Laman

Tonggak

Selasa, 01 April 2014

Upita Agustine: NYANYIAN ANAK CUCU


Data buku kumpulan puisi

Judul: Nyanyian Anak Cucu, Kumpulan Puisi 1967 - 1999
Penulis: Upita Agustine
Cetakan: I, Juni 2000
Penerbit: Angkasa, Bandung.
Tebal: xxviii + 280 halaman (172 puisi)
ISBN : 979-665-312-5
Desain cover : Drs. Tata Sugiarta
Ilustrasi cover dan dalam : Lian Sahar
Pengantar : Korrie Layun Rampan, Sapardi Djoko Damono, Abrar Yusra, Mursal Esten

Beberapa pilihan puisi Upita Agustine dalam Nyanyian Anak Cucu

Lagu yang Kian Jauh

Kau dengarkah cintaku, lagu yang kian jauh
Melelapkan kita di dunia kerahasiaan
Jangan biarkan dia luput dan berakhir
Dia kan bernyanyi di hatiku dan di hatimu
Merendah dan meninggi
Sepanjang nafas dihembuskan

Padang, 1967


Akan Menghuni Abad Ini Sajakah Kita

Akan menghuni abad ini sajakah kita?
Hidup dalam perubahan warna-warna
Bagaikan nyala lampu lampu di kapal nelayan
Tak bergerak memagari tepi lautan
Mengapung dalam warna senja
Mendatangkan sunyi demi sunyi
Akan kita tinggalkankah abad ini
Tanpa suatu titipan

Padang, 1967



Memenuhi Janji pada Waktu

Diriku yang berjalan
Di kerutan waktu
Menjahit
Kesetiaan
Bumi pada langit
Burung pada sarang
Ibu pada anak
Tanpa henti
Antara kau dan Dia
Antara aku dan Dia
Antara kau dan aku
Antara laut dan arus
Antara langit dan bintang-bintang
Antara kemaren dan kini
Antara cinta dan janji
Antara kesetiaan dan khianat
Ada jarak jauh dan dekat
Tak terduga
Berjalan pada satu nafas
Dalam rahim alam
Memenuhi janji pada waktu

1999


Sajak Beranak jadi Ibu

Sajak beranak tak bersajak
Sajak dari rahimku
Sajak kanak kanak

Sajak beranak jadi ibu
Terbenam aku dalam rumah
Terbenam aku dalam langkah
Terbenam aku dalam sepi
Terbenam aku dalam dunia
Terbenam aku dalam hidup

Sajak jadi ibu
Tali meretas darah
Rasa meretas kasih
Budi meretas adat
Turunanku

Sajak jadi ibu
Meniti waktu
Pematang nasib
Turunanku

Sajak jadi ibu
Resah menetas sunyi
Sangsi diri di ujung
Turunanku

1986


Menanti Musim

Gelisah angin bertiup
Menanti musim
Tak tertidurkan dalam hatiku

Pagaruyung, 1974


Rinduku

Rinduku rindu
Hutan belantara yang digunduli bersama
Rinduku rindu
Air serasah yang menyusut di perbukitan
Rinduku rindu
Lelaki tua kuli pelabuhan yang lelah
Rinduku rindu
Bau jerami petani sederhana
Rinduku rindu
Kampung kecil di ujung teluk
Rinduku rindu
Nelayan diamuk badai nasibnya
Rinduku rindu
Cakrawalaku

1972


Siut Uwir Uwir Rimba Sore Hari

Siut uwir uwir rimba sore hari
Tak terdengar lagi
Pulanglah nak sayang
Jenjang rumah lah berlumut
Sakek di atap lah berjurai
Jalan lah dialih rang lalu
Cupak lah dialih rang panggaleh
Nak sayang
Siut uwir uwir rimba sore hari
Tak terdengar lagi
Kampungpun jadi lengang
Tepian lah berubah
Pulanglah nak sayang
Uwir uwir rimba hampir punah

Pagaruyung, 1974


Yang Menangis dalam Air Mata

Yang melihat tak menampak
Yang menggamit tak memanggil
Yang mendengar tak menyahut
Berbisik tak bersuara
Berjalan tak melangkah

Yang sunyi dalam nyanyi
Yang ragu dalam bimbang
Yang rindu dalam rindu
Yang duka dalam duka
Menangis dalam air mata
Menjatuhkan kata
Tanpa makna

Padang, 1973


Masih Kau Ingatkah Cintaku

Masih kau ingatkah cintaku, burung burung kecil
Berkejaran di pohon culan di rusuk rumahku
Kau kenangkah jalan menurun ke sungai di belakang rumahku
Dan pangkal titian bambu, tempat di mana kita berjanji
Untuk saling menunggu
Masih hidupkah dalam kenanganmu
Musim panen kita saling melempar jerami
Dan beberapa purnama kita tidur bersama di dangau sawah
Di mana kita saling menatap dan tertawa
Masih kau kenangkah semua itu sayangku
Rindu kita yang lalu
Rindu kita yang terlepas
Rindu masa kanak kanak bermain

Buo, Juli 1973


Nyanyian Anak Cucu

Aroma hutan hutan dan jerami terbakar kucium sampai kini
Menumbukan hutan lindung dalam rahimku
Menghamparkan berjuta piring sawah dan ladang ladang baru di dadaku
Mengalirkan sungai sungai jernih di nadiku
Mengalirkan rinduku pada musim panen
Ketika kupetik harapan
Dalam perihnya putik gugur menyisip waktu
Wahai nenek moyangku
Menyebut namamu
Ada beban di pundakku entah dari mana
Dan akan dibawa ke mana

Padang, 1998


Perempuan

Yang membentang sajadah di belakang suaminya
Yang memberi air hidup darah dagingnya
Yang mengalunkan dendang dalam tangis anak anaknya
Yang membisikkan dongeng sebelum tidur
Yang melafaskan doa bagi turunannya
Perhiasan suaminya

Nenek dari nenek kita
Ibu dari ibu kita
Ibu dari turunan kita
Ibu dari pemimpin kita

Perempuan
Di arus waktu menderas hilir
Menurunkan beribu persalinan

Adalah
Tambatan hati kita

1993


Di Seberang Tanah Mengandung
(kepada DYP Raja Malewar)

Serasa terjadi lusa
Takkan mungkin lupa
Payung kuning dikembangkan di udara
Dentam meriam tengah hari
Menyentak diriku
Saat kau berangkat
Ke Semenanjung

Serasa terjadi lusa
Takkan mungkin lupa
Saat kau turuni anak tangga
Diiringi sedan perempuan
Berpantun berbuah buah
Kau takkan kembali

Serasa terjadi lusa
Takkan mungkin lupa
Kau berangkat dalam tata cara
Pedang jenawi menghunjam bumi
Tombak janggi mencucuk langit
Gong bersipongang
Kaukah itu
Yang tak lagi kembali

Ke tanah asal ini
Ketika perahumu oleng
Di riam sejarah
Kabar murung Pagaruyung

Serasa terjadi lusa
Takkan mungkin lupa
Kutangisi pesan pesanmu
Sepanjang rambut sehelai sebatil
Di Tanah Mengandung

1992
Tombak janggi = sejenis tombak warisan kerajaan Pagaruyung
Rambut sehelai sebatil = peralatan utama yang dipakai untuk penobatan Raja Negeri Sembilan yang dibawa dari Pagaruyung
Tanah Mengandung = nama mula-mula kawasan kerajaan Negeri Sembilan yang diperintah oleh Raja Malewar


Di Seberang Rindu
(kepada DYD Beringin)

Mengapa mesti dia
Yang berangkat tiga abad lalu
Berdiri dalam mimpiku
Mengucapkan janji:
“Radin Yang Dipertuan
kau dirajakan di rantau ini”

Mengapa mesti dia
Yang membawa tanda kebesaran itu
Bersila dalam renunganku
Melafaskan sumpah:
“Jika tak kembali dari Seri Menanti
Jelang kuburku di Kampung Tengah”

Mengapa mesti dia
Yang datang dalam rinduku
Terisak dalam rangkulan
Mengantarkan pasrah:
“Dari tanah ini leluhurku
Ke tanah ini juga ku kembali”

Yang Maha Pengasih
Kau pertemukan dia
Dalam rindu diriku

1992
Seri Menanti = kawasan istana raja Negeri Sembilan
Kampung Tengah = nama bermukin dan bermakamnya DYD Beringin, dalam kawasan Seri Menanti, Negeri Sembilan, Malaysia.


Di Seberang Suara
(kepada DYD Hitam Sultan Alam Bagagar Syah)

Kain cindai selempangmu
Bewarna tanah bunga kecubung
Melambai hidupku
Di sini
Masih kudengar getar suaramu:
“Pulanglah kau
Takkan kujejak lagi Pagaruyung”

Pucuk rebung destarmu
Merah berpermata
Biru manikamnya
Di sini
Masih menikam diriku
Saat empat puluh pengiringmu
Pulang mengabarkan duka
Kau dibuang ke Tanah Jawa

Curik Simalagiri kerismu
Bertatah lukisan Bhairawa
Di sini
Masih terhunjam
Dalam nadiku
Saat mereka menyeretmu
Meninggalkan tanah pusaka

Segenggam saja
Segenggam tanah kuburmu
Kubawa juga pulang
Kusatukan dengan tapak
Kebanggaan negeri kita

Biar kau dibuang
Nisanmu berlumut
Dalam gunjing
Sepotong saja
Sepotong batu nisanmu
Kubawa juga pulang
Kutancapkan di pandam
Kebenaran

Segenggam saja
Segenggam tanah kuburmu
Kubawa juga pulang
Kusemai bagi turunanmu
Penyubur tumbuhnya kejujuran
Kuhidupkan
Dalam bait bait sajakku

1992
Pucuk rebung = salah satu motif tenunan
Bhairawa = gambar dewa bertatah emas pada keris yang dipakai Raja Adhityawarman


Surat yang tak Terposkan

MengingatMu ada sesuatu yang pecah di hatiku
Hidupku bagai dalam impian sorgawi
Luas tak bertepi
Engkau bagiku:
           
Padang rumput yang hijau mengundang kerinduanku
Hutanku kelam terpendam, tersuruk antara akar akar dan daun daun
Lautku yang dalam biru teduh berkilau bagai permata murni
Gunungku yag tinggi menjulang, kokoh, bisu dalam kediamanMu

Aku mabuk pada semua itu
Segala yang terungkap dariMu
Aku tak berdaya menyebutnya
Ungkapan itu

Padang, 1969


Latar

Latar Satu

1
Kutulis latar ini
Setelah keris Curik Simalagiri
Pusaka keluargaku tersimpan
Enam abad yang lalu
Setelah pedang jenawi hilang hulu
Dimakan api
Setelah kain Sang Saheto tinggal benang
Dilulur waktu
Setelah Si Katimuno terpancung
Pedang sakti
Setelah cap kayu kamat dari Turki
Tinggal arang
Setelah payung kuning kusam
Dikuncung zaman

2
Kutulis latar ini
Saat Gumarang tak menerjang
Saat Binuang tak melenguh
Saat Kinantan tak berkokok
Bundo Kanduang hilang dalam waktu
Cindua Mato mengais takdir
Puti Bungsu menitis darah turunan


Latar Dua

1
Kutulis latar ini
Ketika
Yang Dipertuan Malewar
Dijemput ke rumah gadangku
Untuk dirajakan di Negeri Sembilan
Ketika
Yang Dipertuan Beringin kemudian datang
Menobatkan Radin Yang Dipertuan

2
Kutulis latar ini
Ketika
Muningsyah dengan cucunya Reno Sori
Luput dari maut dalam pengkhianatan di Kototangah
Menghindar ke Lubuk Jambi

3
Kutulis latar ini
Ketika
Rumah Gadangku terbakar
Dalam perang saudara

4
Kutulis latar ini
Ketika
Yang Dipertuan Hitam dibuang ke Betawi
Kain cintai selempangnya
Lambaian perpisahan
Tanah kelahiran
Pulanglah!
Takkan kujejak lagi Pagaruyung

5
Kutulis latar ini
Saat Yang Dipertuan Sembahyang
Terus berjuang di Kuantan

6
Kutulis latar ini
Ketika Yang Dipertuan Sembahyang
Menikahi Reno Sori
Menurunkan Reno Sumpu

7
Kutulis latar ini
Ketika
Yang Dipertuan Sembahyang
Dari Lubuk Jambi ke tanah suci
Singgah di Negeri Sembilan
Kembali dan bermakam di Cerenti


Latar Tiga

1
Kutulis latar ini
Ketika
Yang Dipertuan Gadis Reno Sumpu bergegas
Pulang ke Pagaruyung
Di atas puing perjuangan
Mamaknya Yang Dipertuan Hitam
Ayahnya Yang Dipertuan Sembahyang
Didirikan lagi rumah gadang
Di tanah yang dipilihnya
Dikembangkannya payung kuning
Kebesaran keluarga
Yang diwariskan dari bunda
Dari adat dan sejarah yang panjang
Diangkatnya Penghulu Nan Tujuh
Dibangkitkannya kembali Basa Nan Ampek
Disusunnya anak kemenakan
Sebagaimana dulu
Sebelum perang
Dalam hatinya yang tegar
Dalam jiwanya yang lembut
Dalam rasanya yang dalam
Hulu Jenawi di tangannya
Menitiskan darah turunan
Sendiri dia!

2
Kutulis latar ini
Saat saat
Reno Sumpu di perjalanannya
Ditunggu di setiap gerbang
Salamnya menghangatkan kecintaan
Di ubun-ubun kanak kanak


Latar Empat

1
Kutulis latar ini
Rumahku. Rumah
Yang didirikan di atas puing
Rumah yang dulu terbakar
Yang didirikan nenek dari nenekku
Di rumah itu nenek dari ibuku lahir
Di rumah itu ibu dari ibuku dilahirkan
Di rumah itu ibuku dipersalinkan
Di rumah itu juga aku diturunkan

Rumah itu dinamakan rumah gadang
Alang Babega dipanggilkan
Tujuh gonjongnya
Sembilan ruangnya
Luas halamannya puding emas pagarnya
Kami bermain di bawahnya

Di rumah itu kami
Diasuh dan dibesarkan kasih sayang
Dipayungi saudara saudara ibu yang laki-laki
Yang kami panggilkan mamak

2
Kutulis latar ini
Saat musim panen
Kusaksikan
Sanak saudara, orang-orang kampung
Menuai bersama, bercanda dan berpantun

3
Kutulis latar ini
Saat kusaksikan
Penghulu Nan Tujuh
Basa Nan Ampek
Penyangga tugas nenek
Dalam adat dan istiadat
Dari Sungai Tarab Panitahan
Dari Sumanik Makhudumsyah
Indomo dari Saruaso
Tuan Kadhi Padang Gantiang
Dan Tuan Gadang dari Batipuh
Datuk Bandaro Kuniang dari Lima Kaum
Datang
Berbincang
Mengadukan hal kaum dan nagari
Dan nenek memberi
Kata putus

4
Kutulis latar ini
Saat kusaksikan
Nenek
Memasangkan destar
Menobatkan
Datuk Bandaro Kuniang di Lima Kaum
Panitahan di Sungai Tarab

5
Kutulis latar ini
Saat kami pindah ke kota
Dan aku mulai sekolah
Tiap pekan dia datang
Dibawanya manggis, jambu, duku dan durian
Rendang kesukaanku
Beras putih yang ditumbuk kincir

6
Kutulis latar ini
Saat pulang ke rumah gadang
Bermain di halaman
Berlari berkejaran
Di padang rumput yang luas
Menangkap belalang di embun pagi
Berkhayal setinggi langit
Terbang dalam cakrawala kanak kanak

7
Kutulis latar ini
Saat orang berburu
Bersorak sorai
Mengejar buruan
Aku senang dan ingin berburu
Diantarkannya aku pada tua pemburu
Bahkan sejak itu diajarinya aku bersilat
Memancing dan main layang layang
Bukan permainan perempuan?

8
Kutulis latar ini
Saat aku pergi diam diam
Berjualan buah buahan yang kuambil dari ladang
Dia marah sekali
Aku tidak boleh pulang
Empat pekan lamanya
Kenapa begitu aku tak mengerti

9
Kutulis latar ini
Saat menyimak dongeng dongengnya menjelang tidur
Melambungkanku jadi Bundo Kanduang, Puti Galang Banyak,
                        Gadih Rantih dan Puti Bungsu
Dan cerita dua kakak beradik yang tersesat
Si adik menangis lapar
Seekor burung menjatuhkan diri
Dan berkata: “Hai anak anak, makanlah aku
Yang memakan kepalaku akan jadi raja
Yang memakan ekorku hidupnya kan susah
Tapi bila ia tabah kan mendapat kehormatan.”
Kakak memberikan kepala burung pada si adik
Adik memang menjadi raja
Akhirnya mereka bertemu di istana

10
Kutulis latar ini
Di usiaku yang kesebelas
Perang saudara pecah
Kami kembali ke rumah gadang
Ayah dan semua laki laki ikut berperang
Sedang mamak jauh di rantau
Dia jadi ayah dan mamak bagi kami
Sejak itu neneklah segalanya

Perang pun usai
Ayah bekerja di tempat lain
Kami tinggal di rumah gadang
Tiap tiga purnama ayah pulang


Latar Lima

1
Kutulis latar ini
Saat kemarau panjang
Tiga bulan hujan tak turun
Sungai menyusut air
Sawah mengering
Rumput menguning
Jalan berdebu
Burung gagak terbang berbondong ke selatan
Bunga bunga padi tak jadi buah
Paceklik!

2
Kutulis latar ini
Tengah hari
Saat lengang di kampung
Sat terinjak bayang bayang
Sejarah berulang
Rumah gadang kami dimakan api
Kata orang dibakar komunis
Padi di lumbung pirang
Berubah warna karena panas
Gong pusaka menyembur cahaya
Terbang ke Gunung Bungsu
Sapiah balahan, kuduang karatan
Dari luhak dan rantau
Datang menyembahkan duka

3
Kutulis latar ini
Tujuh malam lamanya
Tujuh harimau putih
Pelan merangkaki sandi

4
Kutulis latar ini
Kini
Ketika Gumarangku tak meringkik lagi
Ketika Binuangku tak melenguh lagi
Ketika Kinantanku tak berkokok lagi
Ketika tabuh larangan Gaga Bumi
Tak berdentam lagi
Mainan kanak kanakku
Tersimpan dalam debu
Masa lalu rumah gadangku
Kecintaan dan kebanggaan
Hilang dan raib
Semua habis!
Bersama kami mengais
Sasok jerami hangus

6
Kutulis latar ini
Sapiah balahan
Kuduang karatan
Luhak dan rantau
Bersusun jari membincang
Antara keturunan
Batali darah
Batali adat
Batali emas
Untuk menegakkan kembali
Rumah Gadang pengganti
Tak lekang dalam kenangan


Latar Enam

1
Kutulis latar ini
Saat
Nenek berpulang
Petir tunggal
Pandam menggegar
Langit mendung
Gerimis!
Pohon kelapa tumbang ditebang

Semua lelaki berdestar
Dan perempuan berkain sandang
Janur kuning
Jasadnya diusung dalam upacara duka
Dipayungi payung kuning kebesaran
Menginjak kain jejak
Sampai ke pandam pekuburan
Dan uang penghibur ditabur
Perempuan perempuan meratap dalam pantun
Mamang dan gurindam
Laki laki merunduk
Larut dalam kenangan kasih sayang


Latar Tujuh

1
Kutulis latar ini
Dalam lengang sejarah
Dalam galau kebenaran
Dalam sirnanya kejujuran

2
Kutulis latar ini
Ketika namaMu tak disebut lagi
Dari rumah ke rumah
Ketika kasih sayang dan kebencian
Kebur batas

Ketika kedermawanan dan keserakahan
Bermuka dua

3
Kutulis latar ini
Dalam sujudku
Ketika aku menemuiMu

4
Kutulis latar ini
Ketika aku menatap
Diriku di rumahku
Di rumahMu

Latar Delapan

Kutulis latar ini
Latar penulisanku

1991/1992

Catatan
Si Katimuno = patung kecil dari Tiongkok warisan sejarah Pagaruyung
Cap kayu kamat = salah satu stempel kerajaan Pagaruyung terbuat dari kayu
Bundo Kanduang = nama raja Pagaruyung dalam kaba Cindua Mato
Cindua Mato = nama seorang bujang dalam kerajaan Pagaruyung
Puti Bungsu = nama istri Dang Tuanku putra mahkota
Yang Dipertuan Malewar = anak raja Pagaruyung yang dirajakan di Negeri Sembilan, Malaysia.
Yang Dipertuan Beringin = anak raja Pagaruyung yang mewakili raja Pagaruyung menobatkan raja Negeri Sembilan yang ke IV
Radin Yang Dipertuan = Raja kerajaan Negeri Sembilan ke IV
Muningsyah = nama raja Pagaruyung
Reno Sori = cucu Muningsyah, raja Pagaruyung
Yang Dipertuan Hitam = Raja Pagaruyung yang dibuang Belanda ke Betawi dan kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Reno Sumpu = anak Reno Sori yang menjadi raja Pagaruyung menggantikan mamaknya Yang Dipertuan Hitam
Yang Dipertuan Gadis = gelar raja Pagaruyung yang perempuan
Penghulu Nan Tujuh = perangkat raja Pagaruyung di Pagaruyung
Basa Nan Ampek = perangkat raja Pagaruyung setingkat menteri pada kelarasan Koto Piliang
Mamak = saudara laki-laki dari ibu
Sungai Tarab = wilayah, kedudukan bagi Panitahan
Datuk Bandaro Kuniang = Gajah Gadang Patah Gadian Petinggi dari kelarasan Bodi Caniago
Lima Kaum = wilayah, kedudukan Datuk Bandaro Kuniang
Panitahan = salah seorang dari Basa Nan Ampek bergerak Datuk Bandaro Putih
Sumanik = wilayah, kedudukan bagi Makhudumsyah
Indomo = salah seorang dari Basa Nan Ampek
Saruaso = wilayah, kekdukan Indomo
Padang Gantiang = wilayah, kedudukan Tuan Khadi
Tuan Gadang = Panglima perang kerajaan Pagaruyung
Batipuh = wilayah, kedudukan Tuan Gadang
Puti Galang Banyak = nama perempuan dalam cerita rakyat
Sapiah balahan = keturanan dari hubungan saudara perempuan dalam tatanan kerajaan Pagaruyung
Kuduang Karatan = keturunan dari hubungan saudara laki-laki dalam tatanan kerajaan Pagaruyung
Luhak = wilayah inti Minangkabau
Rantau = wilayah perluasan Minangkabau
Gaga Bumi = nama salah satu tabuh (bedug) kerajaan Pagaruyung
Batali Darah = pertalian hubunga darah
Batali adat = pertalian hubungan secara adat
Batali emas = pertalian hubungan perdagangan
Kain jejak = kain putih yang dibentangkan untuk dilewati jenazah raja-raja Pagaruyung sejak dari tangga sampai ke pemakamannya.


Tentang Upita Agustine
Ini biodata yang dikemukakan oleh Abrar Yusra: “Pertama kali dikenal di bawah nama kepenyairan Upita Agustine, Raudha Thaib (lengkapnya Puti Reno Raudhatuljannah Thaib) sebenarnya bukan nama/wajah baru dalam kepenyairan Indonesia. Mulai menulis ejak berstatus mahasiswi, ia dikenal produktif sekali pada tahaun-tahun akhir dekade 1960-an dan pada dekade 1970-an.
Mengaku diam-diam terus menulis sajak-sajak tapi kurang getol mempublikasikannya, sebenarnya Raudha adalah penyair yang subur. Tapi dia tidak teliti menyimpan sajak-sajaknya. Puluhan sajak-sajak tahun-tahun pertamanya telah hilang, entah dipinjam teman tak kembali atau tercecer entah di mana.
Sajak-sajaknya dimuat di korang-korang yang terbit di Padang. Juga di majalah Horison, Jakarta. Juga telah dimuat dalam berbagai antologi, antara lain Laut Biru Langit Biru susunan Ayip Rosidi.
Upita Agustine – yang kini Raudha Thaib berkali-kali membacakan sajak-sajaknya dalam forum pertemuan Sastrawan Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Ia juga dikenal sebagai pelukis.
Raudha Thaib yang lahir tanggal 31 Agustus 1947 di Pagaruyung Batusangkar, adalah alumnus dan insyinyur pertanian Universitas Andalas. Ia adalah staf pengajar Fakultas Pertanian Unand. Pada pihak lain ia adalah seorang pewaris tahta kerajaan Minangkabau sebab ia adalah putri mahkota.
Bersama suaminya Wisran Hadi dan rekan-rekan lainnya ia memimpin Sanggar Bumi yang bergerak di bidang Teater, senirupa, sastra dan lain sebagainya. Sebagai orang teater ia juga dikenal sebagai pemegang peran dalam berbagai pertunjukan teater.”
Ini tambahan: buku puisinya antara lain Dua Warna (Padang, 1974, bersama Hamid Jabbar), Bianglala (INS Kayutanam, 1975), Terlupa dari Mimpi (Yayasan Studi Kreativitas Padang, 1986). Juga terdapat dalam Tonggak 3 (Gramedia, 1986). Ia adalah pimpinan Silek Tua Pagaruyung dan wirid adat di Istano Si Linduang Bulan.

Catatan Lain
Kumpulan puisi Nyanyian Anak Cucu, dibagi-bagi berdasarkan tahun penciptaan. Misalnya  Sajak sajak 1967 (3 puisi), Sajak sajak 1968 (4 puisi), Sajak sajak 1969 (5 puisi), ….. Sajak sajak 1995 (1 puisi), Sajak sajak 1996 (2 puisi), Sajak sajak 1997 (7 puisi), Sajak sajak 1996 (3 puisi), dan terakhir Sajak sajak 1999 (2 puisi). Total ada 172 puisi. Tahun paling produktif 1978 (22 puisi), 1974 (18 puisi), dan 1975 (17 puisi). Yang paling tidak produktif berisi 1 puisi saja, yaitu tahun 1987, 1989, 1991, 1994, 1995. Ada juga tahun-tahun ketika tak satu puisi pun tercantum, yaitu 1979-1998. Dan di daftar isi cuma ditulis KELAHIRAN ANAK ANAKKU 1979-1984.  
Ini komentar Korrie Layun Rampan: “Sajak-sajak Upita umumnya bersifat sederhana dan langsung. Emosi puitiknya sering tidak berdenyar dalam kilatan yang menunjam ke dasar kalbu, tetapi mengambang oleh imej-imej yang tak sampai. Begitu polosnya sajak-sajaknya dalam kesahajaannya, sehingga beberapa sajaknya ada kesan kementahan ekspresi….. Suasana yang banyak tampil dalam sajak-sajak Upita adalah sunyi dan keterpencilan. Hampir tiap sajaknya suasana sunyi, rawan dan menekan itu tampil dalam rona yang beragam.”
Adapun Sapardi Dojo Damono mengatakan bahwa Upita dalam sajak-sajaknya menggunakan piranti mitologi dan pengulangan dalam pengucapan puitiknya. SDD menulis: “Meskipun sejak tahun 1928 kita sepakat untuk menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, tidak akan pernah ada kesepakatan di antara kita untuk memilih salah satu mitologi sebagai milik bersama. Jika bangsa-bangsa di Eropa yang berbicara dalam puluhan bahasa yang berbeda-beda memiliki mitologi Yunani sebagai pengingat kebudayaan mereka, kita bisa berkomunikasi dalam satu bahasa namun masing-masing – sebagai kelompok etnis – memiliki mitologi tersendiri. Kenyataan ini sangat penting sebab tanpa mitologi, sastra tidak akan bisa berkembang dengan wajar. Mitologi adalah kristalisasi konsep-konsep, nilai-nilai dan norma-norma yang menyebabkan komunikasi antaranggota masyarakat bisa efisien; tanpa dukungan mitologi sastra akan jadi cerewet – terlalu banyak kata untuk makna yang tidak seberapa -.”
Lalu di sinilah dilemanya, menurut SDD, jika mitologi digunakan demi efisiensi, maka pengulangan pada dasarnya adalah penghamburan kata. Sering anasir yang diambil dari sastra lisan tidak selalu selaras dengan ketulisanan puisinya. SDD menilai ada sajak-sajak yang mengambang antara kelisanan dan ketertulisan, dan itu bisa jadi kelemahan, bisa juga kekuatan.”  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar