Laman

Tonggak

Senin, 08 September 2014

F. Rahardi: MIGRASI PARA KAMPRET



 

Data buku kumpulan puisi

Judul: Migrasi Para Kampret, Sebuah Kisah Tentang Kampret yang Tergusur
Penulis: F. Rahardi
Penerbit: Puspa Swara (Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara), Jakarta
Cetakan: I, 1993
Dicetak oleh: PT. Penebar Swadaya, Jakarta
Tebal: iii + 162 halaman  (27 judul puisi)
ISBN: 979-8312-33-3
Foto sampul: Life Nature Library

Beberapa pilihan puisi F. Rahardi dalam Migrasi Para Kampret

Pemberitahuan

Menghadapi buku ini
Anda tidak usah kelewat serius
atau curiga
sebab saya hanya ingin bercerita
tentang kampret yang tergusur
dengan bahasa Indonesia
yang mudah dipahami
orang banyak
hanya itu.

Jakarta, awal 1993


Sandyakalaning Gua Kampret

Dulu
di atas bukit-bukit itu
ada pohon-pohon
ada rumpun palem
rotan
paku-pakuan
dan sinar matahari hanya temaram
karena dihadang daun-daunan
dan di atas pohon-pohon besar itu
melilit akar liana
dan nun di atas dahan-dahan itu
bertengger kadaka dan
anggrek bulan.

Serangga pun banyak
Serangga yang merupakan makanan kampret
Itu tersedia melimpah.

“Itu zaman normal cu.”
kata seorang kakek kampret pada cucunya
“Sekarang semua habis
pohon-pohon itu sudah lama digergaji
lalu pabrik-pabrik dibangun
lalu warga kita banyak yang mati
dulu di sini ada jutaan kampret
sekarang cuma ribuan.”


Ketika itu pagi
mungkin baru pukul sepuluh
matahari cerah
dan para kampret
bergelayutan di kapling masing-masing
dengan perut yang tak seberapa kenyang
lantaran serangga makin susah didapat
ketika itulah
batu demi batu dicongkel
digelindingkan
dicongkel lagi
didorong
dibuldoser
lalu bukit-bukit itu runtuh
lubang gua itu tersibak
dinding ozon di planet kecil
di Citeureup itu
seperti dibedah dengan sebuah gergaji mesin.

Gua itu sekarang telanjang
sinar matahari langsung
menghunjam ke planet para kampret itu.

“Ini artinya kiamat ya kek?”
“Ya ini akhir zaman itu mari kita pergi.”

Dan seekor kakek kampret segera
menyeret isterinya lalu menggendong
cucunya dan kabur.
Semua silau
semua gemuruh
debu di mana-mana
para kampret itu bubar.

“Siapa mau ikut aku
aku mau ke Amerika
di sana semua aman
di sana bebas
Presiden pun boleh untuk mainan
ayo kita ke sana!”

Kampret yang teler itu lalu kabur
entah ke mana diikuti rombongannya.

“Amerika mbahmu itu
ayo ikut saya saja ke Ciseeng
di sana belum ada pabrik semen
atau ke Leuwiliang juga boleh
pokoknya di sana lebih aman
nanti kalau digusur ya pergi lagi
di Jawa ini gua-gua masih banyak
tidak perlu takut
tidak usah sampai Amerika segala
ayo sebelum kita lumat.”

“Kampret itu lalu kabur diikuti
Anak, isteri dan beberapa keponakannya.

“Aku tidak mau ke mana-mana
aku tidak mau kalah
gua ini
bukit-bukit ini
adalah segala-galanya
di sini dulu saya lahir
nyaplok anak kecoak
lalu jadi besar dan kekar
batu-batu ini adalah rohku
gua ini adalah nyawaku
akan kupertahankan sampai
tetes darah yang terakhir.

Sana, semua pergi
kampret-kampret oportunis
kampret-kampret yang jiwa nasionalismenya
sudah luntur terkena deterjen
minggat semua sana
gua ini tetap akan saya pertahankan
walau hanya sendirian.”

Kampret itu lalu bermeditasi
mengatur napas
memusatkan pikiran
dan pasrah
diikuti oleh anggota paguyubannya.
  
“Kita harus eling ya Saudara-saudara.”
“Ya, eling.”
Dan buldoser menggasak batu

“Kita musti selalu inget sama yang
memberi hidup ya sobat-sobat.”
“Ya, hidup.”

Lalu batu-batu itu runtuh
kampret-kampret itu ikut jatuh
lalu digiling
sampai lumat
darah berceceran
bulu kampret berhamburan.

“Hidup ini harus praktis
tidak perlu tetes-tetesan darah
lalu mati.
Pahlawan memang mahal
tapi jangan jadi pahlawan kesiangan.
Gua ini memang milik kita satu-satunya.
tapi cukup dipertahankan sampai
tetes liur dan kencing dan tinja
yang terakhir.”
“Artinya Pakde?”
“Ya kalau buldoser itu sudah dekat
kita kabur
wong besi kok dilawan
besi itu keras
padahal kita-kita ini lembek
ayo ngabur ke Cibubur sana
di sana ada tempat berkemah
dan taman bunga
ayo teman-teman ayo.”

“Kampret itu lalu dengan santai
berangkat ke Cibubur
diikuti oleh pacar gelapnya
dan anak buahnya.

“Semua cuma titipan
gua ini juga titipan
tak ada yang abadi di dunia ini
jadi kalau ada yang minta
ya mesti dikasi
namanya juga titipan
harta
kedudukan
pangkat
anak
gua
semua kan cuma titipan
ayo teman-teman kita
ngungsi ke Binagraha
kayaknya betonnya bagus
dan di sana pasti aman.”

Mereka lalu terbang ke Binagraha
tapi Paswalpres buru-buru
menembak mereka
dan mereka pun kelepak-kelepak
lalu mati
dan dibuang ke tempat sampah
disantap semut.

Gundukan batu kapur
batu-batu
angin
debu pabrik semen
sepi
buldoser itu capek
lalu istirahat
bangkai kampret menggunung
dan Tuhan
nun di atas sana
tetap tenang-tenang saja.

***


Nasehat kakek kampret untuk cucunya

Nasihat I

Kau masih muda, sehat dan normal
Ini fakta yang tak mungkin kau bantah
Jangan kau sia-siakan kemudaanmu
kesehatanmu dan kenorma
lanmu.

Nasihat II

Warga kampret adalah penghuni
sah dari planet bumi ini
sah untuk mencari nafkah
sah untuk menghuni rumah
yang alamiah
berupa gua kapur
yang sejuk dan nyaman
kebenaran ini harus kita yakini
dan selalu dijunjung tinggi.

Nasihat III

Gua-gua yang sudah ribuan tahun
jadi rumah kita
telah digusur
nyamuk dan kutu loncat telah
dilumuri pestisida
pohon-pohon telah diganti
tiang beton
bunga-bunga dibuat dari plastik
dan udara telah dibalu
t debu
radioaktif
dibebat uap knalpot
dan lubang ozon makin
menganga di selatan sana
itu semua masa depanmu cu
masa depanmu!

Nasihat IV

Buka matamu lebar-lebar
pasang kupingmu baik-baik
lihat dan dengar
getaran ketidakberesan ini.

Nasihat V

Jangan hanya makan, tidur
beol
makan lagi tidur lagi
beol lagi
umur kampret tak seberapa panjang.

Nasihat VI

Jangan suka mengharapkan mukjizat
Tuhan sudah bosan mengirim keajaiban
seperti zaman Nabi-nabi
semua harus kita beli sendiri
dengan uang sendiri
semua sudah sangat konkrit
dan transparan
tak ada yang misterius
tak banyak lagi yang
gaib-gaib
semacam debus atau
David Coperfield.

Nasihat VII

Gradasi warna hanya membuat
mata kampret jadi buta
nuansa hanya menjadikan kita makin
tak berdaya
dan toleransi makin membuat
kita jadi seperti dikebiri
Jadikanlah dunia ini hitam putih
siang dan malam
tanpa pagi dan sore
agar kita tak ragu-ragu
bertindak
dengan semangat tinggi
tanpa basa-basi.

Nasihat VIII

Perangilah kemapanan
yang telah menciptakan
penindasan dan penggusuran
memberontaklah
selagi istilah itu belum dihapus
dari kamus.

Nasihat IX

Bermimpi itu boleh
tapi bermimpilah hanya pada
waktu tidur
pada saat kita terjaga
pada waktu mata melek
yang ada hanya kenyataan.
Kadang muncul keinginan-keinginan
tapi harus muncul pula upaya-upaya
tindakan-tindakan untuk meraihnya.

Nasihat X

Hidup ini harus menang
kehidupan ini demikian berharga
jadi jangan menciptakan pahlawan-pahlawan
untuk mensyukuri kematiannya.

***  


Seekor Kampret Bicara dengan Dirinya Sendiri

(Di Puncak Monumen Nasional Jakarta
seekor kampret bicar dengan dirinya sendiri.
Di bawah situ ada turis-turis
ada turis lokal
ada juga satu dua turis mancanegara

Suasana senyap
matahari yang menyengat
udara yang gerah
tak lagi terasa)

Aku tak peduli pada setan atau Tuhan
Tuhan baik, setan jahat
itu jelas
Tuhan Maha Kuasa, setan tidak
begitu berkuasa, itu juga
tak ada masalah.
Tapi alam raya ini punya kekuatan
dan aku harus menyerap serta
memanfaatkannya untuk bertahan hidup.

Tak ada kekuatan baik
tak ada kekuatan jahat
energi itu netral
semua tergantung yang memanfaatkannya
kalau kita manfaatkan untuk tujuan baik
kekuatan itu jadi baik
kalau untuk tujuan jahat
jadinya ya jahat
tapi masih adakah perbedaan
antara baik dan buruk
antara suci dan dosa
antara kuat dan lemah
semua relatif
dan dalam ke Maha Sempurnaan
tak ada lagi kebaikan atau keburukan
tak ada lagi dosa atau bukan
tak ada lagi yang kuat dan lemah
semua selesai dan berhenti
namun waktu meluncur terus
waktu itu belum pernah dapat
dihentikan atau diputar ulang
dan semua menyerah diseret waktu
dibanting-banting
dihentakkan
ditendang
dan kadang dilemparkan jauh sekali.
Dan umat kampret pun kebingungan
mereka mencari-cari panutan
harus ada sesuatu yang dapat
digunakan untuk pegangan
untuk meneropong langit
dan melihat bulan yang bopeng-bopeng
aku akan tampil
di depan khalayak kampret yang loyo
untuk menyalurkan nyali
agar mereka berani bergerak
menggoyangkan pantat
menghentakkan sayap
dan mengikuti getaran musik kosmos
mengikuti nyanyi matahari
dan irama galaksi-galaksi
kapan ya aku mesti mulai
misi ini?

(Kampret itu menyedot oksigen
ada aliran hangat yang menjalar
ke sayap-sayapnya)

Kekuatan itu ternyata selalu
Ready Stock di alam
ada air, ada oksigen
protein dari nyamuk dan belalang
cuma kita-kita saja yang sering bodo
malas untuk menyedot oksigen
banyak-banyak

aku harus segera mengumpulkan
warga kampret
tak ada alasan untuk
menunda-nunda pekerjaan
yang sudah siap untuk dikerjakan
“Warga kampret
ayo kita kumpul
aku mau bicara.”

(Suara kampret itu menggelora
ke seantero Jabotabek’
tidak keras tapi terdengar jelas
dan warga kampret yang sedang gundah
yang sedang oleng
dan tak punya pegangan
lalu berbondong-bondong menuju
ke arah tugu Monas.

Hari berangsur sore
jumlah kampret yang datang makin banyak
ada yang bergelantung di pohon asoka
ada yang nangkring di patung Diponegoro
ada yang mengencingi kepala Chairil Anwar
dan banyak juga yang ngetem
di stasiun keretaapi Gambir

Beberapa ekor ada yang mencoba
masuk ke kantor Departemen Pertahanan
dan Keamanan
tapi buru-buru diusir penjaga
suara para kampret itu berisik
namun sura pimpinan kampret
tetap terdengar jelas)

Saudara-saudaraku
para warga kampret
aku tahu saudara-saudara
selama ini menderita
manusia, makhluk kesayangan Tuhan
itu telah merampas milik kita
kita digusur
makanan kita diracuni
kita dibiarkan mati pelan-pelan
kita semua punah
Anda semua mau punah?

Tidak!

Aku juga tidak mau punah
kita semua tidak mau punah
untuk itu kita semua mesti bermigrasi
kita tinggalkan pulau terpadat
dan terbrengsek di planet bumi
ini dan kita cari gua kapur
yang bagus di Sumatera sana
di sana hutan-hutannya
pasti masih perawan
tidak seperti hutan di pulau Jawa
yang sudah jadi Mak Lampir
sudah jadi nenek-nenek sihir
yang jahat
Anda semua mau ikut bermigrasi?

Mau!

Aku juga mau bermigrasi
mendampingi Anda semua
kita akan sama-sama bermigrasi.
Namun sebelumnya,
mari kita bikin repot
para manusia di ibu kota Republik ini.
Kumpulkan seluruh warga kampret
Dan kita beraki kota Jakarta dari langit
Setuju?

Setuju!

Kalau begitu, pidato saya selesai
besuk kita acak-acak
kota Jakarta
Hidup kampret!
Hidup kampret!
Kita pasti menang!

(Hari itu Jum’at kliwon
seusai hujan yang turun
selama empat jam.
Jutaan kampret berdatangan
ke kota Jakartra
lalulintas lumpuh
banyak anak-anak yang
mendadak kena rabies
ibu-ibu terjangkit disentri
bapak-bapak terkena kolera
dan banyak gadis-gadis yang
digigit kampret lalu terluka
AIDS.
Vampir!
Ada vampir!
Ada jutaan Drakula

Panglima Angkatan Bersenjata
lalu mengerahkan pesawat tempur
dan helikopter
Rudal dipasang
Bom diledakkan
Racun khusus kampret disebar
Sidang kabinet paripurna ditunda
Para menteri cukup berkomunikasi
via telepon genggam
Rumah sakit umum pusat Ciptomangunkusumo
penuh dengan korban kampret
ada yang mati
ada yang luka parah
ada yang tidak lupa apa-apa
tapi jadi gila
stress.
Langit gelap
ditutup kawanan kampret yang
memenuhi langit seperti gayutan mendung)

“Apalagi?”
“Sudahlah, cukup.”
(Karena dianggap sudah cukup
pimpinan kampret lalu minta
warga kampret itu untuk
berhenti menyebar teror)

Sudahlah, sudah.
Sekarang kita siap-siap untuk
mulai bermigrasi
semua sudah siap sekarang.

***   


Melintasi Selat Sunda

Awan comulus hitam
gugusan para kampret
bergerak dalam derap
lagu-lagu mars
Semangat
nyali
harapan-harapan
bahkan impian
semua menggumpal dalam suasana
tegangan tinggi
jutaan volt.

Menurut mimpi para kampret itu
pulau Sumatera adalah kampung-kampung kecil
seperti suasana desa Citeureup
pada zaman Hindia Belanda
hutan-hutan masih perawan kencur
dengan burung enggang
macan
ular
dan lapisan serangga
yang tebal di udara
dengan arus yang deras
para kampret tinggal santai
mengangakan mulut
lalu macam-macam serangga gurih
dan empuk itu
mengalir lancar masuk mulut
lalu tinggal menelan begitu saja
tak perlu ada usaha
tak perlu ada kerja
semua sudah tersedia
lengkap dan alami.
Sumatera adalah Eden
yang nyaman dan abadi
dan pernah ditinggali
nenek moyang manusia
Adam dan Hawa

Gugusan comulus kampret itu
melintas di atas Cilegon
di Barat sana tampak comulus beneran.

“Itu Selat Sunda
kalau selat itu kita seberangi
sampailah sudah kita di Sumatera
mari kita nyanyi teman-teman.”
“Hidup Sumatera, hidup Sumatera.”
“Gua yang besar dan adem
di atas bukit-bukit kapur
dengan Tobing-Tobing
yang Manurung
penuh Pohan-Pohan
yang Singarimbun
Parangin-angin bertiup Sitorus
ke arah Hutabarat
ada Rajagugguk
ada Sinaga
Itulah Sumatera
Hidup Sumatera.”

Syahdan
gunung Anak Krakatau
yang mungil dan nongol
di selat Sunda itu
tampak lagi rewel
dia batuk-batuk
menyemburkan pasir-pasir pijar
pemandangan bagus sekali
dari kejauhan para kampret
terkagum-kagum

“Apa itu kawan?
Kok seperti kembang api di saat lebaran
Apa itu tungku pandai besi tukang bikin golok?”
“Bukan kawan
itu gunung api lagi meletus
itu berbahaya
kita mesti menjauhinya.”
“Ya kita agak ke arah utara saja.”
Gugusan kampret itu pun memutar haluan
agak ke arah utara
di atas pelabuhan Merak
awan Comulus beneran makin tebal
kapal-kapal merapat di dermaga
perahu-perahu nelayan ngumpet
di balik teluk.

“Kok cuaca begini jelek
Teman-teman?”
“Ya kita agak turun saja
sekalian sarapan serangga laut.”
“Mana ada serangga laut?”
“Tapi ini memang musim barat.”
“Ya, tapi kita harus terus.”
Gugusan kampret itu pun
nekad nyemplung menyeberangi
selat Sunda
yang sedang kumat sangarnya.
Pada saat itu
kebetulan Nyai Roro Kidul
yang menguasai Laut Selatan
sedang mengirim anak cucunya
para jin dan peri parahyangan
untuk mengaduk-aduk Selat Sunda
anak Krakatau juga makin ngambek
berton-ton pasir dan kerikil
dan uap panas disemprotkannya ke langit
para kampret oleng
angin
petir
badai
ledakan Krakatau
menghajar gugusan kampret itu
jadi cerai berai
ada yang langsung nyungsep lalu
dicaplok hiu
ada yang diangkat sampai
ketinggian 10 ribu meter
lalu dijatuhkan di Lebak
banyak juga yang dibanting-banting
sampai remuk
lalu sekalian digiling dan
ditaburkan di ladang-ladang singkong
di Lampung sebagai pupuk organik
hanya sebagian kecil saja dari rombongan itu
yang dapat selamat
dan berhasil menepi di daratan Sumatera.

****  


Percakapan di Gunung Rajabasa I

Gunung Rajabasa
Anggun tapi angker
para kampret itu loyo
capek
gemetaran
dengan perut yang sangat lapar
tubuh yang kedinginan
dan semangat yang hancur
kepak sayap mereka berat
lantaran bulu-bulu mereka basah

kecepatan terbang mereka
paling banter cuma 40 km per jam
kadang-kadang mereka oleng
ingin sekali makan
ingin sekali mencaplok apa saja
tapi kerena hari sudah keburu siang
mereka pun bergelayutan di gerumbulan
semak-semak
di dahan-dahan kopi
di ranting-ranting cengkeh
banyak pula yang terpaksa
bergeletakan di tanah
seharian mereka keleleran dipanggang matahari
banyak yang tidak tahan
lalu langsung megap-megap dan mati

Menghadapi kenyataan yang
mengenaskan ini beberapa kampret
yang IQ nya di atas 100 langsung protes

“Bagaimana ini nasib kami
Kok sembarangan saja sih yang
ngarang buku ini.”
“Enak saja kami dibikin susah terus.”
“Mestinya kan sewaktu kami nyebrang
selat Sunda dibikin bagus
Tenang, langit cerah, ada bulan.”
“E, badai disuruh datang
pakai ngasih tahu Nyai Roro Kidul segala.”
“Bagaimana ini Oom?”
“Apa?
Ada masalah apa?”
Kan Oom yang ngarang buku ini kan?”
“Ya, betul.”
“Kami para kampret jadi tokoh utamanya kan?”
“Iya.”
“Kok kami dibikin susah terus,
sengsara terus.”
“Itu namanya tidak bertanggungjawab dong.”
“Masa kami dibiarkan keleleran di Gunung
Rajabasa begini.”
“Kami protes keras.”
“Kami mau batalkan kontrak.”
“Sudahlah cari tokoh lain saja sana.”
“Iya, kambing kek atau tokek
atau macan
kan masih banyak bintang lain
manusia juga banyak yang mau jadi tokoh.”
“Ayo teman-teman kita pulang saja.”
“Kita berhenti jadi tokoh.”
“Hore!”
“Kita bebas!”
“Merdeka.”
“Kita kembali merdeka.”
“Penyair brengsek.”
“Otoriter.”
“Sok mengatur.”
“Penyair memang manusia yang paling gombal
di Republik Indonesia
Lain lo dengan Menteri Lingkungan.”
“Ya, beda sekali dengan bintang film.”
“Sudah situ Oom tinggal saja sendirian
di Gunung Rajabasa.”
“Rasain lu,
kelaparan, haus
capek
mamphus.”
“Ayo semua pergi
biar si Oom itu ngarang tentang
Gunung Rajabasa atau batu.”

Gunung Rajabasa siang itu sepi
sebagai penyair aku sangat masygul
para kampret itu menghilang
meninggalkan diriku sendirian
memang ada pohon cengkeh
ada pohon kopi
ada belalang dan batu-batu
ada angin
langit dan matahari juga tampak bagus
tapi apa mereka bisa begitu saja
mengambil oper peran para kampret
tidak mungkin

aku lalu kencing dan berjalan mendaki
menyusuri jalan setapak
napas saya tersengal-sengal
Inilah kalau orang kota
yang umurnya sudah 43
naik Gunung Rajabasa
Ya repot
tanpa bekal apa-apa lagi
sudah lapar, capek
juga ngantuk

di sebuah tempat yang agak datar
aku lalu beristirahat dan ambil napas
namun baru saja aku santai sejenak
ada dua orang petani suami istri
yang berlarian dari atas sambil
menenteng golok
aku kaget
“Awas lo Oom
Jangan naik
Di atas sana banyak sekali kelelawar.”
“Iya oom ayo turun saja
Sepertinya itu tadi hantu kelelawar tampaknya.”

Belum sempat aku bertanya lebih lanjut
dua petani tadi sudah keburu ngabur ke bawah
dan tiba-tiba semangatku kembali pulih
kekuatanku datang lagi
tak ada lagi lapar
capek, ngantuk
dengan semangat tinggi aku melompat
lalu berlarian mendaki
kadang-kadang harus berpegangan
pokok-pokok kopi
aku terus berlari
dan di sebuah dataran yang agak rata
tampak banyak sekali kampret
yang bergelayutan di gerumbulan
dan dahan-dahan kopi
napasku tersengal
seperti mau putus

“Ngapain Oom lari-lari begitu?
Olahraga ni ye?”

Setelah ambil napas dan berpegangan
rumput-rumput
baru aku bisa ngomong

“Lo kalian masih di sini?
Tidak ikut yang lain-lain itu?”
“Tidak Oom
Kan kami tokoh buku ini
Apapun yang terjadi
Kami harus tetap di buku ini.”

Aku terharu
para kampret itu kusalami satu-satu
sampai aku benar-benar loyo
ternyata masih ada kampret yang
mau jadi tokohku
meskipun jumlahnya tidak banyak
paling tinggal ratusan.

“Ada berapa banyak sih pret?”
“Dua ratus Oom.”
“Yah, lumayan
lebih baik sedikit tapi bermutu
daripada banyak tapi gombal
masak pengarangnya dimaki-maki.
Sudahlah prêt.
Hari ini kita istirahat total
nanti malam kita jalan lagi
Okey?”
“Okey Oom!”

**** 


Laporan Perjalanan Kampret dari Propinsi Lampung

Setelah dipaksa
Oleh si oom yang ngarang buku ini
kami para kampret ini
segera terbang meninggalkan
Gunung Rajabasa
jumlah kami kira-kira tinggal 200 an ekor
padahal waktu start
dari Jakarta
jumlah kami sampai jutaan
Sebagian besar mati dan hilang
waktu kami menyeberangi selat Sunda
Lalu ada ribuan lagi yang ngabur
dari Gunung Rajabasa
lantaran pada protes tidak lagi
mau jadi tokoh buku ini

Hari memang belum terlalu gelap
tapi justru saat-saat seperti inilah
serangga makanan kami sangat banyak
karena perut kami sangat lapar
kami pun segera mencaplok
serangga-serangga itu
dengan sangat lahap
sambil terus menyusuri
kaki Gunung Rajabasa

Kami sengaja tidak melewati
kota Bandarlampung
Jadi dari gunung rajabasa
kami terus ke arah utara
menuju kota Palembang
meskipun kami baru pertama kali ini
menerbangi angkasa pulau Sumatera
namun berkat adanya indera ke VI
kami para kampret dengan sangat mudah
menentukan arah
tidak perlu kompas
tidak perlu altimeter
kami semua sudah bisa segera
menguasai medan

Ternyata bumi Sumatera
khususnya Lampung
tidak seperti yang semula
kami bayangkan
Vegetasi alam yang asli
sudah banyak yang rusak
beberapa malahan jauh lebih rusak
dari hutan-hutan lindung
di pulau Jawa

Kira-kira pukul sepuluh malam
(22.00 WIB)
kami para kampret mencium bau aneh
busuk luar biasa
Segera kami memperendah terbang kami
kami sengaja agak mengumpul
agar lebih mudah berkomunikasi satu sama lain
Nun di bawah sana tampak sebuah sungai
dari indera ke enam kami
ketahuanlah bahwa banyak ikan yang mati
beberapa rekan yang segera menjelajah
kawasan ini
segera melaporkan bahwa sungai itu
sudah tercemar oleh ampas singkong
ternyata di kawasan ini banyak sekali
pabrik tepung tapioka
dan ampasnya begitu saja dibuang ke sungai
kami tidak sempat menghitung
jumlah pabrik tapioka yang ada
tapi sepanjang perjalanan tercatat
sampai puluhan pabrik
kami terus terbang kea rah barat laut
bau busuk itu sdah jauh tertinggal
di belakang sana

Beberapa kampung dan kota kecamatan
kami lewati
kami banyak melihat surau
mesjid
pura
gereja
ada rumah-rumah model Jawa
ada yang model Sunda
model Bali
dan banyak juga rumah penduduk asli
meskipun penduduk-penduduk pendatang itu
dulunya transmigran
namun kesan dari indera ke enam kami
bau transmigran itu sudah tak ada lagi
tampaknya mereka sudah sangat kerasan

Menjelang tengah malam
ada beberapa rekan yang mengeluh
bahwa perut mereka mual-mual
semua kami mengira mereka ngidam
tapi ternyata cowok-cowoknya
juga mengeluh pusing dan muntah-muntah
dugaan kami kemudian
rekan-rekan itu
mabuk perjalanan
Untung di antara rombongan ini
ada beberapa rekan yang tahu ilmu medis
rekan-rekan yang sakit itu segera diperiksa
Terpaksalah rombongan berhenti
di areal kebun kelapa sawit
suasananya tampak gelap dan nyaman
ternyata rekan-rekan yang sakit itu
pada keracunan pestisida
tampaknya serangga-serangga
yang kami caplok sore tadi
banyak yang sudah mengisap cairan tanaman
yang barusan disemprot pestisida

Menurut rekan yang ahli medis tadi
teman-teman yang keracunan itu
pasti tidak akan tertolong lagi
memang kami tahu beberapa jenis daun
yang dapat kami makan
agar pengaruh jahat pestisida itu
bisa hilang
namun mereka yang kadar racunnya tinggi
pasti akan mati

Kami sedih
beberapa saat kemudian
rekan-rekan yang keracunan itu
memang segera mati
menurut perhitungan kami ada
43 ekor yang mati
terdiri dari 20 ekor jantan dewasa
16 betina dewasa
5 remaja dan 2 bayi kampret
mereka kami tinggal begitu saja
di kebun kelapa sawit

Untuk mengejar waktu
kami pun segera terbang lagi
ternyata sepanjang perjalanan ini
masih juga ada rekan-rekan yang mati
dan berjatuhan
kami putuskan untuk memperlambat
terbang
dan kami pun sepakat untuk
lebih berhati-hati lagi dalam
menyantap serangga
kami tidak berani lagi makan serangga
di sawah-sawah
di kebun karet
di areal kelapa sawit
dan di kebun-kebun cokelat
kami baru berani makan serangga
di hutan-hutan yang sudah rusak
di padang alang-alang
atau malahan di ladang singkong
menurut informasi dari indera ke VI kami
di kawasan-kawasan tadi
serangganya belum banyak tercemar pestisida

Kira-kira lewat tengah malam
kami beristirahat di sebuah hutan
yang sudah tidak perawan lagi
di situ memang masih ada gajah
tapi jumlahnya kami kira tidak begitu banyak
kami bergelayutan di dahan
dan ranting-ranting pohon
agar kami mengetahui jumlah rombongan ini
kami pun melakukan penghitungan
ternyata rombongan ini tinggal 110 ekor
tapi di luar dugaan kami
dari jumlah itu ada sekitar 20 an ekor
kampret setempat
para kampret Lampung ini tertarik
dengan iring-iringan kami lalu mengikuti
kami sudah menyarankan agar mereka
tidak usah ikut
tapi mereka ngotot
hingga kamipun membiarkannya
toh mereka tidak mengganggu

Setelah beristirahat sejenak
kamipun melanjutkan perjalanan
tampaknya kami sudah melewati
perbatasan propinsi Lampung
Agar kami dapat mencapai kota Palembang
sebelum fajar
kecepatan terbang kami pun kami tambah
namun akibatnya beberapa ekor kampret tua
banyak yang tidak kuat lalu jatuh
perjalan ini memang berat
tapi inilah risikonya jadi tokoh cerita
kami terpaksa harus tabah
harus tetap optimis
para kampret yang loyo
yang mudah putus asa
yang pesimis
memang tidak ikut bermigrasi
meraka ada yang tetap di kolong
jalan layang tol
ada yang tetap di Bumi Perkemahan Cibubur
ada yang menghuni Depo Lokomotif
ada yang di menara geraja
dan lain-lain
mudah-mudahan laporan perjalanan ini
tidak mengecewakan para pembaca semua
Soalnya kami-kami ini
memang bukan wartawan
bukan pengarang
jadi laporannya ya cuma begini ini
terima kasih
dan maaf kalau tidak bagus

****


Migrasi tanpa Akhir

Serangga makin tipis
Tampaknya tak ada lagi pohon-pohon
Tinggal jejak buldoser
Ribuan kilometer
semua capek
mata berkunang-kunang
kepala pening
otak mampet
tulang linu-linu

Semua tampak berwarna merah
langit merah darah
cakrawala merah darah
di bawah yang tampak hanya
canggal-canggal kering
yang mencuat, berwarna merah
di sela-sela jejak buldoser

Meskipun capek, ngantuk, dan loyo,
para kampret itu terus mengepakkan sayapnya
ke arah utara
kepakan sayap itu makin lemah
tiba-tiba seekor kampret
tak lagi mampu mengepakkan
sayapnya lalu meluncur jatuh.

“Ada teman kita yang jatuh.”
“Ya, dia pasti mati.”
“Kita istirahat dulu.”
“Ya Oom, aku capek sekali lo.”
“Kenapa semua jadi tampak merah.”
“Itu kok ada pohon-pohon natal,
tapi warnanya kok merah begitu?”
“Iya, ya, semua kok tampak merah begini sih?”
“Lo, bukan hanya langit dan tanah
dan pohon yang merah.
kamu juga merah kok!”
“Kita semua merah.”
“Ya, kita jadi merah!”
“Tidak, kita tetap hitam.”
“Ya, langit ya tetap biru.”
“Tanah ya cokelat, pohon-pohon hijau.”

“Kita sebaiknya tidak terbang
pada siang hari.
Terlalu riskan.
Lebih baik istirahat di bawah sana
sebentar lagi hari akan siang.”

Kampret-kampret itu lalu menukik turun.
Hari berangsur pagi.
Suhu udara dingin,
sangat dingin.
Tapi sinar matahari
dari celah tajuk pinus itu hangat.
Belantara hutan-hutan tropis
di daratan Sumatera itu
sudah selesai dibabat habis,
diratakan.
Dibajak.
Dan kemudian tumbuh Eukaliptus,
pinus merkusi dan akasia.
Ini hutan tanaman industri Bung!
Manusia makin perlu kertas.
Untuk menulis.
Untuk bungkus kado.
Untuk dibuat majalah dan buku.
Untuk lap keringat.
Untuk cebok.
Kertas itu penting untuk manusia.
Juga tusuk gigi.
Sumpit untuk makan mi.
Peti-peti sabun.
Juga peti mati.
Semua itu penting.
Sangat penting.

Untuk keperluan sumpit,
peti mati, kertas,
tusuk gigi dan lain-lain itu,
hutan tropis ditebas habis
lalu diganti akasia,
Eukaliptus dan pinus.
Gajah tergusur.
Tupai tersingkir.
Trenggiling mati.
Kodok terpojok
dan semut-semut bangkrut.

Di tengah hutan Eukaliptus itu
ada sebuah base camp kokoh,
karena terbuat dari kayu-kayu yang bagus.
Para kampret itu masuk lalu
bergelantungan dan tidur.

“Kita capek sekali ya Oom?”
“Ya, rombongan ini tingggal berapa ekor sih?”
“Enam puluh pak.

Kemarin masih enam puluh satu.
Tapi tadi pagi kembali ada yang
nyungsep lalu matek
di tanah yang dibuldoser tadi.”

“Lama-lama habis ya kita ini.”
“Oom, kenapa kita nggak sampai-sampai
sih? Aku bosan lo?”
“Sampai ke mana?”
“Ya, kita ini mau pergi ke mane?”
“Kita tidak pergi ke mane-mane!”

“Aku bosen.
Aku bosen dengan
perjalanan panjang,
yang brengsek ini.
Aku mau berhenti di sini.
Aku capek.”
“You akan mati di sini.
Akan mati kelaparan.
Di sini tak ada belalang.
Tak ada nyamuk.
Tak ada kepik.
Tak ada kutu loncat.
You pasti mati.”
“Biarain
Semua nantinya kan pasti
mati.
Ngapain jauh-jauh amat
sampai Sumatera begini?
Enakan di Jawa sana,
Kita dapat mati
dengan sangat tenang.”
“Ya, aku mau berhenti juga.
Capek!”
“Aku juga.”
“Aku juga ogah ah kalau
terus-terusan jalan tanpa tujuan!”
“Siapa bilang kita jalan tanpa tujuan!
Jangan ngaco ngomongnya!”
“Betul Boss!
Tujuan kita sangat jelas.
Kongkrit!”
“Kedamaian abadi.
Kita menuju ke kedamaian abadi!”
“Kedamaian abadi itu kentut.
Aku jadi muak dengan slogan
gombal begitu!’
“Diam semua!
Dengarkan!
Yang masih mau jalan
ayo ikut di belakangku.
Yang ingin pulang ke Jawa
ya sana pulang.
Yang ingin tetap di sini
ya silakan.
Dari dulu kita merdeka.
Tak ada tuntutan.
Tak ada paksaan.
Jadi jangan ribut.”

Kampret-kampret itu lalu diam.
Sepi.
Hanya ada bunyi daun Eukaliptus kena angin.

“Setelah menempuh jarak
demikian jauh
kita lalu jadi dapat menikmati
perjalanan ini
tujuan lalu menjadi tidak begitu penting.”
“Jadi Gua kapur yang sepi dan nyaman tidak lagi penting Oom?”
“Tidak.”
“Hutan yang perawan juga tidak perlu lagi Oom?”
“Tidak.”
“Mau perawan kek, ibu-ibu kek,
janda, nenek-nenek,
semua tidak lagi problem.
No problem!”
“Ya, no problem.”
“Pokoknya cuek.”
“Kita jalan terus.”
“Anjing menggonggong kafilah berlalu.”
“Rawe-rawe rantas malang-malang putung.”
“Jalan adalah jalan.”
“Sumatera kita jelajahi
Acah kita tonton dari udara.”
“Ke Malaysia mau nggak?”
“Ke mana sajalah, singapur,
Vietnam, Jepang, Kalimantan juga boleh.”
“Bagaimana kalau ke Eskimo?”
“Kutub Utara saja sekalian
kita lihat Aurora.”
“Sekalian saja ke Mars.
Planet biru ini lama-lama juga membosankan.”
“tidak.
Kita harus kembali ke Eden
Firdaus
Itu lo yang dulu pernah dihuni manusia
Adam dan Hawa lalu ditutup Tuhan.”
“Ya kita harus bermigrasi ke sana
mari teman-teman

Sumatera, gua kapur
hutan perawan
kutu loncat
semua jadi tidak penting
kita sudah menemukan kembali tujuan kita.”
“Kompas kita ketemu.
Arah itu tampak jelas sekarang.”
“Firdaus.”
“Keabadian.”
“Ya kita akan ke sana
apa pun yang kita lakukan.”
“Sekarang tidur.”
“Nanti malam kita nyaplok nyamuk
lalu terbang menjelajahi planet ini.”
“Sip.”
“Pacaran, kawin, beranak
masih boleh ya Oom?”
Tentu,
semua harus tetap normal.”
“Oom sendiri?”
“Ya, nanti juga harus kawin
sama siapa kek,
pokoknya betina
kita harus jadi banyak
dan bertahan hidup.”

Sore itu matahari
dengan anggun
dan pelan sekali
angslup di antara pohon-pohon akasia
udara jadi makin dingin
para kampret menggeliat-geliat
mencicit-cicit
menggerak-gerakkan sayap
lalu terbang meninggalkan base camp itu
dengan gembira mereka mencaplok nyamuk,
belalang, kepik dan kutu loncat
mereka terus bertambah banyak
dan terus bermigrasi
entah sampai kapan
entah sampai ke mana
menghindari keserakahan
manusia

*** 

Tentang F. Rahardi
F. Rahardi lahir di Ambarawa, Jawa Tengah pada 10 Juni 1950. Sempat menjadi guru sekolah dasar sebelum kemudian bergelut di Majalah Pertanian TRUBUS. Kumpulan puisinya al. Soempah WTS (1983), Catatan Harian Sang Koruptor (1985), Silsilah Garong (1990), Tuyul (1990). Kumpulan cerpennya Kentrung Itelile (1993).

Catatan Lain
Di bagian ini, saya malah ingin menghadirkan 2 bagian, yang dimasukkan begitu saja sebagai bagian dari puisi. Yaitu Penjelasan Umum Tentang Kampret (diletakkan nomor 2, setelah puisi Pemberitahuan) dan Penutup. Ssttt… sebenarnya buku ini paling melelahkan yang pernah saya tulis untuk blog kepadapuisi. Hehehe. Bayangkan, 3 (tiga) bulan menggarapnya baru dapat selesai. Saya bilang ke Hajri, kok panjang-panjang puisinya Jri? Keriting jari saya mengetiknya. Hajri bilang, itulah risikonya. Ya harus diambil. Buku ini seharusnya tampil bersamaan rumah panggung, linus suryadi dan aku hadir di hari ini, hr. bandaharo, beberapa bulan yang lewat.

Penjelasan Umum tentang Kampret

Nama kampung                       : Kampret
Nama Babtis                           : Microchiroptera
Suku Bangsa                           : Kelelawar (Chiroptera)
Kelas Binatang                        : Mamalia (binatang
                                                  menyusui)
                                                  Jadi kampret itu
                                                  melahirkan anak
Keistimewaan Kampret          : Bisa terbang. Alat
                                                  terbangnya adalah kulit
                                                  tipis yang membentang
                                                 menghubungkan jari-jari
                                                  tangannya (kecuali ibu
                                                  jari) lalu terus
                                                  menyambung ke kaki dan
                                                  ekornya
Makanan Kampret                  : Serangga kecil yang
                                                  langsung dicaplok
                                                  sambil terbang.
Ukuran Kampret                    : Tubuh kampret hanya
                                                  sebesar ibu jari kaki
                                                  orang dewasa normal.
                                                  Rentang sayapnya
                                                  sekitar 20 cm.
Tempat Tinggal                      : Gua-gua kapur yang gelap.
                                                  Bangunan-bangunan kosong.
                                                  Menara gereja dan lain-lain.
Waktu Beroperasi (aktif)        : Malam hari.
                                                  Siang hari mereka tidur
                                                  dengan cara
                                                  menggantungkan diri
                                                  (kepala di bawah)
                                                  dengan cakar kakinya
                                                  pada tonjolan karang
                                                  di gua-gua atau
                                                  bangunan lainnya.

Seluruh tubuh kampret ditutupi bulu halus.
Warnanya coklat kehitaman.
Kampret masih sesuku dengan Codot
(Hipposiderus diadema) dan Kalong (Pteropus
vampyrus) yang berukurang lebih besar dan
makan buah.
Di dunia ini total ada 875 jenis kelelawar
yang dikelompokkan dalam 19 keluarga.
Di pulau Jawa, yang merupakan pulau dengan
penduduk terpadat di dunia,
diperkirakan ada 60 jenis kelelawar,
termasuk salah satunya adalah kampret.
Jenis-jenis kelelawar ini
terancam kelangsungan hidupnya
karena habitatnya dirusak manusia.
Terutama
yang paling terancam punah
adalah jenis kalong.
Kotoran kampret
yang menumpuk di gua-gua
dan bangunan lainnya sering dimanfaatkan
sebagai pupuk
yang banyak kandungan P (Fosfor) nya.
Dikenal dengan nama pupuk guano.
Daging kampret tidak lazim dimakan manusia.
berbeda dengan kalong dan codot
yang dikonsumsi
terutama oleh masyarakat
keturunan Cina.

***

Penutup

“Kampret
saya sebagai penyair
ingin menyampaikan terima kasih
pada kalian
tanpa kalian
buku ini tidak bakalan ada
selain ingin berterima kasih
sebenarnya saya juga sedih prêt
tahu kalian kenapa saya sedih?”

“Tidak Oom.”

“Begini
kalian ini digusur terus
hidupnya makin susah
dilupakan
tapi begitu saya tulis
e, yang jadi beken kok malah saya
kalian para kampret tetap saja susah
dulu juga ada pelukis
yang sukanya menggambar kere
kerenya tetap saja kere
tapi pelukisnya dapat jadi jutawan
dan top
apa itu adil prêt?”

“Ya adil saja to Oom
kan memang sudah begitu itu
aturan main dari sononya
sebenarnya Oom
yang mesti berterima kasih
justru kami-kami ini para kampret
kan mending masih ada yang
mau nulis tentang kami Oom!
Ya kan Oom?”

“Ya, tapi apa itu adil prêt?
Itu namanya kan yang kuat
mengeksploitir yang lemah
Mestinya kere-kere yang dilukis
oleh pelukis beken itu harus dapat bagian
berapa persen dari harga lukisannya
begitu kek pokoknya dia tidak kere lagi
Sekarang orang-orang di Wamena
sana
kalau dipotret pakai koteka
pada minta bayaran lo prêt
itu kemajuan
Juga pemetik teh di Gunung Mas sana
kalau disorot kamera juga minta uang
tapi mereka minta-mintanya tetap seperti kere.
Mestinya pakai tarif lalu ada manajernya
Jadi mestinya kalian juga dapat bagian
kalau buku ini laku nantinya.
Mau nggak prêt?”

“Itu komersialisasi diri namanya Oom
Mata duitan gitu.”

“Lo ya tidak
Itu justru yang wajar
Semua harus menerima haknya.”

“Tapi Oom,
Anda ini mau bikin
penutup sebuah buku
atau mau ngapain?”

“O, ya
Lupa aku prêt
Pokoknya terima kasih
dan maaf ya kalau ada yang nggak enak
di benak kalian.”

“Sip deh Oom!”

********

2 komentar:

  1. Saya ingin tanya, apakah Pemberitahuan, Penjelasan umum tentang kampret, dan Penutup itu tergolong puisi di dalam buku ini? Kalau tergolong puisi kok rasanya lucu ya? Saya pernah baca puisi beliau yg judulnya Definisi Tuyul, tapi rasanya kayak baca kamus. Ditunggu jawabannya terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya, oleh penyair, dimasukkan sebagai puisi juga, insting saya sepertinya cenderung untuk mengatakan demikian: puisi juga. :)

      Hapus