Laman

Tonggak

Selasa, 01 April 2014

Ali Syamsudin Arsi: PESAN LUKA INDONESIAKU


Data buku kumpulan puisi

Judul: Pesan Luka Indonesiaku
Penulis: Ali Syamsudin Arsi (Asa)
Cetakan: I, Oktober 2005
Penerbit: Swakelola Satu Warna, Banjarbaru.
Tebal: 61 halaman (13 puisi)
Sampul dan Perwajahan isi : Harie Insani Putra

Beberapa pilihan puisi Ali Syamsudin Arsi (ASA) dalam Pesan Luka Indonesiaku

Orang-orang Hilang Dalam

orang-orang hilang dalam
gelembung sabun di ujung jemari ibu-ibu
perempuan yang tetap setia melahirkan
anak-anak di hempasan riak
memperderas arus dari luncuran embun pada
tangkai dahan bulir-bulir merunduk padi
hari-hari menjadi sedih mendanaukan luka di air mata

orang-orang hilang dalam
lapisan kulit kayu hutan dari ranting tanpa akar
tercerabut di gelak tawa dengan bibir retak tengadah
berwajah kayu; mempersombongkan getah daun berderak
ketika dendam dahan yang ternista
tinggal menunggu hitungan; alasan demi alasan
di persembunyian rebahan duri-duri
telinga pun membatu mata pun membatu tangan pun membatu
nadi pun membatu jantung pun membatu hidung pun membatu
darah pun membatu selangkang pun membatu otak pun membatu
bibir pun membatu tulang pun membatu; nama-nama membatu

orang-orang hilang dalam
selongsong mesiu di reruntuhan pijarnya matahari
kehilangan bayang ketika senyap memperlambat jalan
pernyataan-pernyataan yang terpahat di tingkah
muka-muka kayu, dari ketinggian tempat kaki berdiri
yang lain adalah sepi
kokok ayam di pagi-pagi pun dianggap sepi
kedut ujung mata sendiri pun dianggap sepi
desir air di celah batu pun dianggap sepi

orang-orang hilang dalam
lembar-lembar kusam catatan sejarah; kata-kata berdarah
ayat demi ayat mempertontonkan bulu mata terbakar
ucap demi ucap merentangkan nurani terbakar
menggunungkan tingginya keangkuhan di bukit khotbah
walau dalam kesabaran bumi tetap tak bisa diterima

orang-orang hilang dalam
ketajaman kilau mata luka belati; angin membias dilibas
mengatasnamakan percik darah kecurigaan
di rerimbun buangan anak sungai pembalasan

orang-orang hilang dalam
gegap-gempitanya kepalan tangan
di tengah persekongkolan

orang-orang hilang dalam
kardus-kardus kaca penyeludupan
di tengah raung kemiskinan

orang-orang hilang dalam
lubang-lubang hutan menganga di tengah ketidakadilan

banjarbaru, desember 2003



Menolak Sepi

(tepat tengah malam
pada sebuah rumah di kamar sempit
cahaya lampu dari neon orang-orang
dengan tubuh terbaring;
                        tak pernah
kusaksikan bahwa anakku bermimpi
                        seperti juga aku
ia pun tak pernah melihat bahwa
                        ibunya bermimpi
seperti saudaranya)

tepat tengah malam
berkali-kali telah kutolak sepi
namun selalu datang seperti belati

tepat tengah malam
kubuka semua pintu; wajahmu wajahmu wajahmu
segala penjuru hanya
wajahmu wajahmu wajahmu… seketika wajahmu wajahmu
tiba-tiba wajahmu wajahmu wajahmu
di ujung air mataku hanya terlukis wajahmu wajahmu wajahmu
terkulai
sepi
wajahmu wajahmu wajahmu wajahmu wajahmu …


Bulan tak Berbilang Bulan

(sajak panjang untuk mereka yang telah memberi
bahkan telah banya yang mereka beri
membri tak habis-habisnya memberi
bahkan ada mereka sampai menuju lenyap
demi untuk sekedar memberi)

bulan di sini tak pernah redup, sebab cahaya
memancar di ubun-ubun mereka
bulan di sini tak pernah redup, sebab cahaya
memancar di setiap sinar mata mereka

(tuhanku segala jawab
aku yang terkungkung di antara jejak
membekas luka tikam matahari
separuh waktu telah berlari dari
bergumpal keringat tak banyak arti
sebuih cakap di pongah mempersombongkan hati

tuhanku segala harap
berjuta detik sujudku mempersunting semu
dilibas bayang-bayang
daun di ujung bulu mata ini, retak-tegak
mempersarikan mimpi tentang hijau
dan rindangnya berhutan-hutan
di bulan yang tengah kuberpijak)

berbaris nama yang tertulis dengan sangat jelas
membentuk lukisan langit dengan keagungan awan dan
lengkung cakrawala yang membusur di tali senar
kemuliaan
malam bintang berbulan-bulan
malam bintang berbulan-bulan
malam bintang berbulan-bulan

(tuhanku segala dapat
semakin merentang jarak
sentak aku di sudut pembaringan
sebab waktu mengharumkan kamar dari
desir dan gelak yang meraung-raung
jengkal demi jengkal depa demi depa
belantara keriuhan
jauh menjauh dan semakin jauh
dari bulan-bulan yang tengah kuberpijak)

sekumandang kebesaran bergema di malam-malam
bernama atau tak bernama; dibaca atau tak dibaca
menjadi sama dengan apa yang jelas terpampang
tak berbilang berapa bulan dari hitungan bulan
sekumandang kebebasan bersahut di siang-siang
walau tak seberapa dari apa yang pernah disebut memberi
sampai desah pun enyah mendekat apalagi sekedar resah

(tuhanku
sampai sudah nyaliku membakar rindu
tolak-menolak dan tepis-menepis
yang akan mempertebal lapisan beban)

bulan di sini tak pernah redup, sebab cahaya
memancar di setiap sudut ucap mereka
bulan di sini tak pernah redup, sebab cahaya
memancar di rentangan telapak tangan mereka

(tuhanku
ini tidak sekedar doa dan engkau
sangat memahami; tak ada yang lain
setelah menistakan kemilau mutiara dari
tafakur di keheningan sunyi)

langit dan bumi mempertemukan arus dari rentang
takbir (dan ada yang tersungkur dengan derai air mata basah
            sampai ke ujung-ujung basah)

ranting dan punggung sungai membuhul dari kelopak
tasbih (dan ada yang gemetar sampai ke pusat beku
            walau lidah berseru-seru dan selalu)

(dari dalam
mencoba untuk menerobos ke luar
seperti terkungkung tiang-tiang bulan
hari-hari pun menjerat di pundak berdebu
bahkan telah dengan sangat berani dari
kelantangan debu
yang panas dari segala panas, penyebar gelisah
sebagai sihir yang menghalimunkan kabut
setipis ari-ari)

di kejauhan tempat berdiri mengaca pada diri yang sepi
ombak menghempas pada dinding rongga paru-paru mimpi
oh, jagad raya
melepas dan rentanglah di rebahan sujudnya rumput
seperti takbir-takbir itu melangkahi pucuk-pucuk berembun
seperti tasbih itu membentangkan jejak-jejak ucap
sampai bulan tak lagi berkata dosa
sampai bulan menjadi penuh di gema doa

(ini ada sebuah sujud
tanpa bekas
walau debu
direngkuh-penerimaanmu
tuhanku
aku tak perlu lagi berkata-kata
tuhanku
pijarku membawa)

keluasan sajadah yang tak ada habis-habisnya ini
menutup-menggulung sampai sehabis-habisnya tak
habis-habisnya
asal habisnya ke ujung makna

(inilah aku
si angin bergulung debu
di kelam lorong waktu
dan kucoba membuka mata, ternyata masih ada
cahaya)
bulan tak berbilang bulan, saatnya

jalan perak ujung 16 banjarbaru


Jantung Lelaki dan Belati Sepi

Senin pagi-pagi
angin berhenti di sini
setelah batu demi batu berserakan
di antara lipatan
waktu itu, ada yang berlari
aini, aini

Kau lelaki
salah satu jantung kota ini
mengalirkan detak ke pinggir-pinggir desir
walau semua orang tahu; desirmu di pesisir
hanya di pesisir, seperti belati dilingkup selubung sepi
aini, aini

belatimu tajam menusuk; iris-mengiris
ke jantung lelaki dan kau
sedengung simak dari tangkai telinga Albert Camus
menggelinding turun di titian buih-buih ucapnya
Jean-Paul Sartre, aini, aini, melengkapkan tujuan
dari perlawanan Gabriel Marcel, atau kau berdiri
di antara kedua arus mereka, aini, aini

aini, siramilah kulit-harapmu dengan air dari
pinggiran anak sungai kota ini
hanyutkan jukungmu ke muara
agar jantung dan belati kita menancap
di ketiak waktu, seperti batu nisanmu

Aini, aini, jantung lelaki belati sepi
aini, aini, jantung lelaki belati sepi
aini, aini, jantung lelaki belati sepi


Indonesia dalam Kaca Mata Luka 1

yang menjerit sekarang bukan hanya pesakitan
indonesiaku sudah gila
syaraf-syarafnya kusut-masai tak ada ujung
tak mampu menemukan pangkal
bagai duduk di kursi listrik kematian
otot tulang jantung mata dan angan-angan
serta gairah seksualnya bergetar tanpa aturan
indonesiaku sudah tidak punya peta
di gugusan pulaunya hanya ada mimpi
mimpi yang menghadirkan keluhan dusta
tangis dan darah; peluh keringatnya sudah keluar
dari jalur ketidak-beraturan
indonesiaku tak mampu mengatakan bulan
sebagai bulan
indonesiaku tak mampu mengatakan cahaya
sebagai cahaya
pernyataan demi pernyataan
hanya sebatas ejaan dan kumpulan kosa kata
perbuatan demi perbuatan
hanya sebatas peran aktor badut pemain sandiwara
terkadang indonesiaku dapat menguraikan
tapi sebenarna indonesiaku buta pada akar persoalan
sebab yang ada hanyalah pembenaran
di otak indonesiaku sudah tak ada kebenaran
terselubung oleh khianat dan pembohongan
indonesiaku dalam kaca mata luka
sejarah semakin menjauh sambil menutup wajahnya
ada sejumlah nama namun tak mampu berbuat apa-apa
ada seonggok bangkai kata yang tak mampu membangun kerangka
baut demi baut, engsel demi engsel lepas dan berkarat
indonesiaku paling canggih meruntuh-lantakkan pilar-pilar
kebudayaan dan peradaban
namun tak mampu menjaga keemasan kilau
cahayanya
indonesiaku adalah keping-keping kapal si Malin Kundang
atau kebisuan dinginnya batu gunung Raden Pengantin
indonesiaku tak lagi dijaga datu-datu
indonesiaku memendam dendam tajamnya kilau belati
iris-mengiris koyak-mengoyak tikam-menikam
indonesiaku indonesiaku indonesiaku
o, indonesiaku
dalam kaca mata luka

2004


Indonesia dalam Kaca Mata Luka 2

apakah harus semua orang mengirimkan caci-maki ini
apakah harus semua kucing yang berbentuk binatang itu
            selalu menghadirkan cakar dalam meong panjang
            mengendap dalam pengintaian yang teramat sabar
            apakah harus semua ombak dan gelombang
menjelmakan badai
            sementara pantai tak bersahabat karang
            siput dan kerang terusik selalu dari sarang
            paus dan lumba-lumba tak tampak bercanda riang
apakah harus semua akar yang malu-malu itu bermunculan
            “getahku tak berdaun, dengar jeritku ini!!!”
getahku tak berdaun getahku tak berdaun getahku
apalagi yang dapat aku serap di lorong-tanah ini
tanahku bau darah tanahku bau darah tanahku bau
apakah harus semua sungai tak lagi mengenal ke mana arusnya
            dan muara selalu mempersalahkan hujan
            dan hujan selalu mempersalahkan angin
            dan angin selalu mempersalahkan hembus
            dan hembus selalu mempersalahkan desah
            dan desah selalu mempersalahkan gundah
            dan gundah selalu mempersalahkan wahai
apakah harus semua kompor menutup lubang-lubang sumbu
            sementara minyak merindukan nyala
apakah harus semua zikir menuliskan fonem-fonem persukuan
            sementara kata merindukan kalimat
            dan kalimat sangat berharap untuk menjadi paragraf
apakah harus semua apakah harus apakah
menunggu bukan kata yang paling tepat
bukan mimpi yang tak bersambung; indonesiaku bukanlah mimpi
indonesiaku adalah semua orang indonesiaku adalah semua kucing
indonesiaku adalah semua ombak dan gelombang
indonesiaku adalah semua akar
indonesiaku adalah semua sungai
indonesiaku adalah semua kompor
indonesiaku adalah semua zikir
indonesiaku adalah semua
tak ada yang tersisa sampai debu tak lagi berdebu
lihatlah wahai indonesiaku rindu bukan sekedar rindu
lihatlah wahai indonesiaku luka bukan senganga luka

(menyaksikanlah aku pada bingkai awan berkaca bening
di permukaan danau riak gemericik dan kecipakliuk ikan
menari geliat sisik pantulan bulan; mari ke mari
kita sikut itu sunyi, mari ke mari kita pasung itu sepi
taman hijau, taman hati kembali kepada Sang Nurani
sambut kelingking jari-jemari, wahai indonesiaku)
di tepi kolam ikan aku berdiri


Pesan-pesan untuk yang Kesekian Kalinya

Kematian seperti apa yang harus dihadirkan
pada masa-masa sulit sekarang ini,
bulan redup di ujung tahun; seperti yang dahulu juga
pernah diterima sebelumnya

Sementara kesimpang-siuran kabar,
agar nalar kita mampu mencerna
segala kebenaran, bukan sebaliknya;
tentang kedustaan sebagai
tontonan dan dijual-belikan di etalase,
gantungan baju, pameran
ruang-ruang pajangan, lembar-lembar iklan

Simpan air-mata-mu

Jerut seperti apa lagi yang harus ditangkan sebagai lolongan
panjang membentang menelusuri celah-celah hati-membatu
gema dan dengung di telinga pun seperti tak ada bentuknya
tuhan telah menciptakan untuk digunakan
akan ke sampah mana sisa-sisa suara akan ke sampah mana
pecahan-pecahan kata akan ke sampah mana bulir-bulir puisi
akan ke sampah mana akan ke sampah mana

Kematian itu pun
seperti lubang-lubang galian

Alasan apa lagi yang akan dihujatkan di hadapan
para malaikat yang telah memutuskan kedatangan, pasti
tepat pada waktunya; lalu apa yang mampu dibawa
selembar angin melepaskan kain
kekerdilan diri

Jangan tumpahkan kesedihan itu, di sini
tak ada tempat lagi kalau hanya sekedar mencari
letakkan telunjuk ke ujung jari
ketika tanah-tanah retak membelah
ketika awan-awan tak mampu menahan beban
ketika panas-panas menyalakan api kobaran
ketika darah ketika air-mata ketika luka

Simpan air-mata-mu

Tuhan telah menetapkan memang
seperti apa seharusnya menemui kematian
namun kalau pun boleh memilih; tentu bukan dengan cara yang lain
seperti orang lain tak mau memilih

Sekarang, masihkan
memajang mayat-mayat
di lipatan kawat-kawat
suara dan kata
penyair dan isyarat kadang tak mudah ditangkap

kematian seperti apa yang ingin dihadirkan pada zaman batu
sekarang ini, ketika menatap bola mata redup, tak sempurna
terkatup; bocah itu sebenarnya ingin banyak cerita, tetapi
ke sampah mana tawa-tawa polos dari pagi yang bergema
ke sampah mana tengadah tangan-tangan lenting ke sampah mana
wajah-wajah sepi melepaskan doa ke sampah mana canda
ke sampah mana lantangnya kata-kata ke sampah mana
suara-suara di langit embun menolak bencana di gunung
menolak prahara di bukit menolak prasangka di laut menolah
dukalara di pulau menolak air mata air mata air mata
siapa-siapa; tak
Mesjid dan surau sepi pelanggan
orang-orang berteduh gerimis, memilih di turunan toko-toko
ruko-ruko pasar-pasar swalayan-swalayan toserba-toserba
supermarket-supermarket mall-mall
pegadaian dan gudang pegadaian

di rumah yang sombong
di kantor yang sombong
di pistol yang sombong
di kapal yang sombong
di kapal yang sombong
di seragam yang sombong
di kursi yang sombong
di meja yang sombong

Setelah itu terjadi lalu apa artinya uluran demi uluran
padahal sebelumnya banyak arti bila itu dilakukan
kematian seperti apa yang diharapkan
di masa paceklik seperti ini
duka hidup di padang-padang kesuburan

Katakan derita bukan tayangan-tayangan pemberat luka
senyum ibu sebagai mayat adalah aku jerit ayah
menggapai sebagai mayat
adalah aku tatapan kosong mata sebagai mayat
adalah aku tulang-tulang
patah sebagai mayat adalah aku berserak tak berbentuk adalah

Kematian seperti apa yang dikehendaki, jauhkanlah
ketika ketamakan melanda nurani jauhkanlah ketika
rasa ketakcukupan melumuri ingin melanda diri
jauhkanlah ketika kerakusan melanda tangan-tangan
pada yang lain bagian jauhkanlah nafsi-nafsi

Daun pun luruh ke bumi, air mata menjadi batu
yang terbaring sebagai mayat adalah aku

Kematian yang bagaimana lagi yang harus dinikmati
seperti pesan-pesan yang terlalu sering pernah didengungkan
tetapi setelah ini masih saja, tetapi setelah ini tetap saja
dengan alasan yang boleh jadi berbeda, padahal sama
karena mayat itu adalah aku

Kematian adalah diam, dan air mata bukan tanpa makna
karena selalu dan terus saja ke muara
semuanya
sekarang giliran siapa
karena mayat itu adalah aku

Duka hidup di padang-padang kesuburan
kematian adalah perjanjian
sementara tragedi membangun pemikiran ke arah tanda-tanda;
ada yang belum lunas dibayarkan, mungkin kepada alam
juga tentu kepada tuhan
karena mayat itu adalah aku

Kematian itu pun
seperti lubang-lubang galian
menunggu giliran
karena mayat itu adalah aku
air mata membatu
ditunggu ditunggu ditunggu
selalu dan selalu
karena mayat itu adalah aku

Di kepanjangan doa, malam-malam
di kepanjangan doa, siang-siang
kapan pun waktu terus memburu dan menunggu
karena mayat itu adalah aku

Simpan air-mata-mu

Biarkan perjalanan berlalu menuju tempat selayaknya
dituju
lepaskan beban antara yang ditinggalkan
dan kesombongan karena keserakahan
menumpuk-numpuk, semakin digunung-gunungkan

Kematian adalah perjanjian
tetapi bentuk dan cara kematian adalah pilihan,
bila itu memang boleh dan diperkenankan
maka kewajaran dari kematian
menjadikannya sebuah penghormatan

Kapan dan di mana pesan lain disampaikan

Berjuta-juta-ribu tayangan; sekejap datang dan hilang
datang lagi dan hilang lagi, datang lagi dan hilang lagi
akhirnya mayat dan aku sama-sama menjadi sepi
hanya mampu menunggu giliran
bentuk dan caranya pun tak ada dalam mimpi
entah kapan atau di mana lagi

Melangit cermin dipaparkan sudah
awan bergerak menuju arah
tak pernah tetap selalu berubah
melangit cermin; ke langit wajah tengadah
memahami kekerdilan diri
tak mampu berbuat lain
ketika cermin demi cermin terbelah
mengaburkan tanda-tanda di wajah
kematian seperti apa yang diinginkan
lalu untuk apa bergunung-gunung karun itu
menayangkan keangkuhan
seperti senyum dan kekuasaan
walau banyak suara dan kata-kata
disampahkan, entah ke sudut mana
tak pernah mau tahu, bahwa ada sesuatu di baliknya

Mayat itu adalah aku
sebagai lanjutan pesan demi pesan
yang telah sering disampaikan
untuk yang kesekian kalinya
selanjutnya adalah penyadaran
membagi luka atau suka kepada sesama
kepada sesama
karena mayat-mayat itu pun adalah kita

Kematian dan kepasrahan adalah satu bagian

Hilangkan pesta demi pesta apa pun alasannya;
seperti aroma kamar yang menolak riuh gempita
ada dukana memperpanjang renungan, tak berkesudahan
keranda keranda keranda keranda keranda keranda keranda
hilangkan pesta demi pesta
tak ada pesta sampai ke celah sepi dan luka-luka

Kematian seperti apa yang harus dihadirkan
di masa-masa sulit
sekarang ini, walau tayangan pesta
masih memenuhi ruang-ruang tamu
semua orang harus sabar menunggu

Kematian inikah episode terakhir sebagai penutup
ending untuk memulai perjalanan baru
tanpa pesta tanpa luka tanpa luka
dari cerita nyata sebuah bangsa
sebagai manusia
tuhan menciptakan untuk dapat digunakan
tetapi tuhan telah banyak dengan peringatan
sementara mata dan telinga masih berpundak beban
padahal itu pun cobaan
kembali ke sudut nurani
biarkan aku terbaring di sini
dengan caraku sendiri
karena tuhan sangat memahami; doa tak pernah berhenti

Kematian
seperti apa
bagaimana rasanya
untuk apa yang sudah ada;
sebab hidup boleh berkali
tetapi kematian hanya cukup sekali ini

Kematian adalah pelajaran dan katakan kepada serangga bahwa
akulah mayat yang disantapnya
katakan kepada ulat bahwa akulah
mayat yang dihisapnya katakan kepada kumbang
bahwa akulah mayat yang digergajinya katakan kepada
cacing bahwa akulah mayat yang dilumatnya katakan
kepada batu bahwa akulah mayat yang ditindihnya
katakan kepada parang bahwa akulah meyat yang
digoroknya katakan kepada air bahwa akulah mayat
yang dihempasnya
katakan kepada keranda bahwa akulah mayat
yang diusungnya
katakan kepada tanah bahwa akulah mayat
yang dibaringkannya
katakan kepada langit bahwa akulah mayat yang dilingkupnya
katakan kepada sesama bahwa akulah mayat yang tak mampu
mayat yang tak mampu, tak mampu berbuat apa-apa

Kepada tuhan
biar aku berkata bahwa akulah mayat yang datang
sesuai dengan rencana semula
seperti perjanjian
sama dengan rahasia
hanya pesan yang terbaca lewat tanda-tanda

Selamat tinggal dunia
Selamat tinggal manusia

(catatan ketika hempasan datang sebagai bencana
dari rangkaian bencana yang lain, 26-28 desember 2004,
anak-anakku betapa kecil dan tak berartinya kita
kesadaran akan derita sesama adalah sebuah
penghormatan ulurkan kasihmu semampu, sebagaimana
kita punya niscaya hidup berjalan sesuai rencana)

* Kata dengan warna biru, menandakan kebingungan saya; apa salah cetak atau kata itu memang tak saya mengerti artinya?


Tentang Ali Syamsudin Arsi
Ali Syamsudin Arsi atau biasa dipanggil ASA, lahir di Barabai, Kalimantan Selatan, pada 5 Juni 1964. mulai aktif menulis puisi sejak 1982. Puisi, cerpen dan esainya tersebar di berbagai media massa daerah, nasional dan regional. Kumpulan puisi tunggalnya: Asa (1986), Seribu Ranting Satu Daun (1987), Tafsir Rindu (1989), Anak Bawang (2004), Bayang-bayang Hilang (2004), Pesan Luka Indonesiaku (2005), Bukit-bukit Retak (2006). ASA memperkenalkan gumam mulai tahun 2009, yang ditandai dengan terbitnya buku kumpulannya tersebut, yaitu Negeri Benang pada Sekeping Papan (2009), Tubuh di Hutan Hutan (2009), dan Istana Daun Retak (2010) dan Bungkam Mata Gergaji. Tahun 1999 mendapat penghargaan sastra dari Bupati kabupaten Kotabaru. Tahun 2005 menerima penghargaan sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan. Tahun 2007 dari Balai Bahasa Banjarmasin.

Catatan Lain
Sebuah buku kecil yang saya temukan di rak buku Hajri ini, hanya memuat 13 puisi, 2 di antaranya sangat panjang, yaitu Pesan-pesan untuk Kesekian Kalinya dan Tetesan Embun di Tenda-tenda Pengungsian. Ada suatu ketika, sepulang dari Dialog Borneo-Kalimantan di Samarinda, bis kami berdua (kami merupakan kloter terakhir yang pulang) terjebak 12 jam lebih di perbatasan Kaltim-Kalsel. Dari tengah malam sampai tengah hari. Konon ada truk pengangkut alat berat yang kecelakaan sehingga menghalangi seluruh jalan. Di sana, selama perjalanan itu, saya banyak mendengar cerita. (Ah, saya memang pendengar yang baik. Persis seperti yang diajarkan ilmu psikologi). Perihal pikiran-pikirannya, persepsinya, kisah perseteruannya dengan sesama penyair, pandangannya tentang kesusastraan. Barangkali tak banyak yang saya ingat (kebetulan saya juga sedikit pelupa. Hehe), kecuali pengalaman dalam perjalanan tanpa kepastian itu bersama seorang ASA. Kaitannya dengan buku ini: tidak ada! Atau barangkali ada. Hanya saya saja yang tak tahu. Entahlah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar