Laman

Tonggak

Selasa, 01 April 2014

Iswadi Pratama: GEMA SECUIL BATU


Data buku kumpulan puisi

Judul: Gema Secuil Batu
Penulis: Iswadi Pratama
Cetakan: I, Oktober 2008
Penerbit: Akar Indonesia, Yogyakarta.
Tebal: 96 halaman (49 puisi)
ISBN : 978-979-16848-6-6
Supervisi : Joni Ariadinata
Penyunting : Raudal Tanjung Banua
Desain isi dan cover : Nur Wahida Idris
Ilustrasi cover : Dalbo Swarimbawa, “Tanpa Batas”, Acrilik, 2007

Beberapa pilihan puisi Iswadi Pratama dalam Gema Secuil Batu

Gema Secuil Batu
            - SS

ada yang terus menjauh
kebun randu, rumpun perdu, dan angin abu-abu
seperti tepukan pada batu

lalu dongeng-dongeng baru
menutup semua jendela dan pintu
di belakang matamu

di depan langkahmu, tak ada ibu
sungai tempat segala kenang terasa hijau
mengalir ke lubuk lampau

di situ kau melemparkan secuil batu
dan menunggu gemanya sepanjang harap
lalu kau pun tahu, ada yang tak bisa lenyap

tak mungkin lengkap

2005



Lubuk Sajak

sekali waktu
aku hanya ingin menulismu
seperti kata yang gemetar
dan hampir tak terdengar

kupilih sisi pada sajak ini
serupa lekuk dalam suluk
yang tak dapat kau peluk
biarpun jauh kau masuk

di lubuk ini
setiap pohon tumbuh tanpa nama
dan sekali kau ingin menyebutnya
tak kan cukup sekadar luka

Bandar Lampung, Desember 2004


Fragmen-fragmen Hujan

hujan yang berletupan dan berulangkali
kau tafsirkan ke dalam kitab-kitab sajak itu
hanyalah hujan yang dulu tergelincir
dari teritis atap dan kau kumpulkan
senyap demi senyap

bunga yang berulangkali kau sayat
dengan kata-kata itu
hanyalah bunga yang dulu kau biarkan
menjalar di pagar dan kini menjadi belukar
memelihara desis ular dan impian sasar

sunyi yang ribuan kali kau terjemahkan
ke dalam puisi
adalah sunyi yang dulu gemetar di rahim ibu
khuldi yang melontar kau ke pusaran waktu

September, 2001


Sore Seorang Pemurung

di manakah kegemilanganku yang dulu
pemabuk yang gemar bertualang
menyanyi dengan suara ringan
bagi sepasang kaki, untuk semua jalan

betapa nikmat hati yang tak bisa pasti
bayangan yang sakit di bumi
mendekap seluruh mimpi masa muda
bergetar dan hancur dalam suka cita

aku mengenangnya seperti setiap orang
mengingat seberkas pagi di sepanjang
tahun yang pucat. lalu menceritakannya
menjelang padam semua hasrat

Lampung, 2004


Penyair

aku selalu tumbuh
bagi teman-teman,
untuk setiap orang

menciptakan kubangan
cahaya kata-kata
dari separuh kesedihan

hari-hari adalah pohon-pohon di musim hujan
tahun-tahun merawat bayangan setiap pohon
buah membusuk dalam hutan ingatan

di tepi hutan itu, di batas ilusi
sebatang sungai yang seperti sunyi
mengalirkan bayanganku yang berdarah

semua yang tak kukenal atau
yang pernah tergesa mencintaiku
mengarak bayangan itu sepanjang kota

Tanjungkarang, 10 Maret 2005


Perempuanku

perempuanku seperti burung atau langit biru
aku sering menatapnya dari jauh, dari sunyi
kehidupanku
kalau ia terbang menjadi burung, aku berlari
mengikuti ke mana saja ia bentangkan sayapnya

ia sering hinggap di pohon-pohon tinggi, di bukit
di karang-karang laut yang putih

kalau ia jadi langit, aku menulis puisi di lembaran angin
menjadi musim dan cuaca yang dingin

dalam tidurku yang letih, perempuanku menjadi laut
di pantai, cuma gema tak bisa surut

tapi masih kuciumi bekas garamnya
sepanjang tahun, berlarut-larut

Lampung, 1998


Aku dan Ibu

di atas kapal
dari sebuah jendela
ibu menatap laut lepas

aku memandang ibu
ingin terjun ke dalam matanya
di mana laut lebih luas

tetapi mata ibu sudah kering
hanya batu-batu terkubur di situ

ibu menyaksikan laut tanpa batas
berenang menggantang gelombang
menuju pantai.
aku melihat ibu dari atas kapal
menyimpan kedua matanya
dalam pelayaran tak pernah usai

Lampung, 1998


Laut

apa yang dikenang pantai dari ombak
mungkin hanya garam dan remah air

apa yang diingat ombak dari laut
barangkali hanya angin dan anyir

apa yang disimpan laut dari pantai, ombak,
dan angin selain angan

apa yang disembunyikan angin dari laut, ombak, dan pantai
selain sajak yang kini gemetar kau pandang

2005


Menunggu Kereta

sang, aku sudah di stasiun
menunggu kereta malam
kemarau menyisakan debu dan guram
pada tiang-tiang besi tua, sebaris bangku hijau,
dan tubuh boyak pendongeng yang kehabisan cerita

aku berbicara pada seseorang yang tak ingin mendengarkan
(apa pun tak diminatinya selain jadwal keberangkatan)
tentang pendongeng yang menduga-duga
kisah apa yang luput dari ingatannya

sang, aku masih belum mengerti
apa yang patut kusimpan dalam perjalanan pulang ini;
wisata ke kuil, pagoda, sungai-sungai bertuah,
para santo yang kecewa?
bahkan cerita-ceritamu tak menarik lagi

yang kuhafal dari setiap peristiwa
hanyalah ruang antara tadi dan nanti

sang, aku di stasiun
kau sudah kutinggalkan
kereta, mungkin, tak datang

Desember, 2005


Asmara

aku mengantarmu setelah hujan di minggu lengas itu
aku tahu, aku akan menyukai kesedihan
seperti kabut pada rumput di sepanjang
jalan setapak yang becek dan penuh jejak

hari-hari pun akan mengambang
menjauh dari peristiwa-peristiwa
melupakan semua pertemuan
dan percakapan yang menyisakan asam di tenggorokan

aku tahu
akan datang saat di mana tangan jadi senyap
meraba debar dan bentuk-bentuk yang luruh
sebelum lengkap

tapi aku akan mengenangnya
sambil menyusuri kota
pakaian lembab oleh cuaca
perasaan-perasaan tak bisa nyata

aku akan terjaga sepanjang malam
menyimpan, mungkin membuang
bagian-bagian tertentu dari hidup
yang dihancurleburkan waktu

dan aku tahu
yang kubuang tak akan kau pungut
yang kusimpan tak mungkin kau minta
kita telah saling memasuki dan membentuk sebuah dunia
tapi kita tak tahu di mana awal dan akhirnya

dan setelah hujan di minggu lengas itu
semua yang tiba bukan yang kita tunggu
semua yang kita tunggu remuk di kaki waktu

Tanjungkarang, Februari 2005


Di Lubuk Mabuk

aku teringat nietzsche di tengah swalayan
tapi yang kubutuhkan cuma sebotol whisky
bukan zarathustra, dongeng para penggembala,
atau hamparan puisi penyair yang sedih

sejarah dan buku-buku
akhirnya cuma kalimat tak selesai di tengah pasar
melahirkan sysiphus yang mencintai kutuknya

aku melihat nietzsche menyusuri swalayan
membawa luka di telunjuknya
berpeluk dengan rumi
dalam dansa
dalam tarian
berpusar di tengah keriuhan
mabuk sunyi
mabuk whisky

(tapi di mana sill mari, roma,
ranum anggur, mawar di tepi batu,
cawan para pencinta…?)

aku hanya menyaksikan sebuah daratan
jutaan tabung suara dari abad-abad yang cemas
dan orang-orang yang merindukan nabi
sujud di sini
dengan kepala
yang meleleh

Bandar Lampung, 2000


Fragmen Pertempuran

1. menjelang berangkat

sebenarnya hari telah letih
ketika ia dijemput pergi
menuju tanah lapang di kaki bukit
tempat sembunyi para demit

tapi sang pertapa merapal mantra
membangkitkan remah pagi
yang terbaring di bawah dedaun
memeluk bulir biji yang ranum

lalu embun menetas di gandasuli
kaki-kaki rumput basah
aroma kambium meruap
dari kulit mahoni yang terluka

maka ia pun menaiki kudanya
kuda bersurai biru, bersuara lembu
kuda yang dulu membawa bapaknya
memburu raksasa pemangsa mimpi
mimpi anak-anak dan para pengantin

juga mimpinya

raksasa tumpas dengan sepasang pisau
meliang di leher dan dada
lalu dari lubang bekas pisau itu
menyembur ribuan mimpi

(udara seperti layar penuh warna
Langit pestapora cahaya)

setiap hati meleleh, dingin meleleh
benih-benih yang bertahun membeku
bersembulan dari bawah kaki
menebarkan harum bebiji

anak-anak dan para pengantin
menyambut kembali mimpi mereka
dibasuh di sumber air dekat telaga
digosok sampai berkilap seperti sediakala

(tapi ada mimpi yang tak kembali; mimpinya)

konon itulah satu-satunya mimpi
yang disembunyikan raksasa
di tanah yang tak pernah terang
dijaga prajurit bayang-bayang

“mengapa hanya mimpiku?”

ia bertanya ketika itu
menepi dari pesta pendudukan negeri
menuang tangis di rimbun pakis
srigunting berkumpul di dahan manggis

tiga hari ia bersedih
peri pandan menghampiri
menyanyi dengan kecapi
kumbang dan kupu berbagi madu

“aku tak ingat lagi mimpi apa yang dicuri raksasa”
“bukan apa yang kau mimpikan, tapi mimpi”
“apa aku bisa menemukannya, peri?”
“tak ada yang dapat menduga”

tapi ia memang ingin segera mengerti dan terus bertanya
lalu bapaknya pergi bersama para lelaki
yang tak punya jeri
merebut mimpi di tanah yang tak terjamah cahaya
dijaga prajurit bayang-bayang yang tak bisa dikalahkan

bertahun-tahun para lelaki meninggalkan negeri
setiap derita dalam pertempuran itu
akan juga sampai di hati yang menunggu
hingga jiwa-jiwa mereka
terhisap lubang-lubang hitam di dasar jurang

“hanya jiwamu yang bisa kujaga
sampai kuda bersurai biru ini menjemputnya
mereka kini menunggu,”

ia pun gemetar di punggung kudanya
serombongan kabut kuning muncul di ujung jalan
berdera daun palma diikat di ujung tombak
coklat dan boyak
merunduk tak bergerak

pohon-pohon jati berbaris di kanan-kiri
memberi hormat setakzim sunyi
sementara para penduduk negeri
mengintip dari balik bilik
msygul oleh ingatan
; rantai duri yang mencekik

(seekor penyu merambat
memanggul waktu)

(sepi mengharum
berayun di bunga waru)

“setiap kali kau tikam prajurit bayang-bayang
luka dan perihnya kau tanggung di badan”

“perih seperti apa?”

“seperti lembu hidup dikuliti”

tapi kuda bersurai biru akan membawanya
ke tempat-tempat di mana semua rasa sakit akan tamat.

“kudamu akan berlari secepat kau inginkan
berpantanglah pada gentar dan gundah
sebab akan membuatnya musnah
seperti rumah lebah menjadi remah
dan aku hiudp sepanjang kau tak menyerah”

sebenarnya hari telah letih
ketika laki-laki yang mencari mimpi itu
dijemput pergi, dan sang pertapa tahu,
lelaki itu tak akan punya pagi lagi.

“dalam perjalanan atau pertempuran
jangan sekejap kau lelap
karena di batas ingat dan silap
arwah-arwah jahat
menyediakan perangkap”

sang petapa meruat tubuh lelaki pencari mimpi
dan kuda bersurai biru dengan debu dari belulang elang,
bunga yang tak pudar warna, dan embun yang jatuh pertama

(bahu kurus ia tegakkan
mata samar dinyalangkan
sepasang pisau dibebat di pinggang)

maka berangkatlah ia memacu kudanya
hari pun gerimis, meski mendung tak ada
dan terang masih berjaga.

angin awal tahun memeluk tengkuk
prenjak dan kutilang terkesiap di dahan dadap
rerumpun kabut tersibak, pilar-pilar cahaya pun tegak

di hari yang sebenarnya telah letih
tubuh sang pertapa menghitam perlahan
menghisap gelap dari tanah, pepohon, dan udara
dari setiap lekuk dan celah

lalu ia kenang lagi negeri di ufuk timur itu
ia berbisik
padamu,
padaku,

ia pergi untuk pertempuran
yang musykil dimenangkan
pun dielakkan…

2. sungai

kuda bersurai biru bersuara lembu
larinya mendahului angin memintas waktu
hingga senja berulang tenggelam
ia tiba di tanah masa silam

tak tumbuh selain perdu
tak ada hewan selain kupu
tak terdengar selain ngilu
tak ada warna selain abu

ia meraih kantung air
hanya beberapa butir membasah mulut getir

kuda bersuara lembu menghempaskan kaki di tanah kelabu
memancar sungai dari celah bebatu

sungai yang abu-abu
memantulkan rupa ibu
terbata mengusung kendi di kepala
menggamit tangannya yang belia

dulu, mantra diterakan
hingga air beku dalam kendi itu
berminggu-minggu ditempa
jadi sepasang pisau di pinggangnya

sungai menggerai rambut-rambut cahaya
dingin merayap dari kaki hingga kepala
berdenyut di ubun-ubun
berpusar jadi taifun

dihempas ganas taifun
ia berlayar dengan perahu angsana
liuk liku arus secepat air tempayan tumpah

(seluruh kenangannya mengelupas dari rongga kepala
berlepasan seperti benang dari kainnya)

“tinggal satu mimpi, tinggal satu nyeri”

(semesta hanya gemerincing di telinga)

sungai itu terus mengapungkannya
menembus ribuan labirin udara
di mana menjulur sungai kedua

angin lembab melarungkan perahu
layar berkertapan laksana sayap pelikan
di atas punggung kuda ia dengar nyanyian jeram

kita tinggalkan masa kanak
bersukacita menuju kesedihan
kita tinggalkan tempat yang tentram
setelah terjaga dan merasakan kecemasan
…..

di hari pertama penghujan menabur benih jamur
di tambatkan perahu di hutan yang daunnya
tak pernah gugur
dan pohonnya tak bernama tak berumur

lalu ia menempuh hutan itu
menggoreskan pisau pada setiap batang
; semacam jejak untuk pulang

pohon-pohon yang diiris
mengalirkan getah serupa tangis
menjelma sungai ketiga yang gelap dan amis

sungai yang penuh taring dan kuku-kuku runcing
sungai tempat ikan-ikan bersirip pedang
sungai tempat seluruh jenis ular bersarang

sungai yang menyimpan jerit hantu
sungai seluruh dendam dan nafsu
sungai yang berderam memburu

ia dan lembu kudanya dimangsa arus
digerus lorong-lorong stalagtit
sampai tunai seluruh rasa sakit
lalu tenggelam di alir tenang
dijaga sepuluh kura-kura, peri, dan mambang

(lumut berjalinan menjadi selimut
luka-lukanya dibalut plankton dan liur siput)

batu-batu saling menggosokkan badan
ikan-ikan berenang dan berlompatan ke permukaan
mengiring hingga muara senyap
di mana sungai ketiga lenyap
tak bertaut pada laut

3. gurun garam

lalu hari melengkapkan tahun
gelap yang tegap berbaris rapat

“hantu-hantu itu tak bisa kucegah
mereka mulai menguntitmu
merasuk ke jantungku”

sang pertapa itu berbisik terakhir kali
mungkin padamu
mungkin padaku

(kini laut beku menanti;
padang garam penghisap ingatan)

di laut itu seorang penyair telah tenggelam
tapi jiwanya bersemayam di istana karang
memberi ombak sukma sajak
para kekasih pun datang, tak bisa mengelak

lalu pada sebuah malam purnama
ketika bulan duduk di punggung naga
seorang penyihir mencuri setiap ombak
yang datang dan yang masih terpendam

laut pun membeku menjelma gurun garam

(sejak itu, siapa yang melintas
kenangannya akan tumpas)

ia memandang hamparan masa lalu yang beku
mengusap punggung kuda yang menunggu

“tinggal satu mimpi, tinggal satu nyeri”

ia hela kuda itu membelah laut beku
secepat angin mendesir, selekas embun tergelincir
suara-suara pun menggema di jagat samudera padat
berebut masuk gendang telinga hendak merampas
ingatannya
tapi ia telah diruat sebelum berangkat

4. hutan bambu

tahun sebenarnya sudah berkali lalu
ketika langkah kudanya tertambat di hutan bambu
denging seruling meruncing di seluruh penjuru
seorang perawan yang, mungkin, peri hutan
mendekat merayu
ia membuka tubuhnya seperti cahaya
menyingkap gelap di padang sabana

kulitnya salju merah jambu
rambutnya harum biji srikaya
dadanya bukit pagi di gurun sahara
menanti angin pertama

“lekatkan jarimu di pinggulku
enduslah riap rerumput di hilir perut
basahkan, pagutkan…”

lelaki pencari mimpi tahu
bila hasratnya bertaut pada mulut, dada kuncup,
dan jurang lembut muara kembara;
ia akan usai sebelum perjalanan tunai

(tapi penempuh sepi manakah
yang mampu berlalu tanpa meragu)

“telah kau pandang aku dengan mata menggebu
maka akan sama bagimu melunaskan atau mengabaikan
gelora itu. seluruh rasa sakit telah kembali
mustahil kau tampik kepedihan dari setiap keindahan
kini biarkan putik-putikku mekar dalam geletar zakar”

lalu peluh terakhir tergelincir
lenguh membakar pembuluh
lelaki pencari mimpi bergulir ke tubir tubuh
matanya menjelajah lembah

“mantra itu telah berakhir”

“kau tak lagi memerlukan sihir”

“tapi aku akan binasa seperti bapak dan para lelaki
dirajam luka dalam pertempuran itu”

“aku akan memujamu karena kau dapat dilukai”

“apakah aku akan merindukanmu?”

“selama kau tak utuh”

“adakah kau akan menungguku?”

“aku rumpun bambu bagi serulingmu”

angin mendesir di pesisir
ia menghela kuda bersurai biru
cahaya dan bayang-bayang
menyata dalam pandang

5. pertempuran

ia tiba di kaki bukit itu
ketika padang gelap menguasai lengkung lembah

di punggung gunung,
seluruh pohon merontokkan daun

angin menerbangkan amis luka
kuda-kuda meringkik tanpa penunggang
tangan-tangan yang menggenggam pedang
gemetar menahan perih rajam dalam perang
yang sebenarnya telah menahun itu

prajurit bayang-bayang merentangkan lagi jubah
para pembebas mimpi tak beringsut walau sedepa
satu teriakan, belati dan pedang dihunus kembali
lembing-lembing mendesing
menembus tubuh-tubuh tanpa darah-daging
panah-panah dari bulu rajawali mendengung
menyergap ribuan kali
tapi pasukan bayang-bayang bergeming
tak ada tajam yang mampu menggores
tak setitik darah menetes

para pembebas mimpi yang
tak lagi punya tempat untuk luka
berhempasan ke tanah
debu gelap mengental darah
membungkus tubuh-tubuh yang tak mau kalah

tapi setiap kali ada yang tumbang
selalu ada yang bangkit meradang
lalu lengking prajurit bayang-bayang
memuntahkan lalat-lalat beracun

kuda bersurai biru bersuara lembu
menghunuskan dengus memancarkan
juta kunang berbusur api

seketika udara membara
bangkai-bangkai hangus lalat beracun
berjatuhan bertimbun-timbun
di bumi membantun

sementara nun di gurun laga
lelaki yang mencari mimpi berlari di lumpur darah
merobek setiap kelebat bayang-bayang
dengan selendang pertapa
: sekujur tubuhnya pun luka

sepasang belati berwarna toska
terbang di kedua sisi pundaknya

ia menerjang ke jantung kecamuk perang
dengan gelora laut beku yang terpendam

kunang-kunang berbusur api menjelma kereta kencana
menderu ke garis terdepan pertempuran

: gelap dan terang bertabrakan

di antara serpihan daging dan belulang
ia berdiri bertilas sunyi

ia merasa gemilang
karena tubuhnya tercabik
karena darah mengucur
karena kuda meringkik

lalu ia tak bertanya lagi
di mana mimpinya

seorang laki-laki dengan
dada yang pecah menghampiri

“kau telah datang
kau tak akan pulang”

Bandar Lampung, Agustus 2006


Tentang Iswadi Pratama
Iswadi Pratama lahir di Tanjungkarang, 8 April 1971. Menulis sajak, prosa, naskah drama dan esai sejak 1990. Merupakan Sutradara dan Aktor untuk Teater Satu Lampung sejak 1996. Menetap di Tanjungkarang, Lampung. Publikasi sajak di Lampung Pos, Media Indonesia, Koran Tempo, Kompas, Jurnal Puisi, Horison. Bunga rampai puisi al: Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996), Hijau Kelon (Kompas, 2000), Living Together (TUK, 2005), Asia Literary Review (Autumn 2006, Vol. 3), Lima Pusaran (Festival Seni Surabaya, 2007). Even sastra yang pernah diikuti al. UWRF (Ubud, 2006), Wordstorm Festival (Australia, 2006).

Catatan Lain

Salah satu puisi epik yang saya pikir mempesona, adalah yang dibuat oleh Iswadi Pratama dengan judul Fragmen Pertempuran. Dalam buku yang saya ambil di rak Hajri ini, halaman 12 kosong, seharusnya di situ ada sajak Seorang Sahabat. Waktu di rak Hajri, sering saya lewatkan, karena saya pikir penyair baru dan debutan. Pikir saya, nanti-nanti sajalah ditampilkan. Hehe. Tak tahunya sudah berkecimpung lama, sayanya aja yang gak kenal. Saya baru sadar ketika membaca Paus Merah Jambunya Zen Hae. Puisi Paus Merah Jambu ternyata ditujukan untuk Iswadi Pratama. Memang sejak menekuni “Kepada Puisi”, kerap muncul penyair-penyair yang sudah top sejak lama, tapi sayanya saja yang tak tahu (ke mana saja saya selama ini?).  

1 komentar:

  1. makasih, sangat bermanfaat Thanks for info https://bit.ly/2RNeCTv

    BalasHapus