Data buku kumpulan puisi
Judul : Menguak
Negeri Airmata: Nadi Hang Tuah
Penulis : Abdul
Kadir Ibrahim (AKIB)
Cetakan (gabungan): I, Januari 2010
Penerbit : Akar
Indonesia, Yogyakarta.
Tebal : xxvi
+ 275 hlm; (132 puisi)
ISBN : 978-979-99838-5-5
Supervisi, desain
cover : Joni Ariadinata
Penyunting : Raudal
Tanjung Banua
Produksi : Nur Wahida
Idris
Desain ini : Raban
Tiruni
Gambar cover : Deddy
PAW, The King of Kings (2009).
Prolog : Prof. Dr.
Sapardi Djoko Damono
Epilog : Drs. Abdul
Malik, M.Pd
Menguak Negeri Airmata: Nadi Hang
Tuah adalah dua kumpulan puisi
digabung satu, yaitu 66 menguak
(terbit 1: Bengkel Teater Bersama, Pekanbaru, 1991; terbit 2: Unri Press,
Pekanbaru, 2004; 66 puisi) dan negeri
airmata (Unri Press, Pekanbaru, 2004; 66 puisi).
Beberapa pilihan puisi Abdul Kadir Ibrahim (AKIB) dalam 66
menguak
20
ingat,
ingatingat
mata ke pandang lebih
dekat
mulut ke rasa lebih
dekat
hidung ke bau lebih
dekat
telinga ke dengar
lebih dekat
kulit ke daging lebih dekat
daging ke tulang lebih
dekat
urat ke darah lebih
dekat
jantung ke napas lebih
dekat
dekat!
rapat
allah
pemangkat,
kalbar, 1990
66
kalau ke hidup
ke hiduplah engkau
ya allah
kalau ke laut
ke lautlah engkau
ya allah
kalau ke gunung
ke gununglah engkau
ya allah
kalau ke padang
ke padanglah engkau
ya allah
kalau ke sakit
ke sakitlah engkau
ya allah
kalau ke mati
ke matilah engkau
ya allah
aku telah
sampai
teruslah
pekanbaru, 1991
29
ruhku
hilang
di
puncakpuncak
mu
taji
kuku
kau
kukuh hunjam
ke
mana
aku
oh
ruh
mengapa kau
hilanghilang hilangkan aku
ke puncakpuncak
kita
pekanbaru, 1991
17
lang laut terbang tinggi
nukik ke bawah hinggap
di ranting
sisil bulu
patuk ulat
di selit dahan
terbang
ke ranting lain
jejak kaki
patah
terbang memepak
mencari arah
hutan menua gersang
melaruk
mati
api jahil
tangan memunggu hutan
lapuk
“rumah kami kau bakar, ingatkan
tuhan pun aku binatang, berlama sama
ke tuhan kita”
diamlah
aku
terempak, anambas, 1989
28
tanjung datuk teluk butun
pulau panjang sungai cinak
pulau
butun sepadal
liku
tanjungtelanjang
di
mabai
pantai pun lunglai
ahai
jalan bertorong
tembus
ke ulu
tembus ke kelarik
tembustembustembus
abuskabus
bilangbilang
lelanglah jalan kaki
hadap matahari
ngerangngerang tok tak selot semak
pantai
kuala
sungai
tak sampai
ombak
tak sampai
pasir tak sampai
darahku!
hei laut cinta
gulung derulah
di sana kami gelap dan sunyi
di sana kami gusi
dan gigi
di sana kami pengap
mati
kau
aku
di
mana kini
kelarik, natuna, 1985
54
angin topan
amuklah aku
amuk
lah
hingga lutut goyang gigil
hingga rupa pucat pasi
hingga darah beku
dingin hingga
jiwa lekat
di kau
cabutlah puting cabutlah
topan
cabutlah badai cabutlah
petir
cabut kau
cabut
amuk
remuklah aku
kelarik, natuna, 1989
52
ada mati
kerlip suci kian
menyepi
ada banyak tak ngerti
ya
ilahi
aku di sini
cucur mancur
dingin seputih
nurmu
di celah bersisih
ini bumi dan di hati
kini
tanjungpinang,
1989
36
dalam bukan kekal
indahnya
matahari
simbah selimut
duduk malulah nurku
di
kau
ya allah
dan
dalam
binar
terang kalam
mu
tegak
teguh
selimpuhlah
ya
allah
di
luluh tubuh
kelarik,
natuna, 1985
8
subhanallahiwalhamdulillahi
walailahaillallahu
wallahuakbar
allah
liput arasy penuh
kursi
allahuhuhuallah
di
dinginnya malam puntal
tulang kacip
malangku sejuk
kukukuhkan
ingat
kau
allahuhuhuallah
di
hanyutnya malam penuh
resah kupilu
tunduk kuremuk ‘tuk
kau
wujud
tawaruk karut
tak pilih siang tak
pilih
malam tak pilih hari
tak
pilih bulan tak pilih
saat
tak pilih tempat
tak pilih pilih pilih
ku
kau
maulah
serasan,
natuna, 1988
45
belah angkasa
langit
tak
turun kotor!
bumi
ada najis
ada buas
ada bangkai
bangkai
pulang kau
tak
bangkaikan
aku
sungai
tanang, kampar, 1988
Beberapa pilihan puisi Abdul Kadir Ibrahim (AKIB) dalam negeri
airmata
34
kau siang
atau pula
bagai wewangian
jua
syahid
mataair
seumpama
risau
hiraumu
ditakar sekotahjannah
renyuporang amalshalehmu
rampairampai
tak
cakap
kasip
elok menangkup
fiilmu waktu
natuna,
1992
16
menangis dikau
pagi terbakar
orangorang kenas
terbuang
anjing galak gasak
kepingan cinta
buaian balita melayang
angkasa
ibu
mertua diam bersela
kurakura
bercinta
di
anak
tangga
kucing
kejarkejaran
seruling
gembala
menidur
angin
lindap
menyungkup
musafir
terhenti
gerun
rindu
untukmu
pontianak,
1994
12
bayan terbang kekasih
hilang
kepak angin desau melampau
selimut senja selindung
kaca jendela gelegak
kepadamu bersiap
mati bertepi
pagi
bayan sampai
ahai
duri,
1994
17
kau
tepuk
angin
terbang
gunung
kerang hempas diri
pelanduk kejar
langau
penyengat sengat
tikus dajah
terkekehkekeh
aku bercumbu babi
esok
gerhana bumi
rembulan
selangkangan
isteri
bidadari
merejai selendang hamparan
terentang
geram
mematuk-matuk ular celah seluar
igaligal liukliuk
kesurupan tikam
padamu kukuda
kadukan diam
mintamu pulangkan dendam
balik kasih
asing air
nyala api
sembur
sampai
apa
kecai
natuna,
1991
10
tua
dunia kerat
usia kepadamu
sujud luka
zikir cabik
harapan
ditimba
surga
tanjungpinang,
1998
13
cerita
dara
menjemput
subuh
angin
sepulas embun
selimut dingin
ayam
pejantan
rampai hajat
suara
terbalas
sendat
bandung,
1993
38
pagijernih
diri
kekasih setamat
allah
!
halus
nyata
sujud
tak
tangkai
ketika
zikir
!
tasbih jantung
emak ayah atuk kau
abadi kini
padang,
1998
45
a
z
a
n telikung hari
r
i
n
d
u dikau
mematukmatuk
kuburan
terlungkup pagi
k
a
i
n tanpa warna
secebis
terkibar sebelah
kasip
mengaji diri
tamat
d
a
h hari
pekanbaru,
1987
47
airapimengembaramasukikota
politikussibukulurlidahjilatangin
darahanakanakkumal
ditumpahkemaluannenekompong
kursisapikakiselaksapetir
dukaairmatanarkobaabunegeri
politikuslucustudungwaktu
melayanghitam
babianjingkepedihan
tombak
m
e
m
e
l
u
k
k
e
m
a
t
i
a
n
jakarta,
2004
59
niscaya ke maut
tunjam berbilang arwah
abadabad selepasnya
zuriatzuriat sampan
atau rakit
semakin renyuh
sultan sulaiman badrul
air
alamsyah
dan angin
hati semula jadi tak embun
I
raja haji selumak kurap
amuk patut
negeri
panau
api menyala nadi
hang tuah
kudis
di
allahuakbar ceking
teluk riau
sahabatsahabat aduhai
jadi kuda gaib riau
merempuh abrahah hang jebat
haram bersurut langkah taut dendam
hitam perlawanan
membadik awan
hantu lalu
sesiapa
kembang kubur
bertiraitirai
tanjungpinang, 1999
II
seperti
hasan junus
alazhar
uu hamidy
tabrani
rab
akib
atau dulu
khalid hitam
ali kelana
engku puteri haja
hamidah
aisyah sulaiman
riau
perkara
bagai nyawa
buah telo
kutuk elmustian
sesiapa meludah
seenggat abad 21
zuriat seketam belanga
laut
sungai
setalam bisa
rimba nasib
berjudi
kepada api
riau
cincai
pekanbaru,
2001
III
riau
sempadan
dunia
tanahair
kemilau
puisi
penyair orangorang
danau kongkang
jampi gagak hitam hahaha
serapah pekung ha!
pekanbaru,
1994
Tentang Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kadir Ibrahim adalah anak H. Ibrahim Bukit dengan Hj. Hatijah
Naim, lahir di kampung Tanjungbalau, Kalarik Ulu, Bunguran – Natuna, Kepulauan
Riau, 4 Juni 1966. Sarjana S1 Fakultas Tarbiyah, IAIN Sultan Syarif Qasim,
Pekanbaru (1991) dan S2 Magister Teknik Pembangunan Wilayah Kota, Universitas
Diponegoro, Semarang (2008). Memulai karir di RRI Pekanbaru tahun 1987-1989
mengisi acara Puisi dan Lagu. Bergabung
di Bengkel Teater Bersama (BTB) pimpinan Drs. Dasri al Mubari, Ms. Pernah
mengelola koran Natuna Pos, sebagai Pimpinan Umum. Pernah pula jadi guru SMPN 4
Tanjungpinang. Dan sejak 26 Februari 2009 menjadi Kepala Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Tanjungpinang. Karya-karyanya al: Menjual Natuna (kumcer, 2000), 66
Menguak (puisi, 1991), Negeri Airmata
(puisi, 2004), Lanon-lanon (kumcer), Wanita Vietnam Natuna-Galang (novel), Puteri Bintan (novel), Dara Bunguran (kumpulan cerita
rakyat)
Catatan
Lain
Di rumah penyair Y.S. Agus Suseno, ada satu buku yang kesemuanya
membahas puisi-puisi AKIB. Judulnya “Abdul Kadir Ibrahim: Penyair Cakrawala
Sastra Indonesia”. Di sana ada tulisan Sapardi Djoko Damono, Maman S. Mahayana,
Taufik Ismail, Korrie Layun Rampan, Hamsad Rangkuti, Sutardji Calzoum Bachri,
Jose Rizal Manua, Ahmadun Yosi Herfanda, UU Hamidy, Hasanuddin WS, Muchid Al
Bintani, Ahmad Badrun, dll. Di luar buku itu, menulis juga Hasan Junus, Joni
Ariadinata, Jamal D. Rahman, Taufik Ikram jamil, Ediruslan Pe Amanriza, Hasan
Aspahani dll. Demikian tuturan Drs. Abdul Malik, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu
Keguruan dan Pendidikan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang,
Kepulauan Riau, dalam tulisan penutup buku ini. Bahkan karena saking
bersemangatnya, Pak Dekan pun berkata: “… Karena
demikian adanya, maka saya secara pribadi berpendapat, bahwa pada rentang
zamannya dan semasa segenerasinya pantaslah Akib digelar sebagai ‘Raja Penyair
Indonesia’. Dan untuk lebih menyakinkan kita tentang puisi-puisi Akib sebagai
puisi pembahruan, maka ada baiknya membaca secara tuntas buku Abdul Kadir
Ibrahim: Penyair Cakrawala Sastra Indonesia (Akar Indonesia, Yogyakarta, 2008).”
(hlm. 249).
Kalau
saya pribadi juga boleh berpendapat, saya merasa puisi Sutardji lebih menggetarkan.
Tapi apalah pendapat saya dibanding pendapat para pendekar sastra itu. Hanya
satu hal yang saya senang, puisi-puisi Akib dikatakan menghidupkan lagi aksara
Arab-Melayu. Jadi kalau membaca buku ini, bakal kita temukan puisi-puisi Akib
dengan Aksara Melayu juga, meskipun tidak semua ada alihaksaranya. Tak tahu
saya, si penyair menulis yang mana duluan. Huruf latin atau Arab-Melayu. Semua
puisi Akib juga tak memiliki judul, hanya ada penomoran, dari 1 hingga 66. Baik
di Negeri Airmata atau 66 Menguak. “Di
atas langit ada langit. Saya niscayalah seorang hamba makhluk Allah yang dhaif.
Meski demikian, terasa benar di hati melekat benar di akal pikiran, semogalah
adanya apa-apa kata yang terangkum dalam buku ini bukanlah kata-kata mudharat
melainkan sungguh-sungguh memberi manfaat dan faedah kepada sesiapa saja,”
kata si penyair menutup sekapur sirih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar