Laman

Tonggak

Sabtu, 01 Maret 2014

Linus Suryadi AG: LANGIT KELABU





Data buku kumpulan puisi

Judul : Langit Kelabu
Penulis : Linus Suryadi AG
Cetakan : I, 1980
Penerbit : PN Balai Pustaka, Jakarta.
Tebal : 75 halaman (57 judul puisi)
BP No. 2801

Beberapa pilihan puisi Linus Suryadi AG dalam Langit Kelabu

Lambaian-lambaian Sunyi

lambaian-lambaian sunyi
langit kelabu abadi
senandung senandung duka

lambaian-lambaian sunyi
langit kelabu abadi
adalah kehidupan hari kini

1971



Berdiri di Pinggir Sungai, Demikian Dekat Hati Kita

berdiri di pinggir sungai, demikian dekat hati kita
gemericik air pada batu, kelap-kelip ikan memanjangkan tepian
dan sebuah pandangan sayup, akan berada dalam jangkauan nian

berdiri di pinggir sungai, demikian dekat hati kita
engkau dan aku yang hibuk, akan bertahan dengan rasa
lebat dan teduh angin dahan-dahan tetumbuhan menyambutnya

sepertinya geriap pasir pada masanya, seperti penyap
air di jurang sana, seakan gelagat engkau dan aku
akan terusir karena cuaca

berdiri di pinggir sungai, demikian dekat hati kita
engkau dan aku diam, engkau dan aku memancapkan salam
jangan juga menerkanya, O, Kekasih
muara yang tenggelam

1971
(nb. baris ke 11, engkau dan aku memancapkan salam; saya ragu apakah itu salah cetak dari menancapkan?)


Pada Remang Suatu Malam

pada remang suatu malam
kuhirup cahaya bintang

swara-swara menyusup berpaling
dari balik dinding

swara-swara mendegap melengking
dalam angin

pada remang suatu malam
kuhirupkan cahaya bintang

1971


Jangan Engkau Menyebut Jua

jangan engkau menyebut jua
bahwa hujan belum lagi reda
sebab kelam melalui jendela
rela menghantarkan bauan bunga

bayangan terakhir mengusir kita
kapan ruang sunyi pun kian hampa
membingkai rawan dalam kenangan
di dalam abstraksi di dalam diam

meninggalkan segumpalan daging
seolah kain dalam ayunan angin
bagaikan awan menguraikan hujan
adalah angan dalam rindu-dendam

1973


Tergambarkah di Sini, Sunyimu, Segala Dusta

tergambarkah di sini, sunyimu, segala dusta
geriap angin, merayap, tengah malam purnama
hasrat berbagi beban batin bersamamu, bersetia

tergambarkan di sini, sunyimu, segala dusta
mengurai hikmah, dalam kasih, dalam pesona
adalah Wasiat Abadi sebagai saksi kehadiran kita

1973


Begitukah Pandangmu, Sayup, Bagai Bintang

begitukah pandangmu, sayup, bagai bintang
kemolekan bercahaya, menyusur tanjung-tanjung benua
bersandar pada kasih, bumi yang setia
sebelum awan menggusur bayang-bayang, dalam duka

begitukah pandangmu, sayup, bagai bintang
menatap lanskap alam, di luar tatkala diam
kegaduhan dalam kelam, mendekap angan muram
sebelum makna ganda dari kata menyilang

1973


Melangkahi Selokan, di Liku Gang, Engkau Pulang

melangkahi selokan, di liku gang, engkau pulang
terbentanglah panjang, jalan, terbujurlah kelam
engkau pandang, semak-semak tidur, alpa digenggam

menyibak gugus bintang, berserak, angan menyilang
masihkah lusuh, perburuan, masihkah sungsang
tiada rindu, kan tak rabu, engkau sandang

1973


Cahaya

mula-mula Cahaya: berpijar di ufuk jingga
yang gemilang menyingkap tabir Semesta
belukar sekeliling, kegelapan berguling
yang lantas sepi merajai seluruh cipta

kemudian margasatwa, rekah dari janinnya
yang lalu mereka berebut menyambut Sabda
di setiap saat, di setiap tempat, yang ada
tiba-tiba kita: takjub sekaligus duka

1974


Sinar Bintang Menyentuh Rumpun Bunga

sinar bintang menyentuh rumpun bunga
halaman belakang, kolam, memantulkan cahaya
menjadi rahasia pandang, menjadi bayang angan
kukira ada wajahmu elok tertinggal di sana

ada angin mengendap, lewat, ada wangian menyergap
terasa dingin dan asing yang kian lengkap
aku berpaling muka, aku berjaga pula
tapi tak ada singgah pesanmu bersama-sama

1974


Memandang dalam Petang, Mentari Menyulut Bulan

memandang dalam petang, mentari menyulut bulan
memandang ada engkau dalam nuansa, aku kembali enggan
kini kita sepasang, Tuhan, memandang bayang-bayang

1974


Danau

siapakah berkaca di Danau Kehidupan
romanmu anggun dan teduh berkilauan
sepi dari bujuk, pamrih atas dendam
terlihat bening dan hening permukaan

bolehkah aku bertamu, datang diam-diam
mencuci luka raga-jiwa kotor kusandang
sebab batinmu netral diajak bertandang
: Purnama merangkul segenap gelombang!

1974


Lalu Kita Ragu-ragu Menyebut; Siapa di Situ

lalu kita ragu-ragu menyebut; siapa di situ
siapa memadu angan dan kalbu dalam sedu
bersandar di pintu, mabok kepayang duka
hari-hari terjabat dalam gelap, dalam sunyi semesta

lalu kita setia menatap batas cakrawala
dinding batas indera ditembus oleh jiwa
yang menggelorakan gairah di dalam dada
untuk menjangkau – kau – jiwaku risau!

1974


Gereja St. Albertus, Jetis 1974

rumah Tuhan sunyi juga, bertanda salib
pada remang pohon-pohon cemara, menunjuk langit
bagi mata yang daif, bagi jiwa yang papa
bagi kita: jadi tak terkata, duka namanya

namun Bulan tiba pula, di atas bangunan tua
pelan mengayunkan langkah di sela-sela mega
jauh yang di sana, lengang dicerlang cuaca
dan dekat pada kita, lambang jarak, sepi sapa

1974


Pegunungan di Selatan, Luruh dalam Hujan

pegunungan di selatan, luruh dalam hujan
tiada lagi apa sekarang, mengabut hutan
berdesik musim menjauh, anginkah yang datang

membawa bayang sendiri, menepis jejak hari
tiada lagi apa kelam, menggelap malam
bergerak dingin menghampiri, O, ayunan Lamban

1974


Surabaya

I
menggaung lagu Bar, mari kita datang
dalam irama mengapung, kata-kata diucapkan
redup lampu, engkau-aku, kan tenggelam

memburu gelap kelam, hati kita girang
dalam gairah lambung, kaki-kaki diayunkan
larat-larut, hikmah hidup, kan menjelang

II
kurengkuh buaian, hangatmu tubuh prempuan
elok dalam dialog, esok saat-saat yang hilang
dansa-dansi, basa-basi, kan menepis bayang

kujemput terang hari, kutakut hidup sunyi
akan rangkulan luput, akan genggaman sayang
harap aku, harap aku, kan melepas layang

III
beri rekah bibir, panas tubuh bergetar
dalam regukan subuh, dalam lekapan pusar
tahan diri keluh, sebelum menjadi pudar

tandas darah menjalar, deras napas bertukar
dalam rayapan akhir, dalam tembusan akar
bagan sunyi penuh, sebelum habis terbakar

IV
telaga segala telaga, sekeliling hutan duka
tersimpan bijak laki, tersandang liang luka
meruah rahmat hari, satu permainan jiwa

damba segala damba, kali tujuh berlaga
malam habis gelap, malam habis puja
terkapar sonder hati, satu senyawa jua

V
tinggal hanya lengang, anggur indera telanjang
menjulur dendam-rindu, menjalar jauh angan
menunggu dalam rabu, dalam ketaktentuan jalan

hanya tinggal bulan, pucat didera terang
seorang melenggang, seraya memegang
maut aku, muat aku, dalam dekapan!

1973


Kini Hari Meraba Jalan, Usia Mengiring Langkah

kini hari meraba jalan, usia mengiring langkah
hari-hari yang mengeras bulan, engkau demikian betah
menggelincir jatuh, embun di rumputan
tersimpan dalam rabu lusuh

lalu hari menepis jalan, usai diburu resah
hari-hari yang membatas bulan, keremangan demikian megah
menguyup tubuh, telanjang hari
tertahan dalam dingin subuh

yang jauh memandang, kan memandang jalan
yang jauh mengusut, kan mengusut lengang
pengakuan bakal datang, sekali kelak
hari-hari tajam memandang, kelengangan sajak


Tentang Linus Suryadi Agustinus
Linus Suryadi Agustinus lahir di Sleman, Yogyakarta, 3 Maret 1951. Kumpulan puisinya: Langit Kelabu (1980), Pengakuan Pariyem (1980), Perkutut Manggung (1986), Rumah Panggung (1988), Kembang Tunjung (1988), Lingga-Yoni (belum terbit), puisi bersetting wayang dan watak dalam Ramayana dan Mahabrata, Yogya Kotaku (belum terbit). Juga menulis beberapa buku esai sastra dan menyunting Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern, sebanyak 4 jilid yang terbit tahun 1987.


Catatan Lain
Langit Kelabu, Sajak-sajak 1971-1973-1974. Begitulah yang tertulis. Tak ada puisi tahun 1972. Kalau menengok ke daftar isi, puisi dibagi tidak berdasarkan subjudul, tapi berdasarkan tahun, yaitu Sajak-sajak 1971 (12 puisi), Sajak-sajak 1973 (13 puisi) dan Sajak-sajak 1974 (32 puisi). Pembacaan sepintas, sajak-sajak dalam kumpulan ini pasti akan mengingatkan ke sajak-sajak Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Semacam sajak suasana.             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar