Data buku kumpulan puisi
Judul : angin
burangrang
Penulis : Samsir
Mohamad
Cetakan : I, April
2007
Penerbit : Ultimus,
Bandung.
Tebal : xii
+ 148 hlm; 14 x 20 cm (82 judul puisi)
ISBN : 979-99560-7-2
Editor : Bilven
Gambar sampul : S. E.
Dewantoro
Desain sampul : Ucok
Foto belakang : Fajar
Sketsa wajah : Panji
Kata penutup : Prof.
Drs. Jakob Sumardjo
Beberapa pilihan puisi Samsir Mohamad dalam angin
burangrang
sajak
dua baris
walau surga menanti
tak seorang berniat
pergi
*
walau amat pahit di
bumi
selagi bisa elakkan
mati
*
egaliter baru di
bahasa
dalam kehidupan belum
nyata
2006
sebuah
nukilan
lima tahun kusandang
senapan
lawan serdadu penjajah
untuk bela negaraku
dan
kemerdekaan bangasaku.
lima belas tahun
aku hilir mudik
sebisaku berbuat baik
untuk tujuan
kemerdekaan.
nyaris lima belas
tahun
jadi penghuni rumah
tahanan
penjara dan
pengasingan
tak pernah ke
pengadilan
dan itu dilakukan oleh
negaraku sendiri
yang kubela dan
kuhormati
dengan taruhan mati.
itulah suatu ironi
hendaklah tak berulang
lagi
untuk mereka
setelah aku pergi.
betapapun
telah kulakukan
apa yang aku mampu dan
bisa
untuk negeri
orangtua dan istri
padaku tak ada sesal
untuk semua itu.
kelak, apa pun putusan
ilahi
akan kuterima dan
jalani.
2006
aku
rela
lagi dua bulan, 80
umurku
15 tahun di penjara
dan pengasingan
10 tahun menduda.
maka kukenal dengan
baik
derita dan kesunyian
sunyi di badan
sunyi di hati
tubuhku kini rentan
beringsut layu
linu menyayat otot
dan tulang kakiku.
tetapi…
lebih linu dan didera
kepedihan
saksikan bangsaku
berkerudung takhayul
memuja batu-batu
berlumut
dan besi tua.
jika bisa disingkirkan
biarlah kupagut
bersama kematianku.
dan jika itu dosa
aku rela masuk neraka.
kasihan
kasihan
si tua bangka
yang dulu berdarah-darah
mencuri kuasa
lalu semena-mena
pada sesama
kini tubuhnya renta
dicabik-cabik
beragam penyakit
apakah hatinya
menjerit
untuk dusta dan
dosa-dosa
yang bantai dan
sengsarakan
sesama manusia
hanya orang gila
ingkari kebenaran
dan kebenaran adalah
sumber
hukum dan hukuman
adakah pintu tobat
baginya
supaya tidak dimangsa
neraka
semoga tuhan
mengampuninya
anak
petani
ke mana bapakmu
ngabedug
ke mana ibumu
ngabungbun
ke mana kakakmu
ngala suluh
duduk di tanah,
mengasuh adiknya
yang merangkak,
menggapai-gapai
tanah di tangannya
tanah di kakinya
tanah di mukanya
tanah di badannya
tanah di mulutnya
matanya bening
hatinya bersih.
1985
Keterangan:
Ngabedug
: memburuh mencangkul sampai bedug berbunyi
Ngabungbun
: memindahkan benih dari persemaian ke dalam seonggok tanah yang diwadahi daun
pisang untuk kemudian ditanam di kebun
Ngala
suluh : mencari kayu bakar
dalam
derai ombak
dalam derai ombak
di pesisir landai
dan deburnya
di pantai terjal
di kesuburan bebukitan
dan kerontang tanah
gersang
kudengar bumi
berbisik:
“aku subur dan kaya
tak pantas kalian
sengsara”
angin lalu
menertawakanku.
menghendaki
menghendaki
kesejahteraan
untuk semua
manusia
apakah
itu
sebuah
dosa
bekalku
:
Ruth I. R.
kutangisi dan
kutangisi
dia pergi juga, pergi
dan tidak kembali
kurindui dan kurindui
dengan tubuh dan hati
nyatanya dia telah
tiada
kerinduanku karam
sendiri,
ke lubuk hati.
sadarku berbisik
lembut
“esok ada hari lagi
dan jalani”
kuraih dengan pikiran
dan perasaan
kujadikan bekal dan
penuntun
sampai ke ujung perjalanan
terpujilah sadar
anugerah dari tuhanku.
2006
kekuasaan
oleh ulah para
petinggi
yang genggam kekuasaan
jutaan dibantai, putus
nyawa
dengan rupa-rupa cara
mengenaskan
seratusan ribu
ditahan, dipenjarakan
disiksa, dianiaya,
lalu disengsarakan
dikuras harta dan
tenaganya,
tidak pernah ke
pengadilan!
setelah belasan tahun
yang remaja jadi
dewasa
yang dewasa menjadi
tua
tidak pernah
diberitahu
apa salah mereka
mereka dilepaskan
dengan
upacara dan janji
yang mengikat diri
mereka sendiri
tidak usai di situ
masih berlanjut dengan
stigma
dan semacam “perdata
mati”
sampai pada anak dan
cucu
cuma satu presiden
yang kyai
meminta maaf dan
diturunkan
sebelum habis masa
jabatannya
pelaku puncak dan para
bedebah pendukungnya
berperilaku seperti
bertangan bersih
meniru Pontius Pilatus
mereka lupa adat dunia
dan akhirat
“tangan mencincang
bahu memikul”
jika mati mereka
membawa dosa
dan aku membawa luka
luka di badan, luka di
hati
aku pasrah pada ilahi
itulah iman dan
ketakwaanku
2006
di
pihakmu
alam membentuk
keindahannya sendiri
dalam untaian harmoni
yang menghidupi
selebihnya,
yang dianggap bagus
dan indah,
yang nyaman dipakai,
yang lezat ditelan,
yang asri dipandang,
yang serba
menyenangkan,
lahir dari tenaga dan
kerja manusia,
emas, intan, dan uang
datang dari sana.
tetapi engkau manusia
pekerja
ribuan tahun sulit
capai kecukupan
sedang yang mahir
tulis baca dan berhitung,
melimpahi diri dengan
berlebihan.
dikecohnya si pekerja
dengan uang
yang tergeletak mati
di pundi-pundinya
sehingga uang bagaikan
di atas segalanya.
hai pekerja,
manusia yang
bertenaga,
bukalah mata dan
guncang sadarmu.
dari cucuran
keringatmu
semua kemudahan dan
kebagusan menjelma
dari tenaga dan
kerjamu laba mengalir
dan diselingkuhkan.
kehendakmu cuma satu,
keadilan yang adalah
mahkota kebenaran.
karena itu
aku di pihakmu.
2006
kebenaran
asasi
ketika pikiran
dijeratkan
pada uang yang disebut
modal
mendewalah uang di
atas segalanya
lapangan kerja perlu
uang
kemiskinan perlu uang
segalanya perlu uang
kesimpulannya:
perlu dan butuh
pendatang yang punya
dan bawa uang.
ketika pikiran
menggenggam
kedaulatannya
uang bukanlah
segalanya
tanpa tenaga dan
kerja,
uang tidak berdaya
letakkan segunung uang
mencabut sehelai
rumput pun
tak akan bisa
itu nyata, maka itu
benar adanya
selagi ada
tenaga dan kerja
tidak perlu
menjual atau
menggadaikan
apa saja.
tidakkah dimengerti
bahwa segala yang ada
datang dari tenaga dan
kerja
bukan dari uang yang
berumur muda
sejak keberadaan
manusia
2000
cukuplah
sudah
siapa yang ajarkan
kekuasaan
di atas segalanya
sehingga dijadikan tujuan?
tataplah kenyataan
sepanjang abad yang
lalu
dengan hati bersih dan
pikiran jernih
di mana-mana manusia
jadi korban
berjuta-juta, berpuluh
juta
disiksa, dianiaya
ditebas nyawanya
dengan berbagai cara,
semua itu cuma untuk
rebut kekuasaan
sepanjang abad yang
lalu
nyaris dua pertiga
penduduk dunia
dimelaratkan,
dimiskinkan
dijadikan sapi perahan
itulah ulah si kaya
dengan emasnya
untuk meraup laba dan
keuntungan
yang lahap, rakus, tak
pernah puas
apalagi kenyang
butir-butir kebajikan
dan kearifan
yang dihasilkan
peradaban manusia:
egaliter dan peri
kemanusiaan
dikempit si penguasa
dan si kaya
dipayungi “hukum” yang
dibuatnya
dikawal senjata dan
teknologi
yang digenggam si
penguasa bersama si kaya
diselingkuhkan,
diselingkuhkan
untuk kekuasaan dan
kekayaan
cukuplah sudah dan
tiba saatnya
hayo! kibarkan
panji-panji
bukan untuk kekuasaan,
tetapi untuk
kesejahteraan
kehidupan manusia
itulah kehendak dan
tujuan
yang mulia dalam dunia
supaya bumi ini
berguna untuk semua
sehingga kita betah
menghuninya.
untuk itulah perlunya
penyelenggara negara
jika tidak, akan
sia-sia dan percuma saja
2006
sendiri
sendiri aku memilih
terjun ke kancah yang
mendidih
taruhannya, segalanya
tubuh dan nyawa
ternyata ketika itu
banyak yang seperti
aku
sehingga mengerucut
dan lahirlah barisan
bertahun-tahun dalam
perjalanan
yang tewas berjatuhan
disimpan dalam
kenangan
dalam degup jantung
dan airmata
sendiri aku mencari
dan mencari
yang terbaik buat
kehidupan manusia
ternyata ada juga yang
seperti aku.
dengan olah pikir
berlantai sadar,
lahirlah sebuah
kehendak.
kehendak yang mulia
untuk kehidupan
manusia
sebab bumi ini milik
dan
untuk kita semua.
tuhan pun akan
meridoi dan
memberkatinya.
1951
apakah
ada
apakah ada
yang lebih terhormat
dari memihak rakyat
dengan perbuatan
dan perilaku?
apakah ada
yang lebih hina dan
jahat
daripada
menyengsarakan
dan mengorbankan
rakyat?
jika engkau pejabat
atau aparat
tanyailah dirimu
sendiri
supaya ajal tidak
menghantui
sesal kemudian
tidaklah berguna
sesal dahulu adalah
pendapatan
terpulang pada dirimu
sendiri
tuhan pasti tidak bisa
didustai
2007
laporan
seorang jelata
ibuku cuma bisa baca
“arab gundul”
sejak umurku lima
tahun pisah dari ayahku
ibu dan aku dibawa
bapak baruku
merantau ke tanah jawa
di sana aku dibesarkan
dan disekolahkan
bapakku ahli dan
pedagang barang antik
ibuku perempuan rumah
tangga
yang rajin mengaji,
sembahyang, dan puasa
dari perigi pepatah
aku kenali
“raja adil raja
disembah,
raja lalim raja
disanggah”
guru agamaku
mengabarkan bahwa
memihak duafa dan
sabar serta
suka belajar,
disayangi sang pencipta
badai perang dunia
yang kedua
mengubah jalan hidupku
dari mimpi jadi
pegawai kantoran
menjadi “anak bawang”
dalam perjuangan
ketika fasis jepang
dikalahkan
dan indonesia merdeka
diproklamirkan
aku terjun ke dalam
kancah pergolakan
bertahun-tahun
menyandang senapan
melawan tentara
kerajaan belanda
yang hendak kembali
berkuasa
ketika itulah kukenali
semangat
dan kehendak merdeka
penduduk desa, yang
mengiringi doa
dengan perbuatan
nyata.
saat-saat itulah
kukenali
cantik-cantiknya pohon
randu
teduh-rimbunnya rumpun
bambu,
landai-landainya kaki
bebukitan
serta curam terjalnya
punggung pegunungan
beningnya air di
ketinggian
mengalir deras
menyentuh
riang bebatuan, gemersik
membisikkan kehidupan.
sejak awal aku
bergabung dengan sesama
para muda, ada pelajar
ada mahasiswa dan
sejumlah
sarjana yang baru.
mereka yang berperan
dan berbuat
untuk mendesakkan
proklamasi kemerdekaan
kepada para senior
yang
menempati posisi “pemimpin”
sekitar setahun
kemudian terjadilah
selisih pendapat dan
sikap
dengan para senior
yang menduduki jajaran
pemerintahan
mereka melakukan
kompromi
yang dikemas dengan
apa yang disebutnya
“diplomasi”
yang melahirkan
perjanjian Linggarjati
menyusul kampanye dan
propaganda
yang mempromosikan
perjanjian itu
sebagai keberhasilan
yang gemilang
dan puji-pujian
terhadap orang
yang menandatangani
perjanjian itu
“si kancil yang
cerdik”
walau isinya
menciutkan republik
proklamasi
tahun berikutnya
belanda ingkar janji
lakukan agresi di
bulan juli
masih dilanjutkan
tahun berikutnya
dengan berunding lagi
yang membuahkan
pengosongan
kantung-kantung
gerilya
dan hijrah ke jogja.
itulah buah diplomasi
yang dihasilkan
otak-otak dalam kepala
tukang kompromi
yang sejak semula ragu
pada kemampuan
dan tenaga
serta kekuatan rakyat
jelata
yang bersatu
dan haus merdeka
puncaknya di tahun
berikutnya
kawanan diplomasi
jatuh ke tangan
belanda
yang melenggang
duduki jogja
lalu, lewat apa yang
dinamakan
penyerahan kedaulatan
dari kerajaan belanda
kepada yang
menandatangani
proklamasi kemerdekaan
indonesia
diterimalah RIS yang
mengandangi
“negara-negara” buatan
belanda
termasuk RI di
dalamnya
si anak jelata
cerai-berai
tersingkir dan
disingkirkan
oleh kaum diplomasi
yang walaupun
tandatangani
proklamasi 1945
bersetuju dengan
belanda
masuk kandang RIS yang
menanggalkan UUD 1945
itulah lakon
proklamasi 1945
sampai 1950 dan
sirnalah
tekad dan semboyan
“merdeka atau mati”
Tentang Samsir Mohamad
Tak ada biodata penyair di buku Angin
Burangrang. Namun dari catatan penutup oleh Prof. Drs. Jakob Sumardjo, ada
pembocoran riwayat hidup Samsir Mohamad. Beliau memperkirakan usia penyair ini
dari sajak Laporan Seorang Jelata,
yang saat puisi itu ditulis, penyair berusia 81 tahun. Jadi berdasarkan itu,
diperkirakan penyair ini lahir sekitar 1926 atau 1925. Tulis Prof :”Sudah tebal
rasa kebangsaannya di zaman Jepang. Masuk kelompok golongan muda Menteng 31
yang mendesak Soekarno-Hatta secepatnya memproklamirkan kemerdekaan. Ikut
angkat senjata berjuang mempertahankan republik muda ini antara 1945-1950.//
Samsir adalah saksi hidup republik ini yang berada dekat dengan kekuasaan
negara. Bahkan sempat duduk di Konstituante RIS. Tepai dalam sajaknya dia
mengatakan 15 tahun “diasingkan” tanpa pengadilan. Kita semua tahu apa yang dia
maksud.”.
Catatan
Lain
Harga buku ini sebenarnya tercetak di sampul belakang buku (sesuatu yang
jarang saya temui), yaitu Rp. 22.000,- Namun, saat saya beli di TB Karisma pada
Senin, 12 September 2011, harganya Rp. 24.400,-
Tulis Prof. Jacob Sumardjo, Angin Burangrang tidak istimewa secara
sastrawi, namun menjadi penting dan menarik karena ditulis oleh seorang Samsir
Mohamad. Lain lagi menurut Soni Farid Maulana: “Ada kesepian, kesunyian, dan
kesendirian yang bergerak di dalamnya menyapa kita. Semua itu terjadi bukan
karena ia semata-mata ditinggal pergi oleh istri tercinta untuk selama-lamanya,
akan tetapi disebabkan pula oleh sebentuk pengkhianatan yang menyebabkan
dirinya terlempar dari garis edar perjuangan yang diidealkannya.”
Ah, ya. Begini kutipan
tulisan Prof. Jacob Sumardjo yang perlu direnungkan: “Dosa politik penyair ini
semata-mata karena sangat peduli pada nasib petani. Inilah sebabnya di akhir
pengasingannya, ia memilih menjadi petani…. “Dosa” semacam ini sampai sekarang
masih populer. Bagi mereka yang mencoba-coba untuk membela, memperjuangkan,
empati, simpati pada kaum tani, identik dengan komunis. // Harus diakui bahwa
pada Pemilihan Umum pertama 1955, partai komunis menduduki peringkat 4 hasil
pemilihan. Peristiwa ini tidak pernah menjadi pusat perhatian, akibat cara
berpikir pars pro toto tadi ini.
Golongan mana yang pernah menaruh perhatian pada mayoritas penduduk Indonesia
ini? Siapa yang keluyuran ke rumah-rumah reyot petani di bukit-bukit? Siapa mendengarkan
keluhan kekurangan mereka? Siapa peduli ketika anak mereka sakit? Ketika panen
gagal? Ketika ditipu tengkulak? Terlepas dari janji gombal atau apa pun bagi
mereka yang mendekati para petani, tetapi golongan mayoritas diam ini tak
pernah dipedulikan oleh mereka yang intelektual, ormas, pejabat atau apa pun
namanya. Karena percuma saja dekat-dekat orang miskin. Dapat ketularan menjadi
miskin.// Setelah kegagalan komunis, kaum tani ini tetap diabaikan sebagi
sebuah “kekuatan diam”. Mereka hanya didekati menjelang pemilu saja. Janji dan
kata-kata harapan, seperti diungkapkan Samsir, melayang ke desa-desa. Setelah
kursi didapat, kembali nasib mereka diabaikan.” (hlm. 145)
Lalu apa sih cara
berpikir pars pro toto itu? Kata
Prof: “Sebuah cara berpikir strukturalis-komunal yang berlaku di zaman
pra-modern. Kalau ayahnya memberontak raja, maka seluruh anggota keluarga si
ayah itu harus dimusnahkan, baik istri dan anak-anak cucunya, mantunya, kerabat
dekatnya, pamannya, orangtuanya, kakeknya, buyutnya. Bersih lingkungan.” Ini
untuk menerangkan tentang jika sebuah lembaga melakukan makar, maka apakah
anggotanya juga makar. Institusi itu dikatakan sebagai lembaga impersonal. Di
sana ada hierarki kekuasaan lembaga. Jadi jika atasan salah, belum tentu
bawahan juga berdosa.
Kalau
boleh saya menilai, “dosa” politik penyair ini adalah sikap tanpa kompromi.
Dalam sajak laporan seorang jelata (hlm.
3-7) hal ini jelas terlihat. Ia keras menyerang si tukang kompromi. Dan sikap
tanpa kompromi itu jelas berisiko tinggi dalam politik. Sikap tanpa kompromi
adalah musuhnya politik. Benturan-benturan keras bakal terjadi pada siapapun
yang memiliki sikap tanpa kompromi. Siapa yang kuat, akan terus eksis. Yang
kalah, tak ayal lagi, bakal dengan kejam disingkirkan, disingkirkan hingga
mencapai tingkat kompromi yang diijinkan si kuat. Entahlah.
puisi yang begitu dalam maknanya...terima kasih sehingga saya mendapatkan hal-hal yang baru dari sini
BalasHapus(Wisnu Murti,http://tulisandenpasar.blogspot.com)