Laman

Tonggak

Senin, 08 September 2014

TERJEMAHAN BEBAS SERAT JOKO LODANG



 


Data buku kumpulan puisi

Judul : Serat Joko Lodang
Penulis : Ronggowarsito
Cetakan : -
Penerbit : -
Tebal : -
ISBN : -
Sumber Foto Ronggowarsito : http://seratsuluk.wordpress.com/
Sumber referensi penerjemahan :

Terjemahan bebas Serat Joko Lodang oleh Ronggowarsito


GAMBUH



Joko lodang datang dengan berayun di antara dedahan pohon

Duduk tanpa sopan santun dan bicara dengan lantang

Ingat-ingatlah, sudah menjadi Kehendak Tuhan

Bahwa setinggi-tinggi gunung akan merendah

Sedalam-dalam jurang bakal timbul ke permukaan

Zaman serba terbalik

Terusir kita dari bumi kecintaan bagai si kalah perang



Tapi jangan keliru

Mengurai kabaran yang telah digariskan

Walau serendah apapun gunung

Masih akan tetap terlihat

Berbeda dengan jurang yang curam



Walaupun ia melembung

Tanpa penahan yang kuat, longsorlah ia.

Ini sudah menjadi kehendak-Nya,

Bilamana telah menginjak masa:

Sirna tata estining wong

(Tahun Jawa 1850. Sirna = 0, Tata = 5, Esthi = 8, Wong = 1. Kisaran tahun 1919-1920 masehi)






SINOM



Seluruh kehendak tak ada yang terwujud,
apa yang dicita-cita buyar,
yang dirancang berantakan,
yang ingin menang malah kalah,
karena datangnya hukuman yang berat dari Tuhan.
Yang tampak hanya perbuatan nista,
orang besar akan kehilangan kebesarannya,
bangga dengan nama tercemar tinimbang bersikap ksatria,
sedangkan yang kecil juga tidak sadar akan dirinya.



Banyak orang terlihat alim, tetapi hanya semu belaka,
di luar tampak baik tapi di dalam busuk,
banyak ulama gemar bermaksiat,
mabuk, main perempuan, dan berjudi.
Banyak haji melemparkan,
dan melepas ikat kepala hajinya,
para wanita kehilangan kewanitaannya,
karena pengaruh harta benda,
semata-mata karena kebendaan-lah yang menjadi tujuannya.



Segala hal diperjualbelikan

Harta benda dipertuhankan

Seluruh dunia isinya penderitaan

Kesengsaraan makin menjadi-jadi

Nir sad estining urip (tahun Jawa 1860: Nir = 0, Sad = 6, Esthi = 8, Urip = 1)

Itu telah menjadi masanya

Dan semua akan berakhir

Saat orang-orang kembali bertobat dan menyerahkan diri

kepada kekuasaan Tuhan dengan sepenuh hati





MEGATRUH




Mendengar segalanya itu Mbok Perawan merasa sedih.
Kemudian Joko Lodang berkata lagi:
“Tetapi ketahuilah bahwa ada hukum sebab akibat,
Sekalipun di dalam ramalan yang sudah ditentukan

tetaplah harus diupayakan.”



Zamannya masih di zaman ini

Dalam ujung pertengahan abad ini

Wiku Sapta Ngesthi Ratu

(Tahun Jawa 1877: Wiku = 7, Sapta = 7, Ngesthi = 8, Ratu = 1/ tahun masehi 1945).

Datanglah keadilan bagi manusia

Itu sudah menjadi kehendakNya



Di saat itu, segala sesuatunya menjadi mudah

Ibarat orang mengantuk mendapat kethuk (gong kecil)

yang banyak bertebaran di jalan

Gembiralah bagi yang menemukan

karena di dalamnya kencana-mutu manikam





Tentang Ronggowarsito

Raden Ngabehi Ronggowarsito, atau nama kecil Bagus Burhan lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Maret 1802 – meninggal di kota yang sama pada 24 Desember 1873 dalam umur 71 tahun. Hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar terakhir tanah Jawa. Merupakan putra dari Mas Pajangswara. Ayahnya adalah cucu dari Yasadipura II, pujangga utama Kasunanan Surakarta. Ayah Bagus Burhan merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak.

            Sewaktu muda Burhan terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo). Pada mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon, ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji. Pada 28 Oktober 1819 diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Mas Pajanganom.

Pada tanggal 9 November 1821 Burhan menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut mertuanya, yaitu Adipati Cakradiningrat di Kediri. Di sana ia merasa jenuh dan memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burhan berkelana sampai ke Pulau Bali untuk mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku.

Bagus Burhan diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabehi Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian Yasadipura II, Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubuwana VII pada tanggal 14 September 1845.

Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Rangga_Warsita )

Di masa kematangannya sebagai pujangga, Ronggowarsito dengan gamblang dan wijang mampu menuangkan suara jaman dalam serat-serat yang ditulisnya. Ronggowarsito memulai karirnya sebagai sastrawan dengan menulis Serat Jayengbaya ketika masih menjadi mantri carik di Kadipaten Anom dengan sebutan M. Ng. Sorotoko. Dalam serat ini dia berhasil menampilkan tokoh seorang pengangguran bernama Jayengboyo yang konyol dan lincah bermain-main dengan khayalannya tentang pekerjaan. Sebagai seorang intelektual, Ronggowarsito menulis banyak hal tentang sisi kehidupan. Pemikirannya tentang dunia tasawuf tertuang diantaranya dalam Serat Wirid Hidayatjati, pengamatan sosialnya termuat dalam Serat Kalatidha, dan kelebihan beliau dalam dunia ramalan terdapat dalam Serat Jaka Lodhang, bahkan pada Serat Sabda Jati terdapat sebuah ramalan tentang saat kematiannya sendiri.




Berdasarkan catatan dalam laman http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/15/jtptiain-gdl-s1-2005-nurbaetise-739-Bab3_119-8.pdf , ada disebutkan begini: Simuh menyebutkan bahwa ada 50 judul karya Ranggawarsita. Sedangkan Andjar Any menyebut 56 judul. Danu Priyo Prabowo (2003) mengkategorikan karya-karya Ranggawarsita, sebagai berikut:

1.     Karya Ranggawarsita yang ditulis sendiri.

Ø  Babad Itih

Ø  Babon Serat Pustaka Raja Purwa

Ø  Serat Hidayat Jati

Ø  Serat Mardawa Lagu

Ø  Serat Paramasastra

Ø  Purwakane Serat Pawukon

Ø  Rerepen Sekar Tengahan

Ø  Sejarah Pari Sawuli

Ø  Serat Iber-Iber

Ø  Uran- Uran Sekar Gambuh

Ø  Widyapradana

Ø  Karangan Ranggawarsita yang ditulis oleh orang lain, yaitu:

Ø  Serat Aji Darma

Ø  Serat Aji Darma Aji Nirmala

Ø  Serat Aji Pamasa

Ø  Serat Budayana

Ø  Serat Cakrawarti

Ø  Serat Cemporet

Ø  Serat Darmasarana

Ø  Serat Joko Lodhang

Ø  Serat Jayengbaya

Ø  Serat Kalatidha

Ø  Serat Nyatnyanaparta

Ø  Serat Pambeganing Nata Binathara

Ø  Serat Panji Jayengkilang

Ø  Serat Pamoring Kawula Gusti

Ø  Serat Paramayoga

Ø  Serat Partakarja

Ø  Serat Pawarsakan

Ø  Serat Purrusangkara

Ø  Serat Purwagnyana

Ø  Serat Sari Wahana

Ø  Serat Sidawakya

Ø  Serat Wahanyasampatra

Ø  Serat Wedharasa

Ø  Serat Wedhasatya

Ø  Serat Wedhatama Piningit

Ø  Serat Widyatmaka

Ø  Serat Wirid Sopanalaya

Ø  Serat Wiraradya

Ø  Serat Yudhayana

3. Karangan Ranggawarsita yang ditulis bersama orang lain, meliputi :
      Ø Kawi-Javaansche Woordenboek 

            Ø  Serat Saloka Akaliyan Paribasan 

            Ø  Serat Saridin

            Ø  Serat Sidin

4. Karya Ranggawarsita yang digubah lagi oleh orang lain:

            Ø  Pakem Pustaka Raja Purwa

            Ø  Pakem Pustaka Raja Madya

            Ø  Pakem Pustaka Raja Antara

            Ø  Pakem Pustaka Raja Wasana

5.  Karangan Ranggawarsita yang diubah bentuknya oleh orang lain ada dua, yaitu; Jaman Cacad dan Serat Paramyoga.

6.  Karya orang lain yang disalin oleh Ranggawarsita ada tiga judul, yakni; Serat Bratayuda, Serat Jayabaya, dan Serat Panitisastra.

7.  Karangan orang lain yang dilakukan sebagai karangan Ranggawarsita, yaitu; Serat Kalatidha Piningit dan serat Wirid Hidayat Jati



Catatan Lain-lain

Saya membandingkan beberapa terjemahan bebas Serat Joko Lodang dari beberapa sumber. Kadang saya tak puas dan melakukan interpretasi sendiri. Misalnya untuk menerjemahkan Gunung mendhak jurang mbrenjul  ada yang menulis “bahwa kelak gunung-gunung akan menjadi rendah/sebaliknya jurang yang curam akan timbul ke permukaan”. Yang lain mengubah kata “timbul” menjadi “tampil”. Dan saya menerjemahkannya jadi begini : “Bahwa setinggi-tinggi gunung akan merendah/Sedalam-dalam jurang bakal timbul ke permukaan”

            Atau keberanian saya untuk menginterpretasi Ingusir praja prang kasor menjadi “Terusir kita dari bumi kecintaan bagai si kalah perang”, pada saat yang lain menerjemahkan menjadi “karena kalah perang maka akan diusir dari negerinya”. Ah, frase “bumi kecintaan” sungguh mengingatkan saya kepada puisi-puisi Hartojo Andangdjaja. Saya mengenal Ronggowarsito sebagai pujangga sejak jaman sekolahan, entah SD entah SMP? Beberapa sumber menulis namanya menjadi Rangga Warsita. Tapi saya kadung menyukai penyebutan yang pertama saja, nama yang pertama kali saya kenal dulu: Ronggowarsito. Kewibawaannya dapat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar