samudera dan jazirah impianmu. tetapi tak
langkah mereka bergetar
di bawah matahari
tujuh jari
bayang mereka terjulur ke rumah bambu
tempat aneka suara bergema dan kembali ke lautan
sebunyi camar kawin
di rumah itu paus-paus merah jambu
menunggu dengan berkendi-kendi arak
dan sepotong lagu nina-bobo akan menidurkan
para pemburu selama ratusan tahun
tubuh mereka akan kisut
tulang-belulang sekeras batu
dipeluk pasir dan debu
sementara duabelas matahari mabuk
terbakah di tiang-tiang kapal dan gulungan layar
oleng dan jatuh ke geladak – muntah bara
menunggu arak-arakan
tiga saf panjang
pemadam

“semesta tubuhku adalah umpan segar. kurindu
taring runcing, liur asin, daging koyak – menjelma sajak”

kakimu menjejak pasir. di bawah riak air
bayang-bayangmu serupa tokoh kartun
biji-biji khayali itu pecah lagi – kaupecahkan lagi
: pasir terasa rumput, ketam bagai belalang
tubuh ringkihmu menyesap serbuk taifun
kembung dan melayang-melayang
– meledak
menjelma jutaan ikan
dengan girang mereka berlompatan
memancing paus lapar
naik ke pantai

2004


di halte malam jatuh

akhirnya, aku mahir menggambar hujan
menirukan langkah-langkah pulang
menulis reklame-reklame sunyi dan menempelnya
di bebatang pohon sepanjang jalan
dan di sebuah tikungan tujuh kelopak bintang
gugur sebelum pagi kembali

“bus yang penuh sesak itu akan berangkat?”
tanyamu. orang-orang masih terus mengembara
tak ada bintang di langit
: nujuman nasib, kompas para kafilah
di mana-mana kautanam bendera. aku ingin
berkibar-kibar mengikut gelombang hujan
menjejaki liang rahasia sepanjang uluran senja
tetapi, duh, selalu ada yang kauisyaratkan
lewat deru angin yang tertahan di awal musim

aku jadi terbiasa menyimpan cinta
di batu-batu. mungkin besok
akan menjelma gadis kecil
yang belajar mengeja kata-kata bunga
aku akan menunggunya, memberinya ciuman
menyematkan melati (dan belati)
“dan bus itu,” kataku, “akan berhenti di terminal
yang tak ada bintang.” seperti usia
kota-kota lapar. letih dan tidur
tik…tik…tik… hujan menombaki senja
malam jatuh dengan ubun terluka

1992


mayat canggung dan hutan riang

: kebumikan aku di sana. di ujung rel-rel itu
bersama matahari
yang digodam suara azan dan cekikikan
: tapi itu kereta terakhir
yang membawa para tukung cukur ke pekuburan
menangisi mayat-mayat bermisai lebat

orang-orang bermata embun itu telah menggodaku
serta menghidupkan lagi matahari
di gerbong terakhir
dan membayangkan kota itu
menjulurkan lidahnya ke punggung gunung
apakah mereka akan sampai ke rumah-rumah
di balik dingin itu?
aku pernah memasuki mereka
menyentuh dinding-dinding mereka
tersiram arus listrik
di dalamnya aku seperti liliput
berjingkrakan dan bernyanyi
memainkan sesulur cahaya
dari kereta kuda yang tersangkut di ranting awan

tapi kunang-kunang yang setia menjaga mataku
mengulur sulur cahaya itu ke jalan raya
para penjaga malam yang kehabisan bara
menampungnya dalam gelas-gelas sunyi
: “hanya serbuk matahari, man
merombengi sisa malam
dan embun
melukai sesayap hujan
ditaburkan di kamar-kamar”

impian yang terbakar terus mengembara
tak henti mencari sebuah kota
tempat terompet-terompet dibunyikan
di atas pekuburan sunyi
“kami tengah bersedih
untuk para martir
yang telah memandikan rumah kami
dengan nyanyian dan cahaya”
sampai angin yang ajaib mengelus
suara terompet itu
jadi tetabuhan lima setan pejajaran
berkepakan sesayap hujan: rombeng dan gigil
berkelibang membungkus tubuhku
“mari berangkat”

tapi siapa yang terbang dengan tubuh bergemerincing
melintasi setiap bubungan rumah
sedang  udara yang kian sekarat
hanya memercikkan doa
di sepanjang dinding memar

“halo, ini hutan riang. dilarang menggali kubur
halo, ini hutan riang. mayat-mayat jangan bersedih”

di sini mataku kian melenting
seorang pesulap menyepuh ususku yang terburai
jadi kabel-kabel tembaga
o, tubuhku bercahaya
seperti tawa orang laknat
hingga pepohonan dan sungai
tak kuasa membasuh sekujur tubuh mereka
dengan gelap dan pengap
tempat nyamuk dan ular
menetaskan sekeranjang
mimpi buruk

terbuka semua kelopak. menetas kicau membusuk igau
hutan terbangun dari tidur paling mematikan
mengipas matahari
membikin sepasang sayap
: putih dan kekar
“pasang di punggungmu, buyung
kau akan terbang melintasi
kota-kota yang terendam hujan
dan mimpi buruk”

tapi aku bukan orang suci atau pelancong
di sana hujan telah membusuk. kota-kota berkarat!

1996


penantian nuh

kau tentu lelah mencari jejakku
kuhidangkan sepasang cinta, kapal kayu
sepiala airbah. kesendirianmu yang renta
dan purba telah kaupahatkan
di puncak bukit

kini kau menunggu seorang pengiman
yang akan mengabarkan betapa aku ada
dan sorga perlu dibela. tapi seorang asing datang
menera setiap jengkal batu dan menyimpulkan
“di sini pernah terbaring ia tanpa pengiman
sebelum masa kelahiran semesta alam”

kau menangis dan mencium tangannya

1995


bandang

tuan, di ladang
matahari pantat dandang
tapak liman rindu ganggang
berkelindan

lalu
tujuh arwah telanjang
memanjat pohon santan
: kencing jadi hujan

tapi
kauayun kapak – mabuk
mendongak hutan tonggak
bumi mati pucuk

musnah rongga tanah
meluap segala – menggenang
kota bandang!

siang malam
jaring maut mekar di teluk
tak habis duka disindik
bertangan-tangan

ayo ke seberang, abang
bikin proposal, gelar seminar
“kota ditelan kolam”

anak-anak meriang
“ibu, raung siluman empang”
“hanya gerung katak betung,
buyung”

orang lendir di pesisir
memasang insang dan capit udang
“hiruplah segala bala,
raja air!”

tapi
sepanjang malam
ia hanya menekur dan bertelur
mengerang dan merejan

fajar tanpa azan
kerik akbar riang-riang
: ohoi, telur dendam
seantero kota

nanti,
semua menetas – bebas
terbang-berenang-melata
menyerbu segala penjuru

ludah paling tuah
cakar paling bakar
pagut paling maut
beraksilah!

tu(h)an akan tamat!

2002


aku dan tungganganku
: agam wispi (1930-2003)

kau menyebutku orang buangan. aku seorang kelana, sebenarnya. aku tidur dan jaga di atas kudaku. aku dan tungganganku adalah satu. kami saling meringkik saling menggoda. hiya, sambil melintasi kota-kota masa silam, kuseru kata-kata paling tajam. kubisikkan lagu paling merdu: “tubuh digodam pulang jiwa ditebas terbang. oi”

ah, betapa ajaib siklus waktu. kutagih pagi dibayar petang. kuminta pulang diberi buang. dari kandang macan ke asem lama ke teluk tonkin ke nanking ke leipzig ke kanal-kanal amsterdam. tersuruk di rumah jompo bagai orang mabuk gadung. menunggu salju turun, memindai tahun mati.

pernah kuminta camar bersarang dan bertelur di atas tumpukan buku. menetas jadi lidah-lidah api. huruf-huruf terbakar. kata-kata mengaduh. bukan karena api tapi karena rindu. anak-bini berbiak di benak, seperti jamur kuping di kayu lapuk. mekar dalam suhu minus duapuluh. ribuan mil jauhnya, ribuan mil jauhnya, tapi dapat kudekap dalam sekejab. bisa kucium dalam sajak.

tapi sajakku jutaan bintang merah di bawah langit tanpa pintu. setiap malam melayang-meliuk-menukik, jatuh dan aus di pepucuk putri malu. serupa arah luku ditarik kerbau mabuk daun singkong sampo kuru. sajakku jejak kaki kaum tani yang menghadang buldoser selepas zuhur. racau pemabuk di tepi danau ketika panen tiba. sedang doa, mantra merah tua itu, hanya batu penyusun dinding. tindih-menindih, saling jabat. makin tinggi makin pedih. tuhan pergi dari puncak menara, ternyata.

kukenang turang. jalan turun-naik sepanjang medan-lubuk pakam. oi, kampung halaman, hanya bisa kukenang. bukankah tubuh dibikin dari tanah. tapi jiwa menampik bentuk di mula cipta. menolak rumah di ujung usia. jiwaku pergi ke mana suka. tidak ke kubur, bukan ke sorga atau neraka. mungkin ke planet paling jauh. asal ada kopi dan tembakau dan perempuan bermata biru dan bintang-bintang berekor putih.

mungkin aku akan pulang sebelum sebuah negeri tenggelam oleh kutuk tuhan. tapi aku tak tahu negeri apa, pulang ke mana, tuhan siapa. kugelar peta buta. telunjukku menunjuk seperti ke jantung seorang tiran, ke negeri impian: satria uzur dan putri cantik, baju zirah dan tombak kayu, kincir angin dan iblis hijau, seekor bagal kurus dan langit coklat tua. tembok-tembok hitam yang meruapkan bau gandum, menggemakan sepotong nyanyian orang gipsi:

“sepasang mata perempuan melarutkan hari-hari tuan dalam sekendi khamar. ngak ngik ngok
seorang satria memburu sebilah pedang di malam-malam badai. tang ting tung…”

tak ada yang datang ke pondokku minggu dini hari itu. orang-orang masih tertidur di atas panggang musim dingin. mimpi musim panas, sebuah pulau menyala di lautan. aku terbangun di tahun yang baru tumbuh. tak ada ibadah minggu. hanya secangkir kopi dan puntung rokok, berserakan seperti prajurit kalah perah. aku berbenah dan menata ingatan seperti buku-buku di dalam rak. lalu kusepuh lidahku dengan haiku. “tidakkah aku tahu, bung, katak yang jatuh ke kolam menjelma lagu?”

aku dan tungganganku berjalan ke arah cahaya. kota-kota baru dibangkitkan. segalanya masih sangat muda…

2003


kota air

kematian hanyalah kunci pembuka sebuah kota
: orang bersisik cahaya, rumah siput,
pepucuk ganggang yang menyala.
menyanyikan nada hopla

aku memasukinya
setelah kautenggelamkan tubuhku ke dasar danau
setelah laskar api menyergap kota tua
dengan tujuh kata sandi
“seguci benih dendam, berpijar ladang arwah, bakar!”
bandar sawan, tetiang hujan gemetaran, kota sehitam
arang asam, malam sekaku tunggul jamblang

“yang paling dalam memeram siksa badan
akan meradang
lebih nyaring dari jerit tujuh kelenteng”

“jangan meracau sebentar lagi tubuhmu akan lumer
suaramu akan sember
dan danau dan surau hanya kubur sunyi
para pengigau”

kukenakan tubuhku yang baru
agar kau tak mengenaliku: sili yang lolos dari bubu
di rong tujuh tangan aku berkhalwat
meniru nabi di gua hira
memindai telur raja ikan, yang tampak sosok kenang
: kau berteriak bagai seekor pungguk mabuk

“sebentar lagi darah kami akan hitam
dan kami akan menguasai malam”
kaupaksa tubuhku jadi malam
dan butir keringatku jadi bintang
lalu seorang cenayang pincang membacakan
ayat nujuman
menyajikan seloyang batu api setandan kata maki
sejembung ganas berahi semangkuk cemas peri
di atas altar sembahyang

“tapi aku tak memesan semua kekerasan ini
tapi aku tidak menggelapkan hatimu
dan mewahyukan pembantaian
aku bukan…”

ohoi, para pembenci dunia, berhentilah sejenak
merapat di puncak khalwat. nikmati musik
: jerit bulan sabit erang bintang meriang nyawa meregang
di antara amuk api dan lontar batu
orang bersisik menari meliuk berputar
melompat menerjang
hingga tubuh mereka letih
dan di ufuk berpijar sembilan bintang pagi
“ahai, putri jangkung, jangan murung
di sini perang hanya tarian, kekerasan hanya kenangan
mari merapat – untukmu satu kecupan”

akhirnya kudiami sebuah kota
duapuluh lima depa di bawah peta tua
: orang bersisik letih, rumah siput
pepucuk ganggang yang membiru

“kami orang usiran. kami tak punya dendam”

2001


kitab pelarian

tidurku masih disesaki kemarahan langit
sebelas malaikat menghardik-meludah di angkasa
: sawan bayi di kandungan, mendidih air di bendungan

empat puluh hari sehabis mimpiku, tuan hakim
kota tanpa pengiman itu akan luluh-lantak
bumi diremas langit diayak – awan serupa dedak

dan aku mencium maut dan aku menuju laut

di dasar laut – di perut seekor ikan besar
aku beriman dalam kegelapan pijar.
menulis selarik ayat
seirama degup perih jantungku. mengukir ketakutanku
pada dinding-dinding karang merah tua
kelak para penyelam, para pemburu hikayat
akan membaca pengakuanku:

“kenapa ia memilih si lemah hati sepertiku?
kenapa ia menitipkan kota tua padaku?”

sepuluh jari tanganku
tak cukup untuk sebuah kota
pun untuk seorang sahaya atau seekor ulat
aku hanya ingin menyendiri di pondokku – di timur kota
akan kutanam pohon paling rindang
dan kupiara beberapa ekor ternak

tapi mereka menangkapku pada suatu pagi
tapi apa gunanya kalian memintaku kembali?

“yunus, tuan layak marah sampai mati
sebab kota besar itu urung dihancurkan”

1993


rumah jagal

para pemburu meneluh malam
bayang kita tersalib di dinding
hujan paku dan beling meleleh dari genting
perih kian deras, sayangku. menyiram bumi
bagai luka bakar
“oleskan lagu nina bobo, abang!”

anjing-anjing terus berlari
menggonggong sekerat sepi kuburan
kudengar mereka meletuskan senapan
o, di bawah selimut ini
betapa merdu kaing mereka
mungkin mereka lupa
memutuskan batang tenggorok
hingga taman kotalah kamar ini
mari bercinta
hidupkan anjing dalam kepala
siram patung-patung angsa
tetapi lidahmu seperti bulu babi, manis
mengerami racun di sarang darah
ayo tanggalkan dendam. kunci pintu-jendela
dari tempias sunyi si penyendiri
di luar pepohonan bertukar salam
tanah menakar berahi akar

ada rumah jagal dalam lenguh panjangku, abang
pintunya tak terkunci. lihat, para pemburu itu
melompat masuk
tiang listrik dan kentongan
dipukul tiada henti
“ada prahara!
rumah kami tak lagi berpenjaga”

kita berpesta. merajah tubuh menyadap hayat
telah kusimpan mayat ibu-bapakmu di bawah ranjang
: dua matahari yang tenggelam tanpa doa
jangan terlalu iba pada kematian
siram air kembang
saksikan mereka meleleh dan menguap jadi hantu
pengisap madat
peminum darah ayam
hoek, kita sepasang mempelai. mohon restu
menjaga malam dari serbuan pelayat dan anai-anai
tapi kau takut pada ribuan jangkrik
yang melompat dari mulut ayahmu
mengerat rambut merah ibumu
seperti gunting kuku

“jangan lari, manis
yang mati malam ini
akan segera menjadi burung
kita tak boleh tidur
membiarkan sepasang hantu
berkacak pinggang
atau orang-orang cebol
akan mengarak bangkai anjing sepanjang jalan
: tubuhnya membesi tua. darah mereka berkarat
di antara liang luka
berjagalah!
burung-burung akan pulang memanggili ruh-ruh anjing
siapa menyuling kepak sayap menjadi bergalon kaing?
alirkan ke urat-urat nadi
semburkan tiga canting

seperti kita. anjing-anjing tak berumah, abang
jiwa-jiwa sepanjang jalan memanggul kutuk ibu-bapak

lalu engkau melenguh lagi. ruh-ruh anjing itu
kembali ke kamar ini. o, semesta anjing dan pemburu
berseteru dalam gelap. kata-kata iblis
berakar dalam gerimis
kaing bertunas di danau bulan
dikerkah awan
dan binatang buas
dipusatkan mata angin disedekapkan tangan
dirapal doa purba – “bunga, kartu, dupa
lisong, nasi uduk, kentongan, senter, serbuk gerimis
siapa yang menyantapmu?”
hei, di mana kutemukan
tempat berjayanya para penjaga malam
pemburu menciumi anjing-anjing seperti dua sejoli?

malam menggelepar, abang, malam menggelegar
gerigi runcing berpusar dalam daging
sayap-sayap terbakar akar-akar dipangkur
kubur-kubur mengapak tali darah
hura, semesta ruh beterbangan
mencari kandang raja burung
akbar   akbar   akbar

1996


kaba dari negeri khalish

1. lobang jepang

kau membawaku ke kerajaan tanah
negeri leluhur batu nisan
mayatku yang kanak dijabat hantu ngarai panjang
: layang-layang daun gadung
ringkik udara di destar orang bodi
ke empat penjuru angin kaulepas tabik
“ini serumpun salam, dua kuntum tawa bujang
datuk bermisai akar bambu
sambutlah anak-cucumu
bukakan lepau lampau
kami menanti sebuah kaba
ditulis dengan linggis dan
bercangkir darah gadis”

maka, bermula kaba: suara batu dipapas
jetis cambuk, tengkorak remuk
menjalin sirih pinang dalam mulut
berlentera ribuan kuku orang mati
kita cari sumber suara
tak ada tangan tak ada kaki tak ada kepala
tubuh pun sirna dilumat tanah keramat
: perang suci sepanjang dinding
puh, jiwa-jiwa disembur tuan imam
orang-orang berenang di udara
melepas ribuan tombak
kota-kota terendam api

lalu kau berdoa lebih khusyuk dari mabuk
bismillahi, aku menggonggong dari lorong ke lorong
memanggili arwah para romusha
di kepalaku, balon gas ini
tumbuh sepasang sungut ungu
terekam denging dinding
“kembalikan kepala dan
tanah kami
orang-orang kuning!”


2. panorama

maka, jangan hentikan kabamu, khalish
bangsi menyayati lambung awan
tiga belas juta bilah hujan meliuk di angkasa
mengipas lembah dan tebing batu
tujuh laskar tua berdendang dengan tubuh menggigil
mencuci asma di danau
o, perampas rempah dan emas telah datang!
menggada kembali sejarah
bakar saja kalender itu
pancung matahari itu
mayatku demam lagi
: ibu memanggang bayi di halaman
ayah berkhotbah di tepi kolam
lalu kaulubangi dadamu
kausembunyikan aku bersama ribuan gaung
“lorong ini, abang, menghubungkan para pencinta
dengan bulan”

terentang jala keramat
sejumput mantra dilempar pawang
“selamatkan bukan yang memar itu, inyik
dari sergapan kucing hutan”
malam-malam tanpa bulan
orang-orang menanam obor di tanam
menafsir sihir nenek moyang


3. kayutanam

siapa yang bisa lolos dari sihir ini?

aku merasa tak ada lagi hari
setelah kereta jenazah itu berangkat
gerimis mengunci kotamu
di kamar, tempat puisi disucikan
dari darah dan ingar, para pencinta
mengemplang pundi-pundi airmata
mengalir tiga luhak kenangan
mayatku kembali kelonjotan
tersengat cinta tujuh malam
beri aku ciuman candu!
di hutan-hutan sekarat kabut dan cahaya bersitegang
siapa yang lebih lama bertahan
: api hitam atau gerimis biru
lalu, seperti para penemu benua baru
kaukibarkan bendera
kaudagingkan belulangku
kautiupkan nyawaku

meledak semua yang tersumbat
: bendungan, benteng, lorong mejan, kantung angin
kubur batu, pintu langit
“revolusi, manis, selalu bermula
dari isyarat yang amat rahasia”

1997


Tentang Zen Hae
Zen Hae lahir di Jakarta, 12 April 1970. Menulis sajak, cerita dan tinjauan sastra. Kumpulan ceritanya Rumah Kawin (Kata Kita, 2004). Paus Merah Jambu adalah buku puisi tunggalnya yang pertama. Saat buku ini diterbitkan, Zen Hae adalah Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Tinggal di Kembangan, Jawa Barat, bersama sang istri, Nersalya Renata dan putri, Hilmiya Thufailah.

Catatan Lain
Menurut Zen Hae, puisi-puisi yang ada di dalam buku ini (saya beli bulan Juni 2011 lalu) pernah terbit di sejumlah koran, majalah sastra dan jurnal kebudayaan, seperti di Koran Tempo, Kompas, Media Indonesia, Republika, Merdeka, Suara Karya, Singgalang, Syir’ah, Horison, Cak, dan Kalam. Namun, berbeda dengan yang pernah diterbitkan, sajak-sajak dalam buku ini mengalami penyuntingan kembali. Menambah larik dan bait baru, mengubah tipografi, mengobrak-abrik larik dan bait, hingga tak terasa ada satu-dua sajak yang berubah menjadi sajak baru. Puisi-puisi dalam Paus Merah Jambu disusun secara kronologis dalam rentang 15 tahun kepenyairan Zen Hae.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar