Laman

Tonggak

Selasa, 05 Agustus 2014

Nanang Suryadi: BIAR!




Data buku kumpulan puisi

Judul : Biar!
Penulis : Nanang Suryadi
Penerbit : Indie Book Corner, Yogyakarta
Cetakan : I, 2011
Tebal versi ebook : 88 halaman pdf (83 puisi)

Beberapa pilihan puisi Nanang Suryadi dalam Biar!

Burung Kata-Kata

jutaan kata melesat ke angkasa
terbang tak tentu sampai ke mana

(jutaan burung kata-kata menyerbu langit mencari arah pulang menabrak mega-mega menabrak atmosfir menabrak bulan menabrak bintang menabrak nebula menabrak meteor menabrak asteroid menabrak lubang hitam)

--- di mana tahta Sang Raja kata-kata?


Seekor Naga

seekor naga, mengamuk
menggeliat deras di dalam dada
waktu bergoncang-goncang
di moncong uap panas sembur api ludahnya

panasnya tak henti mendidihkan semesta
menderaskan airmata api
mempuingkan segala ingin, hingga arang, hingga abu
dalam diri

dalam diri, seekor naga mengamuk
meminta sesaji puisi



Jam Jam Virginia

Masihkah bisikan itu terdengar, Virginia. Sebagai dengung menakutkan. Mungkin tentang perempuan. Tenggelam dalam arus kata-kata. Mimpimu. Rasa nyeri tak tertahankan. Seperti tanyamu. Di balik kematian. Di balik waktu. Jam-jam yang diaduhkan perempuan. Tanpa
sebab. Ingin bunuh diri. Walau kebahagiaan tak terhingga dalam rengkuhmu. Walau

Malang, Nopember 2003


Fragmen Pollock

Jemari menari di udara. Warna-warna menghambur. Muncrat. Meleleh. Abstraksi. Guratan kegelisahan. Lukisan tercipta dari kedalaman penuh erang. Siapa yang menyimpan rasa
nyeri? Manusia tak sanggup tanggungkan derita. Menggerung. Mengaduh. Teriakkan hampa
ke angkasa. Mengguncang-guncang sepi. Resah sendiri. Tak tahu apa terjadi. Tak tahu apa
yang diingini. Hampa. Kekosongan. Meraja di dada sendiri. Rasakan ngeri itu. Dari
kegelapan rahasia. Kegulitaan yang mencekam. Jemari menggurat di hampa udara. Serasa
ingin mencekik rasa bosan. Kenisbian. Di titik diam. Detak nadi kabarkan gemuruh ledakkan mimpi berulangkali.

Malang, Nopember 2003


Skizo

menelusup ke dalam dada. perasaan demikian aneh. menelusup dari dongeng tentang mata yang melinangkan cahaya. melinangkan dongeng tentang mata yang cahaya. demikian cahaya menelusup-nelusup ke dalam dada.

o, mata yang melinangkan cahaya.

karena ada yang risau dengan dirinya sendiri. seperti didengarnya dengungan berbagai suara menyerbu kupingnya. jutaan tawon menggaung. suara tak henti-henti menyergapnya. hingga berteriak ia sekeras kerasnya. dan orang menyebutnya gila!

o, kuping yang mendengar gaung riuhan suara.

sebentuk kabut. tapi mungkin asap. berganti-ganti. antara cahaya. antara suara. antara tatapnya. ia menjerit. ia menjerit. tanpa suara. mulutnya membuka lebar-lebar. di dalam mulut ada yang bertapa, katanya.

o, mulut yang menjerit tanpa suara.

tangannya memutar-mutar. menghalau suara dengungan tawon. agar menjauh. agar tak terus mendengung di dekat telinganya. seperti tarian. meliuk. meliuk.

o, tangan yang memutar-mutar.

kakinya menghentak-hentak. menandak-nandak. memutar-mutar. berlari kian kemari.

o, kaki yang menghentak menandak.

tubuhnya bergoyang ke sana ke mari. bergoyang. bergetar. gemetar. lalu limbung jatuh. tersuruk. sembah.

menyerah


Puisi Mencakar Wajahmu dengan Kuku Jemarinya yang Lentik

puisi yang diam-diam ingin kau tulis mencakar wajahmu. dengan kukunya yang tajam. dan kau menulisnya sebagai kepedihan. inilah puisi, katamu, sambil membayangkan kuku di jemarinya yang lentik. dan menyisakan perih di wajahmu.

puisi yang kau kira sebagai kucing manis. berbulu lembut halus. ingin kau timang-timang dalam untaian kata di dalam sajak-sajak. yang ingin kau tulis di sebuah senja yang indah. saat matahari menyemburatkan warna jingga di langit.

tapi tak kau tahu siapa puisi. karena kau terbius oleh mabuk kagum. dengan debar di dada. seperti debur perlahan gelombang di pantai-pantai landai berpasir putih gemerlap tertimpa cahaya. di pantai mimpimu.

dengan harap untuk dapat mengetahui segala rahasianya. kelembutannya. sebagai kedamaian yang hadir dalam hatimu. sebagai ekstase yang menuntaskan segala birahi. membuat hidup jadi demikian gairah. menyala terang seterang purnama bulan. maka kau ingin mengabadikan puisi dalam huruf-huruf, kata-kata, frasa, kalimat, bait, sajak…

sebagai puisi, katamu. tapi tak kau tahu puisi sebenar-benar puisi. seperti saat ini. tak dapat kau menuliskan puisi sesungguhnya. karena yang kau ingat hanya kuku jemarinya, yang melukai wajahmu.

maka kaupun mulai membenci puisi. dan mencoba menghapusnya dari ingatan. tapi puisi hadir di mana-mana. dengan senyumnya. dengan kerling matanya yang menggoda. dengan gerai rambutnya yang melambai-lambai. dengan suara lembutnya. dengan desah manjanya. dengan tawanya. dengan lembut jemarinya. dengan ….

puisi mengejekmu. dengan segala kenangan. dan kau tenggelam dalam pusaran arus gelombang puisi yang memabukkan.

tenggelamlah engkau dalam puisi yang menjelma jadi lautan mimpimu. hingga di dasarnya kau tahu: puisi


Memasuki Kota Menhir

memasuki kota menhir, sayatan pahat pada batu-batu, aroma purba
arus mimpi mengundangku datang menemu wajahmu kota tua

seperti kutemukan wajahku di situ
tubuh yang disalibkan di pancang batu

telah tersesat domba-domba beterjunan ke lumpur hitam
hingga mengembik di sekarat legam

doa doa apa yang dilontarkan ke langit
sebagai deru sebagai teriak jerit pahit

memasuki kota menhir, lingga patah, yoni retak
wajah mimpiku pecah berderak


Di Pusaran Waktu

telah dilabuh gelisah pada pusar waktu
hingga larung abu pada sarang angin

gelombang sunyi diri sendiri

tinggal beburung jiwa menemu
karang julang tegak menantang

demikian terjal jejalan hidup di tatap matahari

sekepak sayap sekepak sayap menempuh tempuh
disayat hayat disayatsayat hingga mayat hingga tamat

tapi akan dilabuh juga segala gelisah pada pusar waktu

hingga larung abu pada sarang angin
gelombang sunyi diri sendiri

menjelma beburung jiwa

terbang mengepak dari matamu
menempuh tempuh sekepak sayap sekepak sayap

hingga sampai mematuk patuk mengetuk

pintu langit membuka
bagi jerit perih kerinduan jiwa

menemu cinta menemu cintanya


11:37:56 7/08/2002

akulah puisi. kudatangi Paz di malamnya yang ringkih. kumabukkan ia dengan kata. hingga dadanya ingin meledak. saat kuucap selamat malam di pagi yang sebentar kan tumbuh.
ditulisnya aku dengan bahagia: kata, frasa, kalimat, alinea. bahkan katanya, aku mesti ada,
jika ia tak lahir ke dunia.

akulah puisi. di matanya kuberi cahaya. seperti...


Karena Diksi

sebagai petapeta yang dilukis menghamburkan jejak lama
dari riwayat sebuah ingatan

hingga waktu merapat ke titik nol

sampai dentingnya yang menggaung menjadi senyap lenyap
dalam sajak tak selesai

karena huruf membisu dalam rahim pertapaan

menumbuh tumbuh dalam diam dalam sunyi
memandang diri semakin asing

pada rambu rambu di jalanan pada buku buku dan kitab suci

layaknya puisi aneh yang ditulis dari arus deras mimpi
mengamuk tak tahu mau meloncatloncat tak tahu ingin menarinari tak tahu hendak

bolak balik kata berbolak balik menemu kembali kata yang sama mengulang ulang

baiklah siapkan saja pena deret leburkan kata bergumulah dalam frasa bersetubuhlah dalam kalimat baris dan bait sajak menelusur hingga mula, karena

jadi maka jadilah:

karena rona karena warna karena nuansa karena biru karena hitam karena jingga

karena waktu karena senja karena petang karena malam karena fajar karena detik karena jam karena hari karena minggu karena bulan karena musim karena tahun karena windu karena abad karena purba

karena moyang karena kanak

karena cakrawala karena angkasa karena lazuardi karena langit karena udara

karena bumi karena gunung karena tanah karena kerikil karena batu karena aspal karena debu

karena angin karena awan karena mendung karena matahari karena ufuk karena bulan karena bintang karena cahaya karena gerimis karena pelangi karena embun karena kabut karena bayang

karena air karena danau karena telaga karena alir karena sungai karena muara karena laut karena ombak karena gelombang karena arus karena ikan karena palung karena debur karena pantai karena pasir karena karang karena badai karena perahu karena layar karena kapal karena dermaga karena labuh

karena bening karena sepi karena sunyi karena lengang karena remang karena rembang

karena tangis karena airmata karena duka karena luka karena gundah karena resah karena gemetar karena gelisah karena cemas karena sedih karena marah karena dendam karena muak

karena tawa karena bahagia karena asa karena harap karena rahasia

karena deru karena gaung karena gema karena denting karena lengking karena dengking karena gemuruh karena derai karena bisik karena desah karena rintih

karena angan karena mimpi karena tualang karena kembara

karena api karena bara karena asap karena arang karena abu

karena pohon karena dahan karena ranting karena akar karena daun karena bunga karena putik karena mawar karena kamboja karena kelopak

karena rumput karena ilalang karena semak karena perdu

karena kupu karena burung karena camar karena merpati

karena anggur karena apel

karena tatap karena cakap

karena mata karena alis karena jemari karena wajah karena rambut karena dada karena jantung karena hati karena darah karena nadi

karena beranda karena kisi karena tingkap karena jendela

karena aku karena engkau karena dia karena kita

karena cinta karena rindu karena sayang karena birahi karena mabuk

karena abadi karena kekal

karena Kekasih

karena Mu

Depok, 1 Mei 2003


Belajar Menulis Puisi

huruf demi huruf berhamburan dari dalam benakku sebagai entah puisi mungkin merindu tapi apakah merindu adalah huruf-huruf yang berhamburan tak karuan sebagai galau yang tiba-tiba meledak dari dalam dada dan kepala sendiri meledakkan keinginan dari dalam mimpi-mimpi yang tak kunjung selesai diputar dalam tidur tidur yang melelahkan ke dalam jeram jeram nganga dalam keinginan sendiri hendak melompat melompat dari tebing-tebing yang tak kembali gema tak kembali menyahut suara o inikah suara dari dalam kegelapan jiwa yang menggapai-gapai ke terang terang cahaya sebagai puisi yang kacau tak terbaca ada siapa di situ dirikukah atau engkau yang kukasihi dengan setulus cinta setulus doa dengan airmata yang memancar dari mataku yang tiba-tiba saja perih karena demikian nyeri segala yang tak terkata demikian pedih segala yang tak terduga demikian perih segala yang bergalau tak tahu apa dirasa apa dipinta o kabarkan padaku cintamu sebagai darah dalam puisi yang mengalir dalam aorta nadiku hingga mengucur hingga menderas ke dalam dadaku sebagai alir yang tak henti dalam tubuhku sebagai denyut dalam jantungku sebagai engkau yang tak henti mencintaiku dengan sesungguhnya cinta dengan setulusnya cinta dengan debar dalam dada sebagai doa yang kau panjatkan setulus pinta ke maha cinta hingga disatukan dalam gelombang cintanya yang cahaya


Mungkin Ada
:h.a

Mungkin ada yang mengendap. Di suatu malam. Saat rimis tiba. Menjengukmu. Saat engkau tertidur. Dan kata-kata itu tersusun. Dalam mimpimu. Tentang ia menjejakkan kakinya. Di tanah basah. Di halaman rumah.

Mungkin ada yang menjengukmu. Di dalam mimpi. Saat engkau coba menyusun kata-kata. Seperti malam itu. Engkau demikian merasa ada yang melintas di tengah rimis.

Mungkin ada yang menulis. Menyusun mimpi-mimpi. Di suatu malam. Setelah menjenguk ke dalam tidurmu.

Mungkin engkau pun menulis suatu ketika. Tentang jejak di tanah basah. Tentang Aku yang menjengukmu. Di dalam puisi itu.

Malang, Nopember 2003


Eksperimentasi Lirik

kabut menari sebagai bayang yang mencemaskan cuaca dan musim penghujan di saat rindu menjelma angin yang menderai mendesah ke arahmu irama purba nyanyian detik detik resah gelisahmu saat menunggu dalam bisik-bisik perdu ilalang pada daun rerumputan yang menerima embun dan gerimis dengan tulus sebagai reriap rambut yang menyerah pada bening hening percakapan menetes satu satu mengalir di lekuk pelupuk kelopak bunga mawar dan kamboja dalam warna-warna pelangi di dasar hatimu yang merahasia biru langit mimpi angan sesunyi danau selengang cakrawala lebih sepi dari batu yang diam tak isak tangis sedih menyimpan kembara dalam dada karena senja yang merapat ke malam menenggelamkan matahari dan menyemburatkan warna ungu jingga ke pucat bulan ke kerdip bintang sebagai gundah yang bikin gemetar karena lindap cahaya menyesatkan burung burung yang ingin pulang dan istirah seperti telah disesatkan tanya itu sebagai buah apel yang dimakan dengan penuh dendam mabuk birahi pada yang abadi karena pernah dicatat pada beranda yang menggaungkan tualang camar di antara buih gelombang dan badai yang hempas perahu kapal dengan ombak dan arusnya hingga suaramu adalah gema yang berdenting denting di antara lengking dan dengking mengetuk ngetuk jendela hatimu seperti dikabarkan jam jam yang mengumandangkan darah lewat nadi sebagai abad windu tahun bulan hari yang gemuruh menderu mematahkan ranting mencabut pohon dari akarnya menggugurkan putik dan buah hingga matamu menyimpan arang bara api yang segera menjadi abu harapmu demikianlah dikekalkan cintamu sebagai debu pada waktu

Mei, 2003


10:59:03 7/08/2002
mengingat: oka “‘tarian bumi” rusmini

akulah keluh. sebaris kalimat mengelupas dari sehalaman buku.
akulah kata. mengelupas dari sebaris kalimat.

lalu aku menari. akulah tarian:
bumi. bulan. matahari. bintang-bintang.

karena surga mengusirku.
akulah perempuan. rindumu. tapi...


Sesayat Sampai

sesayat sampai lengking suaramu di dadaku, o orang gemetar
menatap hari berliku jalannya, di terik panas, di kepul debu menampar

tapi ingin kau masuki juga hingga jauh ke malam ke kelam

walau seribu goda menarik tangan dan kaki: kemarilah kemarilah
tidur dalam dekap, jangan berjalan lagi

apa yang tercari tak dapat dipasti

sesayat sampai suaramu di telingaku, o orang yang sepi
menembus hari hingga ke malam hari

menemu diri menuntas nyeri!


Biar!

tak kau ingat lampu-lampu yang menyihir kita menjadi orang yang mentertawakan dunia. tak kau ingat keringat meleleh di langkah kaki, di punggung, kening, menantang matahari! menunggingkan pantat ke muka-muka orang-orang yang dipuja sebagai dewa!

o, engkau telah membunuh kenangan demikian cepat. seperti kulindas kecoak dengan ujung sepatuku. perutnya yang memburai, putih, mata yang keluar dari kepala, masih bergerak-gerak. aku menjadi pembunuh. seperti dirimu. demikian telengas. tanpa belas. kepada kenangan.

biar. jika kau tak mau temani. biar kurasakan nyeri sendiri. di puncak sepiku sendiri!


Dongeng Ikan Di Laut Dalam

seekor ikan dari palung terdalam di dasar laut yang tak pernah mengenal cahaya matahari yang mengerjap-ngerjap di permukaan di pucuk pucuk ombak adalah seekor ikan yang ribuan tahun ada di kedalaman dengan sisik tebal dengan mata buta dan dilahirkan seperti mamalia bukan menetas dari telur seperti burung-burung atau ikan-ikan lain yang berinsang karena memiliki paru-paru yang memompa udara dalam tubuhnya berputar-putar terus tak pernah habis dari tubuhnya kecuali suatu ketika ia akan mati seperti layaknya pertapa ia berdiam dalam gelap tak terkata hingga tubuhnya terselimut seperti karang diam tak bergerak menjaga kedalaman rahasia arus laut sebagai rahasia seperti puisi yang tak tahu hendak kau maknai karena tak pernah ada terlintas dalam benakmu ikan seperti itu ada di kedalaman sana

Mei, 2003


Hingga Akhirnya

detik kan berhenti dan sunyi merungkupi kau dengan mimpimu sendiri
o manusia yang resah menjangkau cakrawala dengan benak penuh tanya

sebagai keabadian jawab adalah tanyamu sendiri
menghitung tiktak jam berdetik menuju segala batas ucap

ucapkan selamat tinggal pada segala cinta
saatnya kini kau mengerti, bahwa sunyi adalah milikmu sendiri


Tentang Nanang Suryadi
Nanang Suryadi lahir di Pulomerak, Serang pada 8 Juli 1973. Aktif mengelola fordisastra.com. Buku-buku puisi yang menyimpan puisinya, antara lain: Sketsa (HP3N, 1993), Sajak Di Usia Dua Satu (1994), dan Orang Sendiri Membaca Diri (SIF, 1997), Silhuet Panorama dan Negeri Yang Menangis (MSI,1999) Telah Dialamatkan Padamu (Dewata Publishing, 2002), BIAR! (Indie Book Corner, 2011), Cinta, Rindu & Orang-orang yang Menyimpan Api dalam Kepalanya (UB Press, 2011) sebagai kumpulan puisi pribadi. Sedangkan antologi puisi bersama rekan-rekan penyair, antara lain: Cermin Retak (Ego, 1993), Tanda (Ego- Indikator, 1995), Kebangkitan Nusantara I (HP3N, 1994), Kebangkitan Nusantara II (HP3N, 1995), Bangkit (HP3N, 1996), Getar (HP3N, 1995 ), Batu Beramal II (HP3N, 1995), Sempalan (FPSM, 1994), Pelataran (FPSM, 1995), Interupsi (1994), Antologi Puisi Indonesia (Angkasa-KSI, 1997), Resonansi Indonesia (KSI, 2000), Graffiti Gratitude (Angkasa-YMS, 2001), Ini Sirkus Senyum (Komunitas Bumi Manusia, 2002), Hijau Kelon & Puisi 2002 (Penerbit Buku Kompas, 2002 ), Puisi Tak Pernah Pergi (Penerbit Kompas, 2003), Dian Sastro for President #2 Reloaded (AKY, 2004), Dian Sastro for President End of Trilogy (Insist, 2005), Nubuat Labirin Luka Antologi Puisi untuk Munir (Sayap Baru – AWG, 2005), Jogja 5.9 Skala Richter (Bentang Pustaka - KSI, 2006), Tanah Pilih, Bunga Rampai Puisi Temu Sastrawan Indonesia I (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2008), Pesta Penyair Antologi Puisi Jawa Timur (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009).
Email: nanangsuryadi@yahoo.com
Situs: www.nanangsuryadi.web.id
Twitter: www.twitter.com/penyaircyber


Catatan Lain
Bisa dikatakan, inilah penyair yang paling aktif di dunia maya sepanjang yang saya ketahui. Saya mendapatkan versi ebook dari Biar! dari blog penyairnya yang tampil all out. Tak ada halaman cover dan daftar isi. Begitu judul, langsung masuk ke puisi pertama. Mungkin kumpulan ini terdiri dari 2 bagian, yaitu Biar! (20 puisi) dan 7/07/2002 (63 puisi). Total 83 puisi kalau tak salah hitungan saya. Tapi saya juga tak yakin dengan dua pembagian ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar