Laman

Tonggak

Sabtu, 01 Maret 2014

dr. IBG Dharma Putra: TERIAKAN DIAM




Data buku kumpulan puisi

Judul : Teriakan Diam
Penulis : dr. IBG Dharma Putra
Cetakan : I, Januari 2011
Penerbit : Bali Kauh Publising, Bali.
Tebal : xvi + 72 halaman; 13,5 x 20 cm (44 judul puisi)
ISBN : 978-602-98344-1-3
Foto dan desain cover : Nanoq da Kansas (sekaligus penyunting)
Tata letak isi : I Gst. Kade Budi Astawa
Prolog : IBG Dharma Putra (Kredo Penyembuhan)
Epilog : Nanoq da Kansas (Cacat Psikologi yang Memanusiakan)

Beberapa pilihan puisi IBG Dharma Putra dalam Teriakan Diam

Hidup

Abiogenesis,
Air comberan penuh jentik
Kotor dan bau adalah sumber asal hidupku
Dan kita semua menjadi kumpulan manusia jerami

Nyatanya bukan dari sampah membusuk
Tabung lengkung berleher angsa
Buktikan sahih tentang hidup yang baru
Hidup nirmala terjaga suci
Seharusnya dijaga begitu

Katanya hidup bermula ledakan dasyat
Menyatunya empat unsur dasar
Oleh petir dan halilintar
Jadi amino yang masih sangat jauh
Berbatas protein, daging, badan dan jiwa


Hari ini pun tetap misteri
Tidak ada jawab yang pasti
Hidup tersembunyi sangat rapi
Di balik onggokan homeostasis
Aturan hakiki yang ditentukan illahi

Homeostasis
Tepian ilmu tak terpahami
Berdenyut merefleks jadikan hidup
Tidaknya berarti mati
Menolaknya berujung tidak mengerti

Sebelum adanya hidup seharusnya memang didapat
kosong
Lantas terjadi ledakan menetasnya telur-telur imajinasi
Dalam loncatan yang sepenuhnya takdir filosofis
Dari kosong yang penuh tebakan berisi misteri
Terciptakan udara inti sumber kelegaan
Hingga ada air pemberi jalan keluar
Tertempa api abadi pembebasan
Pada tanah suci yang netral
Jadikan hidup penuh arti

di barabai, tengah malam empat tiga sepuluh


Borneo

Aku bisa menjelmakan kosong
Menjadi mimpi yang berujung harap
Harapan kujelmakan menjadi teriakan amat kuat
Walau akhirnya kujadikan kelu bisu di jalan buntu
Tenggelam dalam tindakan ragu yang tak jadi keliru
Kuubah kesumat jadi semangat dan kecewa jadi nikmat
Hingga bumiku terjelmakan menjadi guru
Hasilkan hikmat akhir yang riang gembira
Berujung kebahagiaan
Bagi pengabdianmu


Kurau

Belantara asing
Berbingkai samudera
Tempat tempa dan siksa
Dan suasana aneh
Yang tak sepenuhnya aku mengerti

Anginnya garang
Lantang berbunyi lolong
Dan hembusan kencang menantang
Pekak di telinga
Runtuhkan nyaliku
Luluh

Sungainya besar
Tak jelas batas lautnya
Hingga tiba-tiba berombak
Menampar wajahku dengan garam
Pucat, memutih dan goyang bergoyang
Takut diombang-ambing
Tak temu arah
Biduk hidupku

Malamnya gulita yang mencekam
Tak berteman
Sepi
Hanya terisi mimpi
Yang tak tentu

Kurau
Adalah padang pengabdian
Yang wajib dilewati
Untuk kini


Mati Rasa

Pada saat susupan lidokain
Bekerja aktif di sekitar luka parahmu
Sedikitpun tak ada rasa yang hilang
Hanya tak sakit

Pada saat kamu tertidur nyenyak sekali
Rasa-rasa tubuhmu mengkhayal lain
Dalam bentuk mimpi-mimpi
Masih ada rasa

Mati rasa adalah misteri
Kebohongan sebelum mati
Tak ada menyata
Bahkan di inti khayal terdalam
Bagi kita yang tak pernah kehilangan cinta


Lukislah Untukku

Lukislah buat aku
Sebuah pondok
Dalam hamparan sawah
Pada pagi yang berembun
Rintik gerimis kecil

Lukislah buat aku
Warna-warna indah
Bau tanah nostalgia
Agar menyentuhku mesra
Tepat di hati

Lukislah buat aku
Titik dan garis yang tegas
Keberadaan nyata mimpiku
Pada langit bumi dan matahari
Serta malam penuh bintang
Bulan purnama memerah

Lukislah buat aku
Kesederhanaan masa kecil
Bukan istana penuh pura
Bukan pengorbanan terpaksa
Bukan pula pemanfaatan berlebihan
Seperti yang kita rasa

Lukislah buat aku
Gunungan ketulusan
Pohon buah dan bunga
Yang telah disepakati
Dan bukan hasil kehidupan
Bernarasi tunggal

Lukislah buat aku
Kemantapan masa depan
Yang penuh gembira
Dan bahagia

Lukislah buat aku
Seperti yang aku duga
Bisa dapat dan mau
Kamu lakukan


Erotika

Ada rasa sangat dalam
Menenggelamkan erotika lelakiku
Pasrah mengabdi pada bahagiamu
Rasa yang belum aku pahami maknanya

Ada kehangatan manusia tak berkelamin
Merengkuh hatiku di dekatmu
Hanya ingin menyayang
Tapi tak lengkap seperti dulu
Hingga kini pun belum kutemukan maknanya

Ada keinginan yang sangat terukur
Dengan perhitungan yang rumit
Yang harus bernilai kehormatan
Dan menjaga martabat kemanusiaan
Bernilai luhur

Rasa-rasa itu tercampur baur
Menjadi aku di depan wujudmu
Nyata walau belum kupahami maknanya
KAMU DAN AKU

Masih di sini
Walau kamu kaya
Dan aku dalam kemelaratan
Tapi hilang
Karena telah biarkan lapar kelaparan
Dalam foya-foyamu

Kita
Adalah rasa cerdas
Yang bersekat ketidakadilan


Cinta

Tidak hilang
Hanya oleh aib
Karena petir
Bukan suara pemanggil hujan
…………………….


Pritha

Langkah tertatih
Rengek kecil
Gumaman manja
Dan tangan tangan mungilmu
Adalah kenangan kasih abadi
Di hati sanubari

Kamu adalah sensasi
Puncak cemara bahagia
Bak tawa
Sehabis nafas kita

Ketahuilah
Kau batu putihku
Tergeletak di antara pasir hitam legam
Mencorong mempesona
Dan aku
Mencintaimu

Keharuan
Akan bayang di depanmu
Adalah semangat
Yang dapat kalahkan segala aral
Berani menentang kodratku

Bersama peluk mesramu
Adalah inti kehidupan dan kehangatan
Dan bau nafasmu
Menyentuhku di hati
Dengan kristal kekangenan

(nb. kayaknya judul puisi ini merujuk ke putri kesayangan penyair: Pritha Savitri Dhafa Putra)


Ibunda

Hari ini
Hari yang sama
Hari berdoa dan diam
Hari yang selalu penuh dan ternikmati

Hari ini
Tetap sepi dan sendiri
Tapi diammu mewarnai dan memberi
Menginspirasi kedamaian kami
Buah hatimu, tujuan doa doamu
Sumber kesibukan dan pikiranmu

Hari ini
Aku takut menulis puisi
Karena hormatku tak terperi
Dan puisi tak berkecukupan isi
Tapi tetap berarti

Hari ini
Terimalah hormat proklamasi sejati
Tentang anugrah bumi tidak tertandingi
Seorang ibu tak terbandingi
Sekali dan selalu terbukti

Hari ini
Di kejauhan diri yang lekat di kalbu
Ingin kuadu rindu dan nikmatnya pilu
Di pangkuanmu sendu

barabai, pada pagi tiga tiga sepuluh


Masa Depan

Aku jauhkan dia
Bukan untuk kupeluk selalu
Dan kamu susui
Tapi untuk perkenalkan
Naga-naga dan penghuni liar dunia
Seperti yang aku ceritakan

Aku jauhkan dia
Untuk ajarkan mandiri dan toleransi
Seperti yang teramalkan harus terjadi

Aku jauhkan dia
Untuk sebuah percobaan siksa
Hingga yang biasa akan jadi bahagia

Aku jauhkan dia
Dengan kesengajaan
Dan untuk apa rengekan itu?


Tuhan Itu Tuhanku

Tuhanku satu
Tetap satu dari segala penjuru
Sama seperti itu
Mana mungkin tuk keliru

Ayah ibuku bilang yang satu
Guruku pun berkata itu
Kawan-kawanku juga begitu
Buku-buku mendukung itu
Naluriku katakan itu
Semua satu
Tetap satu dari segala penjuru
Mana mungkin tuk keliru

Tuhan itu Tuhanku
Tak terbayangkan tapi tak keliru
Melebihi batas pikiranku tapi tak keliru
Tak peduli pikiranku tapi tetap pedulikan aku
Besar di luar dan menyelimutiku
Kecil di dalam menjadi inti hidupku
Tetap satu dari segala penjuru
Mana mungkin tuk keliru

Apapun lagi katamu, ulah gerakmu
Tuhan itu Tuhanku
Akan sama denganmu
Karena satu 
Tetap satu dari segala penjuru
Mana mungkin tuk keliru

Kawanku
Tiada tuhan selain Tuhan
Hanya satu
Tetap satu dari segala penjuru
Mana mungkin tuk keliru


Aku Panggil Kamu

Aku panggil kamu
Dengan setiap nama sesukaku
Nan kebetulan melintas di benakku
Karena sebuah hormat yang bisu membeku
Akan keberadaanmu satu
Di ketertundukanku selalu

Aku panggil kamu
Susuai nama di nuraniku
Sendiri dan berbeda tuk keberadaanmu satu
Di benakku padu menyatu
Menentang pemaksaan dari umat kaku

Aku panggil kamu
Dalam setiap desah hidupku
Karena tak ragu akan dirimu satu
Dalam helaan nafasku

barabai empat tiga sepuluh


Imaji Jambu

Ada jambu dalam impian lama
Dan kini pun belum jadi nyata
Sampai nantinya
Tertanamkan dan jadi dalam
Kepemilikan

Jambu hutan
Kecil indah kuat dan rindang
Pohonnya sejuk
Tempat berteduh

Aroma buahnya pekat
Antar lidah pada kenang
Selalu terindah
Akan tetap begitu
Jambu itu tambatkan kuat
Pada kuning serta biji
Setumpuk harapan isi
Bayang kearifan

Jambu itu
Lunak tapi tak layu
Segar dan tak jadi busuk
Ketangguhan lelaki

Ada jambu lain
Pada warna hijau muda
Keluguan lunak tercerna
Berair segar
Melimpahi dahaga

Jambu air adalah perempuan
Kerenyahan mudah patah
Nyala sinarnya rentan layu
Lalu lembek serta suram
Jadi onggokan busuk

Daya mampu imaji jambu-jambu
Telah bawakan kenangan
Pada warna unik
Dahaga serta keteduhan
Rahasia indah kehidupan


Jungkir Balik

Di manakah adil
Jika peduli menjadi frustrasi
Dan keberhasilan
Jauh di seberang kepedulian.

Di manakah jujur
Jika bekerja bak terhukum
Dan kecuekan diam
Dipandang cerdik
Berbuah kesuksesan

Di manakah kebijaksanaan
Jika terjadi pembiaran
Mengarah kehancuran
Dan kesempatan yang ada
Hanya untuk sesaat saja

Di manakah Tuhan
Jika jujur berujung gagal
Dan berhasil tanpa kepedulian

Jauhkan
Dari persadaku
Walau pasti masih ada
Dan tidak mati


Puisiku Sepi

Puisiku sepi sulit dimengerti
Terlalu rapi, berbait, berirama
Tak punya greget dan kehilangan roh
Tak nyambung, tak gaul dan tak zaman
Mana kristalisasinya?

Kurasakan juga begitu
Dipaksakan padat berisi
Setebal pustaka kuno
Serumit jalan pikiran
Berwarna unik tersendiri
Hingga jadi tak ragu apalagi malu
Karena kata spontan tak peduli
Sentuhan liar mencoba kalbu
Tak haramkan perbedaan tafsir

Aku ingin seperti Rendra walau tak sampai
Ingin pula meniru Tardji, Goenawan dan Emha
Kadang ingin jadi Taufik
Dan sering sok Chairil Anwar
Tapi puisiku tetap begitu
Berkata tidak diseragamkan
Tulisan berderet masih yang dulu
Canggung yang kaku itulah aku

barabai, anakku hari ini datang berlibur ke sini, tujuh tiga sepuluh


Doa Tersayang

Sayangku
Jadilah humanis
Warnai sanubarimu dengan cerah
Kecerahan Tuhan
Tapi jangan monopoli
Kebenarannya

Doa papamu pasti
Karena aliran darah kita
Bersumber kelengkapan yang sama
Beragam tantularis
Dalam sejarah keluargamu

Selalu
Dan selamanya
Teriakkanlah kata tidak, tidak dan tidak
Bagi benci
Bagi serakah
Bagi kejam
Dan ketidakadilan…


Tentang IBG Dharma Putra
dr. IBG Dharma Putra, MKM. lahir di Banjar Tengah, Negara, Jembrana, Bali, 1 Maret 1961, dari pasangan IB Putra dan IAP Mutri. Menyelesaikan pendidikan dokter di Universitas Airlangga dan Magister Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia. Merupakan kolomnis tetap “Silat Lidah” di Tabloid Berita Mingguan Jembarana Forum. Menulis apa saja, mulai puisi, artikel, esai, kolom. Tulisan-tulisannya dibukukan dalam Silat Lidah (kumpulan artikel seputar otonomi daerah) dan Catatan di Atas Pasir (kumpulan kolom yang pernah ditulisnya). Saat kumpulan puisi Teriakan Diam diterbitkan, masih menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Hulu Sungai Tengah (Barabai). Namun sejak 1 Desember 2013, menjabat sebagai Plt. Direktur Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum. Sampai tulisan ini dipublikasikan, masih belum dilantik secara definitif.


Catatan Lain
Buku ini, sebenarnya diterbitkan untuk memperingati 50 tahun usia pengarangnya. Di bagian awal, ada tertulis kredo. Judulnya Kredo Penyembuhan. Jika disimpulkan, maka begini kesimpulannya. “Begitulah puisiku, ditulis dan dipetakan sebagai sebuah karya serius untuk penyembuhan diri dari berbagai keterpengaruhan wadag terhadap jiwa. Puisiku membebaskan dan membuat jiwa sampai pada bahagianya.” (saya meresensi kumpulan puisi ini, termuat di Media Kalimantan, Minggu, 23 Februari 2014). Oya, buku ini punya teman sejawat di psikologi RSJ Sambang Lihum. Begitu dikasih saya penyairnya pertengahan Februari 2014, langsung saya pinjam tanpa pemiliknya sempat membaca dulu. Teman saya itu namanya Rika Kisnarini, Psi. Hehe.
Dibanding penulis puisi di buku ini, saya lebih dulu kenal dengan penyuntingnya. Nanoq da Kansas. Saya pikir-pikir, sepertinya Nanoq da Kansas lah penyair Bali yang pertama kali saya kenal dan masih melekat dalam ingatan saya. Setidaknya sejak April 1997. Waktu itu masih kelas 2 SMA, lewat penerbitan puisinya di Majalah Horison. Dalam keterangan di majalah itu, misalnya disebutkan bahwa nama sebenarnya Nanoq da Kansas adalah Wayan Udiana. Lahir dalam keluarga petani di Dusun Moding – Candikusuma, 2 Desember 1965. Bekerja sebagai Sekdes di desanya. Apa kabar Oom Nanoq? Ijinkan saya menulis lagi puisi sampeyan yang saya suka dan bertahun-tahun hidup dalam kepala saya….

Dalam Matamu
karya Nanoq da Kansas

dalam matamu
kumimpikan anak-anak berlarian
mencari ketawa

suara mereka
bersambungan di tali layangan
antara doa dan lidah angin

ke atas
ke atas, sayangku – zaman membisik-bisik
membentuk berbagai kemalangan
di guratan telapak tangan
beribu anak-anak burung lalu terbang
beribu pohon lalu kehilangan
keributan di pagi hari

perempuan-perempuan tua bersimpuh di ambang pintu
mendongeng tentang sepucuk surat yang ditunggu
sementara di jalanan tukang-tukang pos
bergulingan tertikam berbagai berita buruk
hanya aku yang lolos
hanya aku yang luput
tertidur di belantara penyair
dan dalam matamu
kumimpikan anak-anak berlarian
memanggul tawa
bagai menghela sehelai daun pandan

1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar